Mas Nazril benar-benar menjemputku di minggu pagi ini, tapi kali ini aku lebih santai karena dia mengajak murid favoritku, Ilyas. Tadi dia juga meminta izin sama mama dan sepertinya mama sudah mengetahui rencana Mas Nazril sebelumnya.
"Ilyas memang enggak rewel kalau ikut tapi enggak sama bundanya?"
"Kamu mau kita berdua saja apa bagaimana ini maksudnya?"
"Alus benar buaya kalau ngomong!"
Dia tertawa lebar lalu sebelah tangannya mengusap rambut Ilyas yang ada di pangkuanku.
"Ilyas sama saya lengket banget, asal dibawain susu aman dia. Malah dia yang nangis pengen ikut tadi, saya pikir kamu sudah tahu Ilyas dan enggak akan keberatan kalau dia ikut."
"Sama sekali enggak Mas! Kangen sama anak ini, sudah lama saya enggak main ke sekolah!"
"Itu kamu yang kebangetan, di depan rumah doang enggak pernah main. Kalau saya pasti pilih jadi gurunya anak-anak atau jadi pengasuh sekalian!"
"Sebegitu sayangnya sama anak-anak!"
"Enggak
"Dok Ed, sahabatnya kemana sih?" Tanya Putri di tengah-tengah acara makan siang kita."Siapa? Si Agus?""Haha, iya Dok!""Oh, biasalah diajak kencan sama Profesor Danu." Jawab Mas Edo sambil melirikku, entah lirikan apa itu.Mas Nazril memang lagi ke Bangkok bersama Prof. Danu untuk menghadiri seminar kesehatan, terhitung sudah satu minggu sejak kita pergi ke rumah Pak Hadi. Senin malam dia berangkat. Sejak saat itu juga aku jadi intens bertukar pesan dengannya, hampir setiap hari."Kok dr. Nazril bisa dekat banget sih sama Prof. Danu?" Tanya Putri lagi, ini cewek kalau tanya harus sampai akarnya. Aku memilih menyimak obrolan mereka sambil menghabiskan soto favoritku."Dulu waktu kita koas, Nazril langganan dapet dampratan malah, tapi mungkin karena Prof. Danu sudah ngincer otakknya yang encer kali ya, nyatanya setelah selesai iship Si Agus langsung ditarik ke Jakarta sama Prof. Danu. Dia diminta kerja di rumah sakit besar di bidang peneliti
Nazrilpoint of view Gue tertawa sendiri melihat layar panggilan tiba-tiba terputus. Ini pasti Helga yang ngerebut hp dari Edo. Tapi alhamdulillah lumayanlah sempat lihat wajah Ralin. Edo walaupun kampret begitu bisa juga diandalkan. "Ril, jadi ya kamu yang ngisi!" "Hah? Jangan Prof! Saya mah apa atuh! Profesor saja deh ya!" "Saya sudah sering, sekarang kamu! Saya tunggu 10 menit lagi!" "Tapi Prof?" Aku masih menego permintaan Prof. Danu, kali ini benar-benar di luar konteks. Kalau biasanya beliau minta gue cari sample atau mengekstraksi kandungan kulit buah atau misahin DNA gue mah ayo saja. Tapi ini, coba bayangkan! Gue disuruh ngisi ngaji komunitas pedagang syariah Indonesia yang ada di Bangkok ini. Bingung ya? Ha ha ha Tenang gue jelasin! Jadi gue sekarang ada di Bangkok sudah satu mingguan. Tujuan utamanya adalah seminar dengan temaBasic Surgical Skills for General Phy
Ralin point of view Semalam aku tidak tidur karena harus nerus jaga malam menggantikan salah satu dokter yang berhalangan hadir. Sepulang kerja aku menepikan mobil di depan warung bubur yang enggak jauh dari rumah sakit. Aku masih mencari-cari kursi kosong, pagi-pagi begini sudah pasti penuh sesak. Alhamdulillah rejekinya Pak Raden. "Pagi Mbak dokter cantik!" sapa pria tua yang sudah akrab denganku.
