Share

Jualan di pasar

Author: Rianievy
last update Last Updated: 2022-06-24 21:05:47

“Udah siap, Ris?” tanya ibu saat masuk ke dalam kamar putrinya. Risa mengangguk, ia memakai kaos dan celana panjang yang tak menekan perutnya, usia kandungannya sudah masuk minggu ke delapan namun masih terlihat rata. 

“Ayo, Bu,” ajak Risa sambil membantu membawa tas berisi kantong plastik. Sementara ibu membawa satu tas bahan super besar yang terisi delapan kotak kue basah. Mereka membawa dengan trolley yang bapak buat sendiri dari kayu dan roda kecil. Hal itu memudahkan ibu membawa ke pasar dengan berjalan kaki yang jaraknya tak kurang dari satu kilometer. 

Risa dan ibu berjalan santai, banyak pasang mata para tetangga yang mencibir saat mereka lewat, namun keduanya sudah tak peduli dan memilih cuek. 

Tiba di pasar, Risa segera membereskan meja kayu yang sudah diletakan bapak jam empat pagi, lagi-lagi meja kayu lipat itu bapak yang buat. Penjual es cendol belum datang, Risa sudah memberikan jarak untuk penjual cendol nanti tiba, tak repot saat merapikan dagangannya. 

“Bu, yang buat di kior Koh Liem, yang mana? Sini Risa antar.” pintanya. Ibu menyerahkan satu tas lain. 

“Nanti kamu taruh di etalasenya, ya, kamu udah kenal Koh Liem sama anak-anaknya, ‘kan?” 

“Udah, Bu. Risa ke sana, ya,” pamitnya sambil berlalu. Hanya cukup menyeberang sudah sampai di kios. 

“Pagi Koh Liem, Risa mau antar kue,” ucapnya. 

“Eh… si Risa, sini-sini, Risa, masuk sini. Wei! Weini! Ada Risa, nih!” panggil Koh Liem ke anak perempuannya. Weini yang memang ceria dan sudah kenal dengan Risa segera menghampiri. 

“Risa! Gimana kabar kamu. Udah berapa bulan?” tangan Weini mengusap perut Risa yang begitu terkejut dengan sikap anak Koh Liem itu. 

“Risa. udah, cuekin aja orang mau bilang apa. Ibu kamu udah cerita ke Koh Liem dan Maminya si Weini, jangan khawatir, jangan dipikirin, ya. Kamu udah sarapan? Mau roti? Ambil aja Risa, gratis, ambil… ambil,” ujar Koh Liem. Risa tersenyum, ia berkata sudah sarapan. Tak lama muncul istrinya. 

“Risa! Sini-sini, coba Nci pegang, ya,” ucapnya sambil menempelkan telapak tangan. 

“Emgh, anak kamu pasti sehat, jadi anak pintar dan selalu bikin Mamanya seneng. Nanti lahir di tahun shio kelinci, pasti–”

“Mami mulai, deh…,” protes Weini. 

“Risa, bawa roti sama susu, ya. Jangan pikirin omongan orang lain, mereka nggak tau apa-apa. Kami paham hal ini berat, kami tau keluarga kamu. Ya, Risa. Sebentar Nci bungkusin, ya.”

Risa tak bisa berkata-kata, ia merasa keluarga orang yang menolong ibunya menaruh dagangan kue justru begitu baik dan tak mencemooh dirinya. Risa tersenyum, anaknya hari ini mendapat rejeki tak hanya makanan, tapi orang baik yang begitu ia syukuri. 

***

“Mau dua lempernya? Terus apa lagi? Semua dua ribu lima ratusan harganya,” ujar Risa yang berdiri sambil memegang plastik dan jepitan kue. 

“Risoles satu, Mbak,” jawab pria itu. Risa memasukan ke kantong plastik bening. “Udah itu aja,” ujarnya. 

“Tujuh ribu lima ratus semuanya,” ujar Risa. Ia menerima uang lalu memberikan kembalian. Ia berikan ke ibunya yang bertugas menghitung uang. 

