Share

Desas- Desus

Author: Agung
last update Last Updated: 2025-07-16 23:09:42

Sudah satu jam aku berdiam diri di masjid komplek. Masih belum menentukan tujuan. Kucoba mengirim pesan ke Ega, tapi belum ada balasan.

Ting!

Panjang umur, akhirnya Ega membalas pesanku.

[Gua gak ada di rumah, Lang]

[Balik kapan]

[Besok]

Aku tak begitu saja percaya dengan ucapannya. Kucoba meneleponnya.

"Apaan, Lang?" ucapnya saat telepon diangkat.

"Lu beneran gak ada di rumah?"

"Iye. Ini gua lagi di rumah saudara."

"Oh ya udah deh."

"Gara-gara kejadian di rumah lu kemaren. Gua jadi takut sendirian di rumah." Aku mencari alasan.

"Oh. Besok aja Lang kalau mau nginep."

"Oke, sip!"

Kututup telepon. Terdengar suara gemuruh di langit. Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di masjid. Lagian, masjid pun sudah terlihat sepi. Hanya ada beberapa jamaah saja yang menunggu waktu isya.

Aku mengendarai motor menuju kedai kopi. Saat melewati Blok A, dari kejauhan terlihat ada orang sedang berjalan dengan kaki picang. Seketika itu teringat omongan Cecep. Kupercepat laju motor, berniat melewatinya. Ia berhenti berjalan, lalu berdiri menghadap ke jalan, seperti ingin menyambutku.

Wus!

bau darah. Dari ekor mata, jelas sekali telihat wajahnya yang hancur. "Astaghfirullah, itu Pak Ayman," batinku, sambil melaju ke arah pos satpam.

Aku berhenti sebentar di pos satpam untuk menyapa Cecep. "Mau ke mana, Lang?" tanyanya.

"Kedai."

"Bukannya tutup?"

"Masa?"

"Tuh liat aja!"

Aku melihat ke sebrang jalan. Benar, kedai kopinya tutup. "Kemarin si Iwan bilang mau buka dari siang. Kok jam segini udah tutup."

"Dari gua dateng juga udah tutup."

Kini aku bingung harus pergi ke mana. Pergi ke rumah saudara pun rasanya tidak mungkin. Di Jakarta hanya ada saudara dari ayah. Itupun semenjak ayah meninggal, aku jarang bertemu. Bahkan terakhir kali ke rumahnya saat lebaran lima tahun lalu. Jadi sangat tidak mungkin tiba-tiba datang ke sana untuk menginap. Sementara itu, saudara dari ibu kebanyakan tinggal di Bogor.

Di tengah kebingungan ini, tiba-tiba hujan turun. "Gua numpang neduh di sini, Cep," ucapku.

"Oke."

Aku turun dari motor dan duduk di pos satpam. "Lu ngapain ke kedai bawa tas, Lang?" tanya Cecep.

"Tadinya gua sekalian mau nginep di rumah temen. Eh, ternyata dia gak ada di rumah."

"Mending lu temenin gua aja di sini. Jaga komplek. Kalau mau, ntar kita patroli bareng."

"Ih, ogah amat. Emangnya Mas Andi ke mana? Dari kemaren kagak keliatan."

"Sakit, udah tiga hari. Gara-gara ngeliat yang lagi gentayangan."

"Siapa?"

"Itu yang insial A."

"Jangan pake insial itu lah." Aku protes karena nama ibu juga berawalan dengan huruf A.

"Lah kan emang huruf depannya itu."

"Langsung aja bilang Pak Ayman gitu."

"Sttt!"

Ya ampun, aku keceplosan!

Hujan mendadak menjadi lebat disertai angin kencang. Tak lama tercium bau anyir yang menyengat.

"Kan!" seru Cесер.

"Lu nyium juga?" tanyaku.

"Iya. Baca doa!"

Aku membaca doa di dalam hati, tapi bau itu tidak juga hilang.

"Astaghfirullah!" teriak Cecep seraya beranjak dari tempat duduknya dan berdiri. Sontak aku pun ikut berdiri.

