Share

Menembus Hujan

Author: Agung
last update Last Updated: 2025-08-09 12:32:06

Hujan belum juga reda. Sementara aku dan Cecep masih bertahan di dalam pos satpam. Dari tadi, ia terus memaksaku menonton youtube cerita horor. Semuanya bertemakan pesugihan. Sehingga aku mulai sedikit mengerti tentang hal itu.

"Emang bisa numbalin orang lain, Cep?" tanyaku.

"Bisa banget, Lang," balasnya.

"Enak banget dong! Kaya tanpa ngorbanin keluarga sendiri."

"Iya. Tapi ... kasian keturunannya nanti."

"Kok kasian? Kan enak dapet warisan banyak."

"Namanya harta instan, Lang. Bisa ilang secara instan juga. Di kampung gua dulu ada yang ngelakuin begituan, terus hidup anak cucunya kaya ketiban sial terus, mana miskin pula.

Tapi ada juga yang malah ngelanjutin kelakukan bapaknya. Biar tetep kaya."

"Berarti masuk ke lubang yang sama."

"Iya."

"Lu tau gak bentuk Jin Pesugihan itu kaya gimana?"

"Ada yang bentuknya Kuntilanak, Tuyul, Genderuwo, Pocong dan Siluman."

"Oh, kalau yang bentuknya kaya anjing itu apa ya?" Aku penasaran dengan sosok yang ada di dalam mimpi tadi sore.

"Ya itu Siluman. Emang kenapa lu nanya-nanya?"

"Kagak kenapa-napa, cuman kepo aja."

"Afah iyah?"

"Ih alay."

"Lu gak mungkin tiba-tiba bilang gitu. Pasti ada alesannya."

"Kagak ada! Dah gua cabut dulu." Aku bangkit sambil membawa tas.

"Mau ke mana, Lang?" tanya Cecep.

"Mau ke rumah temen," sahutku.

"Tadi bilangnya gak jadi."

"Barusan dia WA kalau ada di rumah."

"Masih hujan, Lang."

"Ada jas hujan kok." Aku melangkah ke luar, sembari mengedarkan pandangan. Takut kalau Pak Ayman masih ada di sekitar sini. Setelah dirasa aman, bergegas aku membuka jok motor lalu mengambil jas hujan.

"Parah si Gilang malah kabur," ucap Сесер.

"Daripada ngendok doang di dalem pos," sahutku sembari mengenakan jas hujan. "Gua pergi dulu, Cep. Hati-hati."

"Asli lah, cukup tau aja gua ditinggal sendiri."

"Bukannya udah biasa sendiri?" Aku mengambil kunci motor.

"Iya, tapi hari ini beda."

"Sama aja kok, Cep. Dah sana masuk ke pos lagi nanti ada ... hiii."

"Awas lu, Lang!" Cecep masuk ke dalam pos.

Aku naik ke atas motor, lalu menyalakannya. Bergegas meninggalkan perumahan ini.

Sebenarnya, tujuanku bukan ke rumah teman. Melainkan rumah Om Herman adik kandung ibu di Bogor.

Ia adalah satu-satunya keluarga ibu yang paling dekat denganku. Aku juga sering menginap di rumahnya.

Cukup nekat memang pergi dalam kondisi hujan lebat seperti ini. Namun, ini jauh lebih baik daripada berdiam diri di dalam pos sampai pagi.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba aku teringat dengan Samson. Lupa meninggalkan makanan untuknya. Ingin kembali ke rumah, tapi ... situasi tidak mendukung. Tidak hujan saja, perumahan sudah sangat horor. Apalagi hujan begini.

Setelah menempuh 30 menit perjalanan. Hujan sudah mulai reda. Aku bertepi di pinggir jalan untuk melepas jas hujan. Kemudian mencari tempat makan.

Di sela-sela menunggu pesanan datang, aku mengambil ponsel di dalam tas, lalu menelepon Ega.

"Assalamualaikum," ucapku saat telepon diangkat.

"Walaikumsalam," balas Ega. "Ada apa lagi, Lang?"

