Misi bunuh diri berkedok perlarian sementara itu tak berjalan mulus. Koridor RSU Jakarta yang cukup tenang pagi ini mendadak gaduh. Bobby lari pontang-panting mencari tempat persembunyian. Di belakangnya, Dipta—yang cukup payah dalam berlari—mulai sesak napas karena mengimbangi langkah Bobby. Tubuh Bobby yang ringan dan gerakan gesitnya sulit diikuti oleh Dipta yang sejak kecil sering mimisan.
“Ta, cepetan dikit! Ayo!” Bobby berseru gemas sembari menarik-narik tangan Dipta yang tiba-tiba tergolek lemah di lantai.
“Istirahat sebentar, Bob. Gue bisa mati kehabisan napas sebelum ketemu tuan dan nyonya Ariston,” jawab Dipta terengah-engah.
Dipta berjalan setengah bungkuk didampingi Bobby. Bobby yang sudah bercucuran keringat itu hanya bisa pasrah melihat Dipta berubah jadi kakek-kakek sakit punggung. Sayangnya mereka berdua tidak tahu, bahwa bibir Dipta yang mengucapkan nama tuan dan nyonya Ariston dikira doa pemanggil hujan oleh malaikat. Hujan dengan intensitas besar seperti pagi tadi kembali turun, diikuti sayup-sayup percakapan dua orang.
“Pokoknya mami mau orang yang nabrak Samuel dihukum seberat-beratnya, Pi!”
“Harus, Mi! Berani sekali dia nabrak putra kebanggaan Ariston di hari penting ini!”
Dipta dan Bobby seketika mematung. Bola mata mereka bermanuver serentak, mencari sumber suara yang ternyata berasal dari balik tembok lorong di ujung koridor. Dipta dan Bobby menajamkan pendengaran mereka berkali-kali. Dari lubuk hati terdalam mereka berharap salah mendengar kata “Samuel” dan “Ariston” yang terucap dari percakapan dua orang itu. Tapi ternyata telinga mereka tidak tuli.
“Itu tuan dan nyonya Ariston, Bob!” jerit Dipta kelabakan.
Bobby melihat pintu tangga darurat di belakang mereka. Tanpa berpikir panjang, Bobby menyeret tangan Dipta dan menerobos pintu tangga darurat. Mereka berhasil menghindari pertemuan sakral dengan orang tua Samuel. Tapi Bobby dan Dipta masih perlu melarikan diri lebih jauh lagi. Alhasil mereka berlari turun ke bawah menuju basement tempat parkir mobil. Dipta merasakan kedua kakinya tersiksa karena berpacu dengan anak tangga. Sesampai di bawah, Dipta langsung tersungkur lemas.
“Fiuuh, hampir aja. Kalau sampai ketemu di lantai atas tadi, langsung skak mat kita!”
Gerutuan Bobby memang benar, mereka nyaris saja skak mat di tangan tuan dan nyonya Ariston. Walau jempol kakinya bengkak, Dipta masih bersyukur ia tak jadi sasak tinju orang tua Samuel. Sekarang mereka tinggal menunggu Juna dan Roni tiba.
“Bob, lo denger ‘kan ucapan nyonya Ariston tadi?” tanya Dipta kalut.
Sebetulnya Dipta sudah tahu jawabannya, begitu pula Bobby. Mereka bisa mendengar sangat jelas karena kondisi koridor sepi. Pernyataan maut yang berisi perintah“dihukum seberat-beratnya” menciutkan nyali Dipta. Bobby membawa Dipta ke sudut basement parkir yang terpencil dan merengkuh pundak Dipta erat-erat.
“Ta, yang udah terjadi cukup disesali sekali. Sekarang kita hadapi masalah ini bareng Juna dan Roni. Kalau lo merasa takut, ingat aja kalau Ikon Bee lebih penting di hidup lo.”
Dipta bengong. Ia kaget setengah mati mendapati Bobby yang biasanya bertingkah tengil tiba-tiba menjadi bijak seperti ini. Mungkinkah Bobby ingin berganti nama menjadi Bobby Teguh? Ah, mustahil. Nama belakangnya, Julian adalah nama sakral. Ya, sakral karena Julian adalah mantan mama Bobby.
