Aksa telah mengambil satu kursi untuk didudukinya, ia menatap lapar hidangan yang tersaji di atas meja, sungguh dari aroma hingga bentuknya sangat menggoda dirinya. Namun ia tak mau berharap lebih pada masakan Shikha, yang Aksa tau selama ini bahwa Shikha tak pernah memasak untuk dirinya. Ini sepenuhnya kesalahan Aksa, dirinya tidak ingin Shikha berada di dapur apalagi memasak. Alasannya karena takut wanita tak waras itu menghancurkan rumahnya, bagaimana jika sewaktu memasak ia ketiduran dan lupa mematikan kompor? Oh tidak-tidak, Aksa tidak ingin membayangkan itu terjadi.
"Sajikan untukku."Shikha menuruti keinginan Aksa, ia mulai menyajikan makanan untuk pertama kalinya selama ia menikah dengan Aksa.
Aksa menyipitkan matanya, meneliti piring yang berada dihadapannya. Lalu beralih menatap Shikha penuh curiga.
"Kau tak memberikan racun pada makanan ini, bukan?"pertanyaan Aksa sontak membuat mata wanita itu membola, ia terbartuk untuk menghilangkan rasa gugupnya. Bagaimana bisa pria gila ini berpikiran demikian, jika niat awal Shikha membunuh Aksa, ia tak perlu bertahan lebih lama berada dalam kurungan iblis seperti Aksa dan menerima seluruh rasa sakit yang Aksa berikan kepadanya. Namun, Shikha adalah tipe wanita yang tak ingin menyakiti siapapun kecuali seseorang tersebut telah melakukan kesalahan fatal pada dirinya.
Meskipun sedari kecil Shikha hidup di panti asuhan, namun sifat yang telah melekat pada dirinya sangat menyerupai ibunya. Baik hati, sopan, serta dingin tentunya. Bagaimana Shikha bisa mengetahui sifat ibunya sedangkan ibunya telah tiada saat dia masih bayi? Ya tentu saja dari cerita ayahnya serta ibu panti yang kebetulan bersahabat dengan almarhumah ibunya.
"Aku tak sejahat itu padamu, aku tak menyampur apapun dalam makananmu kecuali rempah serta penyedap lainnya."jawab Shikha tegas, tanpa keraguan sedikit pun.
Tepukan pada bahu Shikha membuat wanita itu terlonjak, ia membalik badan dan menemukan Aruna yang tengah berdiri dengan memasang wajah sumringahnya.
"Kau sangat rajin, Sayang. Aku tak menyangka jika kau begitu pandai memasak."Kata Aruna seraya duduk disamping Aksa, saat Shikha bergerak ingin melayani Mami mertuanya justru Aruna menolaknya mentah-mentah dan lebih memilih mengambil sarapannya sendiri.
CEO tampan itu mulai menyuapkan sendok kedalam mulutnya, wajahnya begitu datar tanpa ekspersi. Ya memang setiap saat wajahnya akan terus seperti itu, seperti tidak punya tanda-tanda kehidupan dalam dirinya.
Kedua wanita cantik itu menunggu respon Aksa dengan seksama. Dahi Aksa mengkerut, ia melirik Shikha sekilas kemudian kembali menatap piringnya.
"No problem, masih layak dikonsumsi."kata Aksa, entah mengapa perut Shikha seperti ada kupu-kupu yang berterbangan ketika Aksa mengatakan itu. Bibir Shikha berkedut, ia ingin sekali berteriak, namun urung karena ia kembali teringat akan tujuan awalnya.
Shikha berdiri mengikuti Aksa yang lebih dulu berdiri. Saat suaminya ingin pergi, Shikha mencekal tangannya.
"Kau mau apa?"tanya Aksa dengan nada ketus. Untung saja Mami nya telah masuk kamar, jadi ia tak akan mendengar percakapan mereka berdua.
"Aku hanya ingin merapikan dasimu."tangan mungil Shikha terulur ingin menyentuh kerah kemeja kantor milik Aksa, namun tangannya ditepis oleh suaminya.