"Lu besok balik jam berapa?"

"Belum tau, Lang. Emangnya kenapa?"

"Gua mau nitip sesuatu boleh ga?"

"Nitip apaan? Jangan aneh-aneh."

"Ngasih makan si Samson."

"Lah emang lu ke mana?"

"Gua sekarang lagi mau ke Bogor."

"Malem-malem begini? Emang ada bus?"

"Naek motor."

"Beuh! Nekat amat."

"Ya, daripada di rumah sendirian."

"Bukannya lu bilang di rumah aman-aman aja?"

"Iya, tapi gua pusing kagak bisa ke mana-mana. Tadi aja gua ketemu sama Pak Ayman. Mana dia ngejar gua sampe pos satpam."

6

"Idih makin serem aja."

"Mana pas gua mau ke kedai, eh tutup."

"Oh si Iwan lagi sakit."

"Sakit kenapa?"

"Panas dingin. Katanya gara-gara pas kemarin tutup kedai ngeliat Pak Ayman duduk di depan kedai."

"Bah! Itu orang, eh setan jalan ampe sana?"

"Iya, untung kita buru-buru balik kemaren."

Pesananku datang. "Eh, gua mau makan dulu."

"Oke, Lang."

"Jangan lupa kasih makan si Samsom. Kasian dia ntar kelaparan."

"Oke."

Telepon ditutup. Bergegas aku menyantap makanan yang sudah tersedia di meja. Setelah perut ini kenyang, aku melanjutkan pejalanan.

Hujan turun saat aku tiba di perbatasan Jakarta - Bogor. Aku berhenti di depan toko yang sudah tutup untuk berteduh. Kuambil ponsel, lalu melihat jam - pukul sebelas malam. Sepertinya aku harus menerobos hujan, daripada menunggu hujan reda.

Aku kembali mengenakan jas hujan, lalu meluncur ke rumah Om Herman. Tubuh ini mulai gemetar. Kedinginan. Lelah fisik dan mental pun mulai kurasakan. Padahal belum genap sepuluh hari ibu meninggalkan dunia ini, kenapa hidupku sudah kacau begini.

Kini aku mulai bertanya-tanya. Apa ibu tidak sayang padaku? Kenapa ia datang dan mengganggu hidupku? Padahal aku selalu mendoakannya. Apa mungkin doaku masih kurang untuk membuatmu tenang, Bu? Aku tak bisa menahan tangis. Beruntung air mata ini cepat menghilang tersapu air hujan.

Aku melajukan motor dengan kecepatan sedang, memasuki area perumahan tempat tinggal Om Herman. Area perumahan yang sangat nyaman dan ramai. Seperti perumahanku dulu, sebelum kecelakaan maut itu terjadi.

Aku menghentikan motor tepat di depan rumah berpagar hitam dan melepas jas hujan. Kemudian, menelepon Om Herman. Cukup lama sampai akhirnya telepon diangkat.

"Assalamualaikum, Om," sapaku.

"Walaikumsalam. Ada apa, Lang?" sahutnya.

"Aku ada di depan rumah, Om."

"Ah, kamu jangan bercanda."

"Aku gak bercanda, Om. Coba liat sendiri di depan."

Selang beberapa saat kemudian, terlihat gordin depan rumah bergerak dan terbuka sedikit. Terlihat seseorang sedang mengintip ke luar.

Krek!

Pintu depan terbuka. Om Herman bersama Aurora - anaknya yang berusia enam tahun, berjalan menghampiriku. "Ini beneran Gilang?" tanya Om Herman, sembari membuka pagar.

"Iya, Om. Siapa lagi?" sahutku.

"Udah aku bilang jangan disuruh masuk. Papah gak percaya sih!" ucap Aurora.

"Loh? Kenapa Kak Gilang gak boleh masuk?" tanyaku.

"Bukan Kak Gilang yang ini, tapi Kak Gilang yang tadi ada di dalam!"

Aku menatap wajah Om Herman. "Maksudnya apa, Om?"

