"Mama, nanti sore anterin Tasya ya," pinta Tasya sesaat setelah duduk di meja makan."Mau ke mana?" Najwa mengambilkan nasi goreng untuk sarapan anaknya."Mau ke rumah Om ganteng. Katanya aku mau di ajak petik buah, tapi sore soalnya om ganteng harus kerja." Tasya begitu antusias bercerita tentang om gantengnya itu, tidak ada yang mengajari memanggil begitu karena memang sedari awal Tasya sudah suka dengan om ganteng."Sama Mbak Nia, kan, bisa?" "Nggak bisa, Ma. Mbak Nia mau pulang. Ada acara katanya." Sebenarnya Najwa tahu kalau Nia akan pulang karena Nia sudah pamit padanya."Ya lain kali aja ke sananya." Najwa hanya tidak ingin bertemu bos dari mantannya itu."Nggak bisa. Om ganteng besok udah nggak di sini." Tasya meminum susu setelah sarapannya habis. "Plis ya, Ma, Tasya mau ngeliat buah di pohonnya. Di rumah ,kan, nggak ada."Beginilah kalau manjannya lagi kumat, Tasya akan merayu sampai kemauannya dipenuhi."Ya udah sana berangkat, nanti terlambat."Tasya segera meraih tangan
Najwa membiarkan Ferdi berkata semaunya sebelum menjelaskan banyak hal. "Lalu istrimu?""Aku akan menceraikan dia. Dia masih muda, pasti bisa dengan mudah menemukan lelaki lain. Aku cuma mau kita bersama lagi, jangan pikirin orang lain. Yang penting kita bisa sama-sama lagi." Ferdi masih dengan senyum bahagianya."Ibumu?""Mama pasti setuju. Apalagi kalau beliau tau kamu sudah melahirkan cucunya, Mama pasti akan bahagia."Najwa tersenyum dan senyum itu mampu menghipnotis Ferdi, ia optimis kalau Najwa akan menerimanya kembali."Kalau ternyata yang dimaksud Tuhan kebalikannya, gimana?" tanya Najwa yang membuat Ferdi bingung."Maksudnya?""Kalau ternyata Tuhan ingin kamu melihat hidup orang yang kamu sia-siain selama ini ternyata lebih bahagia dari hidupmu, dan Tuhan juga ingin aku melihat betapa menderitanya kamu setelah menyakitiku. Melihat kamu terpuruk karena apa yang kamu harapkan tidak bisa terwujud dengan orang pilihanmu," jelas Najwa."Kenapa kamu bicara begitu, Wa?" Senyum Ferdi
"Ma, Om ganteng mau jemput ke sini naik sepeda. Boleh, kan?" tanya Tasya pada Najwa. Saat ini Tasya tengah berbicara lewat sambungan telepon dengan Dafa."Iya, boleh," sahut Najwa dari taman samping, ia tengah menyiram bunga. Setelah mengatakan kalau Mamanya mengizinkan Dafa datang, ia lalu mematikan sambungan."Tasya pakek baju yang mana, Ma?" Tasya berjalan mendekati Najwa."Baju itu aja kenapa, sih? Kan, cuma petik buah, masak mau dandang ala princess?" Dilihatnya sang anak sudah memakai baju yang sesuai, baju kaos dan celana panjang bergambar hello kitty, bukankah sudah sangat pantas untuk memetik buah?"Dandanin lah, Ma. Kan, malu kalau Om ganteng dateng tapi aku belum cantik," rengek Tasya."Dandanin gimana? Emang mau pesta pakek dandan segala," cetus Najwa."Di kuncir rambutnya, Ma, nggak yang dandan banget." Jawaban Tasya membuat Najwa gemas, bagaimana anak yang belum genap lima tahun sudah begitu memperhatikan penampilan.Tasya sudah siap menunggu om ganteng dengan rambut di
"Tasya mau metik apa dulu?""Adanya apa?" Tasya balik bertanya."Ada belimbing, jambu, apel, jeruk sama mangga, Tasya mau apa?" tanya Astuti dengan sabar."Mau lihat pohonnya dulu," ucap Tasya."Ayo langsung ke belakang aja kalau gitu ya. Dafa tolong bilang sama Bibi, suruh bikinin minum," titah Astuti pada anaknya. Dafa mengangguk lalu pergi ke dapur menemui bibi.Najwa memang mengikuti dalam diam, ia membiarkan anaknya berbicara dengan ibunda Dafa."Maaf, kami merepotkan," ucap Najwa saat mereka tinggal berdua. "Nggak, kok, Ibu malah senang. Ibu kesepian. Kalau Bapak dan Dafa kerja, Ibu cuma sama bibi di rumah. Kakak Dafa mengurus usahanya di luar pulau, sudah delapan bulan dan baru pulang dua kali. Dafa juga baru akhir-akhir ini sering pulang, biasanya bisa satu bulan nggak pulang, padahal di kota sebelah aja." Keluh Astuti. "Maaf ya jadi curhat," lanjutnya."Nggak apa-apa, Bu. Saya malah terimakasih karena sudah diizinin main ke sini.""Kapan pun Mbak Najwa mau, rumah ini selalu
"Hari minggu Om ganteng mau ke sini. Tasya mau diajakin sepedaan keliling komplek. Boleh, kan, Ma?" Tasya baru saja selesai mengobrol dengan Dafa melalui sambungan telepon."Emang kamu bilang apa sama Om Dafa?" Najwa tengah asyik memakan salad buah yang baru ia buat."Ya mau lah, Ma. Tasya, kan, udah lama nggak naik sepeda keliling komplek.""Gitu kok pakek izin Mama. Harusnya bilang dulu sama Om Dafa kalau mau izin Mam dulu. Ini udah setuju baru izin," protes Najwa. Sebenarnya Najwa sudah tahu kalau Dafa akan mengajak anaknya bersepeda karena Dafa sudah izin padanya. Ia mengizinkan karena Yogi sudah mengenal dengan baik keluarga Dafa."Abisnya tiap Mama sepedaan aku selalu ditinggal," jawab anak yang belum lama bisa mengayuh sepada sendiri itu."Mana ada. Yang ada kamu milih tidur daripada ikut Mama sepedaan. Ini aja Mama nggak yakin kamu bisa bangun pagi," ledek Najwa. Anaknya memang begitu susah bangun pagi saat weekend."Pasti bisa dong. Om ganteng mau bangunin kalau Om ganteng da
"Mama." Hari minggu, masih pukul enam pagi dan Tasya sudah cantik dengan setelan merah muda dan rambut di kuncir kuda adalah pemandangan yang langka."Tumben anak Mama sudah cantik?" tanya Najwa heran."Ih, Mama. Tasya kan udah janjian sama om ganteng. Mama beneran nggak ikut?" Tasya duduk di samping ibunya, menerima segelas susu bikinan mbak Nia. Dafa memang membawa banyak perubahan baik pada Tasya, Tasya akan menuruti apa yang Dafa katakan. Seperti saat Tasya malas belajar ketika disuruh ibunya, ketika Dafa yang meminta ia akan menurut."Nggak bisa, Mama mau beresin kamar tamu. Minggu depan kakek sama nenek mau ke sini." Ayah dan ibu Najwa akan menginap minggu depan. "Sama mbak Nia nggak pa-pa kan?""Ya udah deh, Tasya juga kangen sama nenek sama kakek. Tasya mau dibikinin kue kayak yang dulu." Meski bukan cucu kandungnya tetapi ibu sambung Najwa begitu menyayangi Tasya."Mama mau dibeliin apa?" tanya Tasya setelah menghabiskan segelas susu coklat hangatnya."Cepet pulang nggak?" "
"ini tempat yang strategis, Bu. Beberapa tahun lagi tempat ini pasti akan sangat ramai," ucap Nadir pada Najwa saat menunjukkan lokasi yang akan dibangun resort oleh Yogi. "Pantainya mulai dikenal wisatawan, banyak juga yang dari luar kota sudah sampai sini," lanjutnya.Tanah ini lumayan luas dengan harga di bawah pasaran membuat Najwa menyetujui pembelian."Saya sedang butuh banyak uang untuk operasi anak saya, kalau Ibu sudah setuju dengan kesepakatan yang di sampaikan pak Nadir. Saya akan segera mengurus surat-suratnya," ucap pemilik tanah."Saya setuju, Pak. Untuk pembayaran saya minta nomer rekening Bapak, nanti saya transfer."Setelah disepakati harga pembelian, mereka membuat surat perjanjian dengan bubuhan tanda tangan masing-masing.Najwa berjalan mengitari pinggir pantai, kilas kejadian yang pernah terjadi bertahun lalu mulai membayang."Kamu mau nikah sama aku, Wa?" tanya seorang lelaki berkaos hitam. Tidak ada cincin, tidak ada bunga, hanya pertanyaan yang terucap karena s
"Anak yang mana?" ucap Najwa ketus."Anak yang ditemui Ferdi. Anak perempuan yang bersamamu itu. Apa benar dia anak Ferdi?" tanya wanita itu dengan bersemangat."Anak yang ditolak keberadaannya bahkan sebelum dia lahir itu? Anak dari wanita mandul yang diusir dari rumah saat memberitahu keberadaannya itu?" sindir Najwa."Maafkan Mama, Wa. Waktu itu Mama nggak tau kalau kamu serius. Mama kira kamu hanya mencari simpati. Maafkan Mama," ucap wanita itu mengiba."Anak yang saya kandung, saya lahirkan dan saya rawat sendiri tanpa dampingan suami itu adalah anak saya, hanya anak saya," tegas Najwa."Maafin Mama, Wa. Mama ingin bertemu cucu Mama. Izinkan Mama menemuinya." Wanita itu mulai menangis.Bukan iba yang Najwa rasakan, ia justru semakin muak dengan tingkah wanita di depannya ini. Kenapa mereka semua begitu berkeras untuk bertemu dengan anaknya, yang bahkan tidak di akui sebelum ia dilahirkan."Jangan merasa paling menderita, Bu. Selama lima tahun ini apa pernah sekali pun Ibu terpik