Nazril Point Of View Pasti pada sering dengar kan kalimat 'tidak ada yang kebetulan di dunia ini, bahkan daun jatuh pun sudah ditakdirkan oleh Allah'? Gue yakin memang semua terjadi bukan karena kebetulan, melainkan sudah Allah takdirkan. Seperti saat ini entah kebetulan atau takdir tapi gue pilih sebagai takdir. Siang ini saat gue mau ke rumah saudara, enggak sengaja melihat mobil Ralin berhenti di tepi jalan agak sepi. Tanpa pikir panjang gue tu
"Bang, biar aku saja yang jemput Ilyas!""Memang kamu enggak kerja, Ril?""Jaga malam!""Kok Arkan mencium bau bunga kantil ya Bi?" Ujar Bang Arkan pada abi tapi senyum jahilnya ke arah gue.Gue dan kedua pria ini sedang bersantai di serambi masjid karena baru saja selesai ngaji pagi dengan santri putra."Memang ada kuntilanak Ar?""Hahah, ya bukan Bi! Kalau kuntilanak kan serem, kalau ini bunga wangi yang biasa dirangkai terus dipakai pengantin itu lho Bi!"Gue memilih tetap memijit bahu abi, membiarkan Bang Arkan terus meledek. Gue sudah hafal banget dengan ekspresi-ekspresi penindas ala keluarga gue ini."Abi enggak akan nikah lagi lho!" Jawab abi dengan nada yang enggak jauh beda dari Bang Arkan, nada perledekan.Semua ini gara-gara beberapa hari yang lalu waktu gue lagi ngobrol dengan Ralin di taman, Bude Nilna-kakaknya abi ngelihat gue dan sekedar informasi saja, jiwa-jiwa pembully itu sudah mendarah daging di kelu
Ralin Point Of View "Lin satu pasien lagi ya!" Aku mengangguk lemas, ini hari apa ya? Perasaan pagi sampai siang ini kok pasien banyak banget. Apotek ini berada di pinggiran kota jadi cocok banget buat alternative periksa daripada ke rumah sakit. "Keluhannya?" Tanyaku pada Mbak Menik perawat yang membantu di apotek ini. Mbak Menik masih keluargaku. Simbah kami bersaudara. "Katanya meriang! Suruh masuk ya?" "Okay!" Mbak Menik memanggil pasiennya sementara aku melirik hp sebentar, tadi sepertinya Mas Nazril telepon tapi enggak sempat aku angkat. "Tanteeeeee!!!" Aku menoleh dan cukup surprise dengan kedatangan dua pria yang cukup menawan ini. "Loh ini pasiennya Mbak?" Tanyaku pada Mbak Menik sambil mendekati Ilyas lalu aku gendong. "Iya Lin, kenal?" Mau tidak mau aku tertawa sambil mengangguk pada Mbak Menik karena kenal banget sama pasiennya."
Nazril Point Of View. Gue masih di restoran abang bersama Ralin dan Ilyas, ini misi pertama gue mengenalkan Ralin ke keluarga. Maunya ya pertama kali bawa ke umi dan abi tapi takut dia enggak nyaman makannya gue bawa saja ke abang dulu dengan alibi makan siang. Ilyas saat ini sedang sibuk makan ikan kesukaannya dan dengan telaten Ralin menghilangkan duri ikannya agar Ilyas tidak kesulitan. Kan! Kan! bayangan gue jadi kemana-mana. Bayangan tentang keluarga kecil bahagia, dimana gue sedang memandangi istri gue yang sedang menyuapi anak gue. Abang dan Mbak Cut pamit karena harus pergi ke rumah sakit untuk periksa kehamilan Mbak Cut yang sudah masuk minggu ke 28 itu. Gue sudah mau nambah keponakan lagi, si abang rajin banget, Sean dan Alfa di kirim ke pesantren sedangkan mereka jadi pengantin baru lagi. Sungguh menyiksa batin gue! Kembali ke Ralin! Gue sebenarnya agak enggak percaya Ralin mau kasih kesempatan. Gue p
Ralin Point Of View. "Ma Ralin jadi pergi ya?" "Sama Gisel kan?" "Iya Ma, Ralin jemput ke rumahnya." "Pulangnya jangan kesorean Lin! Nanti kamu jaga malam kan?" "InggihMama sayang!!" Aku segera mencium tangan dan pipi mama lalu bergegas ke rumah Gisel. Seneng banget sekarang Gisel sudah selesai segala urusannya di Australia dan sudah dapat kerjaan di sini, makanya aku todong dia nih buat traktir. Hari ini aku janjian ke Mall Paragon dengannya, aku minta ditemani beli kado untuk anak Mas Edo yang baru lahir. "Si Agus belum pulang Lin?" Tanya Gisel begitu kita sampai di parkiran Mall dia memang suka sekali memanggil Mas Nazril dengan nama Agus setelah aku ceritain kejadian waktu pertama kali ketemu di rumah sakit. "Katanya sudah tadi malam!" Mas Nazril baru saja pulang dari Jepang, suka ngeri sendiri kalau lihat jadwalnya terkadang bisa santai hanya