Bruk!
Raveena menepuk keras meja kantin dengan wajah tak bersahabat. Setelah mendaratkan bokongnya di salah satu kursi, gadis itu segera menenggelamkan wajahnya di atas tangan yang terlipat. Johan–pacar Raveena hanya tertawa kecil melihat tingkah laku pacarnya. Cowok itu sudah tau apa yang terjadi.
"Rasen, ya?" tebak Johan tepat sasaran. Raveena hanya menganmgguk pelan. "Yaudah nggak usah dipikirin juga kali, biarin aja. Ntar juga bayar," kata Johan sambil fokus memainkan games di ponselnya.
"Biarin? Aku tuh udah sering ngebiarin dia. Tapi kayaknya tuh orang nggak ngerti-ngerti," ucap Raveena setelah menegakkan kembali posisinya. "Aku sering kena tegur gara-gara tunggakan si Rasen. enak di dia, nggak enak di aku," adunya.
"Semua jabatan punya resiko masing-masing Vee, termasuk jadi bendahara. Kalau lo nggak sanggup kenapa dari awal harus nyalonin coba? Baru jadi Bendahara aja udah ngeluh kayak orang stress. Gimana punya jabatan lebih tinggi. Kek Ketua Osis misalnya." Johan menasihati, tapi padangannya tidak beralih sedikitpun.
"Sorry, nggak minat jadi Ketos."
"Yakan kata gue juga misalnya, Vee. Elah, sensi amat," kata Johan. "Euh, noob. Sialan," keluhnya yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Hari ini ada acara nggak?" tanya Raveena.
"Ada," jawabnya singkat. "Eh-eh kanan, kanan. Serang bege!" umpatnya.
Raveena hanya diam mengamati. Sudah biasa diacuhkan.
"Kalau lagi ngobrol tuh sambil liat orangnya, bukan games terus," tegur Raveena. Moodnya tiba-tiba lebih buruk. Tidak Rasen, tidak Johan. Semuanya menyebalkan.
"Gue kan lagi main games, Vee."
"Games terus yang dipikirin." Johan hanya menoleh sekilas kearah Raveena yang menatap dengan sorot mata kecewa, lalu kembali pada aktivitasnya.
"Serah gue lah, yang penting gue nggak lupa kalau lo pacar gue," ujar Johan santai.
"Udah lupa kali."
"Apa, Vee?"
"Nggak jadi. Udah ketelen."
Raveena mendengkus kasar. Niatnya betemu dengan Johan ingin menumpahkan semua keluh kesahnya. Bercerita panjang lebar seperti pasangan lain. Tapi ternyata niatnya salah, dengan menemui Johan malah membuat keadaan hatinya semakin tak karuan. Lihatlah, Johan sibuk sendiri.
"Bisa nggak sih, pas kita ketemu gini jangan dulu main games dulu?"
"Kenapa? Nggak ngerugiin lo perasaan. Hape-hape gue. Paketan-paketan gue. Napa lo yang repot."
Untuk kesekian laginya, Ravena mengalah. Tersenyum kecut.
---o0o---
"SERANG-SERANG!! WOY DAFF, BANTUIN GUE HANYING. LAWAN-LAWAN!" teriak Romi heboh yang tengah menatap serius layar ponselnya. Jari-jari nya tak diam di satu tempat. Mendominasi layar ponselnya.
"Bentaran-bentaran," sahut Daffa sama hebohnya. "ANJIR, ANJIR LOADING!"
"MAJU DAF, MAJUUUU!"
"Siap! Serang, Rom. Eh-eh bangke!" pekik Daffa keras-keras. Cowok itu tengah memainkan games online di ponselnya. Dimana Romi juga ikut sebagai partnernya.
Berbeda dengan Rasen yang hanya diam memperhatikan. Bukan karena Rasen tidak memilik ponsel. Hanya saja menurut Rasen jika bermain games di waktu belajar sepertinya akan kurang nikmat. Masalahnya nggak bisa ngomong kasar dengan bebas.
"ANJAY NOOB! Ah, udahan deh Daff. Kering tenggorokan gue." Romi menyudahi seraya mengelap pelipis kanan-nya yang berkeringat. Posisi Romi dan Daffa memang sengaja duduk berjauhan. Romi di bangku paling ujung dan Daffa di bangku paling depan. Katanya biar ada sensasi.
"Gimana nggak kering, orang lo teriak-teriak kek orang utan," komentar Rasen yang memang sedaritadi duduk di dekat Romi.
"Yayaya, anggap aja gue lagi konser BTS." Romi menanggapi secara ngasal.
Rasen hanya menautkan kedua alisnya beberapa detik. Lalu membuka ponselnya acuh. "Eh, Rom. Lo punya yang terbaru nggak sih? Rekomended gitu ke gue," ucap Rasen tanpa mengalihkan pandangannya.
"Maksud lo?" tanya Romi.
"Ah, lo mah kayak yang nggak ngerti aja!" Rasen tersenyum miring.
"Ada sih, lo mau?"
"Mau dong mau! Coba kasih tau gue," balas Rasen semangat.
Romi mengedarkan pandangannya kesagala arah. Memastikan keadaan benar-benar aman sebelum ia berbicara kembali. Selanjutnya Romi menggeser tempat duduknya lebih dekat. "Ntar gue kasih tonton sama lo, tapi nggak sekarang, soalnya ada di laptop gue."
"Kok di laptop?!"
"Bego maneh. Kalau di Hp ntar ke-razia mampos!" ujar Romi. "Gue sering nonton bareng sama Daffa. Mau ngajak lo, tapi lo nya sibuk. Ya-berdua deh sama si Daffa," lanjutnya lagi.
"Emang film apaan sampe bakal kena razia kalau di simpen di Hp? Kan gue—eh, bentar-bentar. Lo ngomongin apaan sih?" tanya Rasen mulai merasa ganjal.
"Bukannya lo mau gue kasih rekomended video terbaru, yak? Mau yang kayak gimana, guru les? Temen sekelas? Atau-video Hitomi Tanaka yang super—"
"EH BANGSUL! Maksud gue bukan video ena-ena njir. Bukan yang kayak gitu!" ujar Rasen setelah tau apa yang dikatakan oleh Romi. "Gue nyuruh rekomended film barat. Astaga Romi!"
"Lah, masih musim film barat? Sekarang tuh lebih ekstrim nonton video yang kayak gue sebutin tadi."
"Oalah, asyuu kau."
"Eits, apanya yang salah? Lumayan bre, menambah ilmu dalam bab surga dunia. Biar ntar pas malam pertama lo nggak terlalu polos."
"Gue lagi nggak mau nambah dosa. Kalaupun mau, gue nggak akan minta video nya sama lo. Gue bisa download sendiri. Paketan gue banyak," kata Rasen. Setelah mengatakan itu Rasen bangkit berdiri membuat Romi ikut mendongakkan kepalanya.
"Kemana lo?" tanya Romi.
Rasen hanya menanggapi singkat. "Kesana dulu. Ada urusan."
Lalu kakinya melangkah maju ke bangku paling depan. berjalan dengan santai sampai akhirnya duduk di bangku jajaran pertama sebelah kanan dekat ambang pintu.
"Hai, Vee," sapanya ramah. Raveena yang sedang mencatat hanya menoleh sekilas lalu kembali fokus pada aktivitasnya.
Oh, ada yang terlewat. Raveena dan Rasen memang satu kelas. Dari SMP Kelas 7 sampai SMA kelas 12.
"Lo udah liat informasi di chat grup kelas?" tanya Raveena datar.
"Udah, gue sekelompok sama lo kan?" goda Rasen dengan senyum menyeringai.
Raveena mendelikan matanya kesal. Di sekelompokan dengan Rasen? ayolah, Raveena merasa keberuntungan tidak memihak kepadanya hari ini.
"Tenang, tenang. Gue nggak akan ngerepotin lo kok. Ini janji dari seorang cowok ganteng dan imut." Rasen kembali tersenyum.
"Nggak usah senyum-senyum. Jijik gue," ujar Raveena ketus.
"Yang pentingkan ganteng, Vee."
"Ganteng gigi lo! Pulang sekolah langsung kerumah gue. Di rumah lagi nggak ada siapa-siapa."
"Ey mau ngapain? Plis Vee, gue masih polos. Belum ternodai. Gue sangat sucihh, kalau berduaan dirumah. Ntar gimana omongan tentangga?!" Rasen langsung dramatis.
"Nggak usah banyak ngomong. Tugas kelompoknya 'kan emang berdua. Lagian kan tentangga gue itu elo Rasen."
Mendengar itu Rasen langsung menggelengkan kepalanya semangat. "No, no, no! bukan Cuma gue tentangga lo. Bi Edoh? Kang Sueb? Bi Eni? Mereka juga tentangga lo! Wah jahat lo mereka nggak di akui. Astagfirullah ukthy," ujar Rasen mengelus ngelus dadanya.
Padahal di sini Raveena lah yang harus banyak-banyak bersabar.
Menyadari tatapan sinis dari Raveena malah membuat Rasen gelagapan. Cowok itu seketika mengalihkan penglihatanya kearah kolong meja Raveena. Awal niatnya cuma mau ngehindar kontak mata, tapi Rasen malah dibuat gagal fokus.
"Eh, bunga dari siapa ini, Vee?" tanya Rasen seraya mengambil setangkai bunga mawar merah yang masih terlihat segar.
"Ck! Dari cowok gue. Udah Sen simpen lagi, malu noh sama anak-anak." Raveena berdecak sebal. Si Rasen ini tangannya tidak pernah bisa diam.
"Masih jaman ngasih bunga-bunga kek gini? Klasik banget. Ngasih tuh toko skincare. Baru edan," cibir Rasen memutar mutar bunga mawar itu tanpa perasaan.
"Oh ya? Nggak usah munafik. Yang waktu kelas 8 SMP sering banget nyimpen bunga di loker gue gimana kabarnya?" sindir Raveena menatap Rasen puas.
Rasen yang mendengar itu dengan cepat kembali menyimpan bunga milik Raveena ketempat semula. Cowok itu langsung memalingkan wajahnya. "Nggak usah diungkit. Waktu gue nge-gebet lo itu kebetulan aja khilaf. Sekarang udah kembali ke jalan yang benar."
"Sekarang udah nggak 'kan? Bagus kalau gitu."
"Iya nggak," jawab Rasen pelan.
Nggak berubah sedikitpun Vee.
---o0o---
"Masuk, masuk, Vee, silahkan duduk." Rasen berlagak seperti seorang tuan rumah. Padahal kenyataanya dia tamu di rumah Raveena. Cowok itu sudah lebih dulu duduk disofa.
"Eh, ini dong. Kalau mau minum atau apa. Ambil aja sendiri Vee. Nah, dapurnya sebelah sana. Anggap aja rumah sendiri," lanjutnya lagi.
Raveena mendengkus kasar lalu menengteng tasnya kearah kamar.
Seperti rencana awal mereka saat di sekolah tadi. Bahwa mereka akan mengerjakan tugas kelompok dirumah Raveena. Tentu Raveena tidak senang mempunyai tamu mahkluk kampret ini. Tapi karena keadaan yang tak memungkinkan. Jadilah, seperti ini.
Rasen dan Raveena memang tentangga. Tapi bukan tentangga dekat. Rumah Raveena dan Rasen tersekat tiga rumah yang lain. Seperti yang Rasen bilang tadi. Itu rumah Bi Edoh, Mang Sueb dan Bi Eni. Oke, tidak penting.
"Bi Maudy kemana, Vee?" tanya Rasen tiba-tiba.
"Belum pulang kerja," jawabnya. Maudy adalah orang yang telah mengurus Raveena sejak berusia 12 tahun. Raveena seorang anak yatim piatu. Orang tuanya meninggal akibat kecelakaan tragis. Dan Maudy satu-satunya yang dimiliki Raveena sekarang.
"Oh,"
"Mau minum apa?" tawar Raveena.
"Lah nggak usah repot-repot gitulah. Suka malu," ujar Rasen tersenyum sipu.
"Serius! Gue nggak mau lo metong gara-gara dehidrasi," balas Raveena.
"Tapi gue kalau minum suka habis segalon Vee, lo bakal rugi kalau ngasih minum gue."