"Kamu masuk dulu! Nanti Om ceritakan." Om Herman memintaku masuk ke rumahnya.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Jangan Pulang

    Sore ini, jalanan di sekitar Bogor seperti penghijauan. Penuh dengan angkot berwarna hijau. Hampir setengah jam, mobil hanya bergerak beberapa meter."Bisa malem nih sampenya," celetukku.Om Herman hanya tertawa sambil memperhatikan jalan. "Kalau sampenya malem ntar nginep aja di sana.""Setuju, Om! Dari pada nanti liat anak kecil nyebrang jalan lagi.""Kamu itu emang sensitif atau bisa liat?"Aku bingung dengan pertanyaannya, "Maksudnya apa, Om?""Maksudnya sering liat hantu atau sejenisnya?""Gak pernah, Om. Baru beberapa hari terakhir ini aja.""Hmm, Om kira emang bisa ngeliat dari dulu.""Kalau itu iya, Om. Nih lagi liat jalanan."Om Herman tertawa. "Tadi Aurora bilang apa?""Dia bilang ada Anjing Hitam di atas mobil ini.""Oh, mungkin itu yang bikin mobil gak bisa nyala.""Kayanya begitu.""Sekarang ada?""Nah ... aku gak tau Om. Soalnya yang liat cuman Aurora."Setelah satu jam lebih berkutat dengan kemacetan. Kini jalanan sudah agak lengang. Mobil melaju dengan cepat ke sebuah

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Anjing Hitam

    Aku bangkit lalu berlari ke arah jendela untuk menutup gordin. Tak mau kalau tiba-tiba ada sosok lain yang muncul. Kuambil ponsel, ternyata baru pukul tiga pagi.Aku berbaring sambil menghadap kiri membelakangi jendela. Kemudian memutar video murotal Al Qur'an di youtube, sambil menunggu waktu subuh tiba.Satu jam berlalu, azan subuh berkumandang. Bergegas aku bangkit dan berjalan ke kamar mandi, untuk mengambil wudu.Setelah salat subuh, aku turun ke bawah untuk mengambil minum. Tak sengaja berpapasan dengan Om Herman. "Kirain udah tidur, Lang," ucapnya."Belum, Om. Ini baru mau tidur," balasku. "Om belum tidur juga?" imbuhku, sambil menuangkan air ke dalam gelas."Tadi sempet tidur sebentar terus kebangun," balasnya."Om mimpi ibu kamu datang ke sini, Lang," sambungnya, membuat tenggorokanku sedikit tercekat."Mimpinya gimana, Om?" tanyaku."Om cuman liat ibu kamu berdiri di deket jendela.""Ibu gak bilang sesuatu, Om?""Enggak.""Aku bingung, kenapa ya ibu jadi begitu.""Makanya bi

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Berita Duka

    Mobil sudah memasuki area perumahan. Tak berselang lama tiba di jalan depan rumah Om Herman. Aku menatap lurus ke depan. Tak terlihat ada sesuatu yang aneh. Kemudian turun, untuk membuka pagar.Setelah mobil masuk garasi, dengan cepat kututup pagar. Perasaan ini tidak enak saat melihat jalan. Seperti ada yang memperhatikan gerak-gerikku. Bulu kuduk ini meremang. Bergegas aku berlari menuju teras.Om Herman turun dari mobil. "Ada apa, Lang?" tanyanya."Gak ada apa-apa, Om," balasku."Oh. Kirain habis liat sesuatu.""Aman, Om."Om Herman membuka pintu. Kami pun masuk ke dalam lalu kembali ke kamar masing-masing. Di dalam kamar aku masih kesulitan untuk tidur.Mungkin ini efek kemarin tidur siang terlalu lama.Kuambil ponsel, lalu menatap layar depannya cukup lama. Terlihat foto ibu, aku dan Kak Nasrul saat liburan di Bali, tahun lalu. Jemari ini bergerak, menekan aplikasi google. Ada yang ingin aku cari. Tentang kronologi kecelakaan maut itu. Soalnya, semenjak kabar duka itu datang, tid

