Rachel menutup pintu dengan kencang, menimbulkan getaran yang lumayan mengganggu pendengaran Devan. Devan ingin mengumpat pada orang yang sudah dengan lancang mengusirnya, tapi yang dia hadapi adalah seorang wanita. Devan menahan diri dari emosi, terlebih Rachel masih ibu mertuanya karena Devan masih belum mengurus perceraian dengan Raina.
Devan memutar badan, berjalan lunglai hingga menuju tempat di mana mobilnya terparkir. Dia bersandar pada mobil, masih enggan menaikinya. Dia masih butuh waktu untuk berpikir, apakah Rachel berbohong atau jujur tentang keberadaan Raina. Lagipula, mau ke mana lagi Raina jika bukan ke rumah orang tuanya.
Dan lagi-lagi, Devan merasakan sesak di dadanya. Rasa cemburu mengubur akal sehatnya. Entah keyakinan dari mana, hingga dia bisa berpikir Raina berada di kediaman Dhaka. Pikirannya terbayang-bayang bahwa Raina dalam dekapan pria itu.
Devan membuka aplikasi W******p, dia membuka kembali pesan dari Arka. Hampir saja, Deva
Ada satu hal yang membuat Devan dan Dhaka memiliki sifat yang berbeda meskipun mereka adalah kakak beradik. Yaitu, kisah keluarga mereka. Masa lalu Petra sebagai ayah dari kedua anak itu. Petra merasa tertipu, dia salah menikahi seorang wanita, Lusi ternyata seorang wanita penghibur yang diam-diam masih bertemu pria lain di belakangnya. Petra tidak segan membawa anak mereka Dhaka pergi bersamanya. Petra berpikir, bahwa Dhaka lebih baik hidup terpisah dengan ibunya yang memiliki pergaulan bebas. Saat itu Dhaka masih kecil, dia tidak mengerti mengapa Petra meninggalkan Lusi. Dhaka bertanya pada ayahnya, tapi Petra tidak pernah memberi jawaban yang pasti. Jawaban yang tidak bisa memuaskan hati Dhaka. "Ayah, Aka pengen ketemu sama mama." Dhaka mengguncang lengan Petra, merajuk minta keinginannya dipenuhi. Petra yang sedang menatap layar laptop, menunda kegiatannya dia mengelus kepala anaknya yang masih balita. "Nanti kita ketemu mamah mu pas lebaran
Devan pergi ke rumah Raina, tidak lebih hanya untuk mengajaknya pura-pura baikan di hadapan Petra. Akan tetapi ternyata wanita itu tidak ada di rumah orang tuanya. Bahkan di rumah Dhaka sekali pun. Mendadak Devan gelisah. Seharian dia memikirkan Raina. Devan menghempaskan diri di sofa setibanya di rumah. Jemarinya menutupi mata yang sedang terpejam. Pikirannya kacau karena dirinya tidak tahu di mana Raina berada. Dia sudah menghubungi beberapa teman lama Raina, tetapi tidak ada yang tahu. Arka yang saat itu sedang bersama Devan ikut duduk, dia menepuk-nepuk bahu Devan. "Kita nanti cari ke tempat teman Raina yang lain." "Gua gak kenal teman-teman Raina, selain yang tadi kita temui." "Iya, nanti gua ba
Raina menggunakan uang yang diberikan Devan waktu itu untuk memulai bisnis waralaba, membeli satu gerobak ice bland dengan merk yang sudah ditentukan oleh orang yang diajak kerja sama. Raina akhirnya merasakan juga, bekerja sambil membawa balita dalam pelukannya. Mau bagaimana lagi, dia sekarang hidup sendiri. Mungkin kalau orang lain, saat bekerja bisa titip balita pada Nenek dan Kakek anaknya, tapi Raina tidak bisa."Awas, Rain! Hati-hati nanti minumannya netes ke kepala Zian." Naya muncul dari belakang. Menyapa Raina.Raina menoleh. "Ya enggak lah, aku hati-hati, kok.""Ya, syukur, deh. Akhirnya kamu terbiasa juga."Naya berlalu, sambil membawa bahan baku fried chicken, yang akan dia gunakan di stand tempat dia jualan. Sementara, Raina melanjutkan pekerjaannya.Di sebrang tempat Raina jualan, ada seorang pria yang menatap ke arah Raina dari
