Home / Lainnya / A HOME FOR REI / Buaian kebohongan

Share

Buaian kebohongan

Author: Nur Juwariyah
last update Last Updated: 2021-03-18 17:51:07

Suara sendok dan garpu yang beradu dengan dengan piring nyaring terdengar dalam ruang makan yang obrolannya begitu hangat. Setidaknya sampai dua tubuh manusia yang duduk dilantai dingin dengan sepiring nasi yang masih belum bisa mereka sentuh terlihat. 

Tidak, bahkan mereka harus menunggu sampai pemilik rumah yang tertawa menceritakan seberapa beruntung sahabatnya yang memiliki menantu kaya raya selesai makan. "Kau harus pandai memilih calon, Catlyn. Agar kau tak berakhir jadi benalu juga beban." 

Menohok? Ya, tentu saja. Namun itu adalah kalimat yang setiap waktu hadir saat pemilik rumah, suaminya, juga dua putra putrinya dan seorang perempuan yang dibawa pulang sang putra berkumpul. Jadi itu bukanlah hal besar lagi.

"Tentu saja, Mom. Aku bukan gadis yang tak bisa menghidupi diriku sendiri. Lalu jadi benalu dan beban." Mata Catlyn melirik dua tubuh bisu yang hanya diam di atas lantai dingin. Setidaknya untuk yang wanita karena yang balita matanya menatap kesana kemari dan jadi diam saat tangan sang Mommy menggenggam tangannya erat dengan senyum.

Rei tak mengerti, tidak paham, tak memahami, jika wanita yang sedang tersenyum menenangkan rasa laparnya itu sedang mencari ketenangan diri. 

Tapi sampai kapan? Sampai kapan ia sendiri yang akan mencari ketenangan yang rasanya makin sulit ia dapat. Iya, sekarang Rei masih kecil, putranya itu masih belum memahami untaian kalimat menyesakkan yang bahkan terasa lebih menyakitkan jika diucapkan orang-orang yang dianggapnya keluarga. 

Tapi, bagaimana saat usia Rei bertambah, bahkan putranya yang sudah ingin mengetahui segala hal ini sering menanyakan apa yang ia dengar, apa yang ia saksikan, apa yang ia hadapi dengan otak yang masih akan terus berkembang.

Usia Rei akan makin bertambah sepanjang hari dan itu membuat Cyntia makin menggenggam erat tangan kecil bocah lelaki yang menunggu keluarganya selesai makan agar ia bisa memakan apapun yang tersisa di atas sana. 

Di atas meja yang rasanya begitu tinggi meski tangan Rei makin bisa menggapai tanpa harus menjinjitkan kakinya yang kecil. Tapi, Rei yang masih kecil itu tau. Meja dan kursi yang tak pernah ia rasakan seperti apa rasanya itu bukanlah tempatnya. Meskipun di sana ayahnya, Omanya, opanya, tantenya duduk menikmati masakan sang mommy bersama wanita yang memandangnya dengan tak ramah.

Sementara ia dan mommy harus duduk di atas lantai dingin setiap waktu. Dan baru makan saat semua orang sudah meninggalkan meja makan. Dan ini hanya satu dari banyaknya hal yang sudah ia pahami betul-betul dalam rumah yang membuat mommy bergerak sepanjang waktu. Bangun lebih dulu dibandingkan yang lain juga tidur saat semua orang sudah terlelap.

"Kenapa hanya ada 11 potong ayam?" Tanya pemilik rumah setelah menghitung makanan yang membuat semua mata tertuju pada Cyntia. 

Bisa seperhitungan apa wanita paruh baya itu tentang makanan? Tak ada yang bisa mengukur. 

"Ayolah, Mom. Itu hanya potongan ayam." Ucap kepala keluarga dalam rumah yang tatapannya membuat Cynthia tak nyaman. Bahkan lebih tak nyaman dari tatapan menuduh pemilik rumah yang tajam menatapinya dan Rei. 

"Hanya? Kau bisa berkata begitu karena bukan kau yang mengeluarkan uang untuk potongan ayam sialan itu!" Seru pemilik rumah yang membuat Hans membanting sendok digenggaman tangannya. Lalu berdiri dan menjambak rambut Cynthia yang hanya bisa meringis berusaha menahan rasa. 

