Perut Risa sudah semakin besar, bahkan kini sudah memasuki HPL atau hari perkiraan lahir. Ia tak tau jenis kelamin anaknya apa, tapi tanda-tanda ia akan melahirkan masih belum tampak. Hari itu, ia kembali mendapat lirikan dan cibiran dari tetangga, bapak yang selama ini diam akhirnya bersuara dan meminta para tetangga untuk sabar hingga Risa melahirkan, kemudian ia akan memboyong keluarganya pindah karena rumah satu-satunya juga laku dijual dengan harga murah, terpaksa hal itu dilakukan mengingat lingkungan yang tak sehat dengan perkataan yang terus menghina Risa.
Ia sedang berjalan ke toserba yang baru diresmikan, milik Ratu. Risa masuk ke dalamnya, toserba dua tingkat itu menyediakan banyak ragam barang kebutuhan, bahkan hingga ke perlengkapan bayi dan anak. Risa menaiki tangga secara perlahan, di tangan kanannya ia memegang dompet. Ia punya ponsel, tapi tak pernah ia gunakan karena berisi teman-teman kuliahnya yang pasti mencari dirinya.
Tiba di lantai dua, ia mendekat ke arah rak baju bayi, karena tak tau jenis kelaminnya, Risa melihat-lihat warna pastel sebagai pilihan netral. Ia mengingat berapa uang yang dibawa, takut kurang. Ibunya sudah membeli beberapa pakaian bayi, namun dirinya ingin membeli sendiri sesuai uang yang ia tabung berbulan-bulan.
“Lucu,” gumamnya saat melihat baju tidur warna kuning. Ia mengintip harga yang tertera di dalamnya. “Yah… mahal,” desisnya sambil kembali meletakan. Pakaian itu harganya delapan puluh ribu, jelas mahal bagi Risa. Langkahnya bergeser ke gantungan lain, ia melihat satu stel pakaian tidur lagi, dari bahan jelas beda dengan yang ia pegang sebelumnya, yang ini lebih kasar.
“Nah, lumayan, nggak papa, deh.” Ia tersenyum lalu mengambil baju itu. Beralih ke sarung tangan bayi, harganya terjangkau, ia membeli tiga pasang, lalu baju sehari-hari yang juga murah. Tetap agak kasar memang bahannya, mau gimana lagi, ia beli sesuai dengan uang yang ia punya.
Ia berdiri mengantri di kasir, perutnya terasa bergerak-gerak, ia menahan ringisan karena tekanannya mendadak begitu kuat.
“Sabar, Nak,” lirihnya sambil mengusap perut. Dari arah lantai satu terdengar hiruk pikuk orang-orang, Risa melongokkan kepala dan melihat banyaknya wartawan. Tiba gilirannya ia membayar.
“Ada apa, Mbak? Ramai banget, ya?”
“Oh, itu, Mbak, Bu Ratu datang, katanya sama tiga Kakaknya juga.”
DEG!
Risa panik, ia tau mereka siapa. “Mbak, bisa lebih cepat?” pintanya. Petugas kasir mengangguk. Setelah dihitung, semua belanjaan Risa habis tiga ratus ribu. Ia segera memberikan uang lalu berjalan secepat yang ia mampu. Mau tak mau ia juga terburu-buru menuruni anak tangga, tak peduli goncangan di perutnya yang semakin menekan hebat.
“Aw!” teriaknya. Ia segera membekap mulut. Berjalan menerobos kerumunan orang, namun ada satu orang yang mendengar jelas teriakan Risa. Bahkan dengan tubuh tingginya, ia bisa melihat Risa yang berjalan cepat dengan perut buncitnya.
“Gue ke mobil, ada yang ketinggalan,” bisik pria itu ke Ratu yang mengangguk. Ratu meladeni wawancara, memang toserba itu ia bikin untuk masyarakat berbagai kalangan, taktiknya, jika ingin melebarkan sayap bisnis, harus mencangkup kelas menengah bahkan kelas bawah. Supaya namanya semakin terkenal.
