Alya butuh uang untuk menyelamatkan adiknya. Arka butuh istri pura-pura untuk menyelamatkan reputasinya. Satu pernikahan palsu menyatukan dua dunia yang bertolak belakang itu. Tapi ketika batasan mulai kabur dan perasaan mulai tumbuh di antara mereka, masa lalu dan rumor menghancurkan segalanya. Saat Alya memilih pergi, Arka mulai sadar bahwa cintanya tak pernah pura-pura. Lantas apakah Alya akan kembali kepada Arka?
view moreHujan turun deras di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta malam itu. Alya menatap layar ponselnya dengan gelisah.
Ia membaca ulang pesan dari rumah sakit. [Biaya perawatan adik Anda tertunggak Rp18.750.000. Harap segera melunasi untuk kelanjutan pengobatan.] Tangannya gemetar. Gaji sebagai editor lepas tak cukup untuk menutupi utang rumah sakit, apalagi setelah ia berhenti dari pekerjaan tetap demi merawat adiknya. Sambil berjalan cepat di bawah payung robek, Alya melintas di depan sebuah hotel mewah. Tiba-tiba, dari pintu samping hotel, seorang pria berjas hitam berlari keluar, diikuti kilatan kamera dan teriakan wartawan. “Arka! Arka! Benarkah kamu pacaran dengan Karen?” “Benarkah kamu yang menghamili dia?” “Arka, satu pernyataan saja!” Alya yang menunduk tak melihat ke mana dia berjalan. Tanpa sengaja, tubuhnya menabrak pria itu. "Maaf!” serunya panik. Tapi pria itu—Arka—langsung menarik tangan Alya dan menyeretnya ke mobil yang terparkir di samping hotel. "Cepat masuk!” desisnya. “Apa? Saya—” Ucapan Alya di potong Arka. “Kalau kamu nggak mau fotomu tersebar bareng selebriti yang sedang kena skandal, ikut aja dulu!” Alya, bingung dan terkejut, menuruti perintahnya. Pintu ditutup, mobil melaju cepat, meninggalkan kerumunan wartawan yang masih berteriak di bawah hujan. Dalam hening dan kelelahan, Alya akhirnya sadar siapa pria di sebelahnya. Arka Mahendra. Aktor paling bersinar tahun ini. Ganteng, kaya, tapi penuh kontroversi. “Maaf,” katanya akhirnya. “Tadi aku cuma butuh cara cepat kabur dari media.” Alya mendesah. “Dan kamu pikir nyeret orang asing ke mobilmu itu solusi cerdas?” Arka memandangnya, dan untuk pertama kalinya sejak mereka kabur, bibirnya membentuk senyum. “Kamu beda. Biasanya fans langsung histeris. Kamu malah ngomel.” Alya ingin menjawab, tapi matanya sudah lelah. Dunia terlalu berat hari ini. Utang, adiknya di rumah sakit, dan kini... terseret drama selebriti. "Turunin aku di halte terdekat,” ujarnya datar. Arka menatapnya sejenak, lalu bicara kepada sopir. Tapi sebelum mobil benar-benar berhenti, ia berkata, “Tunggu. Kamu butuh uang?” Alya menoleh tajam. “Apa maksudmu?” “Menikahlah denganku. Selama satu tahun, hanya kontrak. Aku bayar semua kebutuhanmu, plus bonus besar setelah selesai.” Alya menatap pria itu lekat-lekat. Arka Mahendra, dengan setelan mahal yang sedikit basah oleh hujan. Ia masih tampak percaya diri seolah itu bukanlah tawaran paling absurd yang pernah ia ucapkan. “Menikah? Kontrak? Kamu pikir hidup ini sinetron?” Arka bersandar santai di jok mobil, melipat tangan di dada. “Bukan sinetron. Ini bisnis.” “Bisnis?” Alya mengerutkan kening, nyaris tertawa sinis. “Kamu bahkan nggak tahu siapa aku.” “Justru itu bagus. Artinya kamu bukan penggemar yang bakal nguntit aku setelah kontrak selesai.” Alya menggeleng. “Kamu benar-benar gila.” Arka mendekat sedikit, ekspresinya serius. “Dengar, aku nggak punya banyak waktu. Skandal ini bisa hancurkan karierku. Aku butuh istri yang bisa jadi tameng citra. Dan kamu… kamu kebetulan muncul di waktu yang tepat.” “Dan