“Tumben lo bijak, Bob.” Dipta tertawa geli. “Omong-omong, Juna sama Roni mana?”
Dua makhluk yang ditanya Dipta tiba-tiba muncul dari pintu masuk basement. Dipta memandang kedua sahabatnya itu dengan tatapan haru. Mereka datang di waktu yang tepat bagai pahlawan. Dipta semakin terharu melihat kaos Juna dan Roni yang basah karena keringat. Tapi sekejap perasaan terharunya luntur saat Juna menyodorkan telapak tangan.
“Ta, minta duit. Ongkos taksi kurang.”
“Sialan,” maki Dipta sembari mengeluarkan uang pecahan sepuluh ribu dari dompet.
Juna kembali ke taksi yang menunggu di depan pintu masuk. Laki-laki mungil itu sempat beradu mulut dengan Roni perihal kurangnya ongkos taksi.
“Kita buru-buru banget berangkat ke sini. Eh, si bogel yang bego itu malah lupa bawa dompet.” Roni melampiaskan kekesalannya dengan marah-marah.
Bobby yang kepalanya sudah mumet langsung membungkam mulut laki-laki cerewet itu dengan jurus andalannya. Roni beringsut mundur tatkala Bobby menyibak jaket dan mengangkat tangan, bulu ketiaknya melambai indah bagai nyiur kelapa. Apesnya baunya agak asam, tidak harum seperti kelapa.
“Kurang aja lo, Bob!” umpat Roni. “Gue hampir mabok, tau! Juna maksa sopir taksinya ngebut. Lo ‘kan tau gue gampang—“
“Ssst! Tahan dulu sebentar hobi pidato lo, Ron.” Dipta menyela, kepanikan kembali menyerangnya. “Situasi gue udah masuk zona waspada tingkat tiga, nih! Tadi di atas kita nyaris berpapasan sama orang tua Samuel! Mereka udah sampai di sini.”
Roni memijit dagu, sikunya bertumpu di tangan kiri yang memeluk pinggang. Gaya Roni kalau sedang berpikir memang keren seperti pebisnis kelas atas. Sayangnya otak Roni diciptakan untuk menampung ide-ide sinting. Yang terlalu gila untuk dipraktikkan. Apalagi bagi Dipta yang notabene cengeng dan mudah panik.
“Lo harus cari alibi, Ta. Alibi yang kuat dan nggak bisa dibantah!” kata Roni penuh keyakinan, sepasang matanya melotot lebar.
“Oke, tapi apa?” tanya Dipta panik. “Alibi apa yang kuat buat lawan keluarga Ariston yang jago hukum?”
“Intinya alibi itu harus masuk akal sama alasan lo bersembunyi saat ini.” Roni menimpali dengan mimik serius.
“Bilang aja lo pasien RSJ, Ta.” Juna yang baru datang tiba-tiba menyahut.
Cengiran tak berdosa Juna membuat Roni mencak-mencak marah.
“Nggak, ah! Ogah! Masa gue bohong kalau gue orang gila!” protes Dipta.
“Iya, Jun. Dipta itu kelihatan normal banget. Nggak kayak lo!” semprot Bobby.
Keempat sahabat itu kemudian saling diam. Mereka tenggelam dalam renungan masing-masing. Di tengah hawa panas basement yang mendera, para anggota Ikon Bee berusaha memikirkan alibi terbaik untuk menyelamatkan Dipta. Sampai akhirnya Juna mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk, lalu menjetikkan jari.
“Ah, gue ada ide!” Juna lompat-lompat kegirangan, lebih mirip anak kecil yang dibelikan gulali ketimbang laki-laki berusia dua puluh tahun.
Ketiga temannya memandangi laki-laki bernama lengkap Juna Mahabarata—iya Mahabarata yang film India itu—dengan tatapan aneh dan meragukan. Pasalnya selama lima tahun bersahabat, mereka tak pernah mendengar ada satu pun ide bagus terlontar dari kepala mungil Juna.