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Mereka Mengikutiku

    Om Herman memintaku duduk di sofa, kemudian ia pergi ke dapur. Sementara itu, Aurora terus menatapku dengan mata tajam. "Ada apa?" tanyaku."Mereka terus meminta tolong ya, Kak?" tanyanya."Siapa?""Itu ... orang-orang berwajah menakutkan yang ikut sama kakak."Aku mengerti maksudnya. "Dari mana kamu tau?""Salah satunya datang duluan ke rumah in, Kak.""Tidur, sayang. Udah malem." Om Herman datang sambil membawa segelas teh hangat."Iya, Papah!" Aurora bangkit dan berlari ke kamarnya.Om Herman duduk di dekatku."Tumben banget, Lang. Datang ke Bogor tengah malem terus naek motor. Mana kehujanan juga.""Iya, Om. Lagi pengen aja main ke sini," balasku."Kan bisa besok pagi atau siang. Kenapa harus malem-malem?""Lebih enak malem, Om. Sepi plus dingin.""Yang jujur, Lang. Om tau pasti ada sesuatu."Aku menghela napas. "Sebenernya, emang ada sesuatu, Om. Apa Om percaya sama setan gentayangan?""Percaya.""Om pernah liat?""Pernah beberapa kali.""Nah, semenjak kejadian kecelakaan maut it

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Menembus Hujan

    Hujan belum juga reda. Sementara aku dan Cecep masih bertahan di dalam pos satpam. Dari tadi, ia terus memaksaku menonton youtube cerita horor. Semuanya bertemakan pesugihan. Sehingga aku mulai sedikit mengerti tentang hal itu."Emang bisa numbalin orang lain, Cep?" tanyaku."Bisa banget, Lang," balasnya."Enak banget dong! Kaya tanpa ngorbanin keluarga sendiri.""Iya. Tapi ... kasian keturunannya nanti.""Kok kasian? Kan enak dapet warisan banyak.""Namanya harta instan, Lang. Bisa ilang secara instan juga. Di kampung gua dulu ada yang ngelakuin begituan, terus hidup anak cucunya kaya ketiban sial terus, mana miskin pula.Tapi ada juga yang malah ngelanjutin kelakukan bapaknya. Biar tetep kaya.""Berarti masuk ke lubang yang sama.""Iya.""Lu tau gak bentuk Jin Pesugihan itu kaya gimana?""Ada yang bentuknya Kuntilanak, Tuyul, Genderuwo, Pocong dan Siluman.""Oh, kalau yang bentuknya kaya anjing itu apa ya?" Aku penasaran dengan sosok yang ada di dalam mimpi tadi sore."Ya itu Siluma

  • 7 Hari Setelah Ibu Pergi    Desas- Desus

    Sudah satu jam aku berdiam diri di masjid komplek. Masih belum menentukan tujuan. Kucoba mengirim pesan ke Ega, tapi belum ada balasan.Ting!Panjang umur, akhirnya Ega membalas pesanku.[Gua gak ada di rumah, Lang][Balik kapan][Besok]Aku tak begitu saja percaya dengan ucapannya. Kucoba meneleponnya."Apaan, Lang?" ucapnya saat telepon diangkat."Lu beneran gak ada di rumah?""Iye. Ini gua lagi di rumah saudara.""Oh ya udah deh.""Gara-gara kejadian di rumah lu kemaren. Gua jadi takut sendirian di rumah." Aku mencari alasan."Oh. Besok aja Lang kalau mau nginep.""Oke, sip!"Kututup telepon. Terdengar suara gemuruh di langit. Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di masjid. Lagian, masjid pun sudah terlihat sepi. Hanya ada beberapa jamaah saja yang menunggu waktu isya.Aku mengendarai motor menuju kedai kopi. Saat melewati Blok A, dari kejauhan terlihat ada orang sedang berjalan dengan kaki picang. Seketika itu teringat omongan Cecep. Kupercepat laju motor, berniat melewatinya. I

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status