"Aku tidak tahu, Hans. Kau pikir aku akan duduk disini jika aku sudah memakan potongan ayam yang hilang itu?" 

"Kalau bukan kau siapa lagi yang mengambilnya, Cynthia? Kucing? Atau anakmu yang tampak kenyang itu?" Ucap Barbara-mertuanya, membuat Cynthia melepaskan tangan dari lengan Hans yang menarik rambutnya kasar lalu memeluk Rei yang terlihat ketakutan. 

"Jika aku dan anakku sudah kenyang aku tak akan duduk diatas lantai rumahmu yang nyaman ini, ibu." 

Plakk!! Tamparan keras itu mendarat begitu telak pada pipi Cynthia yang memeluk tubuh Rei dengan tangan menutupi telinga bocah yang menyembunyikan wajahnya begitu dalam dan memegang erat-erat baju sang mommy. Wanita yang diam saja berusaha untuk tak bersuara mendapati pipinya ditampari sesuka hati si pemilik rumah.  

Berharap Rei dalam pelukannya tak melihat sekalipun telinganya masih bisa mendengar keributan yang sering kali terjadi hanya karena sepotong daging ataupun ayam yang jumlahnya kurang. 

"Kembali keruanganmu, Pencuri! Tak akan ada makan malam untukmu dan putramu malam ini!" Ucap si pemilik rumah yang nafasnya naik turun dengan telapak tangan panas. Setidaknya, emosinya hari ini sudah tersalurkan pada satu-satunya sumber kemalangan keluarganya. 

"Anjing liar bahkan lebih pantas memakan nasi ini dibandingkan dirimu dan anak sialanmu!" 

Tak ingin menambah kalimat menyakitkan yang pasti akan jelas diingat Rei, Cyntia memilih berdiri setelah menatap Hans yang melepas cengkraman tangannya lalu pergi dengan menggendong Rei yang diam, ketakutan. Keluar rumah, kesatu-satunya tempat yang dipantaskan untuknya dan Rei tidur dirumah tempatnya tinggal ini.

"Mommy?"

"It's ok, Darling, everyting is ok." Ucap Cyntia meski matanya tergenang air. Tangan kasar Cyntia mengusapi punggung Rei yang mendongak lalu memeluk mommy-nya makin erat. Ok artinya ia tak boleh bertanya lagi atau sang mommy akan menunjukan wajah sedih yang sesungguhnya tak ingin Rei lihat. 

Cyntia masuk kedalam ruangan sempit, bahkan ia harus berbagi tempat dengan beberapa barang yang belum akan digunakan dalam gudang yang menjadi tempatnya mengistirahatkan badan. Begitupun Rei yang masih menyembunyikan wajah takutnya dan baru merasa tenang saat bunyi 'klik' terdengar.

Cyntia selalu mengunci gudang tempatnya tidur bahkan menggeser beberapa barang untuk merasa lebih aman sebagai penahan pintu. Ia tak ingin ada orang yang masuk tiba-tiba dan berniat buruk padanya apalagi saat melihat tatapan sang mertua lelaki yang memang selalu menatapnya lapar. 

"Mommy...," Rei yang mendongakan melihat wajah Cyntia merah, rambutnya bahkan sangat berantakan berkat tangan Daddy. Mata bulat Rei langsung basah dengan tangan mengusap pipi Cyntia.

"Terimakasih, Rei, tangan Rei membuat pipi mommy hangat... Sangat hangat... Thank you, Darling...." Wajah bulat Rei jadi berbayang berkat mata Cyntia yang tergenang air. Sekuat apapun dirinya berusaha menahan pertahanannya akhirnya jebol. 

Ia menangis dengan memeluk Rei begitu erat seolah jika ia tak melakukan itu ia akan kehilangan kewarasanya. Kehilangan pijakan. Kehilangan apa yang membuatnya bertahan. 

Gadis bodoh yang bahkan tak tau jika nasib membawanya pada kehidupan yang begitu berbeda dengan apa yang ia impikan ini hanya menangis, membagi kesedihan dan kesakitannya dengan satu-satunya bakal manusia yang membuatnya bertahan dalam rumah bak neraka dunia yang membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya dan tak bisa kembali. Seingin apapun dirinya.