“Ta, lo ke bandara buat ketemu Sella, kan?” tanya Juna, matanya berbinar cerah.
Ditanya begitu membuat Dipta kikuk. Ia jadi memikirkan apakah terlalu bodoh mengorbankan Young Bee dan tiga temannya hanya untuk perempuan yang selalu meningalkannya. Dipta menghembuskan napas berat.
“Iya. Kenapa?” Dipta bertanya balik, nada suaranya mengalun sedih.
“Bagus!” Juna memekik kegirangan, teman-temanya semakin ragu. “Lo bisa pakai Sella sebagai alibi. Tau nggak? Tadi gue nanya kondisi cuaca Denpasar sama sepupu gue yang tinggal di sana. Ternyata Denpasar lagi hujan badai!”
“Hah! Lo serius?” Dipta menjerit lebih panik dari sebelumnya. “Aduh, keadaan Sella gimana ya?”
“Nah, itu!” tuding Juna. “Lo bisa memelas ke orang tua Samuel kalau Sella dalam bahaya karena pesawatnya mau mendarat di Denpasar yang lagi hujan badai. Jadi, lo langsung pergi ke bandara setelah dapat kabar dari teman Sella di Denpasar. Saking khawatirnya sama keadaan Sella, tanpa sadar lo langsung pergi ke bandara.”
Semua orang terdiam setelah mendengar penjelasan menggebu-gebu Juna. Perlahan Bobby dan Roni mengangguk dan mulai menyetujui rencana Juna. Hanya Dipta yang diam tanpa suara seolah jatuh dalam kekosongan. Juna yang menyadari Dipta berdiri bagai patung hidup itu langsung menyikut lengannya.
“Ta, gimana? Ide gue bagus, kan? Bobby sama Roni udah setuju,” kata Juna.
“Gue nggak bisa,” gumam Dipta lesu. “Memangnya gue siapanya Sella? Sepenting apa Sella buat gue sampai gue ninggalin korban tabrak lari gue? Gue cuma sahabat lama Sella. Kalau gue bilang begini, orang tua Samuel pasti ngamuk.”
Dari balik lensa kacamatanya, Dipta dapat melihat raut putus asa bercampur kebingungan di wajah teman-temannya. Sayangnya yang baru saja ia katakan adalah kebenaran. Kebenaran yang tak terbantahkan mengingat Dipta dan Sella bahkan tak pernah lagi menghabiskan waktu bersama-sama seperti dulu. Hubungan persahabatan mereka telah berubah, kini menjadi sejauh Jakarta dan Bali.
“Kalau begitu, siapa yang lebih penting antara pacar dan tunangan?” Juna tiba-tiba menanyakan pertanyaan tak masuk akal.
Bobby dan Roni mengernyit keheranan. Dipta mulai merasakan firasat buruk.
“Ya, jelas tunangan.” Roni yang lebih berpengalaman soal pacaran pun menjawab.
Juna menyeringai lebar. Sangat lebar sampai-sampai Bobby dan Roni yang semula tak menyadari ide jenius Juna akhirnya tersentak penuh kekaguman. Ketiga laki-laki itu pun menoleh serentak ke arah Dipta. Dipta yang dipandangi dengan tatapan penuh napsu itu tak bisa menahan luapan kepanikan di dalam dirinya.
“Ta, lo harus ngaku kalau Sella tunangan lo!” seru Bobby, Juna, dan Roni serempak.
“A-apa? Yang bener aja! Gila lo semua! Lo bertiga udah nggak waras!” Dipta berteriak kesetanan.
“Tapi cuma ini rencana terbaik, Ta!” Juna meneriaki tak kalah gemas. “Perempuan yang jadi tunangannya pasti penting banget buat seorang laki-laki. Lo bisa pakai alibi ini.”
“Pikirin Sella juga, dong! Dia pasti marah kalau tiba-tiba diakui sebagai tunangan gue! Apalagi yang mengakui gue sendiri!” Dipta menggeleng, menentang keras.
“Ta, pikirin Ikon Bee juga,” kata Bobby pelan. “Lo mau lihat Ikon Bee gagal manggung di Jakarta Dream Concert, tempat impian kita selama ini?”