"Jangan menyentuhku, kau pikir dengan masakanmu tadi yang menurut ku lumayan itu dapat membuatku memperlakukanmu secara halus? Tidak Shikha, jangan bermimpi."tawa Aksa remeh. Gigi Shikha perlahan bergemelatuk, ia menarik kerah kemeja Aksa secara kasar.
"Aku tak berpikir begitu, kau saja yang selalu menilaiku dengan cara seperti itu."jawabnya seraya melilitkan dasi pada kerah kemeja Aksa, setelah dirasa rapi. Shikha melangkah pergi tanpa menunggu respon lainnya dari Aksa.
Aksa berdecak kesal, wanita ini sungguh memancing emosinya pagi ini. Dilirik bekal yang berada ditangannya, senyumnya terbit begitu tipis, bahkan semut pun tak dapat melihat senyum pria 21 tahun itu. Kali pertama bagi Aksa setelah bertahun-tahun lamanya tak pernah membawa bekal, masakan yang dibuat oleh Shikha menjadi favoritenya sekarang.
Cukup gengsi bagi Aksa untuk memuji masakan yang dibuat oleh Shikha ini sangat enak. Ia telah salah menilai sisi berguna dari wanita itu, selama ia hidup. Maminya tak pernah memasak untuknya, ya tentu saja ini karena Maminya adalah wanita karir.
Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, kini CEO arrogant itu telah sampai disebuah gedung tinggi. Semua mata tertuju padanya, semua membungkuk memberi hormat pada atasan mereka yang baru saja sampai.
Aksa melangkah begitu berwibawa menuju ruangan tempat ia mengatur segalanya. Ia menanggalkan kemejanya dan menyampirkannya disofa. Ia duduk dengan memangku dagu, memikirkan rencana apa yang harus ia lakukan agar kepulangan ayah mertuanya dibatalkan. Tentu saja Aksa tetaplah Aksa, meskipun anaknya telah melayaninya begitu bagus, namun ia tetap saja akan menjalankan rencananya.
Ketukan pintu berhasil membuat lamunan Aksa buyar. "Masuk."perintah Aksa dingin, sosok wanita berpakaian begitu ketat dan minim baru saja muncul dari balik pintu. Ia tersenyum centil pada Aksa, sedang Aksa sama sekali tak melirik wanita itu dan terus fokus pada layar laptopnya.
"Pagi Tuan muda Aksareyd."sapanya.
"Sudah Saya bilang berkali-kali, bahwa Saya tidak suka bertele-tele."lirik Aksa tajam, senyum pada bibir wanita itu memudar ia menunduk takut. Sungguh Aksa begitu mengerikan sekarang.
"Saya hanya ingin mengantar berkas Tuan Johan untuk ditandatangani segera, Tuan muda."Aksa tak merespon ucapan Clara, ia masih fokus pada layar laptopnya. Setelah beberapa saat diacuhkan, kini Aksa kembali melirik sekertarisnya itu.
"Mengapa tak meletakkannya? Anda ingin mengulur waktu berhargaku?"decak Aksa, Clara memberikan berkas itu dan dengan cepat ditandatangani oleh Aksa.
"Mengapa anda masih berdiri disini?"singgung Aksa ketika melihat Clara masih berdiri dihadapannya.
"Saya ingin memberitahu bahwa nanti siang Tuan Diego mengajak Tuan muda Aksareyd untuk makan siang nanti."ucap Clara gugup. Dilirik sekilas bekal yang tak jauh berada disamping laptopnya.
"Beritahu kepada Tuan Diego, bahwa Saya tidak bisa makan siang bersamanya nanti."tegas Aksa, tak ingin nada tinggi keluar dari bibir Aksa, Clara mengangguk kemudian pamit pergi.
"Apa yang harus aku lakukan."pikir Aksa seraya bertopang dagu pada kedua tangannya. Sebuah ide gila muncul dalam pikirannya, ia meraih ponsel yang berada di saku jasnya. Membuka kontak, kemudian mencari nama seseorang dalam kolom pencarian.