aku harus senang karena jadi ‘istri dadakan’ selebriti sok penting?” tukas Alya, nadanya mulai naik. “Aku nggak maksa. Tapi aku bisa bayar utang rumah sakit adikmu, lunas. Bahkan lebih.” Kata-kata itu menusuk. Alya terdiam, tubuhnya kaku. “Aku tahu kamu butuh uang. Aku lihat tadi kamu baca pesan rumah sakit. Ponselmu tak sengaja terbuka waktu kita masuk mobil.” Arka menatapnya lurus. “Kita bisa bantu satu sama lain. Kontrak satu tahun, tanpa sentuhan pribadi, hanya tampil di depan publik. Setelah itu, kamu bebas.” Alya masih terpaku. Kata-kata Arka berputar di kepalanya seperti gema yang sulit hilang. “Kontrak satu tahun…” gumamnya pelan. “Tanpa cinta. Tanpa... apa pun.” Arka mengangguk. “Cukup tampil seolah kita pasangan bahagia. Di depan kamera, media, dan penggemar. Sisanya, urusan masing-masing.” Alya mengernyit. “Kamu yakin bisa percaya sama orang asing buat urusan sebesar ini?” “Yakin.” Arka tersenyum kecil. “Orang asing lebih bisa dipercaya daripada mereka yang pura-pura kenal.” Senyum sinis muncul di wajah Alya. “Kamu pasti sering disakiti ya, sampai segitu sinisnya.” “Dan kamu pasti sedang putus asa, sampai berani naik ke mobil orang asing,” balas Arka tenang. Alya memalingkan wajah ke jendela. Lampu-lampu kota Jakarta berpendar kabur di balik kaca berembun. Ia benci mengakuinya, tapi pria ini... tahu di mana titik lemahnya. Saat mobil benar-benar berhenti di halte, Arka menyodorkan sebuah kartu nama. “Kalau kamu berubah pikiran, hubungi nomor ini. Aku serius.” Suaranya datar, nyaris dingin. Tapi mata Arka menatap dengan keyakinan yang aneh. Seolah ia tahu, Alya akan meneleponnya. Mobil berhenti di depan halte. Alya turun tanpa bicara lagi. Saat pintu ditutup, Arka hanya memandangi sosoknya menghilang di balik hujan. Dan di dalam hati Alya, satu pertanyaan bergema, "Apakah ini jalan keluar atau awal dari kehancuran?" Malam itu, Alya duduk di pojok ruang tunggu rumah sakit. Risa tertidur di ranjang, wajahnya pucat, selang infus masih menancap di tangannya. Alya menatap kosong ke arah lantai rumah sakit yang dingin. Jemarinya masih menggenggam kartu nama Arka Mahendra yang mulai basah oleh keringat. Kepalanya penuh suara-suara, pikiran saling bertabrakan, dan hatinya... kacau. “Al, kamu kenapa?” Suara itu membuat Alya tersentak. Ia menoleh dan mendapati Rani, sahabatnya sejak kuliah, berdiri dengan kantong plastik berisi makanan dan teh hangat. Alya memaksakan senyum. “Enggak apa-apa. Cuma... lagi mikir.” Rani menaruh plastik di meja, lalu duduk di samping Alya. “Mikir apaan sampai wajahmu kayak orang habis ditolak beasiswa dan dilamar utang sekaligus?” Alya tak menjawab. Ia hanya menyodorkan kartu nama itu dengan pelan. Rani mengambilnya, membaca tulisan di atasnya, lalu mengangkat alis tinggi-tinggi. “Arka Mahendra? Yang itu? Aktor super tampan tapi banyak skandal itu?” Alya mengangguk pelan. “Dia nawarin... pernikahan kontrak.” Rani nyaris tersedak udara. “Apa?!” Alya menarik napas panjang, lalu menceritakan semuanya. Tentang kebetulan mereka bertemu. Tentang tawaran gila itu. Tentang janjinya melunasi semua biaya rumah sakit Risa. Setelah cerita selesai, hening mengisi ruangan. Hanya suara mesin infus dan napas pelan Risa yang terdengar. “Gila juga hidupmu, Al,” gumam Rani. “Tapi... tunggu. Jadi kamu nolak?” Alya memeluk lututnya. “Aku nggak tahu, Ran. Ini bukan cuma soal uang. Ini hidupku. Masa depanku. Nama baik keluargaku. Gimana kalau nanti semua orang tahu kalau pernikahan ini cuma sandiwara? Gimana kalau... aku malah makin hancur?” Rani menatapnya lama. Lalu, ia menarik napas dan berkata pelan, “Aku ngerti ketakutanmu. Tapi Al... Risa butuh kamu. Sekarang. Bukan nanti.” Alya menoleh, matanya mulai berkaca-kaca. “Apa kamu akan berpikir aku jahat kalau aku bilang... terima aja tawaran itu?” Alya terdiam. “Denger, Al. Hidup kadang maksa kita buat milih jalan yang nggak ideal. Tapi bukan berarti itu jalan yang salah. Kamu bukan jual diri. Kamu nggak ngorbanin harga diri. Kamu berkorban buat nyelamatin adikmu. Itu beda.” Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. “Dan satu hal lagi,” lanjut Rani. “Kamu bukan sendirian. Aku bakal tetap di sampingmu, apa pun keputusanmu.” Alya menunduk. Butuh waktu baginya untuk berkata, “Tapi aku takut, Ran. Pernikahan kontrak ini sangat beresiko. Bagaimana jadinya nanti kalau publik tahu aku hanya istri kontrak Arka?” Lantas akankah Alya terima tawaran Arka untuk jadi istri kontrak sang selebriti?“Aku tahu semua yang kita jalani akhir-akhir ini tidak mudah,” ucap Arka, suaranya terdengar pelan di antara jeda napas yang terasa berat. “Dunia seperti tak pernah berhenti melihat kita. Mengawasi. Menghakimi. Seolah kita nggak boleh salah. Bahkan jujur pun terasa seperti kesalahan.”Arka menunduk sejenak. Lalu menatap Alya kembali, kali ini lebih dalam. “Aku cuma ingin ajak kamu pergi. Engga jauh, tapi cukup untuk membuat kita lupa bahwa kita ini public figure. Pasangan kontrak. Atau dua orang yang dipaksa terlihat bahagia di depan kamera,” ungkapnya.Alya menunduk. Kata-kata Arka menembus tepat ke dadanya. Perempuan itu tak menyangka ada hari Dimana pria itu akan berkata sejujur itu.“Aku sudah cari tempatnya,” lanjut Arka. “Nggak mewah. Tapi tenang. Ada danau kecil. Rumah kayu sederhana. Dan yang paling penting, nggak ada sinyal. Nggak ada siapa pun yang tahu kita ada di sana.”Alya menoleh pelan. “Kenapa kamu ingin ajak aku ke sana, Ka?”Arka terdiam sejenak. Ia menghela napas,
Hidup Alya kini menjadi terasa lebih tenang. Perempuan tak tahu apa yang terjadi. Namun ia merasa lebih lega karena Rio tak lagi menerornya. Sudah seminggu lamanya Alya di rawat di rumah sakit. Kondisi fisik perempuan itu mulai membaik, perlahan tapi pasti. Dan sebagai bagian dari pemulihan, dokter merekomendasikan sesi fisioterapi ringan setia pagi.Pukul sembilan tepat, seorang terapis bernama Bu Retno datang dengan senyum hangat dan clipboard di tangan."Selamat pagi, Ibu Alya," sapa Bu Retno dengan suara tenang. "Hari ini kita lanjut latihan berdiri dan jalan pendeka, ya. Jangan khawatir, saya akan dampingi langkah demi langkah."Alya hanya mengangguk pelan. Dengan bantuan perawat, ia berpindah dari ranjang ke kursi roda, lalu didorong menuju lorong fisioterapi di sisi barat rumah. Itu merupakan area rumah sakit yang lebih sepi dengan jendela besar menghadap taman kecil dan railing besok di dinding sepanjang koridor.Setelah perenggangan ringan sambil duduk, Alya berdiri perlahan
Arka menatap layar ponsel Alya yang masih menyala. Pesan ancaman itu terpampang jelas di sana, dan di bagian atas hanya tertulis nomor asing, tanpa nama kontak.Ia menarik napas panjang, menahan gelombang amarah yang mulai menguasai dadanya. Tangannya terulur pelan, meraih ponsel itu dari meja samping. Ia membaca ulang kalimat ancaman tersebut, kata demi kata, memastikan tak ada yang terlewat."Kalau kamu gagal lagi kali ini, Alya, aku tidak akan segan menyentuh Risa lebih dulu."Rahang Arka mengeras. Matanya menatap tajam ke deretan angka di atas pesan itu. Deretan digit tanpa nama, tanpa identitas, tapi baginya sudah cukup untuk menyalakan bara di hatinya.Pelan, ia mengambil ponselnya sendiri. Jarinya bergerak cepat menyalin nomor asing itu, mengetiknya dengan teliti ke kontak barunya. Ia menamai kontak tersebut: “Peneror”.Jantungnya berdegup keras, bukan karena takut, melainkan karena amarah dan keteguhan hati yang semakin menguat.Arka menatap Alya yang tertidur lelah. Jemari g