Kruyuukkk....

Suara protes perut Rei membuat Cyntia menatap putranya. Meski ada perasaan miris bibirnya tersenyum dengan airmata yang masih mengalir. Dikucupinya pipi Rei yang sedang erat dipelukan dan sekali lagi dikecupnya pipi Rei satu-satu. "Lihat, apa yang mommy punya untukmu, Rei." 

Rei yang menatap malu sang mommy matanya melebar melihat dua tangkup roti tawar dengan selai coklat. Bukan potongan ayam yang membuat sang putra tak bisa makan nasi malam ini.

"Mommy, maukah Mommy makan denganku?" Tanya Rei tak urung membuat Cyntia tersenyum lalu mengangguk dan menggigit roti yang Rei sodorkan. 

Rasanya, tak ada makanan yang bisa mengalahkan kenikmatan rasa roti berlapis coklat yang sedang ia kunyah. Tidak foie gras tidak juga masakan dari Michelin hotel yang dulu sering ia kunjungi.

Apalagi senyum lebar Rei yang senang Mommy-nya malam ini mau makan roti tawar bersamanya. Bocah kecil itu senyumnya begitu lebar meski tak bisa bersuara keras. Ia mengerti tak seharusnya suara mereka terdengar. Apalagi jika ada telinga yang mendengar mereka sedang berbagi setangkup roti. Itu akan jadi masalah besar. Sangat besar! terutama untuk Mommy-nya.

Sementara di dalam rumah suara sendok dan garpu terus beradu diantara kesenangan yang membuat tembok malu untuk sekedar menjadi saksi dua belas potong ayam yang akhirnya ludes bersama lauk pauk yang ingin manusia-manusia itu masukan kedalam perut. Tak ada potongan ayam yang lari dari piring ataupun kulkas. 

"Melakukan ini sesekali benar-benar membuatku bisa melepaskan stresku." 

"Kan, sudah lama kukatakan padamu, Mom. Menyalurkan stres pada sesuatu yang bahkan tak akan melawan sungguh menyenangkan." Ucap Catlyn membuat satu lagi wanita berambut pirang dalam ruang makan itu tersenyum dengan seringaian lebar. Sementara Hans hanya memakan nasinya dalam diam. 

Tak melihat tatapan sang ayah yang matanya berkilauan. Saat mengingat wajah Cyntia yang memeluk erat tubuh Rei. Membayangkan dirinyalah yang didekap Cyntia, bukan bocah kecil yang membenamkan diri dalam dada perempuan itu. Sungguh manusia gila yang selangkangannya mengeras!

*

Rei menatapi etalase toko begitu lekat. Mata bulat nan jernihnya memandangi kereta mainan yang melaju di atas rel melingkar dengan lampu dan segala miniaturnya. 

Malam ini, ia diajak mommy mengantarkan dokumen Daddy yang tertinggal. Dan ia dengan patuh menunggu didepan toko sementara Cyntia masuk kedalam bar membawa map coklat yang didekapnya seolah itu akan jatuh tak sengaja atau akan ada pencuri yang meloloskan satu lembarnya mengira dalam amplop itu berisi lebaran uang. 

Cyntia tau, bar yang tangganya sedang ia turuni bukanlah tempat yang pantas untuk ia masuki bersama Rei, karena itu ia mewanti-wanti Rei agar tak pergi kemanapun atau bahkan mau saja diajak jalan orang baik yang memberinya candy ataupun coklat. 

Sekali lagi mata Cyntia menoleh pada putranya yang masih memandangi toko mainan dengan penerangan super terang dihiasi lampu kelap-kelip yang pasti membuat mata Rei berbinar. Tak ingin lepas. Bahkan Cyntia bisa menebak jika Rei pasti mau membawa satu lampu itu pulang. Bisa yang warna hijau atau yang merah, bisa juga yang kuning. Tapi hal itu tentu tak akan pernah putranya ucapkan. Putra kecilnya itu selalu menahan dirinya untuk meminta apapun dan itu menyakitkan.

