“Hoekk…” suara Risa muntah-muntah terdengar dari arah kamar mandi. Bapak berjalan cepat, baru saja ia hendak berangkat bekerja ke rumah keluarga kaya raya itu, tapi karena mendengar putrinya yang mual muntah, ia mendahului hal tersebut.
“Ris… mual lagi?” tanyanya sambil berdiri di depan pintu kamar mandi.
“Iya, Pak, nggak papa, kok. Bapak berangkat aja,” teriaknya dari dalam kamar mandi.
“Obat mualnya ada nggak, ‘Nak?” lanjut bapak.
“Ada…, Bapak berangkat aja takut telat, nanti, Pak!” teriak Risa lagi. Tapi bapak tetap diam, ia berdiri menunggu putrinya keluar dari kamar mandi. Tak lama, saat Risa berjalan keluar, bapak merangkul bahu putrinya.
“Bapak beliin susu Ibu hamil, ya, Nak? Bapak denger itu asupan baik untuk janin.” Mereka berjalan ke arah meja makan. Risa menggelengkan kepala begitu pelan.
“Jangan repot-repot, Pak, Risa ada vitamin dari bidan, udah cukup. Nggak usah beli susu.” Baru saja Risa menolak, ibu yang pulang dari toko menyetor kue, datang sambil membawa susu hamil rasa coklat.
“Ibu buatin, ya,” ucap ibu sambil berlalu pergi ke dapur untuk mengambil gelas.
“Bu… kenapa beli? Ini mahal, Bu,” tolaknya.
“Ibu dapat untung lumayan, bisa buat beli susu. Sebentar Ibu buatin, ya. Bapak belum berangkat?” tanyanya.
“Ini mau. Yaudah, Bapak berangkat ya. Risa…, jangan keluar rumah, cuma bikin kamu sakit hati karena ucapan mereka.” Bapak mengulurkan tangan, Risa mencium punggung tangan bapak di susul ibu.
“Bu, jangan masak banyak-banyak. Nanti malam Bapak bawa lauk, semalam Mbak Jum kasih tau ke Bapak.” senyum pria yang begitu tegar itu membuat Risa kembali dirundung sedih.
“Iya, Pak. lagian kita masak lauk apa, paling telor sama ayam, itu juga satu minggu sekali.” Ibu tertawa, pun bapak, keduanya tak ada protes atau mempermasalahkan soal makanan yang itu-itu saja. Risa menunduk, ia menutup wajahnya lalu menangis. Bapak dan ibu panik, dengan cepat keduanya mendekat.
“Risa, ada apa?” tanya ibu yang ikut sedih. Risa menggelengkan kepala, ia takut orang tuanya tau apa yang ada di dalam hatinya, karena niat awal ia ingin kuliah sambil bekerja guna meringankan beban orang tua, kini justru malah ia kembali membebankan kedua orang tuanya.
“Udah, Risa… kamu semakin sensitif setelah hamil, itu nggak papa, tapi… jangan nangis, kasihan anakmu nanti sayang.” Ibu mengusap punggung Risa. Bapak mengecup puncak kepala putrinya lalu berjalan keluar rumah, berangkat bekerja. Pria itu mengeluarkan motornya, tak lama, sudah melaju meninggalkan rumah namun, air matanya luruh mengingat nasib buruk yang menimpa sang putri satu-satunya.
BUG!
Suara seperti benda terjatuh terdengar dari luar rumah. Ibu dan Risa beranjak, ia berjalan sambil menghapus air mata.
“Ya ampun!” teriak ibu saat melihat tumpukan sampah dedaunan kering dan sampah botol bekas berserakan di teras rumah. Risa diam, ia hanya bisa melihat ibunya memunguti lalu membuang ke tempat sampah tanpa tau siapa pelaku yang melakukan hal itu.
Sepuluh hari berlalu, kejadian pelemparan sampah terus terjadi setiap hari di rumahnya. Ibu terus membuang sampah-sampah itu, hati Risa begitu sakit, ia sengaja duduk di teras ingin tau siapa yang tega berbuat seperti itu. Akhirnya ia melihat empat orang remaja perempuan dan tiga ibu-ibu berjalan bersisian, Risa beranjak, bersembunyi di samping rumah, dibalik dinding.
Sampah di lempar, mereka cekikikan. Risa muncul mendadak, ia menatap tajam ke arah tujuh orang itu. “Keterlaluan!” teriaknya. Tujuh orang itu tak kalah melotot tajam.
“Kamu bagus dilempari sampah, Risa. Biar sadar kalau kamu juga sampah!” maki seorang wanita.
