Los dagangan kue Risa dan ibunya semakin hari semakin ramai, bahkan, keduanya sampai kewalahan saat mendadak menerima pesanan kue untuk acara konsumennya. Seperti malam itu, setelah pulang dari pasar pukul dua siang, Risa dan ibu beristirahat sejenak sekedar meluruskan kaki. Namun, tak lama kemudian segera merapikan bahan kue untuk dijual esok hari.
“Bu, nggak ada pesanan lagi?”
“Ada, Ris. Lumpia isi daging giling. Ini Ibu mau tumis dagingnya. Kamu bikin adonan kulitnya, ya, jangan lupa ditutupi plastik yang udah diolesi minyak biar nggak kering kalau udah jadi semua nantinya.”
“Iya, Bu.” Risa beranjak. Ia segera mengambil tepung terigu dan baskom besar. Ruang TV sudah disulap menjadi ruang produksi, bapak yang mengatur supaya anak dan istrinya tak perlu mondar mandir ke dapur untuk membuat kue. Bahkan kompor juga dipindahkan satu ke ruang TV berukuran kecil itu. Risa duduk di kursi meja makan, perutnya sudah membesar, kini sudah memasuki lima bulan usia kehamilannya. Berat badannya stabil, tapi berat janinnya yang bertambah. Risa senang, tak sia-sia ia makan banyak walau dengan lauk seadanya dan semua lari ke anaknya.
Tangannya mengaduk tepung terigu dengan air di dalam baskom besar. Lima puluh lumpia menjadi pesanannya. “Bu, dicampur isian bengkuang sama wortel juga, nggak? Biar Risa siapin?”
“Iya, Ris, tuh, ‘kan, Ibu hampir lupa.” Terdengar suara ibu tertawa.
“Belum resmi jadi Nenek udah pikun, Ibu, Nih,” ledek Risa yang membuat ibunya semakin tertawa. Risa menyiapkan bahan lainnya, saat ia kembali duduk di kursi meja makan, ia merasakan gerakan pada perutnya sebanyak dua kali.
“Ibu…!” teriakan Risa yang membuat ibunya segera ke meja makan.
“Apa, ‘nak?! Kamu kenapa?” tanya ibu panik.
“N-nendang, Bu, dia gerak,” ucap Risa sambil memegang perutnya.
“Hah?! Mana-mana, coba sini.” Ibu meletakkan kain lap ke atas meja, lalu memegang perut putrinya. “Halo… ini Uti, sayang,” sapanya. Risa tertawa karena ibunya tampak konyol, tapi itu menghiburnya. Tak lama terasa gerakan lagi. Keduanya sama-sama memekik senang.
“Sehat ya sayang, sehat…” usapan tangan ibunya membuat Risa tersenyum. “Kamu juga, ‘Nak, ada Ibu dan Bapak, kamu nggak perlu khawatirin apa pun, ya.” Ibu memeluk Risa yang dibalas pelukan erat. Kemudian, keduanya kembali berkutat dengan adonan kue.
Malam harinya, Risa berjalan sendirian ke ujung gang yang mengarah ke jalan raya, ia ingin jajan bubur kacang hijau lagi, cukup rutin ia memakan itu dengan membawa uang sepuluh ribu. Ia mengumpulkan uang dari membantu ibu berdagang, walau sedikit ia menabungnya, tak mau membebankan semua ke orang tuanya. Ibunya juga menyadari jika anaknya pasti mau membeli sesuatu sendiri, ia membagikan setiap harinya sebanyak dua puluh ribu untuk Risa.
“Pak, bubur kacang hijaunya satu, pake roti tawar nya ya,” pinta Risa sambil menyerahkan uang. Ia masuk ke warung tenda kaki lima itu. Tak lama, pesanannya sudah ia bawa. Bubur kacang hijau itu ditempatkan pada mangkuk kertas tahan panas, dengan uang sepuluh ribu, cukup untuk ia bisa menikmati makanan itu malam hari. Ia duduk di depan toko yang sudah tutup, jika pagi biasa menjual onderdil motor. Ada bangku kayu panjang yang memang tergeletak di sana sebagai tempat duduk petugas keamanan lingkungan jika malam hari. Risa membuka makanan yang ia beli, asap mengepul, ia aduk dengan sendok plastik supaya cepat hangat.
Dug!