“Risa, mau es cendol, nggak?” tawar penjual yang duduk di sebelahnya. Seorang wanita yang usianya seumuran dengan ibunya. 

“Boleh, Bu, gulanya sedikit aja, berapa?” tanya Risa. 

“Gratis. Sebentar, ya,” ucap penjual. Risa melongo. Tak lama ia menerima satu gelas es cendol dengan perasaan tak enak hati. “Ayo cobain, saya setiap hari udah cobain kue buatan Ibumu, enak-enak.” 

Risa mengangguk. Ia duduk di sebelah ibunya. “Bu, berdua, nih, sama Risa.” Ibu menggeleng. 

“Buat kamu aja, Ibu udah bosan.” lalu tertawa bersama penjual es cendol. Mereka sibuk ngobrol, Risa yang berparas ayu dengan kulit putih, berkali-kali mendapat lirikan dari lalu lalang orang yang lewat. Pun, dari seseorang yang berada di dalam mobil sedan mewah, ia jelas sekali melihat ke arah Risa yang duduk sambil minum es cendol. Wajah pria itu begitu dingin dan juga seringai jahatnya muncul. Ia lalu memalingkan wajah, tampak senyum sinis terpatri di wajahnya. 

“Kita langsung ke proyek, Mas?” tanya bapak, ayah Risa yang mengemudikan mobil itu. 

“Iya, Pak. Saya sudah lihat apa yang mau saya lihat.” 

“Maksudnya, lahan kosong tadi? Yang mau dijadikan minimarket dan toko mainan bermerek itu, Mas?” 

“Iya. Ratu minta saya cek lokasi ini, kebetulan memang dia mau bangun namanya sendiri untuk urusan bisnis mini market dan semacam toserba, lah.” 

“Oh, baik, Mas.” Mobil melaju meninggalkan area pasar dan pertokoan di daerah tersebut. Pasarnya juga pasar bersih, jadi suasananya juga cukup nyaman karena dikelilingi perumahan elit dan lingkungan masyarakat menengah ke atas. 

***

Lokasi proyek pemugaran mal yang terbengkalai dan kini diambil alih oleh kontraktor milik keluarga Bagas, membuat nama salah satu anaknya semakin melambung tinggi. Tak ada yang berani mendekati pria tersebut, dibilang kulkas berjalan atau kadang pangeran dengan hati dingin, julukan itu tak berpengaruh padanya. 

“Pak Agus!” panggilnya ke ayah Risa. 

“Ya, Mas.” Agus sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda sopan santun. 

“Temani saya cek ke dalam area mal, tolong bawakan tas ini.” Tas ransel hitam besar diberikan ke Agus, lalu mengikuti anak majikannya berjalan di belakang. Tak lupa keduanya memakai topi proyek berwarna kuning juga rompi warna menyala. 

Langkah keduanya menyusuri area mal dari lantai dasar hingga lantai lima mal besar dan mewah itu. Tak lupa, beberapa sudut disusuri mereka. Pria tersebut meminta Agus mengeluarkan kertas dari dalam tabung yang terselip di dalam tas, setelahnya dibuka untuk melihat tata letak apakah sudah sesuai atau tidak dengan desain. 

“Mas, setelah ini apa masih ke lokasi lain?” tanya Agus. 

“Nggak. Kita pulang, ada apa, Pak?” liriknya sebelum kedua mata kembali menatap ke kertas blueprint di tangan. 

“Saya mau izin pulang cepat. Mau ada perlu,” jawab Agus. 

“Ke mana?”

“Itu… ehm… anu, Mas…, saya mau antar putri saya ke bidan, kontrol kandungan.” 

DEG! 

Jawaban Agus membuat pria tersebut memejamkan kedua matanya sejenak. Mendadak kedua telapak tangannya basah. 

“Oh. Oke. Kita pulang sekarang aja. Pak Agus antar saya ke apartemen aja. Jangan ke rumah Mama, di sana ada–” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya. Ponselnya berdering. 