Pertanyaan Bobby menohok hati Dipta. Ia memandangi wajah teman-temannya. Mereka sudah berjuang dua tahun lebih bersamanya dan membangun Young Bee. Jakarta Dream Concert yang dihadiri ratusan ribu penonton dan band-band terkenal itu akan menjadi pintu pembuka bagi kesuksesan Young Bee. Dipta menghela napas. Apa yang harus ia pilih?
***
Apa yang harus ia pilih di saat-saat genting ini? Dipta merenung dikelilingi tatapan penasaran teman-temannya. Kepalanya menunduk seakan tak sanggup melihat wajah mereka. Mengakui Sella sebagai tunangannya secara sepihak saja sudah terdengar seperti mimpi buruk. Ditambah Dipta harus berbohong di depan tuan dan nyonya Ariston, bahkan di hadapan Samuel sendiri. Tanpa sadar hembusan napas berat lolos dari mulutnya. Mendadak Dipta jadi teringat Sella. Perempuan itu hanya terlihat lemah karena penyakit mentalnya. Sebenarnya Sella jauh lebih tenang dan bijak dari dirinya saat menghadapi masalah. Dipta berpikir apa yang akan dilakukan Sella jika diperhadapkan dalam situasi seperti ini. “Ta, lo harus coba rencana ini.” Seruan Juna membuyarkan lamun
Dipta ditimpuki rasa penyesalan saat ia menjabat tangan Samuel dan mengesahkan kesepakatan maut berkedok misi penyelamatan itu. Bobby, Juna, dan Roni yang berdiri di belakangnya kehabisan kata-kata. Saat ini Dipta juga nyaris tak bisa membuka mulut tanpa menelan sesal. Mamanya selalu memberinya banyak nasihat, satu yang paling diingat Dipta adalah nasihat untuk selalu berpikir panjang saat ingin mengambil sebuah pilihan. Akan tetapi, pagi ini Dipta melanggar nasihat kesukaannya itu. Dipta baru saja mengambil pilihan yang bagai dua sisi koin, bisa berujung baik atau justru berakhir buruk. “Ta, lo serius mau bawa Samuel kabur dari sini?” tanya Roni sembari cengar-cengir tak percaya. Dipta yang Roni kenal tak pernah gegabah sepert ini.  
Seumur hidup Dipta, ia tak pernah menyetir mobil secepat ini. Dipta tumbuh dengan label anak baik dan julukan siswa teladan. Ia tak pernah menyentuh rokok atau terlibat tawuran pelajar. Bahkan jumlah presensinya yang kosong hanya bisa dihitung jari. Dipta selalu jadi bahan pujian kepala sekolah saat pidato upacara bendera karena tak pernah bolos kelas. Kesimpulannya hidup Dipta Mahendra adalah irisan kesempurnaan. Tapi hari ini Dipta sedang bersiap melepas status “anak baik” saat ia mendapati kecepatan mobilnya kian melambung tinggi. Sebenarnya Dipta menjerit-jerit sepanjang perjalanan melarikan diri ini. Ia tak mau tertangkap pengawasan mobil patroli polisi sedang menyetir ugal-ugalan. Tapi desakan dari arah belakang membuatnya terpaksa menginjak pedal gas lebih dalam. Tersangka u
Tak pernah terduga dalam benak Dipta, Jakarta yang selalu bergerak dengan layar besar tanpa henti itu akan terguyur hujan. Aktivitas di dalamnya memang tak berhenti. Deru klakson yang bersahutan dan ketukan tumit sepatu para pekerja saling mengisi ruang kosong di jalanan yang kadang tergenang air. Derit ban sepeda motor anak-anak sekolah yang bergesekan dengan aspal yang licin. Juga ketenangan di dalam mobil Dipta. Sebenarnya keadaan saat ini tak tepat jika dibilang ketenangan yang menghanyutkan jiwa. Terlihat jelas dari raut wajah Dipta yang tegang saat membaca pesan Whatsapp di ponselnya. Hanya melihat ekspresi Dipta saja Bobby dapat menebak dengan akurat seperti apa nasib Roni dan Juna. “Kita bisa kabur sampai sejauh ini pasti karena Juna dan Roni, kan?”