"Putramu tak akan ikut siapapun, Cyntia!" Seolah mengingatkan diri, langkah Cyntia makin cepat menuruni tangga meninggalkan bocah kecil itu duduk memandangi kereta mainan yang melaju tanpa mengedipkan mata.

Kling! Kling! Bunyi bell yang terdengar dari toko mainan membuat mata Rei menatap wanita yang masuk kedalam toko  tempat kereta melaju. 

Entah, apa yang dibicarakan pria berseragam rapi pada wanita yang menunjuki kereta mainan yang sejak tadi Rei pandangi.

"Akh...!" Seru Rei berdiri dari tempatnya duduk saat melihat kereta yang begitu menarik matanya berhenti bergerak tak lama setelah wanita itu mengatakan sesuatu. Bocah kecil yang kakinya melangkah begitu saja itu mendekat pada keretanya yang dipisahkan satu persatu.

Rei lupa janjinya pada Cyntia untuk tak menjauh dari bangku panjang apapun yang terjadi.

"What you looking at, young man?" Suara rendah yang ramah itu membuat Rei mendongak pada lelaki tua yang badannya masih begitu terjaga. 

Manik mata biru jernih Rei membuat pria yang ubannya tertutup topi itu diam. Memandangi bocah kecil yang seluruh dirinya seolah ingin menembus kaca etalase yang tubuh kecilnya tempeli.

Kling! Kling! 

Bunyi pintu yang berbunyi membuat tak hanya pria tua itu menoleh, tapi juga bocah kecil yang menatap lelaki berpakaian rapi yang berlari mendekati mereka. Meski si wanita yang hanya menatap pria tua itu ahirnya masuk kedalam mobilnya yang sudah terparkir. Menunggu.

"Selamat malam, Rob."

"Selamat malam untukmu juga, Pak Iori."

*


Tiga nih... Bisa kasih saya krisannya lol... Malak mode yang berlanjut ceritanya ini. Apapun itu terimakasih sudah membaca dan moga lanjut, see you in next chapter bro&sis. Bye-bye, semoga sisa harimu menyenangkan dan saya mau tidur meski jam 16:50. Ngantuk... Da-da

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • A HOME FOR REI   35. I AM HOME

    Sean Carter mengedarkan matanya menatapi langit yang rasanya sudah lama tak ia lihat."Get in."Sean tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil yang pintunya langsung tertutup begitu ia duduk lalu melaju membelah hamparan pohon-pohon tinggi menjulang sejauh matanya memandang, 'aku tidak tau di kotaku ada tempat seperti ini. Apa mainku kurang jauh? Nah, kurasa hanya orang kebanyakan waktu yang mau masuk ke dalam hutan seperti ini.'Sean sesekali melirik pria yang menghancurkan kameranya. Lelaki yang juga diam sepanjang jalan, "hei, berapa lama kalian mengurungku?"Tak ada yang menjawab, dan itu membuat Sean mendengus lalu kembali menatapi jalanan sepi dan berkelok-kelok sampai matanya melihat jalan utama yang lengang dan semakin lama suara kehidupan terdengar makin jelas juga nyata."Get out."Tanpa diperintah dua kali Sean membuka pintu lalu turun, "hei!" Seruan itu membuat tangan Sean bergerak menangkap tas besar yang rasanya berat.

  • A HOME FOR REI   epilog

    "ah...." Lenguhan pelan yang terdengar merdu ditelinga Alan itu semakin membuat pria yang sedang memainkan lidahnya di ceruk leher Nara terdiam meski tangannya menyusup masuk pada baju Nara yang kancingnya sudah terbuka. Dilepasnya pengait bra dibagian depan yang membuatnya lebih bebas melihat, menjilat, mengecupi payudara wanita dingin yang meremas rambutnya.Nara jadi lebih sensitif pada sentuhan jari, lidah, dan bibir Alan. Dan pria ini tau itu.Hari masih begitu terang di luar, juga hangat. Sementara dua anak kecil yang sudah selesai makan siang langsung tidur karena lelah menangis dan bermain. Sementara Iori pergi melakukan hal yang harus ia lakukan.Alan duduk di depan perut Nara yang ia pandangi, lalu sentuh dan kecup sekali, "halo, Sayang, ini pertama kalinya kita bertemu bukan?"Nara hanya menatapi Alan dalam diam, ia tak mengerti sentimen yang sedang ia lihat dihadapannya, tapi wanita dingin ini sama sekali tak keberatan. "See, your mama tidak m