Devan menatap pria muda yang sedang membuka pintu mobil untuk Raina dan Naya, pemuda itu juga balas menatap Devan tapi tidak lama. Devan mengenalnya. Itu adalah Yoshi Altahir, anak seorang komposer handal di Indonesia. Belakangan, sering mengajak musisi lokal yang handal untuk kolaborasi di Chanel YouTube-nya. Dia juga teman SMA Raina, dulu.Devan memanggil Raina, wanita itu menoleh pada Devan, tersenyum lalu mengangguk memberi salam dari kejauhan. Akan tetapi tidak lama pula, dia kembali menaiki mobil Yoshi meninggalkan Devan yang mematung."Raina, tunggu!" seru Devan penuh harap.Sementara, Yoshi pura-pura tidak melihat Devan, meskipun Devan sudah mendekat, bahkan menempelkan jidad ke kaca mobil. Dia tetap melaju pelan membuat yang mengintip di kaca tadi secara otomatis memundurkan langkah, sambil mengumpat."Agh ... sialan si Yoshi Bang**t! Pasti sengaja giniin gua." Devan ha
Kembali pada Devan ataupun tidak sama saja bagi Raina, sama-sama sakit. Dia tahu setiap malam dirinya tidak tidur dengan baik karena rindu. Namun jika kembali, sama saja menyerahkan diri pada pria yang gagal move on dari mantan. Harus berbesar hati jika Devan tiba-tiba merindu masa lalunya kembali. "Jujur waktu itu, aku bisa mau anterin dia pulang karena lagi galau sama masalah kita. Terlebih, dia juga kenal sama Dhaka, aku diam-diam ingin cari info tentang adikku itu." Raina percaya tak percaya dengan ucapan Devan. Dia hanya menatap dengan lekat pada Devan tanpa menanggapi apa pun. "Tapi, aku gak berani ngapa-ngapain sama Kirana. Justru merasa semua ini hanya pelarian aja. Sumpah! Yang aku butuhkan saat ini adalah ... kamu." Devan frustasi saat melihat reaksi Raina malah memalingkan muka, seolah penjelasan apapun yang keluar dari mulutnya tak berarti apa-apa. "Kirana cerita banyak hal padaku tentang kalian. Selain itu, perkataan Kirana
Devan mengusap puncak kepala Raina saat wajah Raina pucat karena ulah Devan. Raina merasa tak percaya pria itu sudah berhasil menjahili dirinya. "Gak lucu!" ucap Raina saat melihat Devan cekikikan."Sorry! Lagian aku masih punya norma kesopanan, Rain." Devan masih terkekeh melihat wajah merona Raina.Akhirnya ada pembeli, Raina merasa lega karena Devan pasti memilih pergi bermain dengan Zian di taman."Rain, aku minta ijin pinjam Zian, ya!"Silakan aja, tapi jangan jauh-jauh, ya!""Oke."Raina melanjutkan pekerjaannya, hari libur memang malah membuat jumlah pembeli, menjadi bertambah dua kali lipat. Beruntung, ada Devan yang membawa Zian bermain.Raina melihat dari kejauhan, Devan sedang mengajarkan Zian berjalan dan Zian mampu melakukannya sendiri s
Banyak kenangan di rumah ini. Raina pertama kali tinggal di sini dalam keadaan menanggung malu karena hamil. Lebih dari pada itu dia tak bisa pulang ke rumah orang tua angkatnya karena sudah tak diinginkan. Bertemu Devan yang selalu menatap dia dingin, pria itu berbaik hati tapi bukan karena ketulusan. Dalam situasi kebingungan tentang kehidupan, April memberikan uluran tangan dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Raina awalnya ragu dan menganggap April adalah ibu mertua biasa. Tapi rupanya, dia mendapatkan kasih sayang yang tak pernah dirasakannya dulu saat tinggal dengan orang tua angkatnya. Raina mengakhiri lamunan saat mendengar suara April yang mengajak Zian bernyanyi bersama. April terlihat bahagia saat bersama Zian. Maklum, Zian cucu pertama d
Raina bangun dari tidurnya, dia melihat ke samping Devan sudah tak ada di sisinya. Suara shower dari dalam kamar mandi membuat Raina tahu pria itu sedang mandi. Dia duduk di kasur sambil melamun. Dirinya tak percaya semalam sudah menghabiskan malam bersama Devan lagi. Degup jantungnya berdetak tak beraturan. Semua yang dilalui semalam adalah keindahan dan kehangatan.Pintu kamar mandi terbuka, Raina melihat Devan keluar dengan berbalut handuk Devan tersenyum ke arah Raina yang baru bangun dengan rambut masih acak-acakan. Raina berusaha merapikan rambutnya, menyisir dengan jari saat berhadapan dengan Devan."Raina, giliran kamu mandi. Aku tunggu kamu buat Shalat bareng."Raina mengangguk dan berjalan ke arah kamar mandi. Dia tak mau membuat Devan lama menunggu terlebih sudah sangat lama dirinya tak shalat di-imami oleh Devan.Raina berdiri dibawah guyuran shower. Perasaan luar bi