Tendangan di perutnya kembali terasa walau pelan. Tangannya mengusap, “Iya, sayang, sebentar Mama tiupin dulu buburnya, ya, udah mau makan, ya.” Ia berucap sendiri.
Tampak Adit muncul dari arah seberang. Ia menghampiri Risa.
“Sa…,” panggilnya.
“Eh, Dit,” jawabnya.
“Makan apa? Kenapa nggak di rumah?” Adit segera duduk di sebelah Risa.
“Ini,” tunjuknya. “Dan lagi pingin makan di luar.” Risa tersenyum.
“Kamu baik-baik aja? Udah nggak sedih atau–”
“Buat apa dipikirin. Perlakuan warga yang jahat atau kasar sama aku, nggak mau aku peduliin. Ngapain.” Ia lalu menyendok bubur kacang hijau ke mulutnya.
“Maaf, Ris, kalau boleh tau, kenapa kamu tutupi siapa laki-laki yang hamilin kamu, supaya mereka yang nyinyir juga kapok?”
Risa melirik, ia lalu tersenyum. “Aku nggak akan mau bicara apa pun tentang itu, Dit. Kamu nggak akan sanggup bayangin jadi aku saat itu. Tapi apa aku bisa protes di saat aku–” mendadak lidahnya kelu. “Dit, dia nendang, lho, mau rasain nggak? Sini tangan kamu.” Risa menarik tangan Adit lalu ia tempelkan di telapak tangannya. Kedua bola mata Adit membulat, ia merasakan juga tendangan pertama anak yang dikandung temannya.
“Risa… ini…, ya ampun!” pekiknya senang.
“Ini yang bikin aku kuat, Dit. Eh, iya, makasih undangannya, ya, nanti aku dateng ke acara nikahan kamu, calon istrimu nggak marah karena kamu kenal aku, ‘kan? Perempuan hamil tanpa suami?” Risa tersenyum miris.
“Nggak. Dia malah sedih waktu aku cerita tentang kamu. Kebetulan dia juga bidan, Risa, jadi kamu nanti bisa tanya-tanya ke dia juga. Barusan aku dari rumahnya, sekalian ngecek kontrakan. Aku nggak mau serumah sama Ibu dan adik perempuanku, bahaya.”
“Kenapa?” Risa masih menikmati bubur kacang hijau sambil mendengarkan Adit cerita.
“Intinya, bisa memicu keributan. Aku ngontrak rumah di dekat rumah orang tuanya, beda satu gang. Kasihan karena Ibunya tinggal sendiri, Ayahnya udah meninggal. Kakaknya tinggal di rumah sendiri sama suami dan anak-anaknya, Adik bungsunya kerja di pabrik dan ngekos.”
“Kenapa nggak di rumah itu?” Risa bingung.
“Tetap nggak bisa, Ris, namanya rumah tangga, sebisa mungkin misah.”
“Oh… gitu, iya juga, ya.” Risa manggut-manggut, ia menikmati makanannya. Adit tersenyum, ia tau jika temannya wanita kuat, ia yakin Risa sanggup menghadapi ujian apa pun di depannya.
“Risa, semoga laki-laki itu sadar dan mau nikahin kamu, ya. Gimana juga nanti anak kamu butuh akte lahir yang tercantum nama Ayahnya untuk kebutuhan sekolah.”
Risa diam setelah Adit berbicara tentang hal itu. Ia masih belum tau solusi apa yang akan ia jalankan untuk masalah tersebut. Baginya, ia dan anaknya sehat, itu lebih dari cukup untuk saat ini dan menjadi fokus pikirannya.
“Udah habis makannya? Yuk pulang,” ajak Adit. Risa mengangguk, ia beranjak, berjalan bersisian dengan lelaki yang minggu depan akan melepas masa lajang. Kembali, dari kejauhan, di dalam mobil mewah, pria itu meremas kemudi, saat melihat Risa yang perutnya sudah membuncit berjalan bersama Adit.
Ponsel pria itu berbunyi, ia segera menggeser layar dan menempelkan benda pipih dengan harga belasan juta itu ke telinganya. “Ya, Halo…,” ucapnya santai.
“Kamu di mana? Jadi beliin aku martabaknya? Buruan nanti aku ngantuk,” suara di ujung telpon itu mengiba. Pria tersebut hanya bisa menghela napas panjang.