"Sobatku, apakabar sekarang? Kudengar kau telah menikahi seorang wanita yang begitu cantik, dan sejak itu kau telah jarang datang kesini."Cecar sosok yang berada diseberang telpon.
"Aku ingin kau jalankan rencanaku ini."kata Aksa tanpa menjawab perkataan temannya itu.
"Eh, santai Tuan muda Aksareyd. Mengapa kau begitu terburu-buru? Seperti tengah dikejar hantu saja. Katakan, apa yang harus aku lakukan untukmu?"tanya Danielle serius.
Aksa yang tak sadar akan kehadiran sosok wanita yang baru saja masuk ruangannya karena terlalu serius menyusun rencana bersama Danielle melalui ponselnya, ia mengangkat sedikit wajahnya dan tepat bertemu dengan wajah istrinya itu. Ia memutuskan sambungan telponnya sepihak, kemudian menyimpannya kembali kedalam saku jasnya.
"Sudah berapa lama kau berdiri disini?"Tanya Aksa dingin, berusaha menutupi rasa khawatir nya jika Shikha telah mengetahui seluruh rencananya itu.
"Baru saja, aku berulang kali mengetuk pintu ruanganmu, namun kau sepertinya tengah sibuk berbicara dengan seseorang melalui ponselmu."kata Shikha penuh keyakinan.
Aksa berdecak."Katakan, apa yang kau lakukan sehingga kau datang kemari menemuiku?"Tanya Aksa tanpa basa-basi.
Shikha menghela nafas, suaminya ini sungguh tidak sabaran, pikirnya.
"Aku datang bukan untuk menemuimu, aku datang hanya untuk menemui sekertaris Johnson. Aku mencarinya sedari tadi, namun batang hidungnya saja tak kutemukan sampai sekarang. Apakah kau tau dimana keberadaan sekertarisnya itu?"tanya Shikha, Aksa mengerang kesal menatap tajam Shikha.
"Oh ayolah Nona muda Shikha, mengapa kau menanyakan seseorang yang tak penting bagiku?"
Shikha mengangguk."Tak penting, karena kau tak pernah menganggap sesuatu yang kecil itu penting."jawab Shikha.
Aksa yang hampir tersulut emosi, memutuskan untuk mengusir Shikha dari ruanganya.
"Pergilah dan carilah saja wanita tak berguna seperti dirinya."perintah Aksa tanpa ingin dibantah, Shikha menghela nafas kemudian melangkah pergi dari ruangan Aksa.
"Mengapa dirinya selalu membuatku susah?"pikir Aksa kesal.
"Aku telah mengetahui segalanya, Tuan muda Aksareyd."ucap sosok wanita yang berada diluar ruangan Aksa, seraya berseringai licik.
"Darimana saja kau ini? Aku telah lelah mencarimu sedari tadi, apakah kau sengaja membuatku susah, huh?"Shikha mencecar wanita itu dengan banyak pertanyaan, wanita itu gelagapan, ia bingung harus menjawab pertanyaan yang mana dulu. Clay menggiring Shikha untuk duduk dipantry, menyuruhnya untuk mengatur nafas sebelum kembali mencecarnya lagi."Katakan padaku, darimana saja kau ini?"tanya Shikha kembali setelah dirinya lebih tenang."Aku hanya pergi ke dapur sebentar untuk membuat secangkir kopi arabica, agar aku tidak lagi mengantuk dan agar suamimu tercinta itu tidak mengamuk padaku karena kinerjaku mulai menurun sekarang."jawab Clay, ia mulai menyeruput kopi yang masih panas itu dengan perlahan. Clay adalah sahabat Shikha sedari kecil, mereka sama-sama hidup di panti asuhan, Clay belum mengetahui jika pria yang dinikahi sahabatnya sendiri telah berlaku kasar selama ini."Aku ingin meminta bantuanmu."kata Shikha penuh keyakinan."Katakan, apa yang h