"Ada apa, Cep?" tanyaku.

"Liat!" Cecep menunjuk tetesan air dari atap pos satpam. Tetesannya berwarna merah, seperti darah.

"Astaghfirullah!" teriakku.

"Masuk! Masuk!" Cecep mengajakku masuk ke dalam pos satpam. Kemudian ia menutup pintunya. "Makanya kalau ngomong itu dijaga, Lang!" omelnya.

"Keceplosan, Cep." Aku tak menyangka kalau kejadiannya akan seperti ini.Perasaan kemarin aku, Ega dan Iwan sempat menyebut namanya, tapi tidak terjadi apa-apa.

Tok!

Tok!

Dua ketukan pelan terdengar di pintu.

Sontak membuat mata kami tertuju pada jendela di samping pintu.

Jreng!

Pak Ayman sudah berdiri di sana dengan wajah hancurnya. Reflek aku menutup mata sambil merapal doa.

Cecep pun ikut berdoa dengan suara lantang.

Bau anyir pun menghilang. "Masih ada, Cep?" tanyaku, masih menutup mata.

"Gak ada," sahutnya.

Aku membuka mata dan melihat ke jendela. Benar, Pak Ayman sudah tidak ada.

"Ini nih akibatnya kalau ada orang meninggal, rumahnya bukan didoain sampe 40 hari, eh malah ditinggal begitu aja," keluh Cecep.

"Emang ngaruh?"

"Iya, kan katanya kalau orang meninggal masih ada di rumah selama 40 hari. Makanya lebih bagus didoain, eh ini malah ditinggal rumahnya."

"Kan berdoa bisa di mana aja, Сер."

"Iya, tapi bagusnya di rumah juga. Kayanya sekarang sisa rumah lu doang yang belum kosong."

"Rumah Pak Dika?" tanyaku. Soalnya kemarin masih terlihat banyak orang.

"Emang lu kagak tau?" Cecep malah berbalik tanya.

"Tau apaan?" Aku pun bingung.

"Lah, Pak Dika kan tetangga lu."

"Jauh, Cep. Beda delapan rumah! Lagian dari pagi gua kagak keluar rumah. Tiduran doang."

"Intinya tadi pagi Pak Dika masuk rumah sakit. Nah terus anggota keluarga yang lain kaya bawa koper gitu. Jadi sekarang sisa rumah lu aja yang ada penghuninya," ucap Сесер.

"Rumah lu aman-aman aja, kan?" imbuhnya.

Sebuah pertanyaan yang sebenarnya malas kujawab. "Aman."

"Sebelumnya gua minta maaf nih, Lang."

"Hah? Kenapa?"

"Gua sempet denger dari omongan warga sini. Kayanya kecelakaan itu emang disengaja."

"Disengaja gimana?"

"Gini ... lu tau kan rombongan mau pergi ke mana?"

"Iya, mau ziarah ke Cirebon."

"Nah! Lu tau gak ketua rombongannya siapa?"

"Kagak tau."

"Namanya Haji Rofi."

"Oh, terus hubungannya apa?"

"Lu kagak tau Haji Rofi?"

"Kagak. Emang dia siapa?"

"Ituloh, pengusaha walet di Menteng."

"Tetep gua kagak tau, Cep."

"Jadi, dia tuh setiap tahun sering ngadain acara ziarah keliling Jawa Barat gitu."

"Ya ... terus."

"Nah, setiap acara itu pasti ada aja kecelakaan dan makan korban."

"Gua kagak terlalu ngerti hal-hal begituan, Cep. Coba ngomongnya yang jelas."

"Kata desas-desus yang beredar di sini sih. Korban kecelakaan itu sengaja ditumbalkan."

"Tumbal tuh apaan?"

"Astaga! Lu kagak suka nonton youtube horor gitu?"

"Kagak."

"Tumbal itu dikorbankan."

"Tujuannya apa?"

"Supaya dia tetep jadi orang kaya."

"Ah, masa sih ampe segitunya. Itu nyawa orang loh bukan kambing."

"Banyak yang begitu."

