LOGINAku menendang kaki Ega, tapi ia tidak merespon. Kutarik earphone yang menempel di telinganya. "EGA!" teriakku.
Ia terperanjat dan membuka mata. Kemudian memasang wajah kesal. "Apa sih, Lang!" "Tadi gua denger ada suara di luar kamar!" "Hah? Luar kamar?" "Iya! Di deket pintu." Ega melihat ke arah pintu. "Lu abis dari mana emangnya?" "Gak ke mana-mana, dari tadi gua di kamar." "Terus itu pintu siapa yang buka." "Nah, itu dia! Pintunya kebuka sendiri, terus ada suara sama tangan pucet muncul. Pas gua teriak langsung ilang." "Hii! Lu kagak bohong, kan?" "Beneran!" "Terus, kenapa lu kagak tutup pintunya?" "Takut, ntar tiba-tiba ada yang muncul. Bisa pingsan gua." "Gua liatin. Buruan tutup!" "Temenin lah, Ga." "Ah elah, cuman lima langkah juga nyampe itu!" Aku menatap pintu sambil bersiap-siap untuk lari. "Buruan, Lang!" perintah Ega. "Gua lagi nyiapin mental dulu." Ega mendorong tubuhku dengan kakinya. Bergegas aku menutup pintu, lalu kembali duduk di samping kasur. "Rumah lu horor banget, Ga," ucapku. "Gara-gara lu nginep," sahut Ega sambil memasang kembali earphonenya. "Dah gua mau tidur lagi." Ega cepat sekali tertidur. Sementara mataku tidak bisa dikondisikan, karena tidak mengantuk. Kulihat jam di ponsel, sudah pukul 03:55. Kurang dari 20 menit lagi azan subuh akan berkumandang. Ngik! Terdengar suara orang membuka pagar. "Ga." Aku menggoyang-goyangkan tubuh Ega. Tak lama kemudian, ada suara langkah kaki di teras. "Ga! Bangun!" Aku sampai menjam-bak rambutnya, tapi ia tidak bangun juga. Krek! Kriet! Kini ada yang membuka pintu depan. Diikuti suara langkah kaki mendekat ke kamar ini. Aku berbaring menghadap kasur - membelakangi pintu. Kriet! Pintu kamar terbuka. Sontak aku menjerit sambil memanggil nama Ega. "Kenapa teriak?" tanya Suara di belakangku. "EGAAA!" Aku mencu-bit perut Ega dengan kencang. "Aw, sakit, Lang!" sahut Ega yang akhirnya terbangun. "Loh, ibu kok udah pulang?" "Ibu lupa kalau hari ini ada acara pagi-pagi." Ibu? Spontan aku membuka mata, lalu menoleh ke belakang. Ternyata itu Tante Lisa ibunya Ega. "Eh, tante." Seketika itu aku langsung malu. "Tadi kenapa teriak?" tanyanya. "Gilang habis ngeliat setan, Bu," sahut Ega. "Liat di mana?" "Di luar." Aku terpaksa berbohong, karena tidak mau menakuti Tante Lisa. "Belakangan ini kondisi perumahan emang lagi banyak kejadian horor. Sebaiknya kalau malam di rumah aja. Jangan keluyuran." "Tuh denger, Lang. Di rumah aja!" "Ini juga rumah." "Rumah lu, maksudnya." "Jangan dengerin omongan Ega. Kamu mau nginep di sini juga gak apa-apa," ucap Tante Lisa. "Makasih tante," balasku. "Nasrul udah pulang ke Bandung?" "Udah, tan." "Kalau kamu takut tidur sendirian di rumah. Bisa tidur di sini, temenin Ega." "Makasih tante, tapi ini aku udah mau pulang kok," balasku. "Ya udah, tante ke kamar dulu." Tante Lisa berjalan ke luar. "Emang lu mau balik sekarang?" tanya Ega. "Bentar lagi nunggu azan subuh. Biar syaiton-syaiton di luar sana bubar." Azan subuh berkumandang, aku langsung pamitan pada Ega dan Tante Lisa. "Hayoloh masih gelap," ucap Ega, sebelum aku melangkah ke luar rumahnya. "Gak apa-apa!" sahutku, lalu berlari ke arah pagar. "Tutup lagi