Share

Aku benci anak-anak

"Tidak bisa dipercaya." Itu adalah kalimat yang keluar dari bibir Nara setelah pintu kamar tempatnya tidur tertutup rapat. Tentu tak tertutup sendiri karena ada pelayan tua yang begitu setia menemani.

Iori hanya bisa menyembunyikan tawa melihat sesusah apa wajah yang diperlihatkan majikannya berkat bocah kecil anak tuan rumah yang nakalnya memang diatas rata-rata. 

Berkas-berkas penting yang sudah disusun sedemikian rupa berubah jadi pesawat mainan berkat tangan kecil Joe juga ayahnya yang membiarkan putra satu-satunya itu berbuat semaunya. "Pria itu bahkan ikut andil membuat pesawat-pesawat sialan itu. Apa kau percaya itu, Iori!" Sungut kesal Nara merebahkan tubuhnya pada kasur empuk yang aromanya berbeda dengan kasurnya. 

Meski ia tak perduli pada aroma apapun asal bau sabun dan bersih.

"Jika pria sialan itu ingin mengerjaiku karena aku menang tender tahun lalu seharusnya bukan dengan cara kekanakan begini!" Nara membalikan tubuhnya lalu duduk dan menerima secangkir teh yang harumnya membuat sarafnya sedikit tak tegang. "Aku benci anak-anak, Iori." 

Pelayan tua itu hanya tersenyum mendengar kalimat jujur dari sang majikan yang menghirup aroma harum teh sebelum ahirnya ia minum sedikit. Hanya satu sesap, tapi wajah bermasalah Nara langsung menghilang. 

"Sial, kalau Sulivan berpikir aku akan menyerah karena putranya. Dia sungguh-sungguh harus belajar mengenal karakter seseorang."

"Indeed, ma'am." Iori menerima cangkir yang masih penuh terisi dan meletakannya dimeja. Tangannya yang membuka lemari mengeluarkan pakaian tidur yang ia letakan diatas kasur lalu keluar dari kamar setelah Nara masuk kedalam kamar mandi. 

Nara tak marah, tapi murka. Iori benar. Wanita yang melepaskan pakaiannya itu hanya mengatupkan mulut rapat  dan menggigit bibirnya kuat lalu menyalakan shower dingin agar badannya yang tegang kaget. Aliran deras shower seakan memijit kulit kepalanya yang makin basah begitupun tubuhnya. 

"Tch!" Decakan lidah terdengar saat mata Nara melirik sabun dan sampo yang aromanya sama dengan si pemilik rumah, wanita yang jadi berpikir itu mengurungkan niat untuk menggunakan sabun dan sampo karena ia tak ingin memiliki aroma sama dengan pria yang membuat hatinya benar-benar buruk ini. 

"Hanya kertas? Dasar sial! Kau pikir kertas itu mainan anakmu. Aku bisa gila jika terus disini. Tapi aku juga tak akan pergi sebelum anakmu mengatakan iya." Ucap Nara mengingat bocah nakal yang pipinya begitu hmmm... "Enak disentuh." Ucap wanita yang tangannya memutar gagang shower yang ahirnya mati meninggalkan tetes yang berhenti. Diraihnya kimono handuk yang aromanya membuat Nara mengingat pemilik rumah. Duda beranak satu yang membuatnya menyetujui sebuah persyaratan konyol.

Malas, ia kembali meletakan kimono handuk ketempatnya lalu berjalan keluar kamar mandi dengan rambut basah tanpa pakaian. 

Clek! Bunyi pintu yang tertutup membuat pria yang berdiri di depan jendela itu menoleh. "JANGAN BERBALIK!" 

Seruan itu membuat Alan Parker Sulivan mengernyitkan dahi saat mendengar pintu kamar mandi kembali terbuka juga sungutan yang membuatnya tersenyum. "Apa masalahmu, Nona Larson?" 

Nara yang sudah keluar dari kamar mandi dengan kimono handuk melekat dibadan yang terpaksa ia pakai menatapi pria yang begitu santai duduk dipinggiran jendela. "Masalahku adalah kau ada sini." Jawab Nara menatap baju tipis yang nyaman dibadannya tergeletak di atas ranjang. 

"Iori sedang bermain dengan Joe, jika dia yang kau cari." Alan tersenyum melihat wanita yang berdiri ragu melihat gaun tidur itu menatapnya. "Tidakkah menurutmu ini terlalu cepat untuk tidur?"

"Bukan urusanmu, Tuan Sulivan." 

"Atau kau menghindari putraku?" Nara menatap tajam pria yang membuatnya merutuk dalam hati. "Joe memang selalu membuat nanny-nya kuwalahan."

"Tapi aku bukan nanny putramu, Sulivan."

"Tentu saja bukan, kau adalah wanita yang datang untuk bermain dengan putraku selama satu minngu agar aku mau menandatangani berkas pentingmu itu."

"Yeah, berkas penting yang kau jadikan pesawat mainan, jika kau belum pikun." 

Alan tertawa mendengar wanita dihadapannya itu berkata begitu kesal. Meski jika orang lain yang mendengar, telinga mereka tak akan mendengar bedanya saat Nara sedang berpidato didepan umum ataupun membeli pesawat pribadi. 