“Iya, sayang, ini mau beliin. Ibu hamil ngidamnya aneh-aneh, ya,” ucapnya mencoba menyenangkan hati sang istri.
“Nah! Gitu, dong! Makasih suamiku!” teriaknya girang. Pria itu mematikan sambungan telpon. Kedua matanya sudah tak mendapati Risa yang seperti menghilang begitu saja.
“Dia hamil? Dan itu anak gue. Argh… sial!” makinya pada diri sendiri. Pria itu tak menyangka jika benih yang ia semburkan pada Risa di hari itu benar-benar membuahkan hasil. Kala itu ia memang kalap, saking tak bisa menahan gejolak hasratnya dan saat itu ada Risa di sana, ia segera melakukan hal bejat itu yang juga mengancamnya. “Obat perangsang sialan!” Ia kembali meneriaki dirinya sendiri sambil memukul kemudi.
Restu “Ma,” panggil Arlan sambil memeluk wanita yang sudah membesarkannya. Keduanya berpelukan semakin erat, melepas rindu setelah Arlan pergi hampir dua bulan lamanya dari rumah itu. Nadia masih menggandeng tangan Kenan yang mengangkat kepala, menatap Arlan dan calon neneknya mengharu biru. Mereka duduk bersama, Arlan dan Nadia juga diperkenalkan dengan calon suami Lisa. “Mama senang, Arlan mau mengerti dan memaafkan Mama.” “Arlan … minta maaf, Ma. Ini semua—“ “Mama paham, Lan,” selanya. “Kita makan siang, yuk. Mama masak sup buntut sapi kesukaan kamu. Nadia, bisa bantu Mama siapkan?” “Iya, Ma, bisa.” Nadia beranjak, walau ada pembantu, tetapi wanita itu ingin Nadia ikut serta menyiapkan, bukan tanpa alasan, ia mau dekat dengan calon menantunya yang sudah ia kenal sejak kecil—semenjak keluarga besar tau jika Nadia anak Arkana. “Ma, apa Mama nggak masalah kalau nanti pernikahana kami dilakukan di rumah orang tua Nadia?” ujarnya sambil menata piring. “Iya, sayang, kenapa harus d
Arlan mondar mandir berjalan di ruang tengah rumah Nadia, bahkan hal itu membuat Kenan terus menatap calon papa sambungnya dengan heran. "Papa, kenapa dari tadi mondar mandir?" tanyanya sambil mewarnai buku gambar. "Nggak apa-apa, Nan. Udah selesai PRnya?" Arlan mendekat, duduk sembari mengusap kepala Kenan penuh kasih sayang. Arlan begitu menyayangi Kenan, benar-benar seperti darah dagingnya sendiri. Nadia berjalan dari arah tangga, ia sudah selesai membersihkan diri. Pekerjaan di butik membuatnya harus pulang jam 8 malam. "Nan, PRnya udah selesai?" Nadia duduk di sebelah Arlan."Sedikit lagi, Ma," jawab Kenan yang masih fokus mewarnai ikan paus. "Setelah selesai tidur, ya," pesan Nadia. "Oke." Kenan mengacungkan ibu jari. Nadia bersandar manja pada bahu kekar Arlan, lalu mengendus bahu tunangannya. "Wangi," bisik Nadia. Arlan menoleh, tersenyum. Ia tadi menjemput Nadia setelah dari kosan, naik ojek online sampai ke butik. Dari butik baru lah ia yang mengemudikan mobil Nadia. "
Arlan belum mendapatkan pekerjaan, semenjak meninggalkan semua yang sebelumnya dimiliki, ia kini tinggal di kosan sederhana sambil terus mengirim lamaran kerja. Ponselnya berbunyi, satu pesan singkat membuatnya mengalihkan pandangan dari laptop hasil dipinjamkan Nadia. Setelah pergi, Arlan bahkan membuka rekening baru untuk mulai menyimpan uangnya. Tetapi kenyataannya ia meminjam uang Nadia untuk mulai hidup barunya. Arlan berdecak, tak mau menggubris pesan singkat itu. Fokusnya kembali menatap laptop, kepintarannya tidak selalu mudah mencari pekerjaan, walau banyak orang menganggapnya begitu. Menjelang siang, Arlan menjemput Kenan, bocah itu tampak senang, bahkan melompat memeluk Arlan yang berjongkok. "Papa nggak kerja?" Pertanyaan polos terucap. Arlan mengusap kepala Kenan lembut. "Libur. Eh, Nan, kita pulang naik buwsay, yuk, seru pasti," ajaknya. "Sama Mama boleh?" Kening Kenan berkerut, seumur-umur, ia bahkan belum pernah naik motor dibonceng siapapun, apalagi busway. "Bo