“Halo, Ma,” sapanya dengan intonasi begitu dingin. 

“Kapan pulang? Mama mau bahas sesuatu.” 

“Apa nggak bisa ditunda, Ma?” 

“Nggak bisa. Mama tunggu, ya.” 

“Nggak janji.” ucap pria itu sambil menyudahi obrolan. “Pak, kita jemput Leon sekalian aja.” 

“Lho… Leon sama Ibu, ‘kan?”

“Ibunya sibuk. Leon pasti dicuekin.” Pria itu berjalan tegap menuju ke tangga, pak Agus hanya bisa mengikuti dari belakang tak mau banyak bicara lagi. 

Malam hari pukul tujuh. Risa yang ditemani kedua orang tuanya duduk menunggu namanya dipanggil untuk diperiksa. Buku kontrol kehamilan sudah ia pegang, ia juga sudah tensi dan menimbang berat badannya yang belum ada perubahan. 

“Nyonya Risa,” panggi asisten bidan. Mereka bertiga beranjak, ikut masuk ke dalam ruang pemeriksaan. 

“Nggak sama suaminya?” tanya bidan seraya tersenyum. 

“Masih di luar pulau, Bu Bidan,” jawab ibu menutupi. Tempat praktek bidan memang agak jauh, sengaja tak memilih yang dekat rumah, karena rumor itu pasti sudah tersebar. 

Risa merebahkan tubuhnya, alat usg juga tampak baru sehingga membuat Risa bisa melihat perkembangan janin di tubuhnya. Gel dingin diletakan di perut, alat dengan kabel kecil itu bergerak di atas perutnya, setelah beberapa detik, muncul tampilan kantong rahim dan janin. 

“Nah… itu dia. Sudah masuk minggu ke sembilan dua besok, ya…, masih mual nggak?” tanya bu bidan. 

“Sedikit, Bu,” jawab Risa. Kedua matanya berkaca-kaca saat melihat janin anak yang ada dengan keterpaksaan, tumbuh baik di rahimnya. Risa seketika bertekat, akan melindungi dan menjaga anaknya seumur hidup, ia juga akan membuat lelaki bajingan yang menghamilinya semakin tersiksa. 

Pemeriksaan selesai, Risa tidak perlu kembali bulan depan, dua bulan sekali saja, dan bidan memberikan vitamin tambahan. 

“Risa, jangan malas makan, ya, biar bayinya makin sehat. Kita lihat bulan depan, nambah berapa berat badannya, ini resepnya, nanti tebus di depan, ya, sehat-sehat, ya, Risa.” Bidan itu tersenyum. Bapak berjalan lebih dulu sambil membawa kertas resep, kemudian memberikan uang seratus ribu untuk membayar jasa pemeriksaan dan vitamin, cukup terjangkau. 

Mereka bertiga berjalan kaki menuju ke rumah, Risa melihat ke arah penjual bubur kacang hijau, mendadak ia ingin makan itu. 

“Pak, Risa pinjam uang Bapak, mau beli itu,” tunjuknya. Bapak tertawa. Ia segera mendekat ke penjual lalu memberi satu bungkus untuk putrinya. 

“Ngapain pinjam. Kalau kamu mau sesuatu, bilang, supaya cucu Bapak nggak ileran nanti,” ledek bapak. Laki-laki itu sangat hancur hatinya, tapi begitu kuat dan tegar. Hati seorang ayah tak kan sanggup melihat masa depan putrinya hancur karena masalah ini, namun mau meratapi tak kan membuahkan hasil. Ia harus menjadi penguat putrinya sendiri. 