pagernya!" "Lu aja!" sahutku, berlari menuju masjid. Tanpa sedikitpun menoleh ke rumah Bu Wariah. Setibanya di masjid, hanya terlihat beberapa orang saja di pelataran masjid. Bergegas aku mengambil wudu. "Astaghfirullah," gumamku, saat melihat ada keranda mayat yang diletakan tak jauh dari tempat wudu. Dulu terlihat biasa saja, tapi sekarang cukup membuat jantung ini berdebar kencang. Setelah mengambil wudu, aku bergabung dengan jamaah lain untuk salat berjamaah. Aku duduk di pelataran masjid, sambil menunggu langit agak terang. Sekitar pukul lima, baru berjalan pulang ke rumah. "Lang!" panggil Seseorang di belakang,lumayan mengagetkanku. Aku menoleh, ternyata itu Cecep. "Ada apa, Cep?" tanyaku. "Baru pulang lu?" "Iya, serem kalau balik malem-malem." "Gua aja kagak berani patroli malem lagi." "Lu pernah ngalamin kejadian horor juga?" "Baru beberapa hari lalu gua disamperin sama begituan." "Seriusan? Siapa?" "Pak Ayman." Cecep menurunkan volume suaranya. "Berarti bener ya cerita yang beredar. Kalau almarhum gentayangan." "Iya. Mana mukanya serem banget. Ancur gitu, terus jalannya kaya zombie." "Gak usah dijelasin juga kali, Cep," keluhku. Selain tidak sopan, aku juga tidak mau membayangkan bentuknya. Tak terasa kami pun sudah tiba di Blok D. "Pagi gini mau ke mana, Cep?" tanyaku, karena ia terus berjalan di sampingku. "Ke rumah Pak Dika." "Ada apa emangnya?" "Gua dapet kabar kalau Pak Dika jatoh di kamar mandi. Makanya ini mau liat." "Innalillahi, semoga aja gak kenapa-napa." "Huuh." Kami pun melewati rumah Pak Didit dengan selamat. Kemudian berbelok ke Blok E tempat tinggalku. Di ujung jalan sana, terlihat ada dua mobil di depan rumah Pak Dika - suami Bu Salmah. "Mau liat juga, Lang?" tanya Сесер. "Kagak. Gua ngantuk. Mau tidur." "Oh. va udah." Cecep berjalan ke rumah Pak Dika, sementara aku masuk ke dalam rumah. "Son! Samson!" Biasanya jam segini kucing itu sudah ada di depan rumah, meminta makan. Kubuka pintu, lalu berdiri cukup lama menatap ke arah dapur. Bulu kuduk ini langsung meremang. Bergegas aku masuk ke kamar dan berbaring di kasur. Mata yang sudah terasa berat ini, dengan cepat membawaku ke alam mimpi. ARGH! TOLONG! Terdengar suara tangisan dan rintihan saling bersahutan. Sementara aku berdiri mematung di tengah jalan yang begitu sepi. Tak ada pemukiman yang terlihat, hanya deretan pohon yang menjulang tinggi. TOLONG! ADUH! Aku melangkah ke depan. Semakin bergerak maju, suasananya semakin mencekam. Langkah ini terhenti saat melihat banyak ceceran darah di jalan. TOLONG! Aku lanjut melangkah, meski kaki ini sudah berlumuran darah. Suara-suara menyayat hati itu semakin terdengar kencang. Dug! Dug! Dug! Langkahku kembali terhenti saat melihat ada puluhan orang sedang bersujud di tengah jalan. Mereka menangis dan merintih kesakitan, sembari membentur-benturkan kepalanya ke jalan.Mata ini tertuju pada satu orang. Orang yang begitu aku kenal. Orang yang selalu aku rindukan. Ibu. Ibu sempat menoleh padaku dan mengulurkan tangannya, seperti meminta bantuan. Kemudian ia kembali membentur-benturkan kepalanya ke jalan. "IBU!" Aku berteriak sembari belari ke arahnya. Namun, jalanan yang kupijak tiba-tiba