"Ada sesuatu yang ingin ku katakan padamu,"Shikha mengernyit dahi, menunggu kalimat selanjutnya. "Aku ingin kau berpura-pura menjadi adik perempuanku, di depan para klien asal Turkey besok,"sontak perkataan itu menuai kecaman dari Shikha, apa maksud pria bodoh ini? Ia kan istrinya, mengapa harus berpura-pura menjadi adik perempuannya? "Apa maksudmu? Kau menyuruhku untuk berpura-pura? Bahkan, menjadi adik perempuanmu!? Apa kau sudah tidak waras?"Tanya Shikha dengan nada yang sedikit meninggi. Aksa menampilkan wajah dinginnya, ia bergerak semakin mendekati Shikha. "Aku masih waras, tidak sepertimu bahkan seperti ayahmu itu. Ck ck! Kasihan sekali,"katanya dengan wajah pura-pura prihatin. Jika dirinya dihina oleh Aksa itu tidaklah mengapa, namun jika Aksa berani menghina ayahnya. Sungguh, jangan salahkan Shikha jika ia lepas kendali dan bisa saja melukai Aksa. "Kau!! Aku hanya diam selama ini, ketika kau terus menghinaku, namun kali ini aku
Ia masih terus berusaha melepaskan diri dengan sisa tenaganya dari tubuh Aksa yang mengunci tubuhnya. Namun, semakin Shikha mencoba akan sia-sia pula usahanya. "Semakin kau mencobanya, maka semakin sia-sia pula usahamu."kata Aksa, ia kembali mengusap wajah Shikha dengan sensual, membuat Shikha bergerak gelisah karena mendapat sentuhan jemari Aksa. "Jangan sentuh aku, Tuan Aksa!"pekik Shikha terus memberontak dalam kungkungan Aksa, sapuan jemari Aksa pada leher jenjangnya semakin menjadi-jadi. Teriakan wanita itu sama sekali tak didengar Aksa, menurutnya itu hanyalah sebuah perintah untuk terus menyentuh seluruh tubuh Shikha. "Mengapa aku tak boleh menyentuhmu seperti ini? Aku ini suami sah-Mu secara agama maupun negara,"kata Aksa, kenyataan itu benar adanya, meskipun Shikha berusaha keras membantahnya. "Bagian ini,"Aksa menyentuh kening Shikha. "Adalah milikku seorang,"katanya senang. "Bagian ini pula,"jemari telunjuk Aksa bergerak men
Carlos, pria berusia 23 tahun itu merupakan anak yatim piatu yang tinggal satu panti asuhan dengan Shikha, istrinya. Kedekatan mereka bermula, ketika Carlos yang tengah duduk sendiri di bangku taman dalam kondisi menangis, Shikha yang waktu itu telah selesai membuat cake coklat bersama ibu panti pun ikut duduk di samping Carlos. Shikha memberikan cake itu pada Carlos, anak perempuan yang sangat cantik, mata bulat hazel, hidungnya yang begitu mancung, serta pipinya yang bulat seperti kue bakpao itu terasa begitu menggemaskan dimata Carlos. Ia mulai menaruh hati pada Shikha, hingga usia mereka telah beranjak remaja, rasa yang muncul dari lubuk hati Carlos semakin membuncah, getaran serta sengatan yang berbeda saat Carlos berada di samping Shikha, semakin menggebu-gebu.Puncaknya, ketika usia Shikha genap 20 tahun. Carlos pikir itu usia yang tepat untuk melamar Shikha, waktu itu ia mengirim pesan pada Shikha untuk menemui dirinya di taman, taman yang dahulu menjadi tempat Shikha
Wanita itu duduk berpangku pada kedua kakinya yang ia tekuk, ingatan akan kejadian itu semakin menerbang tinggikan dirinya. Shikha menyentuh bibirnya, bibir yang sudah dilumat oleh Aksa, ia menepuknya secara perlahan, namun berulangkali. "Pria dingin itu telah merenggut sesuatu dariku, lihat saja. Jika ayah telah tiba, aku akan mengadukan hal gila Aksa kepada ayah,"gumam Shikha dengan tatapan lurus, namun Shikha menggeleng kuat beberapa saat, seakan teringat sesuatu. "Tidak! Jika ayah tahu, aku akan ditertawai olehnya. Bagaimanapun juga Aksa adalah suami sahku, jadi hal semacam itu sungguh wajar dilakukan bagi pasangan suami-istri seperti kami."kata Shikha seraya menghela nafas, yang telah terjadi hari ini, biaarlah berlalu. Shikha merogoh saku celananya, mencari alat penghubung komunikasi miliknya. Namun, hasilnya nihil, ia tak menemukannya. Ia berdiri, kemudian berusaha mengingat dimana ia meletakkan ponselnya itu. Shikha mengusap kasar wajahnya
