"Kamu impoten."Begitu Ewan mengucapkan kata itu, mata pria paruh baya itu langsung tampak terkejut. Namun, reaksi selanjutnya adalah kemarahan yang meledak-ledak. "Ngaco kamu!""Apa aku ngaco atau nggak, kamu sendiri pasti tahu jawabannya," balas Ewan dengan nada agak kesal.Dalam hati dia mengeluh, 'Aku sudah bilang tadi, demi menjaga privasi pasien lebih baik nggak dibahas. Tapi kamu malah maksa aku untuk mengatakannya. Sekarang sudah aku bilang, kamu malah marah. Maunya apa, sih?'"Bagas! Ini tabib sakti yang kamu maksud? Omong kosong semua!" bentak pria itu sambil menatap tajam ke arah Bagas."Pak Erico, tunggu dulu, dengarkan penjelasan Ewan dulu ....""Apa jujur sesulit itu untukmu?" sela Ewan tiba-tiba, matanya menatap langsung ke pria itu."Aku sudah mengingatkan sebelumnya, dokter punya kewajiban menjaga privasi pasien. Tapi kamu mengotot minta aku ungkapkan, bahkan bilang nggak ada orang luar di sini, jadi nggak masalah. Sekarang sudah kukatakan, kenapa kamu malah marah?""A
Bruk!Yusuf tiba-tiba jatuh ke lantai. Dia benar-benar sudah sepenuhnya mabuk.Ewan bahkan tak melirik Yusuf sedikit pun. Dia hanya menyapa Halim sekilas, lalu langsung menuju ruang VIP untuk bersulang dengan Bagas.Begitu tiba di depan ruangan, Ewan mengetuk pintu. Setelah dibuka, terlihat ruangan sudah penuh dengan orang. Ridho duduk di kursi utama, wajahnya memerah karena jelas sudah cukup banyak minum."Ewan, akhirnya kamu datang juga," kata Bagas sambil bangkit dari tempat duduknya. Dia menarik Ewan mendekat ke meja makan, lalu memperkenalkannya ke semua orang."Ini dia tabib sakti yang tadi aku sebut, Ewan. Kalau bukan karena dia, ayahku pasti sudah nggak ada sekarang."Seorang pria paruh baya berbaju jas rapi memandang Ewan dengan tatapan menyelidik. Dia berkata dengan nada meragukan, "Bagas, tabib sehebat itu kok masih muda sekali? Kamu yakin dia sehebat yang kamu bilang?""Erico, kamu boleh saja nggak percaya sama aku, tapi kemampuan Ewan ini sudah dibuktikan sendiri oleh Pak
Plak!Suara tamparan yang nyaring terdengar di ruangan. Sebuah bekas telapak yang merah terang langsung muncul di wajah Mona. Dia menutupi pipinya sambil menatap Yusuf dengan tatapan tak percaya."Kamu ... kamu tampar aku?""Kukasih tahu ya, Ewan itu saudaraku. Mulutmu dijaga kalau bicara soal dia," ujar Yusuf dengan suara dingin.Mona benar-benar bingung.Bukankah Yusuf tadi juga memandang rendah Ewan? Kenapa sekarang malah menganggap Ewan sebagai saudaranya?"Yusuf, kamu ini kenapa sih? Orang seperti pecundang itu, bisa-bisanya kamu bilang dia saudara kamu? Bukannya kamu dulu ....""Cukup!" potong Yusuf dengan nada kasar. Lalu, dia berkata tajam, "Aku peringatkan kamu, Mona. Sekali lagi kamu berani menghina Ewan, jangan salahkan aku kalau aku benaran marah.""Ewan itu bukan cuma saudaraku, dia juga teman seangkatan kita. Beginikah sikapmu terhadap teman sendiri?""Kamu tadi bersikap nggak hormat padanya, aku diamkan karena kupikir kamu masih bisa sadar dan memperbaiki sikap. Tapi ter
Adapun Mona, wajahnya langsung memucat lalu menjadi kelam. Dua menit lalu, dia masih mencibir Ewan suka berpura-pura keren, tak disangka kini malah wajahnya sendiri yang seperti ditampar kenyataan.Kelihatannya, Ewan bukan hanya mengenal Bagas, tetapi hubungan mereka juga tampaknya sangat dekat!Mona kembali menyadari satu hal. Sejak dia dan Ewan berpisah, pria itu bukan hanya berhasil diangkat sebagai karyawan tetap dan naik jabatan, bahkan kini juga menjadi pahlawan dan dianugerahi gelar Dokter Teladan. Ternyata, dia juga punya kenalan penting sekelas kepala kepolisian kota.Sebenarnya apa yang terjadi pada Ewan? Kenapa setelah aku meninggalkannya, keberuntungan malah terus berpihak padanya? Jangan-jangan ... akulah pembawa sialnya?Mona merasa sangat frustrasi.Sementara itu, Ewan bersikap sopan dan berkata, "Pak Bagas, kamu adalah atasan sekaligus orang yang lebih tua dariku, mana mungkin aku membiarkan kamu bersulang untukku? Biarlah aku yang memberi hormat kepadamu."Namun, Bagas
Yusuf tampak benar-benar terkejut. Kenapa Bagas bisa ada di sini? Ini ... terlalu kebetulan, 'kan?Harus diketahui, sebelumnya Yusuf sudah membuat janji selama setengah bulan sebelum diizinkan bertemu Bagas sekali. Itu pun cuma dua menit di kantor. Belum sempat bicara banyak, dia sudah diusir oleh sekretaris Bagas.Tak disangka, hari ini malah bisa bertemu langsung di tempat ini. Benar-benar kejutan yang luar biasa.Dalam hati, Yusuf berpikir kalau dia bisa memanfaatkan momen ini untuk mendekatkan diri dengan Bagas, ke depannya dia akan punya pelindung kuat. Bukan hanya tak ada yang berani mengusiknya, bahkan soal naik jabatan dan memperkaya diri pun akan menjadi urusan gampang.Memikirkan itu, Yusuf buru-buru merapikan bajunya, bersiap untuk maju, memberi penghormatan dengan segelas minuman.Namun, detik berikutnya, senyuman di wajahnya langsung membeku. Karena yang dia lihat adalah Bagas, dengan segelas minuman di tangan, melangkah santai ke arah Ewan, lalu tertawa lepas. "Ewan, kebe
Jadi, demi menghindari masalah yang tidak perlu, tidak ada gunanya memaksakan ego sesaat."Terserah kamu mau percaya atau nggak." Ewan tetap tenang, lalu mengangkat gelas dan meminum air.Melihat sikapnya itu, Mona justru semakin merasa bangga."Nggak berani kasih lihat karena saldomu kosong, 'kan? Semua yang ada di sini tahu kamu seperti apa. Aku cuma mau ingatkan. Kalau nggak punya duit, jangan sok pamer. Hati-hati disambar petir!""Jangan kira karena kamu baru dipromosikan, kamu sudah pantas sombong di depan kita. Pecundang tetap pecundang. Meskipun sekarang kamu jadi kepala departemen, tetap saja kamu itu cuma pecundang!"Ewan tetap seperti tak mendengar, hanya terus meminum airnya.Mona belum puas, terus memaki, "Minum terus air itu. Semoga kamu keselek dan mati di tempat!"Plak! Halim tiba-tiba mengentakkan tangannya ke meja, membentak, "Mona, jaga mulutmu! Kalau kamu terus hina Ewan, jangan salahin aku kalau aku bertindak kasar!""Mau ngapain? Mau mukul aku? Kalau berani, coba s