runtuh. Seketika itu, aku pun terbangun dari tidur. Kutatap langit-langit. Tak lama tangis pun pecah. Apa maksud mimpi barusan? Apa yang terjadi pada ibu? Apa ada hubungannya dengan yang terjadi di perumahan ini? BERSAMBUNGAyah berlari ke arah jendela, "HAMID!" panggilnya. Rasanya tak mungkin jika Hamid melompat ke bawah. "HAMID!" Kami pun berlari ke bawah. "Ada apa, Yah?" tanya Ibu yang baru saja ke luar kamar. "Hamid gak ada, Bu!" sahut Ayah. "Nggak ada gimana?" "Nggak ada di kamarnya!" "Mungkin lagi di kamar mandi." "Nggak ada, Bu!" sahutku. "Tadi kamarnya dikunci, pas Ayah dobrak, Hamid gak ada di dalem. Cuman jendela kamarnya kebuka," imbuhku. "Ya Allah, Hamid ...." Ayah berlari ke pintu depan, lalu ke luar rumah. Sementara aku dan ibu mencari keberadaan Hamid di dalam rumah. Kami mencari hampir di setiap sudut rumah, tapi Hamid belum juga ketemu. "Apa mungkin di dalem gudang?" ucapku. "Nggak mungkin. Gundangnya kan dikunci," balas Ayah. "Terus Hamid ke mana? Malem-malem gini." Suara ibu bergetar menahan tangis. "Coba dicek lagi di atas," usul Ayah. Kami pun naik ke lantai dua. Pertama mencari di dalam kamarku. Nihil. Kemudian di kamar Hamid. "Hamid!" teriakku saat men
Aku berlari ke bawah, sambil memegangi perut yang terasa sakit. Darah terus menetes, membasahi lantai dan anak tangga. "Ayah!" teriakku dengan nada panik, saat melihat Ayah sedang duduk di ruang tengah. "Ada apa, Syad?" tanyanya bingung, saatku menghampirinya. Tangisku pecah. "Ada apa, Syad?" tanyanya lagi seraya bangkit dari kursi. "Hamid," balasku, terisak. "Hamid kenapa?" "Hamid nusuk perut aku." Ku tunjukan pensil yang masih menancap di perut. "Nusuk gimana? Orang perut kamu gak kenapa-napa gitu?" Aku melihat ke perut. Tak ada sedikit pun noda darah di pakaian. Kemudian mengangkat pensil yang daritadi kupegang. Ternyata pensilnya pun tidak menancap di perut. "Tadi perut aku berdarah, kok sekarang ...." Sungguh aku sangat bingung. "Mungkin kamu cuman mimpi, tapi kebawa sampai dunia nyata. Makanya sebelum tidur baca doa dulu." "Aku udah baca doa, Ayah. Tadi beneran sakit banget perutnya, sama ke luar darah." "Kenyataannya? Perut kamu gak kenapa-napa, kan?" Sepert
"Ini rumahnya, Yah?" tanyaku. "Iya," balas Ayah. Aku berdiri di depan sebuah rumah berlantai dua. Dari bentuk dan jendelanya, mirip sekali dengan rumah Belanda. Ayah bilang, kalau rumah ini sudah tiga tahun tak ditempati. Terlihat jelas sekali dari cat putihnya yang kusam dan kehitaman. Rumput di halaman depannya pun lumayan tinggi. Cukup untuk menenggelamkan adikku -Hamid. Bagian terseramnya adalah ada satu pohon mangga dan pohon beringin di depan rumah. Hiii ~ melihatnya saja aku sudah merinding. Ngik! Ayah membuka pagar besi yang sudah berkarat, suara decitannya bahkan terdengar ngilu di telingaku. "Ayo, masuk." Kami berjalan melewati rerumputan yang tinggi. "Hamid, jangan jauh-jauh dari kakak. Nanti ilang," candaku disertai tawa. "Bu, kakak ngeledek!" sahutnya. "Arsyad, jangan dibecandain terus adiknya," tegur Ibu. "Iya, Bu." "Awas licin!" ucap Ayah saat menginjakan kaki di lantai teras yang agak berlumut. "Wah, bisa kerja bakti sampe malem ini," celetukku.