Desakan Samuel, kata-katanya yang sulit dipercaya, dan cengkeraman jari-jarinya di kerah kemejanya. Dipta tak pernah membayangkan situasi ini akan terjadi. Sejak masih di bangku sekolah pun ia tak suka berkelahi. Keyakinan itu bertahan sampai sekarang, ketika ia mulai beranjak dewasa dan kuliah di perguruan tinggi. Akan tetapi hari ini, satu nama yang terlontar dari mulut korban tabrak larinya telah menghancurkan keyakinan Dipta. “Lo sahabat Sella waktu SMA? Cowok yang nemenin dia waktu terapi penyembuhan trauma?” tanya Samuel bertubi-tubi. Nadanya suaranya keluar bagai tercekik. Dipta masih merasakan sekujur tubuhnya kaku saat saling beradu tatap dengan Samuel. Derak hujan menampar-nampar at
Samuel kurang suka hujan. Terlebih saat ia harus terjebak di tengah Jakarta karena hujan. Pasalnya hujan tidak hanya membuat kendaraan tertahan memenuhi jalan karena banjir dan macet, hujan juga membuatnya kedinginan. Seperti saat ini, ia merasakan pukulan Dipta yang memberi sensasi panas di pipinya. Samuel tidak hanya menggigil kedinginan, ia juga marah karena Dipta menyerangnya. Beruntung suara teriakan Bobby di luar mobil mengundang satpam apartemen dan penjaga parkir restoran seafood berlari mendekat. Dengan tambahan kekuatan gedoran dan teriakan dua pria dewasa, Dipta akhirnya menyerah. Ia melepaskan Samuel yang mulai kehabisan napas. Gerakan refleks Dipta yang melepasnya tak menyurutkan rasa kesal di benak Samuel, ia justru semakin marah karena Dipta berhenti dengan terpaksa. &nb
“Lupakan soal itu dulu. Itu urusan kita berdua nanti.” Dipta mengacungkan layar ponselnya yang memuat pesan teks aplikasi dari Roni. Samuel ingin sekali mengamuk setelah pesan bertabur emotikon sedih itu disodorkan Dipta ke wajahnya. Tapi ia harus tetap tenang di situasi yang ramai ini. Perkelahian di dalam mobil tadi saja sudah memalukan. Samuel harus menjaga image di muka umum agar status artisnya tidak hancur hanya karena cowok culun bernama Dipta. “Sesuai janji lo. Kita udah mati-matian bawa lo kabur dari UGD. Sekarang tolong bebasin Juna dan Roni. Mereka jadi korban buat menyelamatkan lo. Kalau orang tua lo tau apa alasan lo kabur dari acara perjodohan ke bandara dan akhirnya kecelakaan. Gue rasa mereka bakal—“ “Ssst!
Terjebak di rumah orang kaya yang benci padamu terasa seperti terperosok ke lubang singa. Roni tahu ia pandai mendeskripsikan sesuatu dengan agak berlebihan. Terjun ke dalam prodi Sastra Inggris membuatnya tampak bak pujangga Inggris pada zaman kerajaan abad pertengahan. Tapi kali ini ia tidak berlebihan. Dua gelas jus jeruk di atas meja kaca, belasan toples kue kering, dan senyum ramah asisten rumah tangga sama sekali tidak membantu mencairkan suasana yang terlampau tegang. Juna malah tenggelam dalam kebiasaannya menggerakkan jempol kaki saat mereka menunggu nyonya Ariston berbicara. Kuliah di jurusan Sastra Indonesia dan aktif di teater prodi sepertinya membuat Juna pandai bersandiwara. Roni mengatakan hal ini karena wajah Juna datar. Ulangi sekali lagi. Datar. Polos dan kalem meski sedang dipelototi nyonya Ariston. “Jun, kok muka lo bisa bertahan lempeng kayak jol tol gitu, sih?” bisik Roni. “Iya, dong. Gue menerapkan ilmu teater di jurusan gue den