Share

Dibangunkan pada kenyataan

"Selamat malam, Rob."

"Selamat malam untukmu juga, Pak Iori."

Manajer toko mainan itu menyalami jabatan erat tangan Pria tua dibawah tatapan penasaran bocah kecil bermata biru yang mendongak. Rei hanya diam mendengar percakapan dua orang dewasa yang membuatnya lupa pada kereta yang sudah dimasukan ke dalam boks. 

Sampai suara bel pintu menyadarkan bocah kecil yang memakai jaket tebal kebesaran dan menatapi boks besar yang dibawa pegawai toko dan terus ia tatapi bahkan saat boks itu menghilang kedalam bagasi mobil besar yang terparkir didepan toko.

"Kau suka kereta, young man?" Tanya pria tua yang ternyata sudah ditinggalkan manajer masuk kedalam toko. 

Rei menggigit bibir merahnya yang jadi kering karena udara dingin, diam beberapa lama lalu mengangguk. Matanya membesar saat Iori menjajarkan kepalanya, "dan kemana syalmu? Diluar terlalu dingin meski jaketmu besar." Ucap Iori melepas syal hangat yang ia pakai lalu melingkarkan pada leher kecil yang matanya membesar, terkejut.

"Aku tidak mau ikut denganmu."

Ucapan Rei membuat manik hazel Iori membesar lalu tersenyum lebar, "tawaran yang menggoda, young man. Tapi, aku tak suka membawa anak-anak tanpa orang tua mereka. So, dimana Mommy dan Daddy-mu?"

Rei tampak berpikir, ia menatap pria tua yang senyumnya begitu ramah. Menimbang dan menilai haruskah ia mengatakan kemana mommy pergi atau tidak. "Disana," tunjuk jari yang sarung tangan hangatnya kebesaran, apalagi itu milik wanita. 

'Mungkin mommy anak ini lupa membawa sarung tangan untuk bocah kecil ini.' pikir Iori menatapi cafe dan bar lalu kembali menatap bocah lelaki yang juga memakai jaket wanita-bukan barang imitasi meski itu keluaran 5 tahun lalu, tapi kenapa yang dipakainya barang-barang branded wanita- "Tidak ikut orang asing adalah pilihan yang bijak, young man." 

Rei menatapi pria tua ramah yang berdiri dengan senyum lalu mengusap kepalanya, "senang bertemu denganmu, young man." Ucap Iori lalu berjalan meninggalkan bocah kecil yang baru sadar pria tua yang masuk kedalam mobil wanita yang menunjuki kereta tadi syalnya masih melingkar dilehernya yang jadi hangat.

Kaki kecilnya yang siap berlari mengejar mobil yang melaju, tertahan saat bangku yang tak boleh ia tinggalkan kembali nampak pada matanya yang tadi terhipnotis kereta mainan. Bocah kecil ini jadi bingung, tentu saja. Tapi, Rei memilih duduk. Berharap lelaki tua itu sadar syalnya tertinggal. 

Sementara dibalik tembok, Cyntia menyentuh dadanya yang keras berdetak karena melihat siapa yang mengajak putranya berbicara. Kepala pelayan tempatnya dulu tinggal masih saja sama, begitu murah senyum dan tegak tak perduli rambutnya memutih. 'Apa kakak ada dimobil itu?'

Hanya itu yang berani Cyntia tanyakan, ia akan merasa bersalah jika bertanya lebih dari itu meski pertanyaan itu ada dalam kepalanya sendiri bahkan tak ada yang mendengar ataupun tau. Tak menyadari sepasang mata lelaki yang mengawasinya dengan air liur yang menggenang dimulut.

"Hei, Hans. Aku tak tau kau punya istri yang berani keluar dengan baju tipis dimusim dingin." Ucap pria itu membuat Hans melirik wanita yang tubuh kecilnya menempel pada tembok. 

Tapi, Hans tak perduli dan kembali menatapi berkas ditangannya. Dibacanya berkali-kali tulisan dalam berkas seolah memastikan tak akan ada typo ataupun kesalahan ketik. Ini kesempatan terahirnya. Ini kesempatan terahirnya. 

Tiga kalimat itu berputar berkali-kali dalam otak Hans. Pria yang kehilangan segalanya bahkan harus pergi dari tempatnya dahulu tinggal dan bekerja, pergi ke kota kecil membawa sumber kemalangannya dan keluarga. Karena di kota yang ia tinggalkan tak ada lagi tempat yang mau menerima dirinya ataupun keluarganya. 

Kota kecil ini yang membuatnya meninggalkan segalanya, kehidupan mewah yang rasanya kini tinggal mimpi dan angan-angan. Tapi, ia harus terus terjebak dengan sumber kemalangan dalam hidup hanya karena orang tuanya tak mau membayar seorang pembantu! 

"Shit!" Rutuk Hans jadi kesal dan menenggak bir yang tinggal separoh, Habis.

"Kau tau, aku mempertaruhkan segalanya disini bukan?" Hans melirik partner kerjanya itu, malas. Dan entah setan dari mana ucapan Hans membuat pria mesum dengan tato ular yang ia kenal sejak setahun lalu itu menyeringai.