"Oh ... ya, gampang. Beres minum lo bayar tagihannya." Rasen membulatkan matanya, tidak terima. "Bentar gue ke dapur dulu," lanjutnya sambil tersenyum tipis.
Beberapa saat kemudian Raveena kembali dari dapur dengan membawa 2 gelas jus jeruk dan sepiring brownis. Meletakannya di atas meja, lalu ikut duduk dilantai dan lekas membuka laptopnya. "Gue cari materi, lo yang ngetik. Inget, besok presentasi harus adil. Jangan semuanya gue yang baca terus lo cuma numpang berdiri didepan kelas."
"Ayee-Ayee kapten!" balas Rasen semangat, lalu mengambil alih laptopnya. "Lagian sejak kapan seorang Rasendriya Cuma numpang berdiri aja? Semua juga udah tau kali betapa CERDAS nya seorang Rasen," ujar Rasen dengan percaya diri tingkat galaksi.
Saat Raveena sedang sibuk mencari materi. Rasen merasa rasa bosan mulai menyerangnya. Raveena terlalu fokus sampai-sampai tak mengeluarkan sepatah kata apapun. keadaan di rumah saat itu hening. Ide bangsatnya terbesit secara tiba-tiba dibenak Rasen. Cowok itu mengambil pena dan penggaris yang tergeletak bebas di atas meja kaca itu.
Prak..ting..ting...prakk
"Emang lagi manja, lagi pengen di manja. PENGEN BERDUAAN DENGAN DIRIMU IQBWAALLL!!" Rasen menyanyi dengan nikmat tanpa sadar Raveena mulai mengamati dengan kesal.
Kedua tangannya mengetuk ngetuk pelan meja yang ada didepannya menggunakan penggaris dan pena tadi. Sehingga menimbulkan suara dentingan. "EMANG LAGI SYANTIK! BUKAN SO SYANTIK. SYANTIK-SYANTIK GINI HANYA UNTUK DIR-eh, Vee. Sorry. Hehehe."
Rasen cengegesan saat kedua bola matanya berpas-pasan menatap Raveena. "Eh, beyduwey. Suara gue bagus nggak tadi? Udah mirip Iqbaal Ramadhan?" tanya Rasen mencairkan suasana.
"Nggak ada mirip-miripnya anjir," jawab Raveena terlalu jujur.
"Oke nggak masalah kalau dari suara nggak mirip. Tapi dari segi muka pasti masih gantengan gue kan? Ya lah, orang muka gue sebelas-duabelas sama Jungkook."
"Dih, najis. Muka Jungkook tuh ganteng. Bukan mengenaskan kayak elu!" cela Raveena.
"Terlalu jujur kau Bang. Sakit hati dedek ini," ujar Rasen memasang wajah memelas. Raveena hanya memandang dengan tatapan aneh, tapi senyum di bibirnya nyaris terlukis.
"Udah-udah. Nih ketik. Jangan lupa pake Font Times New Roman." Raveena memperingati sebelum memberikan materi yang sempat ia cari tadi.
"Eh, bentar-bentar Vee. Ada yang nelpon," ujar Rasen melihat panggilan masuk diponselnya.
"Hallo?"
"Hah?! Kapan?! Sekarang?!" ekspresi wajah Rasen tiba-tiba berubah. Raveena hanya diam memperhatikan sambil mengunyah brownies. Mencermati baik-baik.
"Oke, oke. Saya langsung kesana. Segera! Baik, makasih informasinya."
Rasen menutup panggilan dengan wajah gusar. Ia lekas memasukan semuanya buku-bukunya kedalam tas. Sontak membuat Raveena kebingungan.
"Vee, sorry gue harus pergi dulu. Ada urusan," ucap Rasen yang sibuk membereskan barangnya dengan tergesa-gesa. "Gue lupa hari ini ada meeting bareng Pak Bobby. Sumpah, gue nggak inget."
"So-soan Meeting. Tugas aja belum dikerjain," ujar Raveena. "Alasan doang kan lo biar nggak kerja kelompok?"
