Share

Maaf

"Hati gue ada di tangan lo. Dijaga atau dihancurkan itu terserah lo. Asal jangan lupa bilang-bilang. Satu hal, kalo gue nangis, jangan heran."

-Anara Emiley

***

"Punya pacar tukang ngekang,"

"EAAAA!"

"Sekali selingkuh, tamparan melayang!"

"EAAAA!"

"Anara cantik punya-nya akang." Daver, Ander, dan Rino diam menunggu isi pantun selanjutnya dari Evan.

"Neng harus tau, kalo akang selalu sayang!" seru Evan melanjuti. Ia bertepuk tangan sendiri karena bangga dengan pantun yang dibuatnya. Teman-temannya langsung menyambut dengan tawa yang berbahak-bahak.

Sedangkan Anara, tubuhnya merinding geli mendengar pantun menjijikan dari Evan.

"Sebenernya garing pantunnya," sahut Ander. Evan memicingkan mata karena kesal.

Ander mengaitkan tangannya di pilar bertujuan untuk menghalangi jalan Anara. "Mau ke mana, Ra?"

Anara mendengus sebal. "Bisa gak gak usah halangin? Gue mau ambil buku."

"Apa? Halalin?"

Rino menarik telinga Evan. "Maaf, ya, Ra. Harusnya Evan masuk SLB. Tapi dia malah masuk ke sekolah ini. Ya, lo ngerti maksud gue, lah."

Mendengar itu, Evan langsung menarik cabang rambut Rino sehingga keluar erangan keras dari laki-laki itu.

Anara jadi tertawa karena tingkah mereka. Kemudian ia menyadari sesuatu. "Oh, ya, kalian ngapain di luar kelas? Bukannya belajar malah ngobrol di luar kelas. Keliatan di CCTV tau! Kebiasaan buruk!"

Rino tertawa kecil lalu mengibaskan tangannya ke udara. "Ah, Anara, kayak gak tau kita aja."

Anara menggelengkan kepalanya berulang kali. Sudah bukan hal asing lagi karena mereka sering melakukan ini.

Tanpa sengaja, pandangan Anara meleset ke arah Daver. Karena tumben, Daver tidak menyahut seperti biasanya.

Tepat sekali. Daver juga sedang melihat Anara.

Mungkin Anara sudah terlalu suka. Sampai-sampai hanya karena bertatap mata saja, hati Anara berdesir.

Mata Anara berbinar saat melihat Daver hendak mengeluarkan suara. "Ra, liat Fara gak?"

Anara mengepalkan tangannya saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan dari mulut Daver.

Bukan itu pertanyaan yang Anara mau.

"Tanya aja ke gua, gua tau. Kan, sekelas gua," celetuk Ander karena laki-laki itu kesal dengan Daver. Sudah tahu Anara suka padanya, tetapi dia malah bertanya tentang perempuan lain kepada Anara. Memanas-manasi atau bagaimana?

Ander tahu. Meski hanya pertanyaan kecil, itu mampu menghancurkan hati Anara. Ia peka.

Daver bersandar pada dinding. Lalu menaik-turunkan alisnya karena Anara belum juga menjawab. Pada saat itu juga, Anara meneguk ludahnya. Daver mampu menarik perhatian Anara hanya dengan memainkan alisnya.

"Gak tahu. Tanya aja sahabat lo. Udah, minggir!" Anara menepis lengan Evan dengan keras sampai laki-laki itu meringis kesakitan.

"Lo kan sahabat gue juga," celetuk Daver saat Anara berjalan melewati mereka.

Anara kesal. Dasar Daver bodoh! Masa bodo dengan pertanyaan itu. Fara terus yang dipertanyakan. Bagaimana dengan hatinya yang belum pernah diperhatikan?!

"Anara! Ih, sakit tau! Pelan-pelan napa kalo mau nepis!" Evan berteriak seraya mengelus tangannya yang kena korban tepisan keras Anara.  Perempuan itu berjalan menjauh meninggalkan mereka. "Lo apaan dah, Dav? Sengaja bikin Anara kesel?"

Daver menggeleng. "Cuma nanya. Tapi Anara baperan."

"Dia gak keliatan marah tapi mukanya langsung jutek banget, yak," komentar Rino. Memang benar. Anara tidak menunjukkan secara langsung bahwa dia cemburu. Tetapi wajah Anara sudah cukup untuk mendeskripsikannya.

"Bego, sih," kata Ander. Daver langsung menoleh. "Fara lagi jaga di UKS. Lagi tugas," lanjut Ander untuk menjawab pertanyaan Daver yang tadi ditanyakan.

"Siapa bego?" Daver memicingkan matanya kesal.

"Lo," ucap mereka bertiga serempak.

"Anara itu sahabat kita juga. Sekawanan kita juga. Lo tau dia suka sama lo, ya, lo hargain, lah. Jangan kayak gitu," cetus Rino. Sedangkan yang diceramahi malah menguap karena mengantuk.

Daver memperbaiki letak jam tangannya. "Iya, gue hargai dia kok. Siapa bilang enggak?"

