"Ayleen di sini, Ma." Ia memunculkan diri dari ruang kerja dekat vas bunga.
Suara Ayleen sontak membuat dua wanita tadi menoleh kemudian mendekat. Ayleen mencium tangan keduanya sambil mencoba menekan dada bergemuruh. "Kamu ngapain di situ, Sayang?" Mama Indah merangkul pundak sang menantu, mengajaknya duduk di ruang tamu bersama Papa Alfi. Ayleen tahu, mertua dan Nenek Cia sedang bersandiwara jadi rubah baik. Maka diapun ikut bersandiwara sesempurna mungkin, mengikuti alur cerita yang diperankan keluarga Arkhan. Menatap kedua mertua dan Nenek Cia satu per satu, hati bagai diremas kuat hingga hancur berkeping. Perih sekali. 'Mengapa kalian berpura-pura menyayangiku disaat bahagiaku terpusat pada kalian? Apa salahku? Apakah karena aku jelek? Bukankah kalian yang menginginkanku hadir dalam keluarga kalian?' Berbagai pertanyaan merasuki benak. "Tadi lagi membereskan meja kerja Mas Arkhan, Ma," jawab Ayleen berbohong. Senyuman tipis menghiasi wajah, menampilkan kerutan bekas luka bakar yang semakin kentara. Ayleen mencium tangan Papa Alfi sesaat mereka di ruang tamu. "Apa kabar, Pa?" tanya Ayleen berusaha bersikap sopan kendati amarah dan tanda tanya masih menguasai hati. "Baik, Nak. Kamu baik juga, kan?" Ayleen mengangguk pelan seraya tersenyum sebagai jawaban lantas duduk di sofa diikuti Mama Indah dan Nenek Cia di sampingnya. "Kamu pasti capek ya?" Nenek Cia mengusap pelan paha Ayleen yang tertutup gaun sebetis. Di rumah, Ayleen memang selalu memakai baju yang rapi nan cantik untuk memikat hati sang suami. Namun, semua ternyata sia-sia. Wajah bopeng menyebabkan Arkhan tidak membiarkan Ayleen masuk ke dalam hatinya meski hanya sebesar debu. "Nggak kok, Nek. Ayleen tidak capek. Ayleen ke dapur ya. Biar Ayleen buatkan minuman dulu." Ayleen mencoba untuk bertingkah senormal mungkin. Seperti biasa jika mertua bertamu. "Eh, tunggu Ayleen. Kasihan kamu kan capek habis berberes. Indah, coba kamu saja yang buat." Nenek Cia mengedipkan sebelah mata, seakan memberi kode pada sang menantu. Mama Indah mengerti kode tersebut. Ia gegas beranjak. "Kamu istirahat saja, Sayang. Biar Mama yang bikin minuman." Bibir tipis merah merona menerbitkan senyuman di wajah cantik Mama Indah seraya melangkah ke dapur. *"Ayleen biar menjadi urusan kami biar tidak mengganggu kalian"* Rasa curiga menyergap ketika ucapan Nenek Cia pada Arkhan tadi terngiang di telinga. Andai saja Ayleen tidak mendengar ucapan mereka tadi, mungkin Ayleen akan merasa heran dengan sikap mereka. Pasalnya, mereka tidak pernah turun ke dapur. Kalau mereka bertamu, selalu minta dilayani dengan baik. Mereka tahu Ayleen adalah wanita lemah yang penurut. Entah mengapa, mereka masih saja takut Ayleen menggagalkan malam pengantin Arkhan, padahal malam pengantin bukan di rumah. Setakut itu mereka? Di dalam hati, Ayleen tersenyum. 