"Lailah. Lo sempet-sempetnya nuduh gue. Orang cerdas dan tampan kek gue mana mungkin ngelakuin kayak gitu." Rasen malah sempat-sempatnya memuji dirinya sendiri.
"Pokoknya lo jangan pergi! Gue males ngerjain ini sendi-"
"Simpen aja, ntar gue yang kerjain."
"Tapi Sen-"
"Vee, plis ngerti," suara Rasen memelan membuat Raveena menghentikan ucapannya. Dia lupa sedang berbicara dengan siapa.
Rasendriya. Orang lain mengenalnya bukan hanya sekedar anak sekolahan yang sebentar lagi akan lulus. Lebih dari itu dia adalah seorang pewaris tunggal dari keluarga terhormat. Adystha Company—Perusahaan yang sebenarnya tak harus ia kendalikan. Terlalu mustahil untuknya yang bahkan masih menginjak usia 18 tahun.
Semuanya berawal ketika Rama—Papa Rasen meninggal dunia akibat penyakit kronis yang lama diderita. Kurang lebih satu tahun yang lalu, saat Rasen kelas sebelas semester dua kejadian mengenaskan itu terjadi.
Dia anak tunggal. Siapa lagi kalau bukan dirinya yang menggantikan posisi mendiang Rama? Kakeknya bahkan sudah sering sakit-sakitan untuk memegang alih.
Sekali lagi, ini bukan sepenuhnya keinginan Rasen! Lagipula ia tidak sendiri, Rasen dibantu oleh orang kepercayaan mendiang Papanya. Dengan begitu, setidaknya pekerjaanya tak terlalu sulit. Meskipun cukup menguras otak dan tenaganya.
Raveena tidak sedikitpun heran. Kesampingankan dulu tingkahnya yang absurd. Faktanya Rasen itu pintar, anak olimpiade. Memiliki daya tanggap yang cepat. Rasen memang bukan orang luar biasa hebat, tapi ia belajar bertanggung jawab sebagai putra tunggal di keluarganya. Lelaki itu sanggup memikul resiko besar.
Raveena menarik sudut bibirnya, lalu mengangguk pelan. "Good luck! Adystha."
"Thanks, Adhisty."
"Semoga lancar. Cepet gajihan. Biar bisa bayar uang kas sampe lunas!"
"Ngomong apa, Vee? Nggak denger, gue pakek kacamata."
****
Tbc ❤
Author PovPembagian raport akhir semester kelas tiga, Rasen datang ke sekolah putranya sebagai ganti karena Raveena berhalangan untuk datang. Lelaki penuh wibawa itu melangkah mendekat ke meja guru ketika nama depan putranya yang sudah dipanggil.Rasen tersenyum sopan. Ini pertama kalinya ia datang sebagai wakil, ntah kenapa baru saja beberapa detik menghadap wali kelas Arsean, perasaanya mendadak tak enak. Padahal dari rumah Rasen sangat yakin putranya pasti membanggakan dunia akhirat.Bu Seny—guru perempuan itu tersenyum manis. “Pak Rasen? Silahkan duduk, Papanya Arsean Adhisty.”Kening Rasen mengerut. “A-Adhisty?”“Iya Adhisty.”“Maaf Bu, kayaknya ucapan Ibu typo sekebun. Nama belakang Arsean itu Adystha,” ujar Rasen mencoba mengoreksi, lelaki itu menarik kursi lantas duduk dengan tenang.Bu Seny mengangguk. “Emang benar Pak, tapi Arsean protes nggak mau
“Kata Papa, masalah bisa membuat seseorang dewasa. Maka dari itu, ayo buat masalah sebanyak-banyaknya.” —Arsean Adystha***Author PovRaveena tidak tahu bagaimana cara menjelaskan keadaanya sekarang. Dari kemarin ia sama sekali tidak bisa diam. Rasa gelisah dan takut bercampur menjadi satu hingga membuatnya tak bisa tidur. Raveena stress. Ini menyangkut masalah putra tunggalnya.Perempuan itu mengusap wajahnya dengan kasar, ia menoleh pada Lista dan Merin yang duduk di sampingnya. Raveena lupa jika kejadian ini juga melibatkan putra-putra sahabatnya. Apalagi Lista kemarin sempat pingsan mendengar kabar itu.“Arsen,” gumam Raveena lemas. Kedua tangannya bergetar. “Arsen pulang sayang.”“Vee...” panggilan lembut itu berasal dari suaminya. Raveena menatap sedih ketika Rasen berjongkok tepat di depannya. Lelaki itu memegang erat tangan Raveena. “Tenang ya.”“Te