"Ku harap kau tak akan menarik ucapanmu, Hans." 

Hans mendengus dengan senyum dibibir, lalu memanggil pelayan meminta segelas bir lagi. "Toh aku tak pernah menyentuhnya." 

"What?" Tanya pria yang sudah membayangkan hal mesum, pada Hans yang kembali menenggak bir tak perduli pada wajah bodoh yang sudah dipenuhi nafsu.

*

"Kau pikir ini cukup, Iori?" Tanya wanita berwajah dingin membuat yang ditanya menoleh kebangku belakang. Mata majikannya melirik bagasi tempat kado besar terbungkus dengan pita.

"Yang lebih penting Nona yang memilihnya, bukan begitu?"

"Kau sama sekali tak menjawab pertanyaanku, Iori." Ucapan Nara membuat pria tua yang memutar duduknya itu tersenyum. 

"Well, Nona. Apa anda melihat mata bocah kecil yang saya ajak bicara tadi?" Nara hanya diam mengingat bocah kecil yang tubuhnya menempel pada etalase toko yang rasanya ingin bocah itu tembusi.

"Apa hubungannya dengan anak itu?" 

Senyum Iori membuat Nara menyedakepkan tangan. "Nona, anak itu begitu terhipnotis dengan kereta yang anda beli."

"Oh." Hanya jawaban itu yang keluar dari bibir Nara. Wanita dingin itu mengangguk paham dan menyenderkan kepalanya makin dalam, "bangunkan aku jika kita sudah sampai. Dan belilah syal baru untuk lehermu itu!" Ucap Nara memejamkan matanya.

Iori hanya mengangguk dengan senyum, majikan dinginnya itu menunjukan kehangatan dengan caranya sendiri. "Jika anak Ais sudah besar apa menurutmu ia akan sebesar anak itu?" 

Seoalah tak percaya dengan apa yang didengar telinganya. Iori menatap window rear, menatapi pantulan sang majikan yang memejamkan mata. "Mungkin saja, Nona." 

Mobil yang melaju itu kembali sepi, bahkan tak ada suara musik karena memang majikannya itu tak akan bisa beristirahat jika ada gangguan. Beruntung sekali mobil yang mereka beli ini suaranya begitu halus. Beruntung? Tentu saja ini tak ada hubungannya dengan keberuntungan. Iori terlalu hafal dengan selera sang majikan yang benar-benar tertidur diantara bisingnya suara yang bahkan begitu tak mengganggu meski mereka ada ditengah kemacetan.

"Berapa lama lagi kita sampai?" Tanya Iori pada ceufer yang melirik jam ditangannya.

"Dengan kemacetan ini? Kurang lebih satu jam."

Apa yang diharapkannya? Mungkin naik pesawat lebih efisien sayangnya tempat yang ia tuju tak memiliki landasan pesawat meski pemiliknya pasti bisa membuatnya lebih dari satu jika ia mau. 

Setidaknya kota kecil ini indah, tapi apa majikannya tak akan marah-marah jika ia tau tak akan ada jaringan internet dirumah Tuan Sulivan? 

Iori melirik wanita muda yang benar-benar tertidur itu, "tentu saja majikanku tak marah, dia hanya akan murka dalam diam." 

"Nevermind," ucap Iori pada ceufer yang mengerutkan dahi.

Satu minggu, setidaknya majikannya ini bersedia meluangkan waktunya demi mendapat hati bocah kecil nakal yang akan mempermudah kerja sama. "Lucu sekali." Ucap Iori kembali membuat ceufer yang melajukan mobil pelan diantara kemacetan itu mengerutkan dahi. 

Iori terdiam mengingat mata biru bocah yang memakai jaket dan sarung tangan bermerek namun kebesaran itu. Wajah bulatnya membuat Iori berpikir lalu menggelengkan kepala. 

Iori menoleh keluar menatapi lampu-lampu cantik diantara gemerlap malam di kota kecil yang membuatnya menarik nafas dalam. Mengingat gadis bodoh yang tawanya begitu lebar saat ia menjadi ratu satu malam. Meski pasangannya adalah tunangan dari kakaknya sendiri. Hansel Nickolas.

Pria yang tak lagi bisa memasuki kota tempat majikannya tinggal, begitupun keluarganya. Jadi itu termasuk Cyntia dan anaknya yang entah lelaki ataupun perempuan. Majikannya ini benar-benar memotong hubungan apapun dengan adiknya. Dan tak ingin tau kabar apapun tentang mereka. 

[Aku tidak mau ikut denganmu.]

Ucapan bocah kecil yang namanya tak ia ketahui itu membuat bibir dan mata Iori tersenyum. Meski ia jadi diam menyadari setipis apa baju yang dipakai bocah lelaki itu dibalik jaket kebesaran yang ia kenakan.

*

Cyntia menatapi pria tua yang duduk diatas kasur tempatnya tidur. Ia lupa mengunci pintu gudang saat pergi tadi. Rei yang melihat opanya menyeringai lebar mengeratkan genggaman tangannya pada jemari sang mommy. 