“Risa, ada yang jual jus, mau alpukat, itu bagus untuk janin. Ibu beliin, ya,” kini ibu yang menghampiri penjual jus di depan minimarket, Risa tersenyum. Ia semakin yakin jika harus kuat dan tegar menghadapi apa pun. Demi anak yang ada di rahimnya, juga kedua orang tuanya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hamil anak siapa?   Restu

    Restu “Ma,” panggil Arlan sambil memeluk wanita yang sudah membesarkannya. Keduanya berpelukan semakin erat, melepas rindu setelah Arlan pergi hampir dua bulan lamanya dari rumah itu. Nadia masih menggandeng tangan Kenan yang mengangkat kepala, menatap Arlan dan calon neneknya mengharu biru. Mereka duduk bersama, Arlan dan Nadia juga diperkenalkan dengan calon suami Lisa. “Mama senang, Arlan mau mengerti dan memaafkan Mama.” “Arlan … minta maaf, Ma. Ini semua—“ “Mama paham, Lan,” selanya. “Kita makan siang, yuk. Mama masak sup buntut sapi kesukaan kamu. Nadia, bisa bantu Mama siapkan?” “Iya, Ma, bisa.” Nadia beranjak, walau ada pembantu, tetapi wanita itu ingin Nadia ikut serta menyiapkan, bukan tanpa alasan, ia mau dekat dengan calon menantunya yang sudah ia kenal sejak kecil—semenjak keluarga besar tau jika Nadia anak Arkana. “Ma, apa Mama nggak masalah kalau nanti pernikahana kami dilakukan di rumah orang tua Nadia?” ujarnya sambil menata piring. “Iya, sayang, kenapa harus d

  • Hamil anak siapa?   Tersadar

    Arlan mondar mandir berjalan di ruang tengah rumah Nadia, bahkan hal itu membuat Kenan terus menatap calon papa sambungnya dengan heran. "Papa, kenapa dari tadi mondar mandir?" tanyanya sambil mewarnai buku gambar. "Nggak apa-apa, Nan. Udah selesai PRnya?" Arlan mendekat, duduk sembari mengusap kepala Kenan penuh kasih sayang. Arlan begitu menyayangi Kenan, benar-benar seperti darah dagingnya sendiri. Nadia berjalan dari arah tangga, ia sudah selesai membersihkan diri. Pekerjaan di butik membuatnya harus pulang jam 8 malam. "Nan, PRnya udah selesai?" Nadia duduk di sebelah Arlan."Sedikit lagi, Ma," jawab Kenan yang masih fokus mewarnai ikan paus. "Setelah selesai tidur, ya," pesan Nadia. "Oke." Kenan mengacungkan ibu jari. Nadia bersandar manja pada bahu kekar Arlan, lalu mengendus bahu tunangannya. "Wangi," bisik Nadia. Arlan menoleh, tersenyum. Ia tadi menjemput Nadia setelah dari kosan, naik ojek online sampai ke butik. Dari butik baru lah ia yang mengemudikan mobil Nadia. "

  • Hamil anak siapa?   Bertemu Lisa

    Arlan belum mendapatkan pekerjaan, semenjak meninggalkan semua yang sebelumnya dimiliki, ia kini tinggal di kosan sederhana sambil terus mengirim lamaran kerja. Ponselnya berbunyi, satu pesan singkat membuatnya mengalihkan pandangan dari laptop hasil dipinjamkan Nadia. Setelah pergi, Arlan bahkan membuka rekening baru untuk mulai menyimpan uangnya. Tetapi kenyataannya ia meminjam uang Nadia untuk mulai hidup barunya. Arlan berdecak, tak mau menggubris pesan singkat itu. Fokusnya kembali menatap laptop, kepintarannya tidak selalu mudah mencari pekerjaan, walau banyak orang menganggapnya begitu. Menjelang siang, Arlan menjemput Kenan, bocah itu tampak senang, bahkan melompat memeluk Arlan yang berjongkok. "Papa nggak kerja?" Pertanyaan polos terucap. Arlan mengusap kepala Kenan lembut. "Libur. Eh, Nan, kita pulang naik buwsay, yuk, seru pasti," ajaknya. "Sama Mama boleh?" Kening Kenan berkerut, seumur-umur, ia bahkan belum pernah naik motor dibonceng siapapun, apalagi busway. "Bo