Author PovDelapan tahun kemudian......“Siang Pak Bos ganteng, hehe!”“Siang Pak ... Blasteran surga!”“Siang Pak R.A!” sapa seorang karyawati yang berada di balik kubikelnya, ia tersenyum jumawa beberapa detik. “Astagfirullah! Ngimpi apa gue punya atasan ganteng yang ngelebihin batas wajar dan kemanusiawian!”“Heh!” seru temannya yang baru saja meletakkan secangkir kopi. “Suami inget di rumah! Umur lo udah tiga puluh lebih bisa-bisanya cengar-cengir liat atasan sendiri!”Yang ditegur hanya mendelik, meskipun yang dikatakan teman kerjanya itu sertus persen benar, namun perempuan dewasa itu tak mampu mengelak pesona sang atasan. “Pak Rasen ... Bukan manusya anjir.”“Hm. Gue ampe mimisan saking gantengnya.”Langkah kaki besarnya berjalan keluar pintu utama gedung pencakar langit dengan lambang bintang bewarna silver it
Dear, Raveena Adhisty.Saya tidak pernah menyesal untuk akhir yang sehancur ini. Setidaknya kita bertiga pernah ada. Setidaknya kita bertiga pernah bahagia bersama.Satu hal yang harus kamu tau, kamu akan selalu menjadi bagian histori hidupku yang pernahku perjuangkan.Rasendriya Adystha.***Author Pov“Kakek minta Rasen ke Melbourne?” tanya Divya.“Iya. Katanya kangen, sekalian ada yang mau dibicarain. Udah lama juga, kan, Rasen nggak ke sana ngejenguk mereka. Nenek lagi sakit, makanya nggak bisa kesini,” jawab Rasen.“Jenguk kakek nenek atau ... Ngistirahatin hati?”“Both,” jawab Rasen pelan. Lelaki itu membaringkan tubuhnya di atas ranjang ketika Divya sibuk keluar masuk walk in closet untuk mengemasi semua pakaian anak tunggalnya. Ia melirik menggunakan ekor mata, lalu kembali meluruskan pandangannya.“Kakek bilang Nayara itu bintang pali
Author PovFlashback 1.5 tahun yang lalu...“Kamu jangan kemana-mana, tetep di rumah. Nanti aku jemput.”“Lo nggak waras? Meski kita baru kenal, tapi gue ayahnya. Gue...ayahnya.”“Gue bakal nikahin lo, Sha.”Ucapan dari seorang lelaki bewajah tampan itu masih terngiang jelas dalam benaknya. Bagaimana tatapan serius itu begitu menghunus. Begitu mengintimidasi, sampai dirinya tak mampu berkutik. Harsha menggeleng, ia malah kembali teringat ucapan Rasen.Sudah dua minggu berlalu, setelah hari dimana Rasen menyuruh Harsha untuk tetap diam di rumah, perempuan itu malah memilih kabur untuk menjauh. Harsha tidak mau sampai Rasen menemukannya, meski lelaki itu telah berjanji akan bertanggung jawab.“Sha?”“Ya?” sahut Harsha menoleh.“Kamu pindah kostan?” tanya Aina—temen satu pekerjaan Harsha di sebuah restaurant besar. “Kok kemarin pas pulang ke
Tragedi kecelakaan masal di taman kota. Sang pelaku putri pengusaha besar?Putri tunggal Abraham Dharka, Liora Mysha dituntut atas kasus pembunuhan.Perusahaan diambang kebangkrutan, putri tunggal Abraham Dharka dipenjara?--o0o—Dunia itu kejam. Manusia sama kejanya. Sesuatu kesalahan yang dilakukan mungkin masih bisa diberi maaf, tapi bagaimana jika kesalahan yang dibuat jauh dari kata fatal? Terlebih lagi karena didasari oleh kesengajaan dan dendam.Awalnya hidupnya baik-baik saja. Hingga perempuan dengan nama penuh kutukan itu hadir. Menggores luka yang kian menganga, meninggalkan rasa sakit yang tak akan pernah hilang. Seseorang yang bahkan telah menunjukan sisi iblisnya lebih dalam.Suara lirihan tangis dari seorang wanita seusia Ibunya terdengar begitu menyayat. Rasen yang baru saja keluar dari pintu persidangan hanya mampu terdiam kala melihat tangan Divya di pegang erat-erat oleh Irani—Ibu Liora Mysha. Matany
Author PovUjian Nasional telah usai dilaksanakan seminggu yang lalu. Kelas dua belas memasuki masa bebas. Masa-masa akhir sekolah setelah melewati puncak yang cukup menguras otak. Setelah berjuang selama tiga tahun, tidak ada lagi yang di tunggu selain hasil yang memuaskan."Lo tuh moto gue niat kagak sih? Nggak ada satupun yang bagus anjir!" gerutu Merin menatap layar ponselnya."Niat lah," ujar Lista ikutan sewot. "Lagian kalau jelek bukan salah gue kali. Mukanya lo aja yang kurang glowing.""Eh! Lo tuh, ya! Bukan masalah muka. Orang muka gue jelas udah cantik. Tapi liat nih, ada yang ngeblur, ngebayang, sama pose gue belum siap udah lo jepret aja," ucap Merin memberi lihat fotonya pada Lista."Lih, bukan salah gue," elak Lista."Gue kalau moto temen suka pakek niat. Giliran temen motoin gue, nggak satupun yang bener. Sebenernya lo punya dendam apasih sama gue?!""Hutang lo belum di bayar," jawab Lista nyeplos.
Author Pov“Dapahh eh! Dapahh!” Lista misuh-misuh sendiri pada pacarnya. Sedaritadi ia ingin meminta bantuan soal tugas remedialnya, namun lelaki bermata teduh itu hanya diam saja. “Dapahh mah, ah, sama pacar sendiri jahat!”“Jahat apa? kamu suka ngadi-ngadi kalau ngomong!” kata Daffa.Lista mengerutkan keningnya. “IHHH! NGADI-NGADI APA?! Aku cuman mau minta dicupangin!”“ASTAGFIRULLAH TAKBIR YA ALLAH!” Sentak Romi yang memasang raut wajah dramatis. “Lis, nyebut Lis! Bapak lo tau, si Daffa kena bogem ampe teler gimana?!”Lista sama sekali tak mengerti, ia menghiraukan ucapan Romi lalu kembali beralih pada Daffa. Gadis itu menarik-narik kemeja putih Daffa dengan satu buku memegang buku tugas. Sebenarnya di sini Lista salah mengartikan kata.“Dapp! Cupangin dong!”“Aku nggak bisa nyupang, bisanya nge-ruqyah. Mau anda?!” tanya Daffa nyol
Author Pov"Si Johan asyu nggak ada akhlak!" gerutu Rasen dengan wajah tertekuk kesal. "Asalamualaikum. Paijo! Gelud moal?!"Pulang sekolah Rasen misuh-misuh sendiri. Mogok ngomong sama temen-temennya. Terutama pada Johan, teman bangsat yang tidak ada adab sama sekali. Berani-beraninya membuat nyawa Rasen hampir melayang karena ulah jahil yang tidak manusiawi."Sen, kayak emak-emak banyak tunggakan lo malah ngambekan," kata Johan diikuti Romi dan Daffa dari belakang."Gak usah deket-deket, gue lagi marah sama lo." Rasen melengos menjauh, lelaki itu berbicara sambil membawa anak kucing yang ntah darimana datangnya. "Pergi lo! Pergi!"Johan menarik-narik tangan Rasen dramatis. "Aku bisa jelasin semuanya!""Bulu kaki gue sampe merinding dengernya," ujar Romi bergedik ngeri sendiri."Lo semua itu kejam! Sepakat, kan, lo pada nyimpen SEBLAK di tas gue? Lo tau gue nyaris pingsan liatnya! Kalau Mama Divya sedih tau nyawa gu