Risa berjalan semakin cepat, rintik hujan perlahan menjadi deras. Risa kelabakan, ia tak membawa payung dan dengan susah payah sambil menahan nyeri, ia berjalan menerobos hujan. Ia juga memeluk belanjaannya supaya tidak basah.
“Sabar, Nak, sabar…” ucapnya pada anaknya yang terus membuat gerakan aktif.
“Risa!” suara menggelegar bak guntur itu memanggilnya. Risa berhenti melangkah, ia berbalik badan. Tatapannya beradu pada pria yang sudah melakukan perbuatan bejat dan mengancam juga.
“Anda memanggil saya!” teriak Risa pura-pura tak kenal. Pria itu mematung, melihat kantong belanjaan Risa yang hanya berisi sedikit pakaian bayi, juga perutnya yang besar.
“Permisi!” Risa segera kembali berjalan meninggalkan pria itu yang tak bisa berbuat banyak.
“Aw!” Risa kembali berteriak. Ia memegang perutnya. Pria itu mendekat dengan payung di tangannya.
“Risa,” ucapnya. Risa melepaskan tangan itu begitu saja. Ia kembali berjalan di tengah hujan, beberapa orang memperhatikan yang tak dipedulikan keduanya.
Tiba di rumah, ibu panik, ia segera membantu Risa berganti pakaian. Putrinya mengeluh sakit di perut, tangan ibu meraba. “Nak, ayo ke Bidan. Ini kayaknya udah tanda-tandanya, yok, pelan-pelan kita jalan ke sana, ya.” Ibu menyiapkan tas peralatan dan membawa payung. Sebelumnya ia menelpon suaminya, memberi tau Risa akan ke bidan. Ternyata suaminya ada di rumah keluarga Bagas dan baru mau berangkat ke rumah sakit karena menantunya mendadak flek di kehamilan yang baru masuk empat bulan. Akhirnya hanya ibu dan Risa yang berjalan ke bidan di tengah hujan lebat.
“Tahan ya, Risa,” bisik ibu sambil terus menggandeng tangan putrinya. Risa meringis, mengatur napas karena kontraksinya datang dan pergi dengan sangat cepat.
“Risa!” panggil seseorang. Sosoknya mendekat.
“Weini,” lirihnya.
“Ayo! Naik ke mobil. Aku antar,” ajaknya. Ia segera membantu menggandeng tangan Risa, lalu membuka pintu. Secepat kilat Weini mengemudikan mobilnya ke arah tempat bidan praktek.
Setibanya di sana, ibu terus menghubungi bapak yang tidak dijawab-jawab. Risa ditemani Weini di dalam ruang bersalin. Putrinya menahan nyeri sambil mencengkram pinggiran ranjang. Bidan sudah memeriksa, ternyata sudah pembukaan dua.
“Kuat, ya, Risa.” Weini menggenggam jemari tangan temannya yang akan berjuang antara hidup dan mati.
Sementara di rumah sakit mewah itu, pria tersebut tampak panik saat melihat istrinya terbaring. Wanita itu terpaksa harus istirahat total karena kandungannya lemah. Tangannya terus menggenggam jemari tangan suaminya, ia baru saja reda setelah menangis karena takut kehilangan anaknya walau akhirnya bisa diselamatkan.
Pria itu mendadak teringat Risa, jantungnya berdegup kencang, tak karuan rasanya. Ia melepas genggaman tangan istrinya yang sudah pulas tidur, dengan cepat beranjak, berjalan keluar kamar rawat.
“Pak Agus, kok masih di sini?” tanyanya.
“Iya. Saya tunggu perintah Mas, takutnya masih butuh saya.”
“Tapi kenapa Pak Agus panik?”
“Itu, anak saya, mau melahirkan. Sekarang di Bidan dan kata istri saya kondisinya–” Agus menunduk. “Saya takut putri saya kenapa-kenapa,” lanjutnya.
