Share

Buaian kebohongan

Suara sendok dan garpu yang beradu dengan dengan piring nyaring terdengar dalam ruang makan yang obrolannya begitu hangat. Setidaknya sampai dua tubuh manusia yang duduk dilantai dingin dengan sepiring nasi yang masih belum bisa mereka sentuh terlihat. 

Tidak, bahkan mereka harus menunggu sampai pemilik rumah yang tertawa menceritakan seberapa beruntung sahabatnya yang memiliki menantu kaya raya selesai makan. "Kau harus pandai memilih calon, Catlyn. Agar kau tak berakhir jadi benalu juga beban." 

Menohok? Ya, tentu saja. Namun itu adalah kalimat yang setiap waktu hadir saat pemilik rumah, suaminya, juga dua putra putrinya dan seorang perempuan yang dibawa pulang sang putra berkumpul. Jadi itu bukanlah hal besar lagi.

"Tentu saja, Mom. Aku bukan gadis yang tak bisa menghidupi diriku sendiri. Lalu jadi benalu dan beban." Mata Catlyn melirik dua tubuh bisu yang hanya diam di atas lantai dingin. Setidaknya untuk yang wanita karena yang balita matanya menatap kesana kemari dan jadi diam saat tangan sang Mommy menggenggam tangannya erat dengan senyum.

Rei tak mengerti, tidak paham, tak memahami, jika wanita yang sedang tersenyum menenangkan rasa laparnya itu sedang mencari ketenangan diri. 

Tapi sampai kapan? Sampai kapan ia sendiri yang akan mencari ketenangan yang rasanya makin sulit ia dapat. Iya, sekarang Rei masih kecil, putranya itu masih belum memahami untaian kalimat menyesakkan yang bahkan terasa lebih menyakitkan jika diucapkan orang-orang yang dianggapnya keluarga. 

Tapi, bagaimana saat usia Rei bertambah, bahkan putranya yang sudah ingin mengetahui segala hal ini sering menanyakan apa yang ia dengar, apa yang ia saksikan, apa yang ia hadapi dengan otak yang masih akan terus berkembang.

Usia Rei akan makin bertambah sepanjang hari dan itu membuat Cyntia makin menggenggam erat tangan kecil bocah lelaki yang menunggu keluarganya selesai makan agar ia bisa memakan apapun yang tersisa di atas sana. 

Di atas meja yang rasanya begitu tinggi meski tangan Rei makin bisa menggapai tanpa harus menjinjitkan kakinya yang kecil. Tapi, Rei yang masih kecil itu tau. Meja dan kursi yang tak pernah ia rasakan seperti apa rasanya itu bukanlah tempatnya. Meskipun di sana ayahnya, Omanya, opanya, tantenya duduk menikmati masakan sang mommy bersama wanita yang memandangnya dengan tak ramah.

Sementara ia dan mommy harus duduk di atas lantai dingin setiap waktu. Dan baru makan saat semua orang sudah meninggalkan meja makan. Dan ini hanya satu dari banyaknya hal yang sudah ia pahami betul-betul dalam rumah yang membuat mommy bergerak sepanjang waktu. Bangun lebih dulu dibandingkan yang lain juga tidur saat semua orang sudah terlelap.

"Kenapa hanya ada 11 potong ayam?" Tanya pemilik rumah setelah menghitung makanan yang membuat semua mata tertuju pada Cyntia. 

Bisa seperhitungan apa wanita paruh baya itu tentang makanan? Tak ada yang bisa mengukur. 

"Ayolah, Mom. Itu hanya potongan ayam." Ucap kepala keluarga dalam rumah yang tatapannya membuat Cynthia tak nyaman. Bahkan lebih tak nyaman dari tatapan menuduh pemilik rumah yang tajam menatapinya dan Rei. 

"Hanya? Kau bisa berkata begitu karena bukan kau yang mengeluarkan uang untuk potongan ayam sialan itu!" Seru pemilik rumah yang membuat Hans membanting sendok digenggaman tangannya. Lalu berdiri dan menjambak rambut Cynthia yang hanya bisa meringis berusaha menahan rasa. 

"Aku tidak tahu, Hans. Kau pikir aku akan duduk disini jika aku sudah memakan potongan ayam yang hilang itu?" 

"Kalau bukan kau siapa lagi yang mengambilnya, Cynthia? Kucing? Atau anakmu yang tampak kenyang itu?" Ucap Barbara-mertuanya, membuat Cynthia melepaskan tangan dari lengan Hans yang menarik rambutnya kasar lalu memeluk Rei yang terlihat ketakutan. 

"Jika aku dan anakku sudah kenyang aku tak akan duduk diatas lantai rumahmu yang nyaman ini, ibu." 