"Tidak perlu waspada seperti itu, menantuku sayang." Rasanya Cyntia ingin muntah mendengar panggilan lelaki tua yang hanya memakai bokser itu. Apalagi saat mata birunya mendapati bagian selangkangan pria tua itu mengeras. 

Cyntia mundur selangkah saat Rudy berdiri. Tangannya langsung memeluk Rei dan menutup telinga kecil Rei yang menyembunyikan wajah. Bocah kecil ini paham sekali jika apapun yang akan diucapkan opanya adalah hal yang tak baik untuk ia dengar. Karena Cyntia akan selalu melakukan itu memeluknya dengan menutupi telinga Rei setiap kali orang-orang dalam rumahnya ini berteriak!

Tubuh Cyntia merinding jijik pada tangan Rudy yang hendak menyentuh lengannya. Matanya menatap waspada dan lega saat mendengar suara gedoran pintu yang membuat Rudy mendengus kesal. Sementara Cyntia langsung menggendong Rei dan secepatnya berlari menjauh dari gudang tempatnya tidur dengan rasa syukur. Berterimakasih pada siapapun yang sedang berdiri didepan pintu.

Rei yang melihat opanya menjilati bibir saat menatapi ia dan mommy-nya yang berlari cepat mengeratkan pegangan tangan kecilnya pada leher Cyntia. Meski tak ia katakan bocah kecil ini tak senang dengan cara opa menatapi sang mommy. Sangat tidak suka!

Duk..! Duk..!Duk!! 

Cyntia yang nafasnya tersengal menarik nafasnya dalam-dalam lalu menurunkan Rei di ruang tengah. "Tunggu mommy di sini, ok?" Ucap Cyntia mengusap kepala Rei yang mengangguk. Dan menatapi punggung mommy yang menjauh, mendekati pintu yang gedorannya begitu tak sabar.

Rei yang berdiri menarik nafasnya melihat buah di atas meja makan yang rasanya pasti enak tapi tak boleh ia makan. Bocah kecil yang terus menunggu sang mommy ini memilih duduk diatas lantai meski ada sofa panjang empuk yang rasanya pasti tak sedingin dan sekeras tempatnya dan sang mommy biasanya duduk. "Kenapa aku dan mommy tak boleh duduk di sana, ya?" 

Pertanyaan itu kembali terlontar dari bibir kecil yang terkejut mendengar teriakan Cyntia. "BERHENTI! HANS TOLONG JANGAN LAKUKAN INI. KUMOHON HANS!" 

Teriakan Cyntia membuat Rei berdiri. Kaki kecilnya berlari secepat yang ia mampu. "Mommy!"

Seruan bocah kecil itu terdengar saat melihat tubuh Cyntia ditindih lelaki tak dikenal yang wajahnya bengis. Sementara Daddynya hanya diam melihat. Aroma tak enak yang menyeruak dari tubuh Hans membuat hidung Rei gatal, tapi bocah kecil itu berlari lalu mendorong tubuh limbung lelaki bengis yang menindih tubuh Cyntia yang terus berusaha mendorong lelaki yang ahirnya jatuh. 

Cyntia langsung berdiri memeluk Rei yang ia angkat. Tapi langkah kakinya yang ingin berlari ditahan tangan Hans, "Hans lepaskan aku, kumohon, lepaskan aku!" 

Percuma, tapi Cyntia tetap memohon pada Hans yang matanya merah. "Semua salahmu! Semuanya salahmu dan anak sialan ini!" Seru Hans tak perduli jika Rei yang memeluk erat leher Cyntia mendengar.

"Jika kau tak hamil semuanya akan baik-baik saja! Aku akan tetap hidup seperti dulu! Sekalipun kakakmu memutuskan pertunangannya denganku!"

Hans terus berteriak, menyalahkan Cyntia atas kemalangan nasibnya. "Tapi kau tetap menikahiku Hans-"

"Menikahimu? Kau pikir aku menikahimu karena rasaku padamu, bukan? Biar kukatakan sesuatu yang menarik," ucap Hans mendekatkan bibirnya pada telinga Cyntia. "Menikahimu itu hanya sebuah pertunjukan bagiku supaya kakakmu sadar aku akan baik-baik saja tanpa dirinya." 

Cyntia hanya diam mematung. Apa yang selama ini menjadi pegangannya rasanya runtuh. Dihancurkan begitu saja. Bayangan tawa dan pelukan mesra dihari pernikahannya seolah pecah berkeping-keping. Tawanya. Tawa Hans yang terus memegangi tangan juga memeluk pinggangnya. Ucapan selamat orang-orang yang hadir. Senyum ramah keluarga Hans. 

Bayangan-bayangan hari paling membahagiakan dalam hidupnya kembali terlintas jadi kepingan yang rasanya makin buram karena airmata Cyntia menggenang. Tapi Hans tak perduli dan terus bicara pada perempuan yang lengannya ia cengkram kuat. "Kau sudah menghancurkan hidupku jadi balas kebaikanku selama ini dengan melayani siapapun yang kuajak ke rumah ini!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status