‘Risa. Kamu mau melahirkan?’ ucap pria itu dalam hati.
“Pak Agus pulang aja. Saya di sini, kok.”
“Bener, Mas! Kalau gitu saya segera pulang. Mobil saya taruh di sini nggak papa, ya, besok saya ambil.”
“Pak Agus ke sana naik apa?”
“Ojek online. Permisi, Mas, saya pulang dulu. Saya takut Risa–” Wajah Agus berubah menjadi raut kesedihan. Ia menunduk, tangisnya pecah, tangis seorang ayah yang tak kan tega melihat anaknya kesakitan.
“Maaf, Mas… maaf, saya hanya emosi. Saya, sedih melihat nasib anak saya setragis itu. Impiannya hancur karena laki-laki bejat yang memperkosanya dan mengancamnya. Risa bungkam tidak mau kasih tau siapa orangnya. Saya tidak menyangka anak saya yang begitu punya impian tinggi berakhir seperti ini.” Masih terisak, ia lalu pamit pulang, dengan cepat ia berlari meninggalkan lorong bangsan VVIP, meninggalkan pria yang hanya bisa berdiri mematung dengan tangan terkepal di kedua sisi tubuhnya.
***
“Ibu!” teriak Risa saat ia mulai dilanda rasa mulas di perut yang hebat. Ibu menyemangati Risa yang begitu kesakitan. Bapak datang, ia memeluk Risa yang tampak lemas.
“Pembukaan sudah lengkap, siap mengejan ya, Risa, yuk…,” pandu Bidan.
“Risa… Bapak sama Ibu di sini, ‘Nak, ayo yang kuat, ya,” bisik bapak. Risa menangis karena melihat air mata bapak jatuh membasahi wajah lelahnya.
“Maafin Risa, Pak, maafin Risa…” isaknya.
“Iya sayang, iya… kamu nggak salah, laki-laki itu yang bejat. Kamu korban, Nak,” ucap bapak yang tak kuat melihat anaknya menahan sakit.
“Ayo Risa,” bisik ibu. Risa mengatur napasnya. Bapak berjalan keluar ruangan, pria itu menangis begitu sesenggukan. Weini yang melihat hanya bisa mencoba menenangkan. Tak lama Koh Liem datang bersama istrinya. Mereka kenal keluarga Agus bukan orang yang buruk, setelah Weini telpon, tak pikir panjang segera menuju ke bidan tersebut.
“Mama ke dalam, ya, temani Risa,” ucap istri Koh Liem.
Di dalam, Risa sedang mengejan. Istri Koh Liem memegang tangan wanita yang sedang berjuang melahirkan anaknya.
“Bu… sakit,” tangis Risa dengan napas tersendat.
“Risa… dengerin, Nci… Risa kuat, Risa hebat, ayo semangat, demi anak Risa, ya…,” ucap mamanya Weini.
“Sakit…, Nci…,” tangis Risa membuat ibunya ikut menangis.
“Risa… sedikit lagi pinter, ayo, ini bayinya dorong sendiri, tau Mamanya kesakitan, sekali lagi, tarik napas Risa…,” perintah bidan. Dengan semangat banyak orang, Risa berhasil melahirkan anaknya. Tangisnya pecah saat mendengar suara tangis bayinya juga.
“Perempuan, Risa!” pekik bidan. Hati Risa semakin hancur, bagaimana ia menjelaskan semua kepada anaknya kelak. Di luar, hujan begitu deras turun, mengiringi teriakan Risa yang berjuang melahirkan putri pertamanya dengan luar biasa penuh air mata. Di rumah sakit mewah itu, pria tersebut tertidur di ranjang khusus penunggu pasien, ia bermimpi menggendong bayi perempuan yang cantik, dengan kulit putih dan bulu mata lentik.
