"Apakah kau percaya bahwa kita akan kembali menikah. Kita akan kembali menjadi sepasang suami istri seperti dulu. "
"Aku akan pergi meninggalkanmu."
Jean tak bisa memosisikan tidurnya dengan benar. Ia gelisah. Sepanjang malam, ia menghabiskan waktunya mendengarkan dengugan suara semu yang entah datang dari mana. Suara itu terus menggaung seolah tak mengijinkannya untuk tidur malam ini. Ia seperti disiksa terus-menerus oleh suara asing yang bahkan ia tahu pemiliknya saat ini telah jatuh ke alam mimpinya.
Disana, Odelia bergelung nyaman didalam selimu tebal yang membungkusnya. Wanita itu telah tertidur sejak beberapa jam yang lalu tanpa beban. Odelia terpejam setelah berhasil memporak-porandakan hati lelaki yang kini menjadi gelisah. Wanita itu meminta sebuah pe
"Kau percaya takdir? Aku akan tunjukkan bagaimana takdir itu berjalan untukmu.""Selamat pagi!"Jean pagi itu nampak menunjukkan senyum seribu wattnya pada semua orang. Lelaki itu tak segan memamerkan deretan gigi putihnya kepada semua orang yang harus ini duduk memenuhi kursi meja makan. Disana ada Grace, Yonash dan juga Clara. Mereka semua nampak takjub melihat perubahan sikap Jean.Lain Jean, lain pula sosok wanita yang berjalan disampingnya. Wanita itu terlihat tidak nyaman dengan posisinya. Pasalnya sejak mereka berjalan keluar dari kamar yang semalam mereka tempati, Jean tanpa ragu melingkarkan tangannya disekeliling pinggang Odelia. Pria itu dengan sangat berhati-hati membimbingnya menuruni tangga.Perlakuan it
"Kau tahu, sebelum dan sesudah ini aku hanya akan mengatakannya sekali. Kau harus mendengarnya baik-baik. aku adalah manusia yang paling benci menunggu. Aku tak suka menunggu, karena aku tahu menunggu hanyalah akan berakhir dengan kesia-siaan.""Apa kau sungguh melupakanku?" Tanya Jean. Ia ingin tahu dari mulut wanita iu sendiri, benarkah Odelia sama sekali tak mengingatnya. Barang sedikit pun apakah kenangan mereka sama sekali tak membekas dalam ingatan wanita itu. Meski menyakitkan, Jean tahu Odelia takkan pernah melupakannya. Wanita yang dikenalnya itu, sangat memujanya. Keyakinan itu yang membuatnya ragu akan kondisi Odelia saat ini."Apa?" Hari ini mungkin menjadi hari dimana Odelia selalu tak mengerti apa yang disampaikan pria itu kepadanya. Ia tertegun. Dalam kediamannya ia berusaha memproses dalam otakn
"Jika kau menginginkan bukti, maka biarkanlah aku membuktikannya. Itu hanya sebuah cincin tak lebih dari apa yang telah mengikat hubungan diantara kita berdua selama ini."Jean bersandar pada kepala tempat tidur. Sepasang mata kelabunya terus memandangi wanita yang terlelap disampingnya. Napas wanita itu nampak teratur dan terdengar lelah. Setelah bercinta dengan wanita itu, Jean hanya bisa terdiam memandangi wajah lelap itu dalam ketenangan. Ia berhasil menjamah wanita itu berkali-kali hingga ia sendiri pun tak ingat sudah yang berapa kali pelepasan itu ia dapatkan.Odelia selalu mengimbanginya. Dulu maupun sekarang rasa wanita itu tetaplah sama. Odelia tak pernah menolak sentuhannya, meski dalam keadaan marah sekalipun. Seperti halnya yang baru saja mereka lakukan. Wanita itu berulang kali mengumpat, melempar