Plakk!! Tamparan keras itu mendarat begitu telak pada pipi Cynthia yang memeluk tubuh Rei dengan tangan menutupi telinga bocah yang menyembunyikan wajahnya begitu dalam dan memegang erat-erat baju sang mommy. Wanita yang diam saja berusaha untuk tak bersuara mendapati pipinya ditampari sesuka hati si pemilik rumah.  

Berharap Rei dalam pelukannya tak melihat sekalipun telinganya masih bisa mendengar keributan yang sering kali terjadi hanya karena sepotong daging ataupun ayam yang jumlahnya kurang. 

"Kembali keruanganmu, Pencuri! Tak akan ada makan malam untukmu dan putramu malam ini!" Ucap si pemilik rumah yang nafasnya naik turun dengan telapak tangan panas. Setidaknya, emosinya hari ini sudah tersalurkan pada satu-satunya sumber kemalangan keluarganya. 

"Anjing liar bahkan lebih pantas memakan nasi ini dibandingkan dirimu dan anak sialanmu!" 

Tak ingin menambah kalimat menyakitkan yang pasti akan jelas diingat Rei, Cyntia memilih berdiri setelah menatap Hans yang melepas cengkraman tangannya lalu pergi dengan menggendong Rei yang diam, ketakutan. Keluar rumah, kesatu-satunya tempat yang dipantaskan untuknya dan Rei tidur dirumah tempatnya tinggal ini.

"Mommy?"

"It's ok, Darling, everyting is ok." Ucap Cyntia meski matanya tergenang air. Tangan kasar Cyntia mengusapi punggung Rei yang mendongak lalu memeluk mommy-nya makin erat. Ok artinya ia tak boleh bertanya lagi atau sang mommy akan menunjukan wajah sedih yang sesungguhnya tak ingin Rei lihat. 

Cyntia masuk kedalam ruangan sempit, bahkan ia harus berbagi tempat dengan beberapa barang yang belum akan digunakan dalam gudang yang menjadi tempatnya mengistirahatkan badan. Begitupun Rei yang masih menyembunyikan wajah takutnya dan baru merasa tenang saat bunyi 'klik' terdengar.

Cyntia selalu mengunci gudang tempatnya tidur bahkan menggeser beberapa barang untuk merasa lebih aman sebagai penahan pintu. Ia tak ingin ada orang yang masuk tiba-tiba dan berniat buruk padanya apalagi saat melihat tatapan sang mertua lelaki yang memang selalu menatapnya lapar. 

"Mommy...," Rei yang mendongakan melihat wajah Cyntia merah, rambutnya bahkan sangat berantakan berkat tangan Daddy. Mata bulat Rei langsung basah dengan tangan mengusap pipi Cyntia.

"Terimakasih, Rei, tangan Rei membuat pipi mommy hangat... Sangat hangat... Thank you, Darling...." Wajah bulat Rei jadi berbayang berkat mata Cyntia yang tergenang air. Sekuat apapun dirinya berusaha menahan pertahanannya akhirnya jebol. 

Ia menangis dengan memeluk Rei begitu erat seolah jika ia tak melakukan itu ia akan kehilangan kewarasanya. Kehilangan pijakan. Kehilangan apa yang membuatnya bertahan. 

Gadis bodoh yang bahkan tak tau jika nasib membawanya pada kehidupan yang begitu berbeda dengan apa yang ia impikan ini hanya menangis, membagi kesedihan dan kesakitannya dengan satu-satunya bakal manusia yang membuatnya bertahan dalam rumah bak neraka dunia yang membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya dan tak bisa kembali. Seingin apapun dirinya.

Kruyuukkk....

Suara protes perut Rei membuat Cyntia menatap putranya. Meski ada perasaan miris bibirnya tersenyum dengan airmata yang masih mengalir. Dikucupinya pipi Rei yang sedang erat dipelukan dan sekali lagi dikecupnya pipi Rei satu-satu. "Lihat, apa yang mommy punya untukmu, Rei." 

Rei yang menatap malu sang mommy matanya melebar melihat dua tangkup roti tawar dengan selai coklat. Bukan potongan ayam yang membuat sang putra tak bisa makan nasi malam ini.

"Mommy, maukah Mommy makan denganku?" Tanya Rei tak urung membuat Cyntia tersenyum lalu mengangguk dan menggigit roti yang Rei sodorkan. 

Rasanya, tak ada makanan yang bisa mengalahkan kenikmatan rasa roti berlapis coklat yang sedang ia kunyah. Tidak foie gras tidak juga masakan dari Michelin hotel yang dulu sering ia kunjungi.

Apalagi senyum lebar Rei yang senang Mommy-nya malam ini mau makan roti tawar bersamanya. Bocah kecil itu senyumnya begitu lebar meski tak bisa bersuara keras. Ia mengerti tak seharusnya suara mereka terdengar. Apalagi jika ada telinga yang mendengar mereka sedang berbagi setangkup roti. Itu akan jadi masalah besar. Sangat besar! terutama untuk Mommy-nya.