  • A HOME FOR REI   33. Mengejar yang berlari

    Kaki kecil Joe terus mengejar langkah Rei yang menjauh darinya, langkah-langkah kecil keduanya membuat burung-burung dara jinak yang mematuki lantai kembali terbang tak tentu arah. "Rei...! Kenapa Rei lari?"Tapi yang ditanya menutup mulutnya rapat dan makin kencang berlari, "Rei! Jangan kencang-kencang dong, aku lelah nih.""Joe jangan ngejar aku!" Teriak Rei membuat Joe diam, "kalo gitu Rei jangan lari, dong!"Mendengar itu Rei berhenti lalu menoleh pada bocah kecil yang dadanya naik turun, "stop right there!" Seru Rei membuat Joe yang melangkah berhenti, "why?""Karena--karena aku," suara Rei makin kecil, "aku gak boleh ketemu Joe.""What? I don't hear you, Rei""I said I can't see Joe anymore!"Joe yang mendengar itu jadi diam memandangi sahabat yang ingin sekali ia temui, tapi apa katanya, "apa Rei benci padaku karena aku nakal? Jadi mommy benar? Rei gak mau ketemu aku karena aku nakal?""Aku tidak benci Joe, aku suka

  • A HOME FOR REI   32. Berlari menjauh.

    Brugg!"What?" Wanita berambut merah yang bokongnya ditabrak itu menoleh, ia menunduk menatapi bocah kecil yang mendongak, "I am sorry, Ma'am."Wanita yang masih mentapi anak kecil yang membungkuk benar-benar meminta maaf itu tersenyum lalu mengusap kepala kecil yang rasanya mengingatkannya pada anak lain yang tak pernah bersuara, "it's ok, darling. But, lain kali hati-hati, ok?""Yes, Ma'am, thank you.""What a lovely child you are," ucap wanita berambut merah itu lalu membalas lambaian bocah kecil yang kembali berlari menyusul wanita berambut sebahu yang memakai topi lebar menutupi wajah."What you looking at, Roxanne?" Tanya Rima membuat wanita berambut merah yang ia tepuk pundaknya itu kaget, "God! Tak bisakah kau menyapaku dengan lebih ramah?"Rima hanya terkekeh lalu ikut menatap apa yang dilihat Roxanne, "who?""Tidakkah kau berpikir anak ke

  • A HOME FOR REI   31. Live your life

    "Apa anda melakukan sesuatu sampai nona Larson pergi tanpa kata, Tuan?"Alan diam dan Andre pun menutup mulutnya. 'I know it! Tapi jika bukan salah tuan ataupun Joe, lalu salah siapa sampai wanita dingin itu pergi? Tapi kesalahan besar apa yang bisa dilakukan anak nakal itu? Kecuali menghabiskan cheesecake dan membuat ibunya frustasi karena tak ingin didekati?'Tau ia tak akan mendengar jawaban dari Alan, Andre menarik dalam nafasnya sebelum berucap, "Oh, dan tentang pria yang anda minta kami cari keberadaanya itu-,"Alan memutar kursinya, "kau sudah menemukannya?"Andre menggeleng, "jangan menatapku kecewa begitu, Tuan, dengarkan dulu," Andre membuka layar laptopnya dan menyerahkannya pada Alan."Anda lihat pria bertato ular dilengannya itu?" Alan mengalihkan pandangannya dari potret lelaki yang membuatnya mengingat masa lalu."Dia rekan kerja Hansel Nicholas," Andre melirik Alan s