Shikha masih membeku dengan mulut yang sedikit ternganga, antara percaya atau tidak yang jelas pria ini benar-benar suaminya, Aksa."Jika kau masih ingin membuka mulutmu seperti itu, aku pastikan akan ada binatang seperti serigala atau burung hantu yang akan tersedot olehmu,"segera saja Shikha tersadar oleh lelucon Aksa dan kembali memalingkan wajahnya."Mengapa mulutmu begitu lentur, jika sudah berurusan dengan yang namanya meledek seseorang?"Aksa mengedikkan bahu acuh, ia membuka pintu mobil milik Shikha kemudian menyeretnya keluar."Siapa yang memperbolehkanmu mengemudikan mobil dimalam hari? Lantas, ada urusan apa sehingga membuatmu melanggar aturan dariku."tanya Aksa runtut, ia menanti respon dari istrinya ini.Wanita itu menggigit bibirnya berdalih untuk menghilangkan rasa gugup, jemari mungil berhias cincin berlian itu meremat jaket berbulu domba dengan gusar, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia sungguh bingung harus mengatakan apa pada
Axell berjalan dengan meraba-raba untuk mencari saklar lampu, ia terhenti ketika tangannya seperti menyentuh sesuatu yang asing. Dengan segera ia mencari ponsel yang berada disaku celananya dan menyalakan flashlight mengarahkan tepat pada tangan kirinya. Alangkah terkejutnya dirinya, ketika apa yang ia sentuh adalah sehelai kain bernoda merah tergantung di atas langit-langit ruangan ini. Semua mata tertuju pada Axell dan kain merah itu, mereka semua masih bergelut dengan pikiran mereka tentang kain apa yang tergantung di atas mereka. Jujur, kain itu begitu tidak wajar, seperti sehelai kain putih yang berubah menjadi kain merah karena bercak darah. Axell mengarahkan flashlight nya lagi untuk menelusuri setiap inci ruangan itu, tangannya terhenti pada satu titik yang fokus pada satu sudut, yaitu ranjang. Terlihat jelas ada sebuah gundukan yang tertutup selimut tebal, mereka semua berusaha mendekat dengan langkah perlahan untuk berjaga-jaga, jika pria ta
Aksa bungkam seribu bahasa, lidahnya begitu getir ingin mengatakan hal yang sebenarnya terjadi pada Shikha. "Aku sudah mendapatkan sebuah kabar dari anak buahku, bahwa–"tiba-tiba saja Aksa menghentikan ucapannya begitu saja, Shikha semakin mendekat. Ia meneliti mimik wajah Aksa yang berubah. "Katakan,"ucap Shikha penuh harap. Aksa sungguh tak tega, memberikan berita ini kepada Shikha. Namun, ia juga tak ingin jika istrinya itu mendapat kabar dari orang lain. Dalam satu tarikan, dengan keyakinan dan segala resiko. Aksa melanjutkan kalimatnya yang tadinya sempat terjeda. "Clay, sahabatmu. Telah tiada,"jantung Shikha berdegup lebih cepat, aliran darahnya berdesir hebat. Kakinya tak mampu lagi berpijar, hingga membuat tubuhnya mencelos ke lantai. "Katakan, jika ini bagian dari leluconmu, Aksa."lirih Shikha, sedetik kemudian bulir putih bening jatuh kepipinya. Aksa bungkam, lidahnya keluh. Ia sungguh membenci wanita itu, tapi ia lebih