Share

BAB 2: Dia, Alice

Namaku Alice, itu adalah nama yang diberikan oleh seorang tukang kebun ketika harus merawatku sejak beberapa menit setelah di lahirkan.

Aku adalah anak hasil dari korban pemerkosaan.

Sejak dalam kandungan, ibuku beberapa kali berusaha menggugurkanku karena aku adalah aib yang paling dia benci di dunia ini.

Aku tidak lebih dari bayangan dan buah kesengsaraan yang menghantui ibuku.

Sejak aku dilahirkan, aku tumbuh seadanya dengan asuhan beberapa pelayan yang mau mengurusku, aku tidak diizinkan memanggil wanita yang telah melahirkanku ibu, aku tidak diizinkan untuk menunjukan diri di hadapannya.

Setiap kali ibuku tidak sengaja melihatku yang berkeliaran, dia selalu merasa mual dan memanggil pelayan untuk menyeretku pergi ke sebuah gudang, di sana dia memukulku untuk meredakan amarahnya yang tidak bisa dia buang di masa lalu.

Kebencian ibu yang tidak menganggapku dan tidak mau memanggil namaku membuat orang disekitar tidak menghargaiku dan meremehkanku, mereka memandangku tidak lebih dari bayangan yang menakutkan.

Tidak ada yang peduli aku mati atau masih hidup.

Sepanjang aku hidup, aku tinggal di dalam gudang bawah tanah yang gelap dan panas sendirian, beralaskan sebuah karpet lusuh.

Aku hidup hanya diberi pakaian dan makanan sisa saja, tanpa diberi kesempatan sekolah, bermain, membela diri dari berbagai tuduhan, tidak dizinkan mengenal dunia luar, bahkan tidak diizinkan keluar satu langkah dari gerbang rumah sekalipun.

Aku diperbolehkan keluar ruang bawah tanah hanya di malam hari ketika semua orang sedang beristirahat, di siang hari, aku hanya duduk terdiam di depan teralis besi untuk bisa melihat keluar.

Ibuku, dia telah menikah ketika aku masih kecil, dia sudah memiliki anak lain dari suaminya. Anak laki-laki itu bernama Athur, anak yang paling disayangi dan berlimpah cinta, dia diperlakukan bak seorang raja di rumah.

Aku dan Athur diperlakukan begitu berbeda, kami seperti hitam putih.

Athur terbiasa dengan kasih sayang dan kehangatan, sementara aku terbiasa tindakan buruk dan kesepian.

Tidak ada yang menginginkan kehadiranku sejak aku lahir, aku terbiasa dengan segala jenis tindakan buruk, yang tidak terbiasa untukku hanya satu, yaitu kebaikan.

Saat masih kecil, ketika aku bersedih, aku akan menangis dengan keras, namun seiring dengan berjalannya waktu, aku tidak dapat menangis lagi meski hatiku sangat sedih.

Satu bulan yang lalu, butik milik ibuku mengalami kerugian, sementara Athur ingin pergi sekolah ke Amerika, karena membutuhkan uang, berkat masalah itu aku bisa berdiri di sini.

Minggu lalu, untuk pertama kalinya dalam hidup, dipanggil keluar di siang hari untuk diperkenalkan pada seorang laki-laki paruh baya yang baik hati.

Orang itu bernama Damian, ibu mendapatkan banyak uang dari tuan Damian dengan syarat untuk menikahkan aku dengan putranya Damian.

Sejujurnya aku sangat takut, tapi aku tidak tahu dengan apa yang harus kulakukan, aku benar-benar tidak mengenal bagaimana menjalani kehidupan di dunia ini yang sebenarnya.

Tidak ada tempat untukku bersandar, tidak ada tempat untukku mengadu, aku benar-benar berdiri seorang diri keluar dari cangkangku yang menyesakan.

Sekarang, aku harus berdiri di samping seorang laki-laki yang tidak aku kenal dan menjadi pengantinnya.

Aku takut, namun aku juga merasa lega karena pernikahan ini akan membawaku untuk melihat dunia luar untuk yang pertama kalinya dan berhenti terkurung di dalam ruangan bawah tanah yang gelap dan panas.

Pernikahan ini akan berlangsung selama dua bulan, dan selama dua bulan ini, aku ingin menikmati artinya hidup seperti manusia sebelum memutuskan apakah aku menyerah dengan kehidupan atau terus menjalaninya.

***

Acara pernikahan berjalan dengan singkat dan sederhana, tidak ada resepsi apalagi pesta, para tamu undangan yang berjumlah sedikit dan hanya tergolong keluarga, satu persatu dari mereka telah pergi, begitu pula dengan Hayes yang langsung pergi menemui teman-temannya dan meninggalkan Alice begitu mereka selesai melakukan sumpah di altar.

Hayes tidak mempedulikan tatapan tajam Damian yang memperingatkannya untuk menemai Alice.

Alice duduk melihat suasana yang mulai sepi dan tidak semenyesakan seperti sebelumnya karena tatapan merendahkan orang-orang terhadap dirinya, mereka melihat Alice layaknya kerikil yang pantas untuk di injak dan dilempar ke tanah.

Kepala Alice bergerak pelan melihat ke belakang, menatap kedua orang tuanya yang masih ada di ruangan yang sama dengannya. Keduanya berpakaian sederhana selayaknya akan pergi ke kantor, mereka tidak menemui Alice sedetikpun sejak datang dari tadi, keduanya justru sibuk dengan orang lain dan bersikap seperti tamu undangan.

Bibir Alice menekan kuat, menatap lekat Giselle ibunya.

Pernikahan ini seperti membuang Alice dengan cara sedikit lebih manusiawi, dan mungkin saja ini adalah untuk yang terakhir kalinya Alice melihat Giselle.

Tanpa sengaja, pandangan Alice dan Giselle saling bertemu.

Sebuah senyuman yang sempat Giselle tunjukan pada lawan bicaranya mendadak hilang, begitu pula dengan Alice yang langsung tertunduk membuang muka.

Alice lupa jika dia dilarang menatap Giselle, secara alami Alice meremas gaun pengantinnya dengan kuat, takut mendapatkan hukuman.

To Be Continued...

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Fitria Pangumpia
sedih lanjutin baca............
goodnovel comment avatar
Nila
ternyata ada seorang ibu bersikap melebihi hewan. Buat bahagia Alice Thor
goodnovel comment avatar
Ochinae Kinah
kasihan banget nasib Alice , kok ada Ibu yg Setega itu ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status