Ponsel Alya kembali bergetar. Ia menatap layar itu dengan napas tertahan. Kali ini, hanya ada satu kalimat dari Rio. “Aku sudah pikir-pikir, aku nggak minta banyak. Aku dengar Arka mendapat tawaran main film internasional. Jika kamu ingin melindungi suamimu, aku cuma satu hal kecil. Satu hal aja yang aku minta, pastikan Arka menolak proyek film internasional itu.” Nafas Alya langsung naik turun, terilihat gusar setelah mendengar permintaan Rio. “Kalau dia menerimanya, kamu tahu sendiri akibatnya.” Ia terdiam. Tawaran film internasional itu, Arka baru membicarakannya semalam sebelum mereka tidur. Dengan semangat khasnya, Arka berkata: “Ini bukan cuma film, Ly. Ini mungkin tiketku ke dunia yang selama ini cuma bisa kulihat dari jauh. Hollywood.” Alya menggigit bibir bawahnya. Tangannya gemetar, bukan karena ketakutan, tapi karena kemarahan yang tak bisa ia keluarkan. Rio tahu titik lemah Arka, dan kini memakainya untuk menusuk lebih dalam. “Ly.” Suara Arka mengalun dari balik pin
Pesan mengejutkan itu dari Rio. Alya menatap layar ponselnya lama, napasnya tercekat"Alya, bagaimana kejutanku kemarin? Kamu makin terkenal bukan berkat video itu?"Tangannya sedikit gemetar. Ia tak ingin membalas, tapi matanya tak bisa lepas dari tulisan Rio. Belum sempat ia menekan tombol apa pun, pesan lain masuk."Oh ya, kamu masih ingat dokumen yang pernah aku tunjukkan? Bukti transfer Om Tio yang bikin film Arka gagal total lima tahun lalu?"Alya memejamkan matanya erat-erat, menahan sesak di dada. Ia ingat dengan jelas malam ketika Rio memaksanya menonton bukti itu di laptopnya. Bukti yang memperlihatkan dokumen kontrak produksi film besar Arka dengan tanda tangan Om Tio sebagai produser eksekutif, dan catatan transfer gelap yang membuat dana produksi hilang begitu saja. Film batal, reputasi Arka hancur, dan dia terpuruk sampai hampir kehilangan karier.Pesan Rio masuk lagi."Kamu pikir aku cuma pamer dokumen itu? Tidak, Alya. Itu senjata utamaku."Alya menahan napas, membaca
Alya terbangun di tengah malam. Udara dalam kamar rawat terasa hening, hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan dan embusan AC yang konsisten menyapu kulit.Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangannya dalam cahaya temaram dari sudut ruangan.Saat menoleh ke samping, ia mendapati Arka tertidur dalam posisi duduk di kursi yang ada disamping ranjang. Kepalanya sedikit menunduk, bahunya miring karena bersandar terlalu lama di kursi yang keras. Tangan kirinya masih menggenggam ujung selimut Alya, seolah takut sang istri pergi tanpa ia sadari.Alya terpaku, matanya tak lepas dari sosok pria di sebelahnya. Detak jantungnya sedikit berubah. Ia tak pernah menyangka, pria yang dulu hanya ia kenal sebagai aktor layar kaca, kini duduk disisinya. Menjaga dengan cara yang bahkan lebih tulus daripada orang yang dulu mengaku mencintainya.Alya terdiam. Tapi di dalam, ada sesuatu yang tak lagi tenang. Ada sesuatu yang diam-diam tumbuh, merambat, dan kini menyesaki dadany
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments