Dear, Raveena Adhisty.
Saya tidak pernah menyesal untuk akhir yang sehancur ini. Setidaknya kita bertiga pernah ada. Setidaknya kita bertiga pernah bahagia bersama.
Satu hal yang harus kamu tau, kamu akan selalu menjadi bagian histori hidupku yang pernahku perjuangkan.
Rasendriya Adystha.
***
Author Pov
“Kakek minta Rasen ke Melbourne?” tanya Divya.
“Iya. Katanya kangen, sekalian ada yang mau dibicarain. Udah lama juga, kan, Rasen nggak ke sana ngejenguk mereka. Nenek lagi sakit, makanya nggak bisa kesini,” jawab Rasen.
“Jenguk kakek nenek atau ... Ngistirahatin hati?”
“Both,” jawab Rasen pelan. Lelaki itu membaringkan tubuhnya di atas ranjang ketika Divya sibuk keluar masuk walk in closet untuk mengemasi semua pakaian anak tunggalnya. Ia melirik menggunakan ekor mata, lalu kembali meluruskan pandangannya.
“Kakek bilang Nayara itu bintang pali
Author PovDelapan tahun kemudian......“Siang Pak Bos ganteng, hehe!”“Siang Pak ... Blasteran surga!”“Siang Pak R.A!” sapa seorang karyawati yang berada di balik kubikelnya, ia tersenyum jumawa beberapa detik. “Astagfirullah! Ngimpi apa gue punya atasan ganteng yang ngelebihin batas wajar dan kemanusiawian!”“Heh!” seru temannya yang baru saja meletakkan secangkir kopi. “Suami inget di rumah! Umur lo udah tiga puluh lebih bisa-bisanya cengar-cengir liat atasan sendiri!”Yang ditegur hanya mendelik, meskipun yang dikatakan teman kerjanya itu sertus persen benar, namun perempuan dewasa itu tak mampu mengelak pesona sang atasan. “Pak Rasen ... Bukan manusya anjir.”“Hm. Gue ampe mimisan saking gantengnya.”Langkah kaki besarnya berjalan keluar pintu utama gedung pencakar langit dengan lambang bintang bewarna silver it
“Kata Papa, masalah bisa membuat seseorang dewasa. Maka dari itu, ayo buat masalah sebanyak-banyaknya.” —Arsean Adystha***Author PovRaveena tidak tahu bagaimana cara menjelaskan keadaanya sekarang. Dari kemarin ia sama sekali tidak bisa diam. Rasa gelisah dan takut bercampur menjadi satu hingga membuatnya tak bisa tidur. Raveena stress. Ini menyangkut masalah putra tunggalnya.Perempuan itu mengusap wajahnya dengan kasar, ia menoleh pada Lista dan Merin yang duduk di sampingnya. Raveena lupa jika kejadian ini juga melibatkan putra-putra sahabatnya. Apalagi Lista kemarin sempat pingsan mendengar kabar itu.“Arsen,” gumam Raveena lemas. Kedua tangannya bergetar. “Arsen pulang sayang.”“Vee...” panggilan lembut itu berasal dari suaminya. Raveena menatap sedih ketika Rasen berjongkok tepat di depannya. Lelaki itu memegang erat tangan Raveena. “Tenang ya.”“Te
Author PovPembagian raport akhir semester kelas tiga, Rasen datang ke sekolah putranya sebagai ganti karena Raveena berhalangan untuk datang. Lelaki penuh wibawa itu melangkah mendekat ke meja guru ketika nama depan putranya yang sudah dipanggil.Rasen tersenyum sopan. Ini pertama kalinya ia datang sebagai wakil, ntah kenapa baru saja beberapa detik menghadap wali kelas Arsean, perasaanya mendadak tak enak. Padahal dari rumah Rasen sangat yakin putranya pasti membanggakan dunia akhirat.Bu Seny—guru perempuan itu tersenyum manis. “Pak Rasen? Silahkan duduk, Papanya Arsean Adhisty.”Kening Rasen mengerut. “A-Adhisty?”“Iya Adhisty.”“Maaf Bu, kayaknya ucapan Ibu typo sekebun. Nama belakang Arsean itu Adystha,” ujar Rasen mencoba mengoreksi, lelaki itu menarik kursi lantas duduk dengan tenang.Bu Seny mengangguk. “Emang benar Pak, tapi Arsean protes nggak mau
Bendahara. Apa yang kalian pikirkan saat mendengar kata ini? Salah satu jabatan yang cukup terkenal di dalam kelas itu memang paling banyak dihindari oleh kalangan siswa/siswi. Mereka tidak jahat. Tidak kasar. Tidak juga menyiksa. Tapi jika sosok itu sudah berjalan mendekati bangku, maka hawa negative dalam saku seragam tiba-tiba akan berubah menjadi panas.Masih untung kalau bendahara kelas nya nagih secara baik-baik dan mengerti keadaan. Gimana kalau nagihnya sambil teriak-teriak, maksa pula. Udah gitu sambil melotot. Mana ngancam bakal ngaduin ke Wali kelas lagi. Dijamin 100% Bendahara yang seperti itu yang paling di hindari oleh semua murid.“Mau bayar minggu kemarin sama minggu sekarang?”“Iya Vee, biar nggak nunggak. Males gue kalau bayar uang kas tapi udah nunggak banyak.”Raveena menganggukan kepala nya lalu menulis sebuah catatan di buku tulisnya. “Siap! Jadi udah lunas ya, hehe.”Gadis itu berjalan pelan dengan mata yang masi
Bruk!Raveena menepuk keras meja kantin dengan wajah tak bersahabat. Setelah mendaratkan bokongnya di salah satu kursi, gadis itu segera menenggelamkan wajahnya di atas tangan yang terlipat. Johan–pacar Raveena hanya tertawa kecil melihat tingkah laku pacarnya. Cowok itu sudah tau apa yang terjadi."Rasen, ya?" tebak Johan tepat sasaran. Raveena hanya menganmgguk pelan. "Yaudah nggak usah dipikirin juga kali, biarin aja. Ntar juga bayar," kata Johan sambil fokus memainkan games di ponselnya."Biarin? Aku tuh udah sering ngebiarin dia. Tapi kayaknya tuh orang nggak ngerti-ngerti," ucap Raveena setelah menegakkan kembali posisinya. "Aku sering kena tegur gara-gara tunggakan si Rasen. enak di dia, nggak enak di aku," adunya."Semua jabatan punya resiko masing-masing Vee, termasuk jadi bendahara. Kalau lo nggak sanggup kenapa dari awal harus nyalonin coba? Baru jadi Bendahara aja udah ngeluh kayak orang stress. Gimana punya jabatan lebih tinggi.
Author Pov"Bi, hari ini jadi ke Singapore?" tanya Raveena di sela-sela sarapannya."Ya lah jadi. Kapan lagi coba liburan ke luar negri gratis?" jawab Maudy—Bibi dari Raveena itu sibuk mengoleskan selai di beberapa lembar roti. "Kamu serius nggak mau ikut? Nggak berubah pikiran?""Nggak Bi. Itukan acara kantor Bibi, mana mau aku gabung main sama orang-orang dewasa. Beda generasi.""Tapi ini gue dikasih tiket gratis lagi buat satu anggota keluarga. Ya, kalau lo nggak mau ikut sih nggak apa-apa. Gue bisa ajak anak Mang Sueb." "Ajak aja, nggak iri kok.""Halah, awas ntar nyesel. Mampos!" cibir Maudy terus-terusan."Buset, nggak akan lah. Ya ampun.""Bisa jadikan ntar lo nelpon gue pas gue udah di sana, terus nangis-nangis pengen di jemput," ujar Maudy melahap rotinya."Ih! Sama ponakan jangan pakek lo-gue. Udah dikasih tau juga!""Kenapa sih? Nggak akan mati juga kalau ngomong pakek lo-gue.
Author PovRaveena menghela napasnya gusar. Mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kuat. Gadis itu berdiri kembali setelah meletakan keranjang berisi bayi mungil itu di atas kasur miliknya. Tangannya masih terus bergetar hebat. Apalagi saat ia tadi memutuskan membawa masuk sang bayi ke dalam rumah. Jujur, Raveena parno setengah mati.“Gue harus ngapain?! Ini gimana? Ya ampun anak siapa sih ini,” gumamnya sambil terus berfikir keras.“Tega bener dah, mana nyimpen nya didepan rumah gue lagi. Dikira rumah gue bandar baby sitter kali yak.” Raveena bolak balik berjalan pelan sambil mengigiti kuku jari tangannya.“Telpon siapa ya? Hm ... bibi Maudy? Eh jangan! Pasti lagi di pesawat nih,” ucap Raveena bingung setengah mati. “Merin? Oke sip, gue dapet pencerahaan dari yang Maha Kuasa.”Raveena langsung menekan panggilan ke nomor Merin. Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah--“Lailah, nggak aktif. Pasti lagi nonton
Author PovHari ini, di tanggal merah. Raveena telah menyusun semua daftar pekerjaanya. Dari mulai membawa Nayara ke Dokter anak untuk check up medis. Seraya meminta saran merawat bayi yang baik untuk seorang pemula.Hari ini, di tanggal merah. Raveena akan belanja semua kebutuhan Nayara. Membeli perlengkapan penting Nayara yang telah ia susun di secarik kertas putih.Hari ini, di tanggal merah. Raveena akan mencetak semua gambar Nayara yang sempat ia potret menjadi polaroid yang akan ia pasang di dinding kamarnya.Hari ini, Raveena akan melakukan semuanya, bersama Rasen.Raveena berdiri memandangi dirinya dipantulan cermin, kembali mengamati pakaian yang ia pakai hari ini. Setelah semuanya terasa tidak perlu ada yang dikoreksi, gadis itu tersenyum. “Mantul, cocok banget dah gue!” serunya mengedipkan sebelah matanya.“Good morning cantik,” sapa Raveena beralih pada Nayara, duduk di sisi ranjang lalu menggendong bayi k