Sementara di dalam rumah suara sendok dan garpu terus beradu diantara kesenangan yang membuat tembok malu untuk sekedar menjadi saksi dua belas potong ayam yang akhirnya ludes bersama lauk pauk yang ingin manusia-manusia itu masukan kedalam perut. Tak ada potongan ayam yang lari dari piring ataupun kulkas. 

"Melakukan ini sesekali benar-benar membuatku bisa melepaskan stresku." 

"Kan, sudah lama kukatakan padamu, Mom. Menyalurkan stres pada sesuatu yang bahkan tak akan melawan sungguh menyenangkan." Ucap Catlyn membuat satu lagi wanita berambut pirang dalam ruang makan itu tersenyum dengan seringaian lebar. Sementara Hans hanya memakan nasinya dalam diam. 

Tak melihat tatapan sang ayah yang matanya berkilauan. Saat mengingat wajah Cyntia yang memeluk erat tubuh Rei. Membayangkan dirinyalah yang didekap Cyntia, bukan bocah kecil yang membenamkan diri dalam dada perempuan itu. Sungguh manusia gila yang selangkangannya mengeras!

*

Rei menatapi etalase toko begitu lekat. Mata bulat nan jernihnya memandangi kereta mainan yang melaju di atas rel melingkar dengan lampu dan segala miniaturnya. 

Malam ini, ia diajak mommy mengantarkan dokumen Daddy yang tertinggal. Dan ia dengan patuh menunggu didepan toko sementara Cyntia masuk kedalam bar membawa map coklat yang didekapnya seolah itu akan jatuh tak sengaja atau akan ada pencuri yang meloloskan satu lembarnya mengira dalam amplop itu berisi lebaran uang. 

Cyntia tau, bar yang tangganya sedang ia turuni bukanlah tempat yang pantas untuk ia masuki bersama Rei, karena itu ia mewanti-wanti Rei agar tak pergi kemanapun atau bahkan mau saja diajak jalan orang baik yang memberinya candy ataupun coklat. 

Sekali lagi mata Cyntia menoleh pada putranya yang masih memandangi toko mainan dengan penerangan super terang dihiasi lampu kelap-kelip yang pasti membuat mata Rei berbinar. Tak ingin lepas. Bahkan Cyntia bisa menebak jika Rei pasti mau membawa satu lampu itu pulang. Bisa yang warna hijau atau yang merah, bisa juga yang kuning. Tapi hal itu tentu tak akan pernah putranya ucapkan. Putra kecilnya itu selalu menahan dirinya untuk meminta apapun dan itu menyakitkan.

"Putramu tak akan ikut siapapun, Cyntia!" Seolah mengingatkan diri, langkah Cyntia makin cepat menuruni tangga meninggalkan bocah kecil itu duduk memandangi kereta mainan yang melaju tanpa mengedipkan mata.

Kling! Kling! Bunyi bell yang terdengar dari toko mainan membuat mata Rei menatap wanita yang masuk kedalam toko  tempat kereta melaju. 

Entah, apa yang dibicarakan pria berseragam rapi pada wanita yang menunjuki kereta mainan yang sejak tadi Rei pandangi.

"Akh...!" Seru Rei berdiri dari tempatnya duduk saat melihat kereta yang begitu menarik matanya berhenti bergerak tak lama setelah wanita itu mengatakan sesuatu. Bocah kecil yang kakinya melangkah begitu saja itu mendekat pada keretanya yang dipisahkan satu persatu.

Rei lupa janjinya pada Cyntia untuk tak menjauh dari bangku panjang apapun yang terjadi.

"What you looking at, young man?" Suara rendah yang ramah itu membuat Rei mendongak pada lelaki tua yang badannya masih begitu terjaga. 

Manik mata biru jernih Rei membuat pria yang ubannya tertutup topi itu diam. Memandangi bocah kecil yang seluruh dirinya seolah ingin menembus kaca etalase yang tubuh kecilnya tempeli.

Kling! Kling! 

Bunyi pintu yang berbunyi membuat tak hanya pria tua itu menoleh, tapi juga bocah kecil yang menatap lelaki berpakaian rapi yang berlari mendekati mereka. Meski si wanita yang hanya menatap pria tua itu ahirnya masuk kedalam mobilnya yang sudah terparkir. Menunggu.

"Selamat malam, Rob."

"Selamat malam untukmu juga, Pak Iori."

*


Tiga nih... Bisa kasih saya krisannya lol... Malak mode yang berlanjut ceritanya ini. Apapun itu terimakasih sudah membaca dan moga lanjut, see you in next chapter bro&sis. Bye-bye, semoga sisa harimu menyenangkan dan saya mau tidur meski jam 16:50. Ngantuk... Da-da

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status