Bulir air mata turun dari sudut matanya tanpa ia sadari, dan mendadak ia bangun. Segera terduduk, meraba wajahnya yang basah dengan air mata namun, hatinya terasa hangat mengingat mimpi itu.
Restu “Ma,” panggil Arlan sambil memeluk wanita yang sudah membesarkannya. Keduanya berpelukan semakin erat, melepas rindu setelah Arlan pergi hampir dua bulan lamanya dari rumah itu. Nadia masih menggandeng tangan Kenan yang mengangkat kepala, menatap Arlan dan calon neneknya mengharu biru. Mereka duduk bersama, Arlan dan Nadia juga diperkenalkan dengan calon suami Lisa. “Mama senang, Arlan mau mengerti dan memaafkan Mama.” “Arlan … minta maaf, Ma. Ini semua—“ “Mama paham, Lan,” selanya. “Kita makan siang, yuk. Mama masak sup buntut sapi kesukaan kamu. Nadia, bisa bantu Mama siapkan?” “Iya, Ma, bisa.” Nadia beranjak, walau ada pembantu, tetapi wanita itu ingin Nadia ikut serta menyiapkan, bukan tanpa alasan, ia mau dekat dengan calon menantunya yang sudah ia kenal sejak kecil—semenjak keluarga besar tau jika Nadia anak Arkana. “Ma, apa Mama nggak masalah kalau nanti pernikahana kami dilakukan di rumah orang tua Nadia?” ujarnya sambil menata piring. “Iya, sayang, kenapa harus d
Arlan mondar mandir berjalan di ruang tengah rumah Nadia, bahkan hal itu membuat Kenan terus menatap calon papa sambungnya dengan heran. "Papa, kenapa dari tadi mondar mandir?" tanyanya sambil mewarnai buku gambar. "Nggak apa-apa, Nan. Udah selesai PRnya?" Arlan mendekat, duduk sembari mengusap kepala Kenan penuh kasih sayang. Arlan begitu menyayangi Kenan, benar-benar seperti darah dagingnya sendiri. Nadia berjalan dari arah tangga, ia sudah selesai membersihkan diri. Pekerjaan di butik membuatnya harus pulang jam 8 malam. "Nan, PRnya udah selesai?" Nadia duduk di sebelah Arlan."Sedikit lagi, Ma," jawab Kenan yang masih fokus mewarnai ikan paus. "Setelah selesai tidur, ya," pesan Nadia. "Oke." Kenan mengacungkan ibu jari. Nadia bersandar manja pada bahu kekar Arlan, lalu mengendus bahu tunangannya. "Wangi," bisik Nadia. Arlan menoleh, tersenyum. Ia tadi menjemput Nadia setelah dari kosan, naik ojek online sampai ke butik. Dari butik baru lah ia yang mengemudikan mobil Nadia. "
Arlan belum mendapatkan pekerjaan, semenjak meninggalkan semua yang sebelumnya dimiliki, ia kini tinggal di kosan sederhana sambil terus mengirim lamaran kerja. Ponselnya berbunyi, satu pesan singkat membuatnya mengalihkan pandangan dari laptop hasil dipinjamkan Nadia. Setelah pergi, Arlan bahkan membuka rekening baru untuk mulai menyimpan uangnya. Tetapi kenyataannya ia meminjam uang Nadia untuk mulai hidup barunya. Arlan berdecak, tak mau menggubris pesan singkat itu. Fokusnya kembali menatap laptop, kepintarannya tidak selalu mudah mencari pekerjaan, walau banyak orang menganggapnya begitu. Menjelang siang, Arlan menjemput Kenan, bocah itu tampak senang, bahkan melompat memeluk Arlan yang berjongkok. "Papa nggak kerja?" Pertanyaan polos terucap. Arlan mengusap kepala Kenan lembut. "Libur. Eh, Nan, kita pulang naik buwsay, yuk, seru pasti," ajaknya. "Sama Mama boleh?" Kening Kenan berkerut, seumur-umur, ia bahkan belum pernah naik motor dibonceng siapapun, apalagi busway. "Bo