"Semoga aja itu cuman berita hoax. Apalagi lu bilang dia haji. Kayanya gak mungkin sih."

"Terserah sih mau lu percaya atau gak."

Jujur, aku agak percaya dengan ucapnya itu. Terlebih setelah semua kejadian yang menimpaku. Ditambah mimpi menyeramkan tadi pagi.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Belakang Rumah

    Ayah berlari ke arah jendela, "HAMID!" panggilnya. Rasanya tak mungkin jika Hamid melompat ke bawah. "HAMID!" Kami pun berlari ke bawah. "Ada apa, Yah?" tanya Ibu yang baru saja ke luar kamar. "Hamid gak ada, Bu!" sahut Ayah. "Nggak ada gimana?" "Nggak ada di kamarnya!" "Mungkin lagi di kamar mandi." "Nggak ada, Bu!" sahutku. "Tadi kamarnya dikunci, pas Ayah dobrak, Hamid gak ada di dalem. Cuman jendela kamarnya kebuka," imbuhku. "Ya Allah, Hamid ...." Ayah berlari ke pintu depan, lalu ke luar rumah. Sementara aku dan ibu mencari keberadaan Hamid di dalam rumah. Kami mencari hampir di setiap sudut rumah, tapi Hamid belum juga ketemu. "Apa mungkin di dalem gudang?" ucapku. "Nggak mungkin. Gundangnya kan dikunci," balas Ayah. "Terus Hamid ke mana? Malem-malem gini." Suara ibu bergetar menahan tangis. "Coba dicek lagi di atas," usul Ayah. Kami pun naik ke lantai dua. Pertama mencari di dalam kamarku. Nihil. Kemudian di kamar Hamid. "Hamid!" teriakku saat men

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Hamid

    Aku berlari ke bawah, sambil memegangi perut yang terasa sakit. Darah terus menetes, membasahi lantai dan anak tangga. "Ayah!" teriakku dengan nada panik, saat melihat Ayah sedang duduk di ruang tengah. "Ada apa, Syad?" tanyanya bingung, saatku menghampirinya. Tangisku pecah. "Ada apa, Syad?" tanyanya lagi seraya bangkit dari kursi. "Hamid," balasku, terisak. "Hamid kenapa?" "Hamid nusuk perut aku." Ku tunjukan pensil yang masih menancap di perut. "Nusuk gimana? Orang perut kamu gak kenapa-napa gitu?" Aku melihat ke perut. Tak ada sedikit pun noda darah di pakaian. Kemudian mengangkat pensil yang daritadi kupegang. Ternyata pensilnya pun tidak menancap di perut. "Tadi perut aku berdarah, kok sekarang ...." Sungguh aku sangat bingung. "Mungkin kamu cuman mimpi, tapi kebawa sampai dunia nyata. Makanya sebelum tidur baca doa dulu." "Aku udah baca doa, Ayah. Tadi beneran sakit banget perutnya, sama ke luar darah." "Kenyataannya? Perut kamu gak kenapa-napa, kan?" Sepert

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Rumah Dukun

    "Ini rumahnya, Yah?" tanyaku. "Iya," balas Ayah. Aku berdiri di depan sebuah rumah berlantai dua. Dari bentuk dan jendelanya, mirip sekali dengan rumah Belanda. Ayah bilang, kalau rumah ini sudah tiga tahun tak ditempati. Terlihat jelas sekali dari cat putihnya yang kusam dan kehitaman. Rumput di halaman depannya pun lumayan tinggi. Cukup untuk menenggelamkan adikku -Hamid. Bagian terseramnya adalah ada satu pohon mangga dan pohon beringin di depan rumah. Hiii ~ melihatnya saja aku sudah merinding. Ngik! Ayah membuka pagar besi yang sudah berkarat, suara decitannya bahkan terdengar ngilu di telingaku. "Ayo, masuk." Kami berjalan melewati rerumputan yang tinggi. "Hamid, jangan jauh-jauh dari kakak. Nanti ilang," candaku disertai tawa. "Bu, kakak ngeledek!" sahutnya. "Arsyad, jangan dibecandain terus adiknya," tegur Ibu. "Iya, Bu." "Awas licin!" ucap Ayah saat menginjakan kaki di lantai teras yang agak berlumut. "Wah, bisa kerja bakti sampe malem ini," celetukku.