Aku berdiri di depan gerbang perumahan. Suasana begitu sepi. Di pos satpam pun tak ada siapa-siapa.Aku melangkah masuk ke area perumahan.Duk! Duk!Terdengar suara langkah, aku menoleh ke kanan. Ada Pak Ayman sedang berlari ke arahku. Namun seperti wujudnya seperti manusia biasa, tidak semenyeramkan dulu."Lang," panggilnya, sembari melambaikan tangan.Aku terdiam, bingung harus merespon apa. Dengan canggung, membalas lambaian tangannya. Kemudian, berlalu menuju rumah.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Puk! Seseorang menepuk pundakku. HUA! Aku berteriak saat melihat Pak Ayman sudah ada di samping."Kenapa teriak?" tanyanya."Kaget, Pak.""Bapak cuman mau ucapin terimakasih.""Terimakasih kenapa, Pak?""Kamu udah bebasin bapak."Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya dibebaskan dari jerat Siluman Anjing?"Sama-sama, Pak," balasku, tak mau mengobrol terlalu lama dengannya agak trauma.Sayup terdengar suara musik senam dari arah lapangan. Dari kejauhan terlihat ada empat orang sedang
Pak Ryan tersenyum, "Halo Gilang. Jangan kaget gitu dong," ucapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah.Rasa bersalah telah bersekongkol dengan Haji Rofi atas kecelakaan itu. Rasa bersalah karena telah membu-nuh Samson. Ya! Pasti itu ulahnya juga."Kok diem aja?" ucap Magdalena. Aku melirik wanita muda berambut panjang itu. Mungkin usianya tak begitu jauh dariku."Kenapa bapak ngelakuin ini semua. Padahal ibu udah baik banget sama bapak. Samson juga gak bersalah," ucapku."Ibu kamu memang baik, tapi salah karena udah ngelahirin kamu. Kalau kucing itu cukup mengganggu.""Apa yang salah dari saya?""Lena, kamu saja yang jelaskan, saya mau menghabisi yang lain dulu." Pak Ryan mengambil belati dari kantung jubahnya. "Kamu tau kenapa saya memakai warna merah?""Saya gak peduli!" sahutku."Hahahahah, merah adalah darah. Saya lah yang biasa ditugaskan sebagai eksekutor." Pak Ryan memutar-mutar belatinya. "Hmm, siapa dulu ya? Gimana kalau Nasrul?" Ia menatap tubuh Kak Nasrul."Bu-nuh saya aja, Pak
Angin berhembus kencang, menggerakan pepohonan di sekitar.Daun-daun kering yang berjatuhan berputar-putar di udara, membentuk pusaran. Sontak kami melangkah mundur, mendekati mobil.Srek! Srek!Terdengar suara langkah kaki dari dalam hutan yang gelap. Langkah yang menyerupai gerombolan hewan.Habib Husein meminta kami berkumpul di satu titik, kemudian membentuk lingkaran. Berjaga-jaga bila ada serangan dari arah tertentu.Habib Husein meminta kami menyalakan flashlight ponsel. Karena suasana begitu gelap, bulan masih bersembunyi di balik awan. Namun, penerangan ponsel saja tidak cukup. Jarak pandang kami terlalu pendek."Bib, kalau pake lampu mobil aja gimana?" usul salah satu santri."Boleh."Ia berlari ke mobil, disusul Kak Hazim dan Om Herman.Bruk!Santri itu tiba-tiba terjatuh ke tanah. Om Herman dan Kak Hazim langsung menolongnya. Baru saja bangkit, ia sudah terjatuh kembali. Malahan kali ini lebih parah. Seperti ada yang menarik kakinya.Ustad Azzam yang melihat kejadian itu t