Acara lamaran dilaksanakan di salah satu restoran favorit Arkana. Nadia yang booking sejak seminggu lalu. Ia dan Kenan tampak rapi dengan busana formal, bahkan Kenan meminta memakai kemeja dengan dasi kupu-kupu. Menggemaskan. Keluarga Nadia sudah hadir, menunggu kedatangan Arlan beserta mama dan keluarga inti lainnya. Risa tersenyum saat melihat putrinya cantik juga dewasa. Tak salah memilih Arlan untuk dijadikan suami. "Nadia, jangan gugup," kata Risa. "Nggak, Bun ... Nadia cuma nggak nyangka kalau sekarang bisa ada diposisi ini dan udah ada Kenan," seloroh Nadia mencoba tampak tenang. "Arlan itu anak baik. Jadi dia pasti nggak akan bikin kamu kecewa." Arkana menyahut. Nadia mengangguk. Keluarga lainnya yang hadir hanya kakak tertua Arkana, karena kedua orang tuanya sudah tidak ada, jadilah sulung dari keluarga yang mewakilkan. Dua saudara kandung Arkana lainnya berhalangan hadir. Menit berganti jam, Nadia mulai gelisah karena Arlan tidak menjawab teleponnya juga membalas chat.
Nadia sibuk di butik juga studio, ia sedang mengurus baju pengantin pernikahan sepupu dan klien lainnya. Kenan datang, ia pulang sekolah di jemput sopir."Mama, hari sabtu besok ada lomba olahraga di sekolah," ujar Kenan. "Mama bisa datang, 'kan?" sambungnya."Aduh ... Kenan, Mama ada acara pernikahan klien Mama, gimana, ya?"Nadia menoleh sejenak sebelum lanjut membantu memasang beberapa payet cantik digaun pengantin yang terpasang pada manekin."Yah ...," keluh Kenan sedih."Acaranya jam berapa?""Jam tujuh pagi, Ma." Kenan duduk di sofa, menatap mamanya bekerja. Tiga asisten Nadia melirik ke arahnya."Mbak Nadia, minta tolong Pak Arlan aja," bisiknya.Nah, Nadia tidak ingat jika sekarang ada Arlan yang pasti senang dimintai tolong apalagi urusannya untuk Kenan.***Hari sabtu tiba, Arlan sudah sampai di depan rumah Nadia. Kenan juga sudah rapi memakai seragam olahraga sekolah, topi, sepatu dan membawa tas berisi handuk kecil, baju ganti juga botol minum."Udah siap, Nan?" sapa Arl
Momen penuh air mata pun selesai, Nadia membantu memakaikan sepatu Kenan, mereka akan berbegas malam mingguan ke mal. Kemana lagi, hiburan instan jika bukan ngemal. Arkana keluar dari kamar mandi, ia baru saja membasuh wajahnya yang sembab karena menangis bahagia.“Ayo,” ajaknya sembari mengusap kepala Kenan yang mengangguk. Nadia menarik tangan Arlan, lalu ia peluk erat. Arlan menenggelamkan wajah di ceruk leher Nadia. “Aku senang,” lirihnya.“Aku juga. Semoga kamu bisa jadi Papa yang baik Kenan dan … jadi … um ….” Nadia malu sendiri. Arlan merenggangkan pelukan, menatap wajah cantik Nadia dengan semburat merah dipipi.“Suami kamu yang begitu besar mencintai kamu,” bisik Arlan tepat didepan wajah Nadia, ia kecup pangkal hidung Nadia begitu lama.“Mama, Ay—“ Kenan geram, ia masuk lalu memukul paha Arlan, lelaki itu mengaduh.“Kenan nggak mau punya adek bayi!” teriaknya kesal.“Hah?!” Arlan dan Nadia kompak terkejut.***Jadi, Kenan ternyata dengar cerita dari teman-temannya di sekolah