“Kenapa kalian sejahat ini. Jangan urusi urusan keluarga saya. Kalian sendiri sikapnya tidak sebaik saya, justru buruk. Kalian melempari rumah orang tua saya dengan sampah. Kalian merasa dirugikan dengan kehamilan saya yang tanpa menikah! Apa ruginya! Kalian bisa hidup normal, ‘kan?! Saya tidak! Bisa kalian stop lakuin ini semua!” maki Risa yang sudah begitu kesal dengan perbuatan mereka. Tak ada yang bicara hingga seorang wanita lain mendekat dan melesak masuk membuka pagar kecil rumahnya lalu menyiram Risa dengan air cucian baju.
“Lonte!” teriaknya di depan wajah Risa. Ia diam, di rumah tak ada ibunya karena sedang di pasar menjual kue. Ia menghadapi hal itu sendirian, air matanya luruh, tapi ia tak berbuat apa-apa lagi.
“Jaga mulutmu lonte!” maki ibu itu lagi. Risa bahkan ditarik rambutnya hingga ia mendongak. “Lihat warga! Ini wajah gadis sok alim yang ternyata hamil diluar nikah! Nggak tau siapa laki-lakinya! Masih pantas dia dianggap gadis baik!” Kedua mata ibu itu melotot terasa ingin copot matanya. Risa diam, ia memejamkan mata, menahan semua hinaan dan beban berat yang ada di hidupnya.
‘Teruslah memakiku, asal jangan orang tuaku melihat.’ ucapnya dalam hati.
Ia terima hal itu, perlakuan buruk para tetangga yang menyebut dirinya aib bagi lingkungan tempat tinggalnya. Ia biarkan itu, karena yakin, suatu hari, ia akan tunjukan siapa laki-laki yang menghamilinya dan tidak akan ia biarkan laki-laki itu hidup tenang.
***
“Bu, Risa ikut jualan di pasar aja, ya,” pintanya. Ia benar-benar merahasiakan kejadian hari itu. Sempat ibunya bertanya karena ada tetangga lain yang mengadu, tapi Risa membantah dengan tegas, akhirnya ibunya percaya.
“Kenapa?” tanya ibu.
“Risa bosan di rumah. Malah terasa berat, Bu, kalau ikut jualan ada hiburan,” candanya. Ibu mengangguk.
“Yaudah, besok mulai ikut Ibu jualan. Los kita di dekat penjual es cendol. Ibu tadi udah izin dan boleh sama dia. Cuma bayar seratus ribu sebulan.”
“Iya, Bu. Sini, Risa bantu kukusin bolu ketannya.” Ia beranjak, membawa satu loyang ke dapur. “Bu, Bapak kok belum pulang, ya? Katanya mau bawa lauk?” tanyanya sambil membuka kukusan lalu meletakkan loyang di dalamnya.
“Sebentar lagi.” jawab ibu. Tak lama, terdengar suara motor. Risa berjalan ke arah pintu, ia membuka lebar. Bapak tersenyum, setelah menyapa putrinya, ia menyerahkan bungkusan besar berisi makanan.
“Bu, Risa … di rumah Pak Bagas ada acara ulang tahun cucunya ternyata. Ini ada kue bolu untuk Risa kata Bu Bagas dan ini lauk ayam bakar madu, banyak nih, Bu. Sama ini, Risa, apa ini nama makanannya?” bapak menunjuk ke kotak transparan.
“Salad buah, Pak,” jawab Risa. Bapak mengangguk. Risa membuka kotak itu, salad buah membuatnya merasakan air liur yang menumpuk di dalam rongga mulut.
“Risa makan, ya, Pak,” tukanya. Bapak mengangguk. Pria itu segera ke kamar untuk mengambil handuk. Ibu ikut mencicipi salad buah.
“Enak, Ris, bisa bikin ini nggak kamu? Kalau bisa titip jual ke kios koh Liem. Mereka punya kulkas kaca,” tegas ibu.
“Nggak ah, Bu. Risa jualan sama Ibu aja, males bikin-bikin makanan lainnya.” Ia tersenyum. Ibu mengangguk lalu kembali menyiapkan adonan untuk lontong isi dan lemper bakar. Bapak selesai mandi dan berpakaian, ia duduk di meja makan bersama Risa.
“Enak, ‘Nak?” diusapnya pelan kepala Risa.
“Enak, Pak,” jawabnya.
“Syukurlah. Tadi, waktu acara ulang tahun itu. Banyak anak kecil diundang, mungkin karena cucu pertama Pak Bagas dan baru dua tahun usianya, rame pokoknya.”
“Emang anaknya siapa, Pak?” tanya ibu.