  • A HOME FOR REI   30. Benar-benar ditinggalkan

    "Get back here, young man!" Seru lelaki bermata ash pada bocah berpipi gembil yang meliriknya kesal lalu membanting pintu kamarnya keras.Alan Parker Sulivan menarik dalam nafasnya dan ia hembuskan kasar melihat pintu kamar Joe yang rapat bahkan bunyi kunci terdengar setelah BRAKK!"Let me," ucap wanita berambut pirang yang mengetuk pintu kamar Joe, "honey, please open the door, we won't get mad, ok?"Tak ada jawaban sama sekali, dan sekali lagi Sofia mengetuk pintu, "please, we won't get mad becouse you Made your friend hurt again this time."Lagi, sama sekali tak ada jawaban dari Joe yang memilih bungkam. Bocah kecil yang memakai baju lengan pendek itu memilih duduk menatapi pesawat kertas yang membuatnya ingat sahabatnya yang tak lagi ia temui. Bahkan saat ia pergi bersama Bibi Ann, Rei tak ada di rumah.Musim sudah berganti, karena ia tak lagi harus memakai jaket tebal dan baju hangat seti

  • A HOME FOR REI   29. Pergi tanpa pamit

    Kesunyian dalam kamar sama sekali tak dipermasalahkan dua tubuh yang berbaring di atasnya.Alan merengkuh tubuh Nara yang berbaring memunggunginya. Sesekali bibirnya mengecup pundak Nara, tangannya pun mengusap lengan wanita dingin yang memejamkan mata meski Alan tau Nara belum tidur.Ia tau wanita dingin yang memilih bisu ini sedang butuh waktu untuk apapun yang diinginkan Nara setelah mendengar ucapan Rei. Bocah lelaki kecil yang ternyata lebih terluka dari apa yang ia kira.Alan menarik dalam nafasnya, mengingat tiap kalimat Rei yang tak ingin ia enyahkan. Dan bayangan Sofia melintas silih berganti.[Senang bertemu denganmu, nona Johan.]Itu ucapan Nara saat pertama kali mereka bertemu dalam pesta perayaan gedung Smith yang ahirnya berdiri, 'apa kamu-?' Alan menggelengkan kepala dan mengecup pundak Nara sekali lagi, ia yakin Nara pasti sudah menyelidiki siapa Sofia. 'Apa yang ak

  • A HOME FOR REI   28. Sekelebat suram

    Lelaki yang mendengar ponselnya berbunyi itu langsung mengangkat telfon tanpa melihat siapa yang menghubunginya. Hal yang sudah biasa ia lakukan mengingat pekerjaan yang ia pilih dalam hidup. "Good evening, Dokter Carter."Suara yang terasa tak asing itu membuat Carter langsung bangun, "Iori?""Maaf mengganggu tidur anda.""It's ok, is something wrong?" Ucap Carter menyibak selimut lalu turun dari ranjang, lelaki yang sudah sepenuhnya sadar ini terus mendengarkan ucapan Iori. Wajahnya berubah serius seketika dan terlihat berpikir dengan jari menjentiki permukaan kasur."Menolak bisa berahir Rei tak akan mau lagi meminta sesuatu dimasa yang akan datang, tapi jika menerima...,"Iori terus mendengarkan tanpa menyela, "apa Nona Larson berani mengambil resiko? Karena apapun pilihannya itu seperti dua mata pisau yang hasilnya belum pasti."Iori menatap wanita

  • A HOME FOR REI   27. Pilihan sulit

    Rei menatapi Joe yang jadi pendiam, bocah yang juga kecil itu memeluk bola yang rasanya tak akan mereka tendangi hari ini."What?" Ucap Joe saat Rei duduk disampingnya.Rei tidak pernah bicara, tapi bocah nakal disampingnya tak mempermasalahkan itu. Dan Rei yang hanya diam duduk menemaninya membuat Joe yang tak cerewet sejak datang merasa tenang--tenang? Bocah nakal ini bahkan belum tau arti kalimat itu tapi, ia tak masalah kalau Rei yang diam duduk disampingnya."Rei, apa kau suka padaku?" Tanya Joe membuat Rei menoleh lalu mengangguk."Tentu saja kau suka padaku, semua orang suka padaku. Daddy suka padaku, Bibi Ann suka padaku, Lody suka padaku, Onty Nara suka padaku, terus...Ng?"Rei menunjuk dirinya, "yeah, kau sudah ngomong itu tadi, duh."Ok, 'duh' Joe terucap lagi. "Tapi-," mata abu-abu bulat nan jernih itu menunduk, "tapi, my mommy tidak suka pa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status