Tapi, entah kenapa pria yang ahirnya berdiri dari kusen jendela yang ia duduki itu tau Nara kesal, sangat kesal.

"Ayolah, Nona. Itu hanya lembaran kertas yang bisa kau buat lagi dengan menjentikan jarimu."

Wajah Nara yang tak berekspresi itu alisnya bergerak, hanya sedikit. Ia seolah baru mendengar ucapan paling bodoh dari lelaki pintar yang membuatnya menyetujui syarat bodoh demi sebuah tanda tangan!

"Keluar dari kamar ini atau aku akan melemparmu dengan apapun yang mampu kuangakat, Tuan Sulivan." 

"Kenapa?" 

Wajah Alan benar-benar membuat Nara kesal dan mengeratkan gigi. Wanita yang tidak ingin mengeluarkan kemarahannya ini menatap Alan. "Kau-- kau pikir aku bisa membuat laporan baru sementara dirumahmu ini hanya ada tivi hitam putih yang bahkan menyakiti mata?" 

Alan hanya mengernyitkan dahi melihat kemarahan Nara, "aku tak bisa mengerjakan pekerjaanku karena semua gedjetku mati berkat mesin sialan yang kau miliki dan dengan entengnya kau bilang buat yang baru? Dimana otakmu!" seru Nara pada lelaki yang matanya membesar. 

Wanita itu sudah tak perduli lagi jika lelaki yang tubuhnya lebih besar dari dirinya ini tersinggung ataupun tak terima. Ia sudah tak bisa menahan diri karena kekesalan yang bertumpuk setelah empat hari tinggal dirumah bak gua meski nyaman.

Apa artinya nyaman jika ia sama sekali tak bisa menyelesaikan satupun pekerjaan! 

"Ok, apa kau sedang datang bulan?"

Buk!! Lemparan bantal itu mendarat pas diwajah Alan. Setidaknya itu yang terlihat Dimata Nara sampai bantal yang seharusnya jatuh itu tetap melayang di depan wajah Alan. Pria yang tertawa begitu senang dibalik bantal yang ia pegangi.

"Lepaskan." ucap Nara pada pria yang memegangi pergelangan tangannya yang ingin keluar. Tak ingin berada dalam ruangan sama dengan lelaki menyebalkan yang mempermainkan dirinya. Wanita ini sangat tak suka main-main apalagi dipermainkan.

"Ganti bajumu lalu kita keluar, terkurung dirumah nyamanku selama empat hari pasti membuatmu gila."

"Aku tak tertarik." Mendengar jawaban yang sudah ia prediksi membuat Alan tersenyum lalu menarik nafasnya, "keluarlah bersama kami untuk melihat festival kembang api. Mungkin dengan membuat anakku senang kau bisa mendapat ya darinya, Nona Larson."

Nara melirik pria yang masih memegangi lengannya itu, dan sedikit lega saat jemari Alan meregang. "Tidakkah akan menyenangkan jika kamu mendapat tanda tanganku lebih cepat, Nona Larson?"

Nara jadi diam, berpikir, membayangkan bocah nakal berpipi tembem yang pipinya enak ia pegang. "Aku tunggu 30 menit lagi kuharap itu waktu yang cukup untuk berias."

"Memangnya kau pikir aku mau kemana Tuan Sulivan? Tunggu aku 10 menit dan kita berangkat." Nara langsung menghampiri lemari yang ia buka lebar, matanya menatapi pakaian yang ia ambil lalu menatap pria yang masih berdiri menatapi punggungnya, "keluarlah Tuan Sulivan. Meski ini rumahmu kamar ini tetap kamarku selama aku disini."

Manik mata Sulivan membesar sesaat, lalu menggeleng dan mendekat pada wanita yang menenteng baju dua potong dilengan sementara bra hitam dan CD senada digenggaman.

"Tidakkah kau butuh waktu untuk mengeringkan rambutmu, Nona Larson?"

Nara hanya mengernyitkan dahi melihat tangan Sulivan mengambil untaian rambut yang harum meski tak menggunakan shampo. Duda beranak satu ini bahkan mencium untaian rambut basah yang ada ditangannya meski matanya tak melepaskan manik mata hitam pekat Nara. Tak sedetikpun.

"Aku hanya datang menawarkan berkas yang harus kau tanda tangani, Tuan Sulivan. Tidak lebih dari itu."

"Tentu saja, Nona Larson. Aku tau kau tak pernah menawarkan lebih dari apa yang kau bawa." Sulivan tersenyum saat Nara yang mendongak menatapinya hanya diam. Diletakkannya bantal yang Nara lemapar disamping gaun tidur tipis yang membuatnya berpikir wanita dihadapannya ini memiliki tubuh indah yang rasanya makin nyata meski ia hanya melihat bayangan tubuh tanpa benang yang keluar dari kamar mandi. Berkat kaca di hadapannya tadi.  

Tapi, Alan Parker Sulivan tak akan mengatakan itu bahkan jika ada yang memaksanya! "Aku tunggu kau dibawah, Nara." 

Nara hanya diam saat pria yang memanggil namanya dengan akrab itu berjalan keluar lalu menutup pintu tapi menoleh pada panggilannya, "kita naik apa?"

"kