Kuseka air mata, lalu meraih ponsel yang sedang diisi dayanya. Waktu menunjukan pukul satu siang. Bergegas aku bangkit lalu membuka jendela. Di luar terlihat sepi, suara anak-anak komplek yang biasanya bermain pun tidak terdengar.
Aku berjalan ke luar kamar. Rasa takut ini kembali muncul saat melihat ke arah dapur. Namun, kandungan kemih yang sudah terisi penuh ini memaksaku untuk berjalan ke sana. Lampu dapur begitu terang, tapi entah kenapa membuat bulu kuduk ini meremang. Kulihat wajan dan panci stainless sudah tergeletak di lantai. Kurapikan semuanya mengembalikan ke tempat semula. Aku mulai ragu kalau yang datang semalam itu adalah ibu. Soalnya, ia tidak mungkin membanting alat dapur kesayangannya. Sebelum melangkah ke kamar mandi, aku meminum segelas air dingin. Membahasi kerongkongan yang terasa kering. Kemudian buang air kecil dan lanjut mengambil wudu. Aku pun kembali ke kamar, langsung menyalakan pendingin ruangan. Soalnya jam segini, Jakarta sedang panas-panasnya. Kemudian, memakai sarung dan salat. Tak pernah sekalipun lupa untuk mendoakan ayah dan ibu, agar diberi tempat terbaik di sisi Allah, dilapangkan kuburnya dan diampuni segala dosanya. Hanya itu yang bisa kulakukan, sebagai bentuk pengabdian seorang anak untuk orang tua. Aku bangkit, lalu berjalan ke luar kamar. Menyalakan televisi di ruang tengah agar suasana rumah tidak begitu sepi. Kemudian, pergi ke luar untuk mencari Samson. Dari tadi pagi kucing itu tidak kelihatan. "Son! Samson!" teriakku sembari berjalan ke arah pagar. Biasanya kucing itu akan datang saat dipanggil. Aku berdiri di depan pagar sambil memanggil namanya. Tak lama kemudian, Samson muncul dari rumah sebelah. Namun, ia tidak mau menghampiriku. Aku berjalan mendekat lalu menggedongnya. Saat akan masuk ke dalam rumah, Samson berontak. Terpaksa aku menurunkannya. Kucing jantan berbulu hitam itu berlari ke luar pagar. Tingkahnya yang aneh membuatku curiga kalau ada sesuatu di rumah ini. Sesuatu yang membuatnya tak nyaman dan ketakutan. Aku mengambil wadah makanan dan minuman Samson. Lalu membawanya ke luar. Setelah dipaksa, kucing itu baru mau makan. Namun, ia tetap tidak mau masuk ke dalam rumah. Setelah memberi makan Samson, aku pun kembali ke kamar. Berbaring di atas kasur sembari membuka aplikasi pesan makanan online. Soalnya, dari pagi aku belum makan apapun. Ingin sekali masak mie di dapur, tapi belum ada keberanian. Aku duduk di ruang tengah. Menonton televisi sambil menunggu pesanan datang. Sesekali mata ini melirik ke arah dapur. Masih terasa aura mencekam di sana. Tin! Pesanan datang. Aku berlari ke luar untuk mengambilnya. Kemudian memilih makan di dalam kamar. Sementara itu, sengaja kubiarkan televisi tetap menyala dengan volume besar. Setelah makan, aku kembali berbaring di atas kasur, sembari bermain game di ponsel. Mata ini mulai mengantuk. Kuletakan ponsel di dekat bantal, kemudian mulai menutup mata. Tak lama aku pun tertidur. Dug! Dug! Dug! Suara itu mulai mengganggu tidurku. Aku membuka mata, tapi suara itu menghilang. Kulirik jendela, langit di luar sudah begitu gelap. Jam berapa ini? Kulihat jam di ponsel, pukul 19:12. Bergegas aku bangkit dan pergi ke luar kamar. Suasana begitu sepi. Televisi yang seharusnya menyala, kini sudah mati. Entah siapa yang mematikan. Dug! Dug! Suara benturan itu kembali terdengar. Sukses membuat jantung ini berhenti berdetak sepersekian detik. Suaranya terdengar begitu dekat, dari kamar ibu yang berada di sebelah kamarku. Kuberanikan diri, mendekati pintu kamar ibu. Kali ini aku tidak akan lari. Bagaimanapun ia adalah ibu. Ibu yang sangat berarti di hidupku. Kubuka pintu kamarnya perlahan. Sudah siap dengan pemandangan mengerikan di dalam. "I-bu." Lidahku terasa sulit digerakan saat melihat ibu sedang duduk di atas kasur, sambil membentur-benturkan kepalanya ke tembok. "Gi-lang, tolong ibu," balasnya seraya menoleh padaku. Aku bergidik ngeri saat melihat sebagian wajahnya sudah tak berbentuk lagi. "Gilang harus bagaimana, Bu?" "Bantu ibu ke luar dari tempat itu." DUG! Tiba-tiba kepala ibu didorong dengan keras ke tembok. Tak lama kemudian, ada sesosok makhluk berukuran besar. Kulitnya berwarna hitam legam. Seluruh bagian matanya berwarna putih menyala, menyorot ke arahku. Yang paling mengerikan adalah wajahnya seperti anjing. Dengan mulut panjang dan gigi runcing. Ia juga memiliki tanduk yang melingkar seperti kambing. Tangannya yang panjang dan kurus meraih kepala ibu. Kemudian ia membenturkan kepala ibu berkali-kali ke tembok. Dengan pandangan mata yang masih mengarah padaku. Sementara itu, ibu menjerit kesakitan. Ia tertawa dengan mulut menganga. Sontak nyaliku runtuh, lalu berlari ke luar rumah sambil berteriak minta tolong. Tak ada seorang pun di luar. Aku berlari menuju pos satpam. Namun, Delia - anak Pak Didit sudah lebih dulu menghadang. Ia berjalan dengan kaki pincang ke arahku, sembari meminta tolong. Tak lama Pak Didit dan Istrinya muncul dengan kondisi yang tak kalah mengerikan. Aku membalikan badan. Namun, Sosok Hitam tadi sudah berdiri di tengah jalan. Sembari menyeret ibu dan Bu Salmah. Posisiku terkepung, tak bisa ke mana-mana. Aku menutup mata, lalu jongkok. Tak lupa menutup telinga, karena tak ingin mendengar jeritatan dan tangisan ibu. Tiba-tiba, ada yang menarik rambutku. Tarikannya begitu kencang, hingga membuat kepala ini menengadah. Saat membuka mata, Sosok Hitam tadi sudah ada di hadapan. Aku berteriak kencang. Baru satu teriakan, Sosok Hitam itu sudah membenturkan kepalaku ke jalan. Brug! Aku terjatuh ke lantai dengan posisi kepala mendarat duluan. "Aw," ucapku sambil mengusap kepala. Kemudian mengedarkan pandangan. Sosok Hitam tadi sudah tidak ada. Ternyata itu hanya mimpi. Aku bangkit dan membuka jendela. Langit di luar terlihat sangat gelap. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Kuambil ponsel di atas kasur. Ternyata sudah jam lima sore. Ya Allah, belum salat ashar! Aku berlari ke luar. Namun, langkah ini terhenti saat melihat televisi dalam keadaan mati. Jujur, seperti dejavu dengan situasi ini. Aku melirik ke arah pintu kamar ibu. Dug! Dug! Terdengar suara dari kamar ibu, diikuti suara rintihan. "Jangan kepo, Gilang!" ucap Suara hatiku. Aku pun kembali ke kamar, mengambil beberapa helai baju dan celana. Kemudian dimasukan ke dalam tas. Sementara itu, suara dari kamar ibu masih terdengar. Kuambil ponsel, dompet dan kunci motor. Kemudian berlari ke luar rumah. Setelah mengunci pintu, langsung mengambil motor di garasi. Kini aku mengalami sebuah adegan klise yang sering ada di pilem horor. Motor tidak menyala! Dug! Dug! Suara benturan itu terdengar di tembok samping - tembok kamarku. Sontak aku mendorong motor sampai ke luar pagar. Setelah itu motor baru bisa menyala. Dari ekor mata, terlihat ada bayangan hitam berdiri di dekat mobil. Bergegas aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Tanpa berpikir arah dan tujuan. BERSAMBUNGAku bangkit lalu berlari ke arah jendela untuk menutup gordin. Tak mau kalau tiba-tiba ada sosok lain yang muncul. Kuambil ponsel, ternyata baru pukul tiga pagi.Aku berbaring sambil menghadap kiri membelakangi jendela. Kemudian memutar video murotal Al Qur'an di youtube, sambil menunggu waktu subuh tiba.Satu jam berlalu, azan subuh berkumandang. Bergegas aku bangkit dan berjalan ke kamar mandi, untuk mengambil wudu.Setelah salat subuh, aku turun ke bawah untuk mengambil minum. Tak sengaja berpapasan dengan Om Herman. "Kirain udah tidur, Lang," ucapnya."Belum, Om. Ini baru mau tidur," balasku. "Om belum tidur juga?" imbuhku, sambil menuangkan air ke dalam gelas."Tadi sempet tidur sebentar terus kebangun," balasnya."Om mimpi ibu kamu datang ke sini, Lang," sambungnya, membuat tenggorokanku sedikit tercekat."Mimpinya gimana, Om?" tanyaku."Om cuman liat ibu kamu berdiri di deket jendela.""Ibu gak bilang sesuatu, Om?""Enggak.""Aku bingung, kenapa ya ibu jadi begitu.""Makanya bi
Mobil sudah memasuki area perumahan. Tak berselang lama tiba di jalan depan rumah Om Herman. Aku menatap lurus ke depan. Tak terlihat ada sesuatu yang aneh. Kemudian turun, untuk membuka pagar.Setelah mobil masuk garasi, dengan cepat kututup pagar. Perasaan ini tidak enak saat melihat jalan. Seperti ada yang memperhatikan gerak-gerikku. Bulu kuduk ini meremang. Bergegas aku berlari menuju teras.Om Herman turun dari mobil. "Ada apa, Lang?" tanyanya."Gak ada apa-apa, Om," balasku."Oh. Kirain habis liat sesuatu.""Aman, Om."Om Herman membuka pintu. Kami pun masuk ke dalam lalu kembali ke kamar masing-masing. Di dalam kamar aku masih kesulitan untuk tidur.Mungkin ini efek kemarin tidur siang terlalu lama.Kuambil ponsel, lalu menatap layar depannya cukup lama. Terlihat foto ibu, aku dan Kak Nasrul saat liburan di Bali, tahun lalu. Jemari ini bergerak, menekan aplikasi google. Ada yang ingin aku cari. Tentang kronologi kecelakaan maut itu. Soalnya, semenjak kabar duka itu datang, tid
Om Herman memintaku duduk di sofa, kemudian ia pergi ke dapur. Sementara itu, Aurora terus menatapku dengan mata tajam. "Ada apa?" tanyaku."Mereka terus meminta tolong ya, Kak?" tanyanya."Siapa?""Itu ... orang-orang berwajah menakutkan yang ikut sama kakak."Aku mengerti maksudnya. "Dari mana kamu tau?""Salah satunya datang duluan ke rumah in, Kak.""Tidur, sayang. Udah malem." Om Herman datang sambil membawa segelas teh hangat."Iya, Papah!" Aurora bangkit dan berlari ke kamarnya.Om Herman duduk di dekatku."Tumben banget, Lang. Datang ke Bogor tengah malem terus naek motor. Mana kehujanan juga.""Iya, Om. Lagi pengen aja main ke sini," balasku."Kan bisa besok pagi atau siang. Kenapa harus malem-malem?""Lebih enak malem, Om. Sepi plus dingin.""Yang jujur, Lang. Om tau pasti ada sesuatu."Aku menghela napas. "Sebenernya, emang ada sesuatu, Om. Apa Om percaya sama setan gentayangan?""Percaya.""Om pernah liat?""Pernah beberapa kali.""Nah, semenjak kejadian kecelakaan maut it
Hujan belum juga reda. Sementara aku dan Cecep masih bertahan di dalam pos satpam. Dari tadi, ia terus memaksaku menonton youtube cerita horor. Semuanya bertemakan pesugihan. Sehingga aku mulai sedikit mengerti tentang hal itu."Emang bisa numbalin orang lain, Cep?" tanyaku."Bisa banget, Lang," balasnya."Enak banget dong! Kaya tanpa ngorbanin keluarga sendiri.""Iya. Tapi ... kasian keturunannya nanti.""Kok kasian? Kan enak dapet warisan banyak.""Namanya harta instan, Lang. Bisa ilang secara instan juga. Di kampung gua dulu ada yang ngelakuin begituan, terus hidup anak cucunya kaya ketiban sial terus, mana miskin pula.Tapi ada juga yang malah ngelanjutin kelakukan bapaknya. Biar tetep kaya.""Berarti masuk ke lubang yang sama.""Iya.""Lu tau gak bentuk Jin Pesugihan itu kaya gimana?""Ada yang bentuknya Kuntilanak, Tuyul, Genderuwo, Pocong dan Siluman.""Oh, kalau yang bentuknya kaya anjing itu apa ya?" Aku penasaran dengan sosok yang ada di dalam mimpi tadi sore."Ya itu Siluma
Sudah satu jam aku berdiam diri di masjid komplek. Masih belum menentukan tujuan. Kucoba mengirim pesan ke Ega, tapi belum ada balasan.Ting!Panjang umur, akhirnya Ega membalas pesanku.[Gua gak ada di rumah, Lang][Balik kapan][Besok]Aku tak begitu saja percaya dengan ucapannya. Kucoba meneleponnya."Apaan, Lang?" ucapnya saat telepon diangkat."Lu beneran gak ada di rumah?""Iye. Ini gua lagi di rumah saudara.""Oh ya udah deh.""Gara-gara kejadian di rumah lu kemaren. Gua jadi takut sendirian di rumah." Aku mencari alasan."Oh. Besok aja Lang kalau mau nginep.""Oke, sip!"Kututup telepon. Terdengar suara gemuruh di langit. Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di masjid. Lagian, masjid pun sudah terlihat sepi. Hanya ada beberapa jamaah saja yang menunggu waktu isya.Aku mengendarai motor menuju kedai kopi. Saat melewati Blok A, dari kejauhan terlihat ada orang sedang berjalan dengan kaki picang. Seketika itu teringat omongan Cecep. Kupercepat laju motor, berniat melewatinya. I
Kuseka air mata, lalu meraih ponsel yang sedang diisi dayanya. Waktu menunjukan pukul satu siang. Bergegas aku bangkit lalu membuka jendela. Di luar terlihat sepi, suara anak-anak komplek yang biasanya bermain pun tidak terdengar.Aku berjalan ke luar kamar. Rasa takut ini kembali muncul saat melihat ke arah dapur. Namun, kandungan kemih yang sudah terisi penuh ini memaksaku untuk berjalan ke sana.Lampu dapur begitu terang, tapi entah kenapa membuat bulu kuduk ini meremang. Kulihat wajan dan panci stainless sudah tergeletak di lantai. Kurapikan semuanya mengembalikan ke tempat semula. Aku mulai ragu kalau yang datang semalam itu adalah ibu. Soalnya, ia tidak mungkin membanting alat dapur kesayangannya.Sebelum melangkah ke kamar mandi, aku meminum segelas air dingin. Membahasi kerongkongan yang terasa kering. Kemudian buang air kecil dan lanjut mengambil wudu.Aku pun kembali ke kamar, langsung menyalakan pendingin ruangan. Soalnya jam segini, Jakarta sedang panas-panasnya. Kemudian,