"Kita bilang enggak." Ander maju beberapa langkah agar ia berdiri di sebelah Daver. "Anara sahabat kita, sahabat gue. Gue gak suka sahabat gue disakitin. Apalagi perempuan."

Walaupun Ander bandel, tapi tetap saja. Ander paling anti kalau soal menyakiti perempuan. Itu dikarenakan Ander sangat menyayangi ibunya.

Sebenarnya yang lain pun sama sayangnya dengan ibu mereka. Tapi pikiran mereka tidak sedewasa Ander.

Rino mengangkat kakinya untuk mengikat tali sepatu. "Lo ilfeel sama Anara?"

Daver menggeleng. "Nggak. Dia gak ngelakuin apa-apa, kenapa gue harus ilfeel?"

"Nanya doang, keliatannya gitu soalnya," balas Rino sekenanya. Sedikit menyenggol hati dan pikiran Daver.

Daver merasa tidak enak apabila memang terlihat seperti itu. Daver sama sekali tidak bermaksud untuk bersikap lain pada Anara semenjak tahu soal perasaan perempuan itu.

Lagian, Daver belum sepenuhnya percaya.

"Ntar gue minta maaf deh sama Anara," ucap Daver tiba-tiba. Heran, ya. Daver suka sekali minta maaf. Karena pada dasarnya memang dia orangnya tidak enakan.

Ya.. walau kadang dia suka tidak sadar kalau sikapnya tidak enak diterima orang.

"Good boy." Evan menepuk kepala Daver beberapa kali selayaknya hewan. Melihat itu, Rino dan Ander terkekeh. Sedangkan Daver, ia melempar tatapan menerkam.

Rino mengintip kondisi kelas lewat jendela. Karena daritadi mereka berada di luar kelas. Berhasil keluar dengan alasan izin ke toilet tadinya. "Eh, iya, gue balik ke kelas, deh. Takut soalnya lagi guru IPA. Galak."

"Masih pengen di sini," jawab Daver dan Evan kompak. Setelah itu, mereka menatap satu sama lain dan tertawa.

Kebisaan mereka adalah tertawa dengan hal terkecil sekali pun. Apa pun itu.

Ander menepuk lengan Daver dan Evan bergantian. "Ayo, lah, masuk." Lalu ia berjalan duluan masuk ke kelas.

🥀🥀🥀

Bel pulang berdering. Anara melangkahkan kakinya keluar dari kelas dengan malas. Ia tak berjalan beriringan dengan Fara. Tidak tau apa alasan yang jelas. Anara hanya sedang tidak mood untuk bersama Fara.

Anara melewati parkiran motor SMA Zavera. Langkahnya terhenti ketika ia melihat Alvano berlari menghampirinya dengan berlari.

"Hai Princess Anara," sapa Alvano. Ia membungkukkan sedikit tubuhnya untuk menyejajarkan tingginya dengan Anara.

"Tumben lo. Ada maunya ya?" Anara tersenyum tipis. Jika mood-nya sedang baik, pasti Anara akan tersenyum selebar-lebarnya.

"Kagak. Muka lo mesem bener. Kenapa lo? Sakit hati lagi, ya?" Alvano menyipitkan matanya. Wajahnya kini terlihat menyebalkan karena seperti meledek Anara.

"Sok tahu," balas Anara.

Alvano melihat Anara dengan intens. "Lagian lo kan mesem cuma kalo lagi kesel, sakit hati, sama nilai jelek."

Memang benar. Hanya tiga alasan itu yang membuat wajah Anara berkerut kesal. Sebenarnya ada satu lagi, yaitu masalah yang ada di dalam keluarganya. Tapi Alvano sudah cukup benar menebak dirinya.

"Ra!"

Anara dan Alvano langsung mengarahkan pandangan kepada Daver. Laki-laki itu berlari ke arah mereka. Alvano mengembuskan napas kasarnya spontan. Mengapa Daver mengganggunya?

Sedangkan Anara, malah senang melihat Daver. Matanya tidak lepas memandang cowok itu.

"Tinggal dulu dong." Daver meminta Alvano untuk meninggalkannya dengan Anara. Lagi-lagi Alvano menghela napas panjang.

"Ngapain lo? Penting emangnya?" Alvano mengangkat alisnya kesal. Daver mengangguk.

"Awas lo apa-apain Anara," ucap Alvano sebelum ia meninggalkan Daver dan Anara.

Daver mengerutkan dahinya. Alvano terlihat tidak seperti biasanya ia bersama dengan seorang perempuan. Sikapnya berbeda. Tatapannya pun juga.

"Nyari Fara, ya? Gue gak tahu—"

"Nggak nyari dia," potong Daver cepat. Ia meneguk ludahnya kasar. Mendadak lupa apa tujuan awalnya menemui Anara.

"Terus?" Anara menatap kedua mata Daver. Hatinya berdegup, sungguh. Anara tidak mau munafik.

Meskipun mata Daver seakan sumber dari rasa sakitnya, Anara nyaman menatapnya. Tidak bermaksud terdengar lebay. Namun, Anara sedih saat menatap mata Daver.