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Pulang

    Aku berdiri di depan gerbang perumahan. Suasana begitu sepi. Di pos satpam pun tak ada siapa-siapa.Aku melangkah masuk ke area perumahan.Duk! Duk!Terdengar suara langkah, aku menoleh ke kanan. Ada Pak Ayman sedang berlari ke arahku. Namun seperti wujudnya seperti manusia biasa, tidak semenyeramkan dulu."Lang," panggilnya, sembari melambaikan tangan.Aku terdiam, bingung harus merespon apa. Dengan canggung, membalas lambaian tangannya. Kemudian, berlalu menuju rumah.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Puk! Seseorang menepuk pundakku. HUA! Aku berteriak saat melihat Pak Ayman sudah ada di samping."Kenapa teriak?" tanyanya."Kaget, Pak.""Bapak cuman mau ucapin terimakasih.""Terimakasih kenapa, Pak?""Kamu udah bebasin bapak."Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya dibebaskan dari jerat Siluman Anjing?"Sama-sama, Pak," balasku, tak mau mengobrol terlalu lama dengannya agak trauma.Sayup terdengar suara musik senam dari arah lapangan. Dari kejauhan terlihat ada empat orang sedang

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Bayangan Hitam

    Pak Ryan tersenyum, "Halo Gilang. Jangan kaget gitu dong," ucapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah.Rasa bersalah telah bersekongkol dengan Haji Rofi atas kecelakaan itu. Rasa bersalah karena telah membu-nuh Samson. Ya! Pasti itu ulahnya juga."Kok diem aja?" ucap Magdalena. Aku melirik wanita muda berambut panjang itu. Mungkin usianya tak begitu jauh dariku."Kenapa bapak ngelakuin ini semua. Padahal ibu udah baik banget sama bapak. Samson juga gak bersalah," ucapku."Ibu kamu memang baik, tapi salah karena udah ngelahirin kamu. Kalau kucing itu cukup mengganggu.""Apa yang salah dari saya?""Lena, kamu saja yang jelaskan, saya mau menghabisi yang lain dulu." Pak Ryan mengambil belati dari kantung jubahnya. "Kamu tau kenapa saya memakai warna merah?""Saya gak peduli!" sahutku."Hahahahah, merah adalah darah. Saya lah yang biasa ditugaskan sebagai eksekutor." Pak Ryan memutar-mutar belatinya. "Hmm, siapa dulu ya? Gimana kalau Nasrul?" Ia menatap tubuh Kak Nasrul."Bu-nuh saya aja, Pak

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Jubah Merah

    Angin berhembus kencang, menggerakan pepohonan di sekitar.Daun-daun kering yang berjatuhan berputar-putar di udara, membentuk pusaran. Sontak kami melangkah mundur, mendekati mobil.Srek! Srek!Terdengar suara langkah kaki dari dalam hutan yang gelap. Langkah yang menyerupai gerombolan hewan.Habib Husein meminta kami berkumpul di satu titik, kemudian membentuk lingkaran. Berjaga-jaga bila ada serangan dari arah tertentu.Habib Husein meminta kami menyalakan flashlight ponsel. Karena suasana begitu gelap, bulan masih bersembunyi di balik awan. Namun, penerangan ponsel saja tidak cukup. Jarak pandang kami terlalu pendek."Bib, kalau pake lampu mobil aja gimana?" usul salah satu santri."Boleh."Ia berlari ke mobil, disusul Kak Hazim dan Om Herman.Bruk!Santri itu tiba-tiba terjatuh ke tanah. Om Herman dan Kak Hazim langsung menolongnya. Baru saja bangkit, ia sudah terjatuh kembali. Malahan kali ini lebih parah. Seperti ada yang menarik kakinya.Ustad Azzam yang melihat kejadian itu t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status