Acara lamaran dilaksanakan di salah satu restoran favorit Arkana. Nadia yang booking sejak seminggu lalu. Ia dan Kenan tampak rapi dengan busana formal, bahkan Kenan meminta memakai kemeja dengan dasi kupu-kupu. Menggemaskan. Keluarga Nadia sudah hadir, menunggu kedatangan Arlan beserta mama dan keluarga inti lainnya. Risa tersenyum saat melihat putrinya cantik juga dewasa. Tak salah memilih Arlan untuk dijadikan suami. "Nadia, jangan gugup," kata Risa. "Nggak, Bun ... Nadia cuma nggak nyangka kalau sekarang bisa ada diposisi ini dan udah ada Kenan," seloroh Nadia mencoba tampak tenang. "Arlan itu anak baik. Jadi dia pasti nggak akan bikin kamu kecewa." Arkana menyahut. Nadia mengangguk. Keluarga lainnya yang hadir hanya kakak tertua Arkana, karena kedua orang tuanya sudah tidak ada, jadilah sulung dari keluarga yang mewakilkan. Dua saudara kandung Arkana lainnya berhalangan hadir. Menit berganti jam, Nadia mulai gelisah karena Arlan tidak menjawab teleponnya juga membalas chat.
Nadia sibuk di butik juga studio, ia sedang mengurus baju pengantin pernikahan sepupu dan klien lainnya. Kenan datang, ia pulang sekolah di jemput sopir."Mama, hari sabtu besok ada lomba olahraga di sekolah," ujar Kenan. "Mama bisa datang, 'kan?" sambungnya."Aduh ... Kenan, Mama ada acara pernikahan klien Mama, gimana, ya?"Nadia menoleh sejenak sebelum lanjut membantu memasang beberapa payet cantik digaun pengantin yang terpasang pada manekin."Yah ...," keluh Kenan sedih."Acaranya jam berapa?""Jam tujuh pagi, Ma." Kenan duduk di sofa, menatap mamanya bekerja. Tiga asisten Nadia melirik ke arahnya."Mbak Nadia, minta tolong Pak Arlan aja," bisiknya.Nah, Nadia tidak ingat jika sekarang ada Arlan yang pasti senang dimintai tolong apalagi urusannya untuk Kenan.***Hari sabtu tiba, Arlan sudah sampai di depan rumah Nadia. Kenan juga sudah rapi memakai seragam olahraga sekolah, topi, sepatu dan membawa tas berisi handuk kecil, baju ganti juga botol minum."Udah siap, Nan?" sapa Arl
Momen penuh air mata pun selesai, Nadia membantu memakaikan sepatu Kenan, mereka akan berbegas malam mingguan ke mal. Kemana lagi, hiburan instan jika bukan ngemal. Arkana keluar dari kamar mandi, ia baru saja membasuh wajahnya yang sembab karena menangis bahagia.“Ayo,” ajaknya sembari mengusap kepala Kenan yang mengangguk. Nadia menarik tangan Arlan, lalu ia peluk erat. Arlan menenggelamkan wajah di ceruk leher Nadia. “Aku senang,” lirihnya.“Aku juga. Semoga kamu bisa jadi Papa yang baik Kenan dan … jadi … um ….” Nadia malu sendiri. Arlan merenggangkan pelukan, menatap wajah cantik Nadia dengan semburat merah dipipi.“Suami kamu yang begitu besar mencintai kamu,” bisik Arlan tepat didepan wajah Nadia, ia kecup pangkal hidung Nadia begitu lama.“Mama, Ay—“ Kenan geram, ia masuk lalu memukul paha Arlan, lelaki itu mengaduh.“Kenan nggak mau punya adek bayi!” teriaknya kesal.“Hah?!” Arlan dan Nadia kompak terkejut.***Jadi, Kenan ternyata dengar cerita dari teman-temannya di sekolah