Perhiasaan langit berbentuk bulir putih bening jatuh kebumi begitu derasnya. Seperti hari biasa dimana hujan turun, burung-burung berkicau tak menampakkan diri atau hanya sekedar bersiul di pagi menyambut datangnya hari.
Aksa yang tertidur di sofa terbangun, ketika mendengar suara langit bergemuruh disertai kilat yang menyambar pohon di sebrang jalan. Untung saja ketika kejadian itu terjadi, tak ada seorang pun yang keluar dari rumah.
Ia menggeliat guna meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku karena tertidur disofa semalaman, ini semua karena ulah bodohnya sendiri. Ia yang telah memerintahkan Shikha untuk melucuti pakaiannya agar ketika Maminya datang, pikirnya telah memergoki mereka sedang melakukan aktifitas layaknya pasangan suami istri pada umumnya, memang ide Aksa berhasil. Namun di sisi lain ia juga merasa sial, harusnya ia ingat jika ia memiliki istri yang sangat mudah tertidur dimanapun ia berada dan dalam situasi apapun yang sedang terjadi.
Aksa mengerjap untuk beberapa saat kemudian bangkit dari tidurnya dan duduk bersila, dilirik jam itu tepat pukul 6:00 am, ia menyapu kembali pandanganya dan berhenti pada satu titik dimana masih terbaring tubuh sosok wanita yang telah resmi menjadi istrinya, masih tertidur dengan tergulung selimut tebal.
"Lihatlah, apakah ini yang dinamakan istri penurut? Bahkan dirinya jauh dari kata istri ideal, bagaimana bisa suaminya lebih dulu bangun daripada istrinya. Harusnya jam segini ia telah menyiapkan segala keperluan untukku, ini justru berbanding terbalik, aku yang lebih dulu terbangun dan ia masih merajut mimpi terbaring berselimut tebal. Sungguh hidupnya sangat mapan sekarang."gerutu Aksa kesal seraya mengacak rambutnya frustasi.
Ia berjalan gontai mendekati ranjangnya, dengan nyawa yang masih mengambang, Aksa menyingkap selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh istrinya. Alangkah terkejutnya Aksa ketika mendapati tubuh polos Shikha yang hanya menggunakan bra hitam dengan renda serta CD yang berwarna senada pula, dengan respon cepat ia menutup kembali tubuh semampai istrinya, meskipun ia terlanjur melihatnya.
Tak dapat dipungkiri, tubuh istrinya begitu indah bak model papan atas. Wajah tidurnya begitu menggemaskan, ingin rasanya Aksa menelan bulat-bulat tubuh Shikha. CEO arrogant itu menggeleng, menepis kasar pikiran yang tak wajar terus tergenang dalam otaknya.
"Tidak, tidak mungkin aku jatuh hati pada wanita gila ini."gerutunya seraya merotasikan kedua bola matanya, untuk menghilangkan pikiran buruknya ia bergegas pergi kekamar mandi dan memulai ritual mandi paginya.
Shikha memicingkan matanya sebelah, ia melirik sekitar, berusaha mengamati situasi yang cocok untuk dirinya bisa pergi dari kamar Aksa segera. Tak tau saja jika Shikha telah bangun lebih dulu dari Aksa, ia memang sengaja menutup matanya seperti sedang tidur. Namun indra pendengarannya terus menangkap kata-kata yang keluar dari bibir jelek suaminya itu, yang terus-terus saja mengoceh. Ia kira pria beku seperti Aksa tak mungkin menggerutu, namun lagi dan lagi presepsinya patah, dipatahkan oleh kenyataan.
Dirasa kondisi aman, Shikha bergegas turun langsung saja ia memunguti pakaiannya yang tergeletak diseluruh penjuru ruangan ini dan memakainya kembali.
Knop pintu kamar mandi terbuka, wangi sabun menyeruak ketika tubuh jangkung yang sedang shirtless itu muncul dari dalam pintu untuk melangkah keluar. Shikha meneguk salivanya dengan kasar, matanya tak berkedip sama sekali. Tuhan! Shikha sedang melihat ciptaanmu yang begitu indahnya engkau ciptakan.
Merasa sedang ada yang tengah memperhatikannya, Aksa membalikan tubuhnya kebelakang dan menatap tajam Shikha yang tengah memperhatikannya dengan seksama. Bahkan Shikha belum sadar jika Aksa juga balik memperhatikan wajahnya yang kini telah memerah menahan malu.
"Kau lihat apa?"Tanya Aksa garang seraya menyetil kening Shikha dengan keras. Wanita itu mengadu kesakitan saat mendapat serangan tiba-tiba dari suaminya itu.
"Tidak, aku hanya ingin keluar dari kamarmu."jawab Shikha gugup, tanpa menunggu respon Aksa. Shikha telah berjalan satu langkah, dan langkahnya terhenti ketika tangan kekar Aksa mencekalnya.
"Aku ingin memberitahu tentang sesuatu padamu."ucap Aksa dingin, Shikha masih terdiam di tempat, menunggu kalimat selanjutnya.
"Lusa ayahmu akan pulang bersama Papi, Mami berpesan padaku agar menjaga hubungan kita tetap harmonis."katanya dengan nada yang tak enak di dengar, tentu saja. Aksa saja sangat membenci Shikha, bagaimana bisa pria itu memperlakukan Shikha secara lemah lembut. Bahkan rasanya Shikha sudah mati rasa jika diperlakukan lembut oleh seseorang, dirinya kini telah terbiasa mendapati tubuhnya dipenuhi luka yang disebabkan karena ulah suaminya itu.
Pria seperti Aksa pasti telah mempunyai rencana untuk menggagalkan kedatangan ayahnya. Cepat atau lambat, Shikha akan mengetahui rencana apa yang telah dibuat oleh suaminya. Bagaimana pun caranya, ia harus bertemu dengan ayahnya segara dan memberitahukan segalanya kepada Harsa.
Tak bisa dipungkiri, dirinya begitu lelah dengan semua perlakuan kasar suaminya. Ia hanya ingin Harsa tau, bahwa dirinya tidaklah baik-baik saja selama menikah dengan Aksa, permintaan Harsa kali ini telah benar-benar salah. Harsa sendiri telah mengantar putri tunggalnya menikah dengan pria iblis seperti Aksa, niat hati ingin membuat Shikha bahagia bersama sang suami kelak, kini justru Shikha harus menelan pil pahit kerasnya hidup bersama pria temperamental seperti Aksa.
Namun nasi telah menjadi bubur, ia telah mengalami semuanya sekarang. Waktu tak mungkin berjalan mundur, pilihan Shikha antara terus bersama dengan Aksa dan menerima semua perlakuan kasarnya atau berjuang untuk lepas dari kungkungan Aksa. Ntahlah, yang jelas Shikha akan terus berusaha melakukan hal yang menurut pria itu benar saja tujuannya ketika lusa datang, ayahnya tak semakin sedih karena melihat putri tunggalnya dipenuhi luka disekujur tubuhnya.
"Siapkan pakaianku, aku hari ini akan meeting dengan klien penting. Aku harap kau mengerti apa yang seharusnya aku kenakan hari ini."perintah Aksa tak terbantahkan.
Shikha bergerak cepat, ia membuka lemari besar, meraih sebuah jas berwarna hitam dengan kemeja berwarna gold milik pria itu, dasi berwarna rose serta sabuk kulit yang tergantung. Tentu, jika berbicara mengenai harga, seluruh outfit yang Aksa punya selalu keluaran terbaru, dan tentunya dengan harga yang diatas rata-rata.
Aksa adalah seorang pria yang selalu ingin terlihat sempurna, dari segi penampilan maupun hal lainnya. Tapi jika berbicara soal sifat pria itu, sungguh sangat minus. Pria kasar itu begitu temperamental, arrogant serta dingin.
Semuanya ia letakkan diatas ranjang king size milik Aksa, pria itu mulai meneliti pekerjaan istrinya. Seulas senyum tipis terbit dari bibir merahnya yang begitu menggoda, ketika Shikha mendangak untuk melihat wajah dingin Aksa. Senyum itu pun menghilang, berganti wajah datar seperti biasanya.
"Kau boleh pergi, siapkan sarapanku. Aku ingin mencoba masakanmu pagi ini, buat aku terkesan mungkin dengan cara itu aku sedikit lebih tidak kasar kepadamu. Mungkin."ucapnya kemudian, membuang arah membelakangi Shikha. Shikha mengerang kesal, masih pagi. Lagi dan lagi kesabarannya terus diuji. Jika rasa kemanusiaan dalam diri Shikha hilang, sungguh pria ini akan dibunuhnya. Tak ingin terus mendengar ocehan Aksa, Shikha bergegas melangkah dan mulai menyiapkan sarapan untuk CEO arrogant itu.
Aksa telah mengambil satu kursi untuk didudukinya, ia menatap lapar hidangan yang tersaji di atas meja, sungguh dari aroma hingga bentuknya sangat menggoda dirinya. Namun ia tak mau berharap lebih pada masakan Shikha, yang Aksa tau selama ini bahwa Shikha tak pernah memasak untuk dirinya. Ini sepenuhnya kesalahan Aksa, dirinya tidak ingin Shikha berada di dapur apalagi memasak. Alasannya karena takut wanita tak waras itu menghancurkan rumahnya, bagaimana jika sewaktu memasak ia ketiduran dan lupa mematikan kompor? Oh tidak-tidak, Aksa tidak ingin membayangkan itu terjadi. "Sajikan untukku."Shikha menuruti keinginan Aksa, ia mulai menyajikan makanan untuk pertama kalinya selama ia menikah dengan Aksa. Aksa menyipitkan matanya, meneliti piring yang berada dihadapannya. Lalu beralih menatap Shikha penuh curiga. "Kau tak memberikan racun pada makanan ini, bukan?"pertanyaan Aksa sontak membuat mata wanita itu membola, ia terbartuk untuk menghilangkan rasa gugupnya
"Darimana saja kau ini? Aku telah lelah mencarimu sedari tadi, apakah kau sengaja membuatku susah, huh?"Shikha mencecar wanita itu dengan banyak pertanyaan, wanita itu gelagapan, ia bingung harus menjawab pertanyaan yang mana dulu. Clay menggiring Shikha untuk duduk dipantry, menyuruhnya untuk mengatur nafas sebelum kembali mencecarnya lagi."Katakan padaku, darimana saja kau ini?"tanya Shikha kembali setelah dirinya lebih tenang."Aku hanya pergi ke dapur sebentar untuk membuat secangkir kopi arabica, agar aku tidak lagi mengantuk dan agar suamimu tercinta itu tidak mengamuk padaku karena kinerjaku mulai menurun sekarang."jawab Clay, ia mulai menyeruput kopi yang masih panas itu dengan perlahan. Clay adalah sahabat Shikha sedari kecil, mereka sama-sama hidup di panti asuhan, Clay belum mengetahui jika pria yang dinikahi sahabatnya sendiri telah berlaku kasar selama ini."Aku ingin meminta bantuanmu."kata Shikha penuh keyakinan."Katakan, apa yang h
"Ada sesuatu yang ingin ku katakan padamu,"Shikha mengernyit dahi, menunggu kalimat selanjutnya. "Aku ingin kau berpura-pura menjadi adik perempuanku, di depan para klien asal Turkey besok,"sontak perkataan itu menuai kecaman dari Shikha, apa maksud pria bodoh ini? Ia kan istrinya, mengapa harus berpura-pura menjadi adik perempuannya? "Apa maksudmu? Kau menyuruhku untuk berpura-pura? Bahkan, menjadi adik perempuanmu!? Apa kau sudah tidak waras?"Tanya Shikha dengan nada yang sedikit meninggi. Aksa menampilkan wajah dinginnya, ia bergerak semakin mendekati Shikha. "Aku masih waras, tidak sepertimu bahkan seperti ayahmu itu. Ck ck! Kasihan sekali,"katanya dengan wajah pura-pura prihatin. Jika dirinya dihina oleh Aksa itu tidaklah mengapa, namun jika Aksa berani menghina ayahnya. Sungguh, jangan salahkan Shikha jika ia lepas kendali dan bisa saja melukai Aksa. "Kau!! Aku hanya diam selama ini, ketika kau terus menghinaku, namun kali ini aku
Ia masih terus berusaha melepaskan diri dengan sisa tenaganya dari tubuh Aksa yang mengunci tubuhnya. Namun, semakin Shikha mencoba akan sia-sia pula usahanya. "Semakin kau mencobanya, maka semakin sia-sia pula usahamu."kata Aksa, ia kembali mengusap wajah Shikha dengan sensual, membuat Shikha bergerak gelisah karena mendapat sentuhan jemari Aksa. "Jangan sentuh aku, Tuan Aksa!"pekik Shikha terus memberontak dalam kungkungan Aksa, sapuan jemari Aksa pada leher jenjangnya semakin menjadi-jadi. Teriakan wanita itu sama sekali tak didengar Aksa, menurutnya itu hanyalah sebuah perintah untuk terus menyentuh seluruh tubuh Shikha. "Mengapa aku tak boleh menyentuhmu seperti ini? Aku ini suami sah-Mu secara agama maupun negara,"kata Aksa, kenyataan itu benar adanya, meskipun Shikha berusaha keras membantahnya. "Bagian ini,"Aksa menyentuh kening Shikha. "Adalah milikku seorang,"katanya senang. "Bagian ini pula,"jemari telunjuk Aksa bergerak men
Carlos, pria berusia 23 tahun itu merupakan anak yatim piatu yang tinggal satu panti asuhan dengan Shikha, istrinya. Kedekatan mereka bermula, ketika Carlos yang tengah duduk sendiri di bangku taman dalam kondisi menangis, Shikha yang waktu itu telah selesai membuat cake coklat bersama ibu panti pun ikut duduk di samping Carlos. Shikha memberikan cake itu pada Carlos, anak perempuan yang sangat cantik, mata bulat hazel, hidungnya yang begitu mancung, serta pipinya yang bulat seperti kue bakpao itu terasa begitu menggemaskan dimata Carlos. Ia mulai menaruh hati pada Shikha, hingga usia mereka telah beranjak remaja, rasa yang muncul dari lubuk hati Carlos semakin membuncah, getaran serta sengatan yang berbeda saat Carlos berada di samping Shikha, semakin menggebu-gebu.Puncaknya, ketika usia Shikha genap 20 tahun. Carlos pikir itu usia yang tepat untuk melamar Shikha, waktu itu ia mengirim pesan pada Shikha untuk menemui dirinya di taman, taman yang dahulu menjadi tempat Shikha
Wanita itu duduk berpangku pada kedua kakinya yang ia tekuk, ingatan akan kejadian itu semakin menerbang tinggikan dirinya. Shikha menyentuh bibirnya, bibir yang sudah dilumat oleh Aksa, ia menepuknya secara perlahan, namun berulangkali. "Pria dingin itu telah merenggut sesuatu dariku, lihat saja. Jika ayah telah tiba, aku akan mengadukan hal gila Aksa kepada ayah,"gumam Shikha dengan tatapan lurus, namun Shikha menggeleng kuat beberapa saat, seakan teringat sesuatu. "Tidak! Jika ayah tahu, aku akan ditertawai olehnya. Bagaimanapun juga Aksa adalah suami sahku, jadi hal semacam itu sungguh wajar dilakukan bagi pasangan suami-istri seperti kami."kata Shikha seraya menghela nafas, yang telah terjadi hari ini, biaarlah berlalu. Shikha merogoh saku celananya, mencari alat penghubung komunikasi miliknya. Namun, hasilnya nihil, ia tak menemukannya. Ia berdiri, kemudian berusaha mengingat dimana ia meletakkan ponselnya itu. Shikha mengusap kasar wajahnya
Shikha masih membeku dengan mulut yang sedikit ternganga, antara percaya atau tidak yang jelas pria ini benar-benar suaminya, Aksa."Jika kau masih ingin membuka mulutmu seperti itu, aku pastikan akan ada binatang seperti serigala atau burung hantu yang akan tersedot olehmu,"segera saja Shikha tersadar oleh lelucon Aksa dan kembali memalingkan wajahnya."Mengapa mulutmu begitu lentur, jika sudah berurusan dengan yang namanya meledek seseorang?"Aksa mengedikkan bahu acuh, ia membuka pintu mobil milik Shikha kemudian menyeretnya keluar."Siapa yang memperbolehkanmu mengemudikan mobil dimalam hari? Lantas, ada urusan apa sehingga membuatmu melanggar aturan dariku."tanya Aksa runtut, ia menanti respon dari istrinya ini.Wanita itu menggigit bibirnya berdalih untuk menghilangkan rasa gugup, jemari mungil berhias cincin berlian itu meremat jaket berbulu domba dengan gusar, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia sungguh bingung harus mengatakan apa pada
Axell berjalan dengan meraba-raba untuk mencari saklar lampu, ia terhenti ketika tangannya seperti menyentuh sesuatu yang asing. Dengan segera ia mencari ponsel yang berada disaku celananya dan menyalakan flashlight mengarahkan tepat pada tangan kirinya. Alangkah terkejutnya dirinya, ketika apa yang ia sentuh adalah sehelai kain bernoda merah tergantung di atas langit-langit ruangan ini. Semua mata tertuju pada Axell dan kain merah itu, mereka semua masih bergelut dengan pikiran mereka tentang kain apa yang tergantung di atas mereka. Jujur, kain itu begitu tidak wajar, seperti sehelai kain putih yang berubah menjadi kain merah karena bercak darah. Axell mengarahkan flashlight nya lagi untuk menelusuri setiap inci ruangan itu, tangannya terhenti pada satu titik yang fokus pada satu sudut, yaitu ranjang. Terlihat jelas ada sebuah gundukan yang tertutup selimut tebal, mereka semua berusaha mendekat dengan langkah perlahan untuk berjaga-jaga, jika pria ta