'Tenang saja, ketakutan kalian akan ku kabulkan.' "Baiklah. Tapi, Nek. Ayleen mau ke kamar dulu ya. Mandi dan ganti baju. Gak enak bau keringat." Tanpa rasa curiga, mereka mengizinkan Ayleen naik ke lantai atas. Ke kamarnya sendiri. Bukannya mengganti baju, ia malah mengambil foto kedua orang tuanya dari dalam lemari. Ia mengusap kedua wajah yang terpampang di bingkai kecil. "Ma, Pa, tega sekali mereka. Disaat Ayleen sangat menyayangi, mereka ternyata tidak tulus. Kepada siapa lagi Ayleen bersandar, Pa? Bahkan suami sendiri tidak pernah menganggap Ayleen." Ia terisak. Dua kenyataan pahit yang ia hadapi hari ini - suami membawa istri baru dan kasih sayang palsu mertua - begitu menghimpit dadanya hingga terasa sesak. Bahkan untuk menghirup udara segar saja rasanya begitu sulit. Ia peluk, ia cium bertubi-tubi foto yang terbingkai rapi. Enam tahun berpisah, rasa rindu belum puas menggerogoti jiwa. Diusia dua puluh tiga tahun, status yatim piatu bersandang di pundaknya karena ulah orang yang ia pun belum tahu siapa. Setelah merasa tenang. Menyimpan foto, mengenakan baju hitam kemudian merapikan rambut hitam legam. "Huuft! Sudah lima bulan aku tidak memakai pakaian favoritku ini." Ia bergumam. Gegas ia mengambil gaun hitam panjang berlengan pendek sebagai luaran. Memakai riasan tipis lantas memasang kembali silikon ke pipi. Drrrttt Ayleen mengangkat telepon. "Bos, semuanya sudah siap." Suara dari seberang sana terdengar. "Oke. Amankan situasi sampai aku datang." * "Maaf kalau Ayleen lama." Ia duduk di tempat semula. "Tidak apa-apa. Kamu kenapa cantik sekali malam ini? Mau ke mana, Sayang?" tanya Mama Indah menelisik penampilan Ayleen dari atas ke bawah. "Di rumah aja. Kan memang biasanya Ayleen seperti ini, Ma." Mama Indah mengangguk meski wajahnya masih memperlihatkan ekspresi heran bercampur curiga. Mungkin takut malam pengantin Arkhan dan Sandra diganggu Ayleen. Dia pikir, wanita mana sih yang tidak sakit hati jika suami menikah lagi? Bibir bisa tersenyum dan berkata tidak apa-apa, di dalam hati siapa tahu? "Yuk, diminum. Moga manisnya pas." Mama Indah menunjuk pada teh hangat di atas meja. Mama Indah dan Nenek Cia menatap intens tatkala Ayleen menyeruput teh hangat. Sesaat mereka saling tatap lantas mengulum bibir, menahan tawa. Tingkah mencurigakan mereka tak luput dari sudut mata Ayleen. Usai menyeruput teh. Ayleen dengan santai mengajak ketiga tamu itu mengobrol. Menceritakan masa kecilnya yang begitu indah, hingga tragisnya saat ia kehilangan kedua orang tua. Ketiga tamu itu juga menceritakan hal seru apapun. Tingkah lucu Arkhan saat kecil, gimana pria itu direbutkan para gadis kala ia remaja sampai sekarang dan lain-lain. Empat orang itu larut dalam obrolan seru. Beberapa menit kemudian, Ayleen menekan-nekan perut. "Perut Ayleen kenapa ini ya?" Dia bertanya pelan. Empat pasang mata milik Nenek Cia dan Mama Indah bersitatap. Seolah saling mengirim pesan. "Kamu sakit perut, Sayang?" Mama Indah mengelus pundak Ayleen. "Iya, Ma. Kok tiba-tiba begini sih?" Wajah Ayleen mengkerut, meringis menahan sakit. "Loh, Ayleen kenapa?" Papa Alfi juga ikut cemas. "Emang kamu habis makan apa, Nak?" Ayleen menggeleng pelan. "Tidak ada yang aneh kok, Pa." Ia meringis kembali. "Cepat ambilkan kotak P3K, Indah," perintah Nenek Cia panik. Pura-pura panik, tepatnya. Disaat Mama Indah beranjak. Mereka dikejutkan oleh bunyi benda jatuh. Bugh "Mama!!!" "Nenek!" Ayleen, Mama Indah dan Papa Alfi berteriak. Nenek Cia mendadak pingsan, tersungkur di lantai. Mama Indah sampai lupa mengambil kotak P3K. Sang anak dan menantu membopong tubuh kurus Nenek Cia ke atas sofa. Di samping Ayleen yang sedang meringis kesakitan. "Duh, perutku kok mules juga ya, Pa?" Mama Indah pun mendadak memegang perut. Tubuhnya membungkuk menahan sakit. "Sakit banget ni, Pa. Aku ke toilet dulu." Mama Indah berlari sekencang ia bisa. Menuju toilet di dekat dapur. "Duh, gimana ini? Kok pada sakit semua?" Papa Alfi kalang kabut. Bola matanya mengedar ke segala penjuru rumah. Mencari sesuatu. "Di mana sih kotak P3K?" gumamnya dalam hati. Matanya tertuju pada kotak P3K yang di tempel di dinding depan kamar Arkhan lantai atas. Langkahnya cepat menuju ke kotak tersebut. "Pa, Ayleen juga ingin ke toilet," teriak Ayleen. Berlari terbirit-birit. Papa Alfi menoleh sejenak kemudian melanjutkan meniti anak tangga tanpa menyadari sesuatu yang direncanakan sang menantu.Langkah Ayleen terhenti. Ada rasa tidak percaya pada apa yang ia temukan sore ini. 'Tante Mayang, istri Om Opik masih hidup? Pantas saja aku seperti tidak asing melihat Zidan. Wajahnya persis Tante Mayang. Aku tidak mungkin salah orang. Suaranya dan wajahnya sama. Tidak banyak yang berubah dari Tante Mayang. Apa mereka selamat dari kecelakaan waktu itu? Tapi, berita kematiannya sudah tersebar ke mana-mana. Mungkinkah itu hoax yang mereka ciptakan sendiri?' Wanita berusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu merengkuh tubuh kecil Zidan. "Kamu ke mana tadi, Nak? Mama sampai nyari ke mana-mana." Gurat cemas di raut wajah cantik itu kini berubah menjadi lega. "Mama, Zidan takut." Anak kecil tampan itu masih menangis tersedu-sedu. "Gak usah takut, kan sudah ketemu Mama sekarang. Maafkan Mama, ya, Nak." Pelukan wanita itu mulai menenangkan anaknya hingga hanya menyisakan suara sesenggukan. "Untung ada Tante baik yang bantuin Zidan, Ma." Zidan menoleh pada Ayleen. 'Apa Zidan adalah anak
"Kamu tidak apa-apa, Nona?" Suara bariton pria terdengar seiring dengan jatuhnya tubuh Ayleen ke dalam lingkaran lengan kokoh milik pria itu. Gegas Ayleen memperbaiki posisinya, berdiri tegak. Sejenak ia terdiam, beberapa detik kemudian menundukkan kepala setelah mengingat siapa pria yang menyelamatkannya. "Maaf, Tuan." Bima Sakti Atmadja, tamu penting Pak Erfan tersenyum tipis ke arah Ayleen. Ia memutar arah matanya, menatap nanar pada dua wanita yang bersikap semena-mena. Bulan dan Rina ternganga. Entah karena apa. Apakah karena melihat pria tampan? Secara mereka itu penggemar pria tampan, terlebih mapan. Atau karena merasa tidak terima Ayleen diselamatkan oleh pria setampan Bima? Hidung bangir, alis tebal, tinggi sekitar 189 sentimeter, kulit putih bersih, pakaian mahalnya memperlihatkan ia bukanlah orang biasa. Pria di hadapan Ayleen menunjukkan kharisma yang khas. "Kalian berdua. Aku siap menjadi saksi perlakuan kalian. Kalian pilih saja, mau dipenjara, dipecat secara tida
"Maafkan saya, Pak. Kami tidak sengaja. Saya tidak akan mengulanginya lagi." Tejo menunduk malu mengingat tingkah bejatnya barusan. "Saya juga minta maaf, Pak. Saya dalam keadaan tidak sadar," ungkap Santi yang langsung di SP3 oleh Pak Erfan. Dari tadi ia terus membela diri dari tuduhan. Dia yakin sedang dikuasai obat perangsang. Andai tidak, mana mungkin dia sudi kesuciannya direnggut oleh lelaki kere dan kerempeng seperti Tejo."Kalian bilang tidak sengaja? Tidak sadar? Kalian bahkan sangat menikmatinya dan kamu menyebut namaku dengan mulut kotormu itu, Santi." Pak Erfan berang. Tejo dan Santi terlonjak kaget kala meja di hadapannya digebrak kuat."Cepat keluar dari ruanganku! Kalian ku pecat dengan tidak hormat dan tanpa pesangon."Dua manusia tadi sontak menggeser kursi, berlutut di depan meja. "Tolong beri kami kesempatan, Pak."Tejo tidak rela pekerjaan yang ia dapatkan susah payah harus berakhir memalukan seperti ini. Sementara Santi, ia merasa tidak rela harus kehilangan pri