“Anaknya Mas Vikal. Pak Bagas anak laki-lakinya ada tiga, yang udah nikah Mas Vikal, Mas Wiga dan Mbak Ratu, tinggal satu yang belum, Mas Arkana.” Bapak menuang air putih di gelas, ia teguk hingga tandas.
“Ohh… sukses-sukses mereka, ya?” lanjut ibu.
“Iya, Bu. Mas Vikal sama Mbak Ratu kerja di perusahaan Pak Bagas. Mas Wiga sekolah lagi di Jerman. Cuma Mas Arkana yang kerja di perusahaan migas swasta, tapi udah menjabat.”
“Gimana rasanya jadi orang banyak duit ya, Pak? Udah sukses, anaknya jadi orang hebat semua, Ibu merinding bayanginnya. Semoga Risa, suatu hari nanti bisa ada laki-laki yang terima keadaannya, ya, bisa hidup enak, nggak kayak Bapak Ibunya yang–”
“Bu, mulai, deh. Risa mau sendiri aja seumur hidup, besarin anak ini. Risa sanggup dan kuat. Ibu jangan bandingin hidup orang sama hidup kita, cuma bikin iri dengki. Lagian, kelihatannya aja mereka hebat, kita nggak tau buruknya, kan?”
Risa beranjak. Ia meneguk air putih lalu berjalan ke dalam kamar. Bapak dan ibu hanya diam memandang aneh pada putrinya. Di dalam kamar, Risa diam, ia beranjak tidur sehingga tak terbawa suasana dengan percakapan orang tuanya.
Restu “Ma,” panggil Arlan sambil memeluk wanita yang sudah membesarkannya. Keduanya berpelukan semakin erat, melepas rindu setelah Arlan pergi hampir dua bulan lamanya dari rumah itu. Nadia masih menggandeng tangan Kenan yang mengangkat kepala, menatap Arlan dan calon neneknya mengharu biru. Mereka duduk bersama, Arlan dan Nadia juga diperkenalkan dengan calon suami Lisa. “Mama senang, Arlan mau mengerti dan memaafkan Mama.” “Arlan … minta maaf, Ma. Ini semua—“ “Mama paham, Lan,” selanya. “Kita makan siang, yuk. Mama masak sup buntut sapi kesukaan kamu. Nadia, bisa bantu Mama siapkan?” “Iya, Ma, bisa.” Nadia beranjak, walau ada pembantu, tetapi wanita itu ingin Nadia ikut serta menyiapkan, bukan tanpa alasan, ia mau dekat dengan calon menantunya yang sudah ia kenal sejak kecil—semenjak keluarga besar tau jika Nadia anak Arkana. “Ma, apa Mama nggak masalah kalau nanti pernikahana kami dilakukan di rumah orang tua Nadia?” ujarnya sambil menata piring. “Iya, sayang, kenapa harus d
Arlan mondar mandir berjalan di ruang tengah rumah Nadia, bahkan hal itu membuat Kenan terus menatap calon papa sambungnya dengan heran. "Papa, kenapa dari tadi mondar mandir?" tanyanya sambil mewarnai buku gambar. "Nggak apa-apa, Nan. Udah selesai PRnya?" Arlan mendekat, duduk sembari mengusap kepala Kenan penuh kasih sayang. Arlan begitu menyayangi Kenan, benar-benar seperti darah dagingnya sendiri. Nadia berjalan dari arah tangga, ia sudah selesai membersihkan diri. Pekerjaan di butik membuatnya harus pulang jam 8 malam. "Nan, PRnya udah selesai?" Nadia duduk di sebelah Arlan."Sedikit lagi, Ma," jawab Kenan yang masih fokus mewarnai ikan paus. "Setelah selesai tidur, ya," pesan Nadia. "Oke." Kenan mengacungkan ibu jari. Nadia bersandar manja pada bahu kekar Arlan, lalu mengendus bahu tunangannya. "Wangi," bisik Nadia. Arlan menoleh, tersenyum. Ia tadi menjemput Nadia setelah dari kosan, naik ojek online sampai ke butik. Dari butik baru lah ia yang mengemudikan mobil Nadia. "
Arlan belum mendapatkan pekerjaan, semenjak meninggalkan semua yang sebelumnya dimiliki, ia kini tinggal di kosan sederhana sambil terus mengirim lamaran kerja. Ponselnya berbunyi, satu pesan singkat membuatnya mengalihkan pandangan dari laptop hasil dipinjamkan Nadia. Setelah pergi, Arlan bahkan membuka rekening baru untuk mulai menyimpan uangnya. Tetapi kenyataannya ia meminjam uang Nadia untuk mulai hidup barunya. Arlan berdecak, tak mau menggubris pesan singkat itu. Fokusnya kembali menatap laptop, kepintarannya tidak selalu mudah mencari pekerjaan, walau banyak orang menganggapnya begitu. Menjelang siang, Arlan menjemput Kenan, bocah itu tampak senang, bahkan melompat memeluk Arlan yang berjongkok. "Papa nggak kerja?" Pertanyaan polos terucap. Arlan mengusap kepala Kenan lembut. "Libur. Eh, Nan, kita pulang naik buwsay, yuk, seru pasti," ajaknya. "Sama Mama boleh?" Kening Kenan berkerut, seumur-umur, ia bahkan belum pernah naik motor dibonceng siapapun, apalagi busway. "Bo
Acara lamaran dilaksanakan di salah satu restoran favorit Arkana. Nadia yang booking sejak seminggu lalu. Ia dan Kenan tampak rapi dengan busana formal, bahkan Kenan meminta memakai kemeja dengan dasi kupu-kupu. Menggemaskan. Keluarga Nadia sudah hadir, menunggu kedatangan Arlan beserta mama dan keluarga inti lainnya. Risa tersenyum saat melihat putrinya cantik juga dewasa. Tak salah memilih Arlan untuk dijadikan suami. "Nadia, jangan gugup," kata Risa. "Nggak, Bun ... Nadia cuma nggak nyangka kalau sekarang bisa ada diposisi ini dan udah ada Kenan," seloroh Nadia mencoba tampak tenang. "Arlan itu anak baik. Jadi dia pasti nggak akan bikin kamu kecewa." Arkana menyahut. Nadia mengangguk. Keluarga lainnya yang hadir hanya kakak tertua Arkana, karena kedua orang tuanya sudah tidak ada, jadilah sulung dari keluarga yang mewakilkan. Dua saudara kandung Arkana lainnya berhalangan hadir. Menit berganti jam, Nadia mulai gelisah karena Arlan tidak menjawab teleponnya juga membalas chat.
Nadia sibuk di butik juga studio, ia sedang mengurus baju pengantin pernikahan sepupu dan klien lainnya. Kenan datang, ia pulang sekolah di jemput sopir."Mama, hari sabtu besok ada lomba olahraga di sekolah," ujar Kenan. "Mama bisa datang, 'kan?" sambungnya."Aduh ... Kenan, Mama ada acara pernikahan klien Mama, gimana, ya?"Nadia menoleh sejenak sebelum lanjut membantu memasang beberapa payet cantik digaun pengantin yang terpasang pada manekin."Yah ...," keluh Kenan sedih."Acaranya jam berapa?""Jam tujuh pagi, Ma." Kenan duduk di sofa, menatap mamanya bekerja. Tiga asisten Nadia melirik ke arahnya."Mbak Nadia, minta tolong Pak Arlan aja," bisiknya.Nah, Nadia tidak ingat jika sekarang ada Arlan yang pasti senang dimintai tolong apalagi urusannya untuk Kenan.***Hari sabtu tiba, Arlan sudah sampai di depan rumah Nadia. Kenan juga sudah rapi memakai seragam olahraga sekolah, topi, sepatu dan membawa tas berisi handuk kecil, baju ganti juga botol minum."Udah siap, Nan?" sapa Arl
Momen penuh air mata pun selesai, Nadia membantu memakaikan sepatu Kenan, mereka akan berbegas malam mingguan ke mal. Kemana lagi, hiburan instan jika bukan ngemal. Arkana keluar dari kamar mandi, ia baru saja membasuh wajahnya yang sembab karena menangis bahagia.“Ayo,” ajaknya sembari mengusap kepala Kenan yang mengangguk. Nadia menarik tangan Arlan, lalu ia peluk erat. Arlan menenggelamkan wajah di ceruk leher Nadia. “Aku senang,” lirihnya.“Aku juga. Semoga kamu bisa jadi Papa yang baik Kenan dan … jadi … um ….” Nadia malu sendiri. Arlan merenggangkan pelukan, menatap wajah cantik Nadia dengan semburat merah dipipi.“Suami kamu yang begitu besar mencintai kamu,” bisik Arlan tepat didepan wajah Nadia, ia kecup pangkal hidung Nadia begitu lama.“Mama, Ay—“ Kenan geram, ia masuk lalu memukul paha Arlan, lelaki itu mengaduh.“Kenan nggak mau punya adek bayi!” teriaknya kesal.“Hah?!” Arlan dan Nadia kompak terkejut.***Jadi, Kenan ternyata dengar cerita dari teman-temannya di sekolah