Seperti ada suara yang mengatakan, lo gak akan dapetin laki-laki ini, Anara.

Dan itu menyakitkan baginya.

"Maaf, ya." Daver tidak menunggu apa-apa. Ia langsung mengatakannya. Sedetik kemudian, Daver menyengir. Ia merasa suasana berubah menjadi canggung.

Anara membeku. Itu sangat terdengar manis dari mulut Daver. Namun, ia berpikir akan kesalahan apa yang Daver perbuat sampai harus meminta maaf padanya.

"Buat apa?"

Daver bungkam. Tidak tau mau menjawab apa. Lagian, kenapa juga Daver tidak mempersiapkan jawaban sebelumnya?

Konyol, kan, kalo Daver menjawab, "soalnya tadi gue nyakitin hati lo"?

Daver berkacak pinggang. "Buat.. apa gitu? Gue ada salah gak tadi? Sampe bikin lo kesel kayak tadi."

Anara bermain dengan logikanya. Tadi Anara kesal karena ia cemburu. Lalu, memangnya Daver tahu kalau Anara cemburu atau semacamnya?

Daver tersenyum saat Anara diam. Senyum ini adalah senyum sehari-hari Daver yang tidak dibuat-buat. Namun, senyum itu yang dapat membuat hati Anara berdebar tak karuan.

"Ga-gak tau. Udah gak usah minta maaf. Lagian lo gak ada salah," mata Anara melihat ke arah lain. Ke mana saja, asal tidak menatap kedua manik Daver.

"Masa sih gak ada salah?" Anara mengulum senyumnya. Ia mengangguk, menjawab pertanyaan Daver.

"Pokoknya kalo gue bikin lo sedih atau kesel, gue minta maaf," ucap Daver pada akhirnya. "Btw, lo lagi deket sama Alvano, ya?"

Anara tahu pasti Daver hanya basa-basi dengannya. Tapi Anara tidak suka dengan topik basa-basinya. Karena dengan pertanyaan itu, seakan-akan menggambarkan bahwa Daver peduli terhadap orang-orang yang dekat dengan Anara. Padahal tidak.

"Nggak."

"Terus deketnya sama siapa?"

Anara mengangkat kepalanya karena Daver lebih tinggi darinya. "Maunya sama siapa?"

"Kok balik nanya?" setelahnya, Daver tertawa.

"Udah, deh. Gak usah kepo sama urusan gue. Kenapa gak basa-basi yang lain aja? Tanya aja ke gue yang kayak biasa lo tanyain ke gue. Tentang Fara gitu misalnya," kata-kata Anara sebenarnya menyebalkan di telinganya sendiri. Namun, biarlah. Anara sudah kebal.

Ada sesuatu tentang Fara yang ingin Daver tanyakan pada Anara. Tetapi Daver menahan dirinya. Ia rasa ia tidak perlu bertanya.

"Gak mau nanya apa-apa."

Saat mendengar Daver menjawabnya dengan kalimat itu, Anara merasakan bahwa baru kali ini ia senang di hari ini.

Padahal kalimat itu tidak menunjukkan tanda apa-apa. Tanda bahwa Daver sudah tidak menyukai Fara, misalnya.

"Ya udah. Gue mau pulang," balas Anara.

Ada satu harapan Anara. Daver akan menawarkan tumpangan untuk pulang bersama. Sayangnya itu mustahil.

Nihil. Daver menyisir rambutnya dengan tangan. Lalu ia sengaja batuk untuk menghilangkan serak di tenggorokannya. "Gue juga mau pulang."

Anara masih diam di tempat. Masih juga ia berharap mendengar kata tawaran dari mulut Daver.

3 detik. 5 detik. 10 detik.

Anara menghentakkan kakinya ke aspal sampai membuat Daver bingung melihatnya. Ia kesal tapi tidak berani mengucapkannya langsung.

"Kenapa lo?" Daver bertanya langsung.

Rasanya Anara ingin bersumpah serapah di depan wajah Daver. Kenapa hati laki-laki ini begitu keras dan tidak peka?

"Gak apa-apa. Gue duluan." Anara membalikkan tubuhnya. Ia meninggalkan Daver di tempatnya tanpa melihat wajah laki-laki itu lebih dulu.

Daver terkekeh. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dasar Anara."

Saat Anara berjalan semakin jauh darinya, Daver tersenyum tipis. Batinnya terus membahas, apa bener dia suka sama gue?

Daver hanya tidak yakin. Karena Anara kelihatan selalu kesal padanya.

"Ra!" teriak Daver.

Anara menolehkan kepalanya. "Hm?"

Daver berlari mendekati Anara. Gadis itu langsung membalikkan tubuhnya.

"Pulang bareng mau gak?"

Napas Anara tertahan. Maksud lo apa, sih, Dav?

Daver berteriak lagi, menyadarkan Anara dari lamunannya. "Diem berarti mau, ya!"

Anara tertegun. Bagaimana ia bisa menolak jika Daver yang mengajaknya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status