Amarah memuncak dan berkumpul di ubun-ubun tatkala Sandra melihat dengan mata kepalanya sendiri, Arkhan sedang makan bersama seorang wanita bermasker. Awalnya ia memang ingin makan siang di restoran ini. Jarak Restoran Antik memang cukup dekat dengan kantor tempatnya bekerja. Ia sempat merasa bahagia saat melihat mobil Arkhan terparkir, keinginannya makan siang bersama Arkhan akan terkabul. Tidak disangka, kedatangannya ke tempat ini membuat dadanya terasa dihimpit bongkahan batu besar hingga remuk redam."Tadi ku ajak makan siang bersama, dia bilang ada meeting. Lalu ini apa?" Sandra menggerutu kesal sambil menggulung jarak hingga menyisakan sekitar satu setengah meter dari meja Arkhan. Emosi Sandra semakin membuncah kala ia mendengar Arkhan terdengar penuh harap meminta alamat wanita bermasker itu dan berniat untuk makan bersama kembali."Arkhan!"Kini Sandra sedang berada di belakang Arkhan. Ayleen yang sedang menjauh sontak menoleh mendengar suara yang baru kemarin ia hapalkan. S
"Selamat tinggal, Santi. Sepertinya kali ini kamu akan benar-benar tidak bisa menggangguku lagi." Ayleen bergumam pelan seraya mengayun langkah ke arah parkiran. Senyuman manis terukir di wajahnya. Tanpa ia sadari, tindakan yang baru saja ia lakukan membuat lobang kecil untuk dirinya sendiri.Sebelum menaiki motor, Ayleen menyempatkan diri menghubungi Dean. "Hallo, Dean." Ayleen menyapa sesaat telepon tersambung."Hallo, Bos. Ada yang bisa ku bantu?""Apa sudah ada informasi tentang keluarga Hendrawan?""Informasi baru saja ku dapatkan, Bos. Semua informasi tentang suami Bos dan kedua orangtuanya bisa dikatakan lengkap. Namun, informasi tentang Hendrawan sendiri terpotong," sahut Dean yang merupakan satu-satunya anak buah yang tahu bahwa Ayleen sudah menikah."Maksudmu?" Ayleen merasa ada yang mengganjal pada informasi tersebut."Hanya ada informasi tentang Hendrawan sejak enam tahun lalu, sebelumnya datanya ditutup."'Ditutup? Apakah itu berarti Kakek Hendrawan bukan orang biasa? Ke
Ayleen terdiam dalam lamunan. Teguran Bu Asmara menariknya ke alam nyata. "Ayleen, ada apa?""Eh." Ayleen tersentak kaget."Kamu kayak tertarik pada salah satu atasan kita?" tanya Bu Asmara yang tidak tahu kalau Ayleen sebenarnya sudah menikah karena saat ia bekerja di sana memang status Ayleen masih lajang. Permintaan Arkhan untuk menggelar pernikahan tertutup melunturkan niat Ayleen mengundang temannya di kantor."Bukan begitu, Bu. Aku hanya penasaran aja. Itu tadi jalan paling depan, siapa ya?" tanya Ayleen yang merasa familiar dengan wajah dan gestur tubuh pria yang berjalan paling depan diantara ketiga pria lain dan baru saja memasuki ruangan CEO."Yang pake jas abu tua itu kan?"Ayleen menjawab dengan anggukan."Itu Pak Erfan. CEO di sini. Masa sih kamu gak kenal?"Ayleen menggeleng. "Belum pernah ketemu, Bu."Bu Asmara menatap cengo. "Ya ampun, Ayleen. Kok bisa? Bukannya kamu sudah beberapa kali dapat tugas di ruangannya?" Ayleen menggaruk tengkuk yang tiba-tiba gatal. "Biasa