Damar menghela napas panjang, lalu menoleh ke arah Rio. Sorot matanya tajam, namun ada keraguan samar di baliknya.“Kalau aku jelas karena Tio,” ucapnya pelan, nada suaranya berat. “Lalu kau? Kenapa ikut campur bantu menghancurkan Alya? Apa untungnya buatmu?”Rio terdiam sejenak, lalu sebuah senyum miring muncul di wajahnya. “Kau benar, Damar. Aku berhak ditanya itu.” Ia mencondongkan tubuh, menatap lurus ke arah Damar. “Alya… dia bukan orang asing buatku. Dia mantan aku, sejak SMA.”Damar terbelalak, alisnya mengerut. “Mantanmu?”Rio mengangguk, nada suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Kami pernah sama-sama, lama. Dia tahu sisi gelapku, semua rahasia yang kujaga mati-matian. Tapi pada akhirnya, dia memilih pergi. Dia buang aku begitu saja. Lalu sekarang, dia berdiri di sisi Arka.”Ia mengepalkan tangannya di meja, suara tertahannya bergetar karena emosi. “Kau tahu rasanya lihat seseorang yang harusnya jadi milikmu, justru dipuja-puja publik bersama orang lain? Aku nggak bisa terima
Kevin spontan mendekat, alisnya mengerut. “Ini... creepy banget, Alya. Siapa yang ngirimin?” Revano menatap foto itu lebih lama. “Aku nggak suka ini. Seolah ada yang sengaja main-main sama kalian.” Arka meraih kotak kayu, menutupnya kembali dengan tegas. Wajahnya menegang. “Ini udah bukan sekadar kebetulan. Orang itu tahu kita di sini. Dan jelas, dia mau ganggu Alya.” Alya menggenggam tangannya sendiri erat, perasaan tidak nyaman makin menghimpit. Ia menatap Arka, matanya mencari jawaban. “Tapi kenapa aku? Aku bahkan nggak kenal dia.” "Kamu tenang aja, Ly. Nggak usah terlalu dipikirkan, aku pasti bakal selalu lindunging kamu," ujar Arka menenangkan. Lalu Arka buru-buru menutup kotak itu kembali, memasukkannya ke dalam tas Alya agar tidak menarik perhatian orang sekitar. Melihat Alya yang tampak ketakutan, mereka pun memutuskan untuk segera kembali ke penginapan masing-masing. Namun, di sisi lain Kyoto, pria berjaket hitam itu melangkah masuk ke sebuah penginapan tua yang berada d
Kelas residensi telah selesai. Alya dengan segera membereskan buku catatan dan laptop ke dalam tas. Peserta lain mulai keluar, sebagian menuju taman, sebagian lagi kembali ke kamar masing-masing. Sementara itu, di taman Arka tampak sedang duduk di bangku kayu Dari kejauhan, ia melihat Alya. Perempuan itu melangkah pelan, tas selempang di bahu, wajahnya diterpa sinar matahari yang jatuh di sela pepohonan. Tapi sebelum ia sempat memanggil, suara klik terdengar samar. Arka menoleh cepat. Seorang pria berdiri di luar pagar taman, jaket hitam, topi menunduk. Di tangannya, kamera dengan lensa panjang mengarah tepat ke Alya. Klik. Satu lagi. Arka spontan berdiri, tubuhnya tegang. Pria itu menyadari tatapan Arka, buru-buru menurunkan kamera dan berbalik. Alya terkejut, matanya membelalak, menoleh ke arah yang sama. “Siapa itu?” tanya Alya, suaranya cemas. “Masuk ke dalam!” Arka memberi isyarat cepat, suaranya rendah namun tegas. Tanpa menunggu, ia berlari melewati gerbang kecil
Pagi di Kyoto menyapa dengan cahaya lembut yang menyelinap di sela tirai. Sisa kehangatan malam tadi masih terasa samar. Bukan hanya dari selimut tebal yang menutupi tubuh, tapi juga dari keberadaan Arka di sisi lain ranjang.Alya sempat terbangun di tengah malam, mendengar napas Arka yang teratur. Mereka hanya terpisah sebatang guling, namun di antara keduanya terbentang jarak tak kasat mata yang sengaja dijaga perempuan itu. Bukan karena tak ingin dekat, tapi karena takut hatinya runtuh.Dari jendela kamar bergaya tradisional di penginapan tempat acara residensi menulis berlangsung, Alya bisa melihat pepohonan yang mulai menguning, dengan daun-daun berguguran di halaman.Di belakangnya, terdengar suara air mengalir dari kamar mandi. Arka masih bersiap, sementara Alya sudah lebih dulu bangun sejak subuh. Ia berdiri cukup lama di depan jendela, hanya memandangi jalanan yang mulai ramai. Sesekali terdengar suara tawa anak-anak yang berlarian, bercampur bunyi sepeda yang melintas.Di me
Suara Mama Arka terdengar hangat di seberang. “Alya, sayang. Mama cuma mau pastikan kamu dapat kiriman Mama. Kevin udah kasih, kan?”Alya tersenyum tipis. “Udah, Ma. Aku belum buka, tapi udah pegang kotaknya.”“Isinya syal dan coat, Sayang,” jelas Mama Arka lembut. “Mama lihat ini pas lagi belanja kemarin. Warna dan bahannya langsung bikin Mama kepikiran kamu. Kyoto mulai dingin, jadi Mama pengen kamu tetap hangat.”Alya menunduk, matanya melembut. “Terima kasih banyak, Ma. Aku suka sekali, walaupun belum buka.”Terdengar tawa kecil dari seberang. “Buka nanti aja pas udah di kamar, biar rasanya lebih spesial. Mama cuma pengen kamu nyaman di sana.”“Iya, Ma… terima kasih. Aku bakal simpan dan pakai baik-baik,” ucap Alya pelan, tatapannya tetap jatuh pada kotak di pangkuannya.Obrolan itu berakhir dengan ucapan hangat dari Mama Arka sebelum panggilan terputus. Alya menurunkan ponselnya perlahan, tatapannya kembali jatuh pada kotak hadiah di pangkuannya.Senyum tipis masih bertahan di wa
Udara sore di taman kota itu terasa lebih hangat daripada biasanya. Matahari condong ke barat, menyusup di sela dedaunan, memantulkan cahaya keemasan di atas jalan setapak. Alya berjalan pelan, sendirian. Tangannya dimasukkan ke saku jaket, mencoba menikmati udara segar sambil menepis sisa rasa berat di hati. Ia baru saja keluar dari toko buku kecil di sudut jalan, membawa satu novel tipis yang sampulnya bergambar danau musim gugur. Langkahnya terhenti sebentar ketika mendengar suara tawa ringan di kejauhan, tapi ia tak memedulikannya. Saat hendak melangkah ke arah gerbang taman, seseorang muncul dari arah berlawanan. “Alya?” Alya mendongak. Di hadapannya, berdiri Reyhan dengan tas selempang dan kemeja lengan digulung. Wajahnya terkejut tapi cepat berubah menjadi senyum hangat. “Kamu sendirian?” tanyanya. Alya mengangguk. “Iya. Lagi pengen jalan-jalan aja.” Reyhan menatapnya beberapa detik, seolah ingin memastikan bahwa yang ia lihat kemarin sore bersama Arka bukan sekada