Share

BAB 3: Ibu yang Buruk

“Alice, apa ada sesuatu yang ingin kau lakukan sebelum pulang ke rumah?” tanya Damian yang duduk di hadapan Alice.

Wajah Alice sedikit terangkat, gadis itu menggeleng dengan canggung, tidak terbiasa dengan tatapan hangat penuh kelembutan dari seseorang. “Tidak ada, Tuan.”

“Mulai sekarang, panggil aku ayah. Sekarang kau bagian dari keluargaku.”

“Baik, Ayah,” ucap Alice terbata.

Damian tersenyum sendu diselimuti rasa kasihan, dari sekian banyak tamu undangan, tidak ada yang benar-benar memperlakukan Alice dengan baik, terutama kedua orang tua Alice sendiri yang tidak peduli dengan putrinya.

“Aku minta maaf, Ivana tidak datang karena tengah sakit, dia juga memiliki gangguan dengan penglihatannya, tolong jangan kecewa, kalian bisa berkenalan di rumah,” ucap Damian.

“Tidak apa-apa Ayah, saya mengerti dengan keadaan nyonya Ivana.”

“Mulai sekarang kau harus belajar memanggilnya ibu juga.”

“Baik, Ayah.”

“Nona, ibu Anda ingin berbicara,” ucap Inara yang berdiri di belakang Alice untuk memberitahu.

Damian melihat ke belakang, melihat Giselle yang sudah pergi keluar ruangan seorang diri.

Sejak datang, Giselle dan Xavier hanya menemuinya sebentar, itupun hanya untuk meminta bayaran pelunasan uang atas konpensasi Damian yang membawa Alice.

“Saya permisi dulu Ayah,” ucap Alice beranjak.

“Kau mau aku ditemani?”

Mata Alice bergetar, dia sungguh ingin ditemani namun disisi lain dia tidak terbiasa menunjukan seberapa gelap kehidupannya yang sebenarnya.

“Tidak perlu, saya baik-baik saja,” jawab Alice tidak yakin. Alice akhirnya pergi bersama dengan Inara, assistant Giselle.

Sekali lagi Damian melihat ke belakang, memperhatikan kepergian Alice dan memperhatikan keberadaan putranya yang asyik sendiri bersama dengan Bella dan teman-temannya yang lain.

Damian tahu pernikahan ini sangat dibenci oleh Hayes dan ditentang keras oleh Ivana isterinya, namun mereka berdua tidak memiliki kekuasaan untuk menolak permintaan Damian ketika Damian mengancam tidak akan mewariskan sepeserpun hartanya kepada Hayes jika putranya tidak mau menikahi Alice.

Damian sangat ngotot menjadikan Alice menantunya meski dia tahu ada lebih banyak calon menantu yang jauh lebih sempurna di luar sana.

Ada banyak alasan kuat yang Damian miliki hingga akhirnya dia memutuskan untuk menjadikan Alice sebagai menantunya, Damian ingin bertanggung jawab atas kehidupan Alice setelah kesalahan besar yang dia lakukan di masa lalu kepada Giselle.

Hari ini Alice sudah resmi menjadi menantunya, Damian tahu mungkin kedatangannya ke rumah tidak akan disambut dengan baik, namun Damian akan memastikan jika Alice akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dibandingkan hidup di rumah ibu kandungnya sendiri.

***

Di sebuah gudang penyimpanan barang-barang Alice berhadapan dengan Giselle yang kini berdiri menunggu sambil menghisap rokoknya, sementara di balik pintu terdapat Inara yang tengah menunggu.

Alice tertunduk menatap lantai berusaha untuk tidak bertatapan mata dengan Giselle.

Ada banyak tekanan yang Alice terima setiap kali berhadapan dengan Giselle. Tatapan jijik dan kata-kata kotor Giselle selalu membuat Alice merasa tidak berharga dan bertanya-tanya, apa alasan dirinya hidup?

Sekarang, entah untuk apa Giselle meminta bertemu, Alice segan untuk bertanya karena takut dimarahi.

Kepulan asap rokok bergerak di depan Alice, gadis itu hanya bisa menahan napasnya beberapa kali karena baunya yang tidak mengenakan.

“Aku mendapatkan dua juta dollar dengan menjualmu, aku tidak menyangka jika sampah menjijikan sepertimu memiliki harga juga,” ucap Giselle dengan santai seakan semua kata-kata kasar seperti ini sudah biasa untuk dia ucapkan kepada Alice.

“Apa sekarang kau senang keluar dari rumahku?” tanya Giselle dingin.

Alice tidak sanggup berbicara, dia sendiri tidak tahu harus takut atau senang akhirnya keluar dari rumah Giselle, satu hal yang pasti, Alice berharap dia bisa menjalani hari-hari terakhirnya dengan sedikit lebih baik.

Giselle tersenyum sinis melihat keterdiaman Alice.

“Jika kau merasa senang, aku juga senang karena mulai detik ini tidak melihat wajah bajingan sepertimu di rumahku lagi, aku tidak perlu membagi makanan anjing kesayanganku kepadamu, dan aku juga tidak perlu menutup hidung karena bau bangkai di sekitarku yang selalu membuatku mual.”

Bibir Alice menekan membentuk garis, menahan sakit hati yang tidak pernah berubah meski dia sudah sering mendengar kata-kata buruk seperti itu lebih dari ratusan kali.

Hari demi hari yang dia jalani selalu dipupuk oleh rasa sakit hingga luka dihatinya menggunung dan tidak bisa diukur dengan apapun. Alice sampai tidak tahu, apakah sebelum dia meninggal, dia mampu mengobati seluruh luka di dalam hatinya atau tidak.

“Syukurlah jika Anda senang,” jawab Alice dengan suara bergetar.

“Rasa senangku akan sempurna jika kau segera mati.”

Napas Alice tertahan di dada, dia tahu bahwa dia adalah anak yang tidak diharapkan siapapun, keberadaannya tidak dinginkan, meskipun begitu, apakah semua ini salah Alice?

Alice kian tertunduk, gadis itu mengusap siku tangannya dan tersenyum pahit. “Saya tahu, keberadaan saya tidak pernah Anda harapkan, tapi salahkah jika saya juga ingin hidup?” tanya Alice getir.

Giselle tertawa kesal, rokok di tangannya bergerak cepat, ujungnya yang masih menyala mendarat di lengan baju pengantinnya hingga serat pakaian pengantin Alice terbakar dan menembus kulitnya.

Alice meringis gemetar merasakan panas ujung rokok yang membakar kulitnya dan cengkraman kuat Giselle yang menahan pergerakannya.

“Pantaskah bajingan yang membawa derita sepertimu ingin hidup? Dasar tidak tahu diri!” geram Giselle seraya mendorong kasar Alice.

Alice sedikit mundur seraya mengusap sisi lengannya yang berdenyut sakit.

“Sekarang kau sudah menikah, mulai detik ini aku tidak mengizinkanmu datang apalagi menginjakan kakimu di rumahku. Jangan pernah lagi menunjukan wajah buruk rupamu di hadapanku sampai kau mati, apa kau mengerti?” peringat Giselle.

“Saya mengerti,” bisik Alice yaris tidak terdengar.

“Pergilah!” usir Giselle dengan kibasan di tangannya.

Alice berbalik dan pergi keluar dari gudang, di ambang pintu terdapat Inara juga Athur yang baru datang. Athur dan Alice sempat saling melihat, Athur yang sempat ingin mengajak berbicara segera menahan diri begitu Alice melangkah cepat menjauh dari keberadaannya.

Dalam langkahnya yang lebar, Alice melihat telapak tangannya yang gemetar dan berkeringat dingin.

“Hari ini, aku selamat,” bisik Alice gemetar. Jarang sekali dia terlibat percakapan bersama Giselle sedekat tadi, biasanya Giselle akan langsung menghukumnya jika Alice menjawab perkataannya.

To Be Continued...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yuniarti Tadjotallo
semoga dia tidak di benci lagi.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status