  • Hamil anak siapa?   Satu rahasia lagi

    Acara lamaran dilaksanakan di salah satu restoran favorit Arkana. Nadia yang booking sejak seminggu lalu. Ia dan Kenan tampak rapi dengan busana formal, bahkan Kenan meminta memakai kemeja dengan dasi kupu-kupu. Menggemaskan. Keluarga Nadia sudah hadir, menunggu kedatangan Arlan beserta mama dan keluarga inti lainnya. Risa tersenyum saat melihat putrinya cantik juga dewasa. Tak salah memilih Arlan untuk dijadikan suami. "Nadia, jangan gugup," kata Risa. "Nggak, Bun ... Nadia cuma nggak nyangka kalau sekarang bisa ada diposisi ini dan udah ada Kenan," seloroh Nadia mencoba tampak tenang. "Arlan itu anak baik. Jadi dia pasti nggak akan bikin kamu kecewa." Arkana menyahut. Nadia mengangguk. Keluarga lainnya yang hadir hanya kakak tertua Arkana, karena kedua orang tuanya sudah tidak ada, jadilah sulung dari keluarga yang mewakilkan. Dua saudara kandung Arkana lainnya berhalangan hadir. Menit berganti jam, Nadia mulai gelisah karena Arlan tidak menjawab teleponnya juga membalas chat.

  • Hamil anak siapa?   Sport day

    Nadia sibuk di butik juga studio, ia sedang mengurus baju pengantin pernikahan sepupu dan klien lainnya. Kenan datang, ia pulang sekolah di jemput sopir."Mama, hari sabtu besok ada lomba olahraga di sekolah," ujar Kenan. "Mama bisa datang, 'kan?" sambungnya."Aduh ... Kenan, Mama ada acara pernikahan klien Mama, gimana, ya?"Nadia menoleh sejenak sebelum lanjut membantu memasang beberapa payet cantik digaun pengantin yang terpasang pada manekin.­"Yah ...," keluh Kenan sedih."Acaranya jam berapa?""Jam tujuh pagi, Ma." Kenan duduk di sofa, menatap mamanya bekerja. Tiga asisten Nadia melirik ke arahnya."Mbak Nadia, minta tolong Pak Arlan aja," bisiknya.Nah, Nadia tidak ingat jika sekarang ada Arlan yang pasti senang dimintai tolong apalagi urusannya untuk Kenan.***Hari sabtu tiba, Arlan sudah sampai di depan rumah Nadia. Kenan juga sudah rapi memakai seragam olahraga sekolah, topi, sepatu dan membawa tas berisi handuk kecil, baju ganti juga botol minum."Udah siap, Nan?" sapa Arl

  • Hamil anak siapa?   Cemburu

    Momen penuh air mata pun selesai, Nadia membantu memakaikan sepatu Kenan, mereka akan berbegas malam mingguan ke mal. Kemana lagi, hiburan instan jika bukan ngemal. Arkana keluar dari kamar mandi, ia baru saja membasuh wajahnya yang sembab karena menangis bahagia.“Ayo,” ajaknya sembari mengusap kepala Kenan yang mengangguk. Nadia menarik tangan Arlan, lalu ia peluk erat. Arlan menenggelamkan wajah di ceruk leher Nadia. “Aku senang,” lirihnya.“Aku juga. Semoga kamu bisa jadi Papa yang baik Kenan dan … jadi … um ….” Nadia malu sendiri. Arlan merenggangkan pelukan, menatap wajah cantik Nadia dengan semburat merah dipipi.“Suami kamu yang begitu besar mencintai kamu,” bisik Arlan tepat didepan wajah Nadia, ia kecup pangkal hidung Nadia begitu lama.“Mama, Ay—“ Kenan geram, ia masuk lalu memukul paha Arlan, lelaki itu mengaduh.“Kenan nggak mau punya adek bayi!” teriaknya kesal.“Hah?!” Arlan dan Nadia kompak terkejut.***Jadi, Kenan ternyata dengar cerita dari teman-temannya di sekolah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status