"Aku ingin membawamu ke tempat dimana aku bisa mengatakan pada seisi dunia bahwa kau adalah milikku. Jadi, bisa kupastikan takkan ada satu pun yang akan merenggutmu dari sisiku."Odelia memperhatikan benda perak yang melingkar indah pada jari mungilnya. Sebuah cincin emas putih dengan batu kecil berwarna biru menjadi begitu menakjubkan berada ditangannya. Jari-jarinya terasa asing dengan benda yang mengganjal itu. Sebelumnya ia sama sekali tak pernah memakai perhiasan apapun pada tubuhnya. Jangankan perhiasan, untuk makan saja Odelia harus bekerja di tiga tempat sekaligus."Kau suka?"Jean dibelakang sana tak bisa menyembunyikan senyumannya kala melihat wajah Odelia yang terperangah saat ia membelikan sebuah cincin pasangan itu. Mata wanita itu berbinar cerah
"Aku tak tahu jika masa itu adalah masa terpahit dalam hidupku. Jikalau aku mengetahuinya sejak awal, aku takkan mencari tahu apa itu dan berusaha menulikan telingaku sendiri dari kenyataan yang ada.""Kau sedang apa, sayang?"Suara berat itu langsung menyentak wanita itu hingga ia terpekik pelan. ketika memablikkan tubuhnya, dilihatnya Jean tengah menatapnya penuh tangan dengan tangan yang penuh dengan kantung belanjaan mereka. Ia sungguh tak sadar apa yang dilakukannya saat ini. Kalau mungkin bukan karena panggilan pria itu, ia masih terus berjalan menyusuri lorong itu. Tapi, yang masih ada dalam benaknya, sebenarnya tempat apa itu?"Aku sedang melihat-lihat." Jawabnya. "Tempat apa itu, Jean?" Tanyanya menunjuk sebuah pintu kayu kecil yang berada di ujung lo
"Aku melakukan semuanya, semua yang ada hanya untukmu. Sekalipun kau menganggap ini adalah sebuah kebohongan, aku tak pernah menyesalinya. Karena, disaat itu aku menyadari bahwa aku pernah memilikimu. Sekali."BRAKSuara pintu terbuka dengan kasar memecahkan keheningan didalam ruangan sempit itu. Disana, laki-laki yang sejak tadi meneriakkan nama "Odelia" tersenyum menyeringai. Napasnya tersengal, namun tak menyembunyikan kemarahan yang terpendam pada wanita itu."Jadi, disini tempat kau bersembunyi, Jalang?"Odelia, wanita itu meringsut ketakutan. Dengan tangan lemah itu, Odelia berusaha meraih apapun agar menutupinya dari lelaki yang kini tengah berjalan ke a
"Aku melakukannya, semua hanya untuk bersamamu. Jika aku berkata yang sebenarnya, bisakah dia tetap tinggal disisiku?"Odelia duduk gelisah ditempatnya. Keringat yang semula tak pernah ada, kini bercucuran tak hentinya membayangkan jika dirinya saat ini berada ditempat asing yang tak diketahui oleh siapapun, termasuk dirinya. Ditambah dengan sepasang mata yang memandanginya penuh selidik sembari menyandarkan tubuhnya pada sudut meja yang diyakininya sebagai meja kerja."Kau gugup?' Tanya Rea yang menyadari keadaan wanita itu. dari cara duduknya ia bisa menebak bahwa Odelia merasa tak nyaman dengan tatapannya.Odelia terhenyak pelan sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya cepat. "Aku baik-baik saja."Rea meng
“Aku mohon ijinkan aku tetap bersamamu. Sebesar apapun kesalahanku, aku akan membuat diriku kembali berguna untukmu. Tolong maafkanlah aku.”Jean disana, duduk gelisah menunggu istrinya yang sudah hampir satu jam belum juga menyelesaikan urusannya dengan Rea. Ia gelisah, khawatir Rea akan mengatakan hal yang tidak-tidak pada Odelia. Ia takut semua kemanisan ini akan berakhir, begitu cepat sebelum ia mampu menyadarinya.Lelaki bermata kelabu itu begitu menikmati kehidupannya. Belum pernah rasanya ia ketakutan akan sebuah kematian. Ada sesuatu yang menahannya untuk tetap tinggal. Ketika ia mulai bertanya, maka wajah Odelia-lah yang muncul dibenaknya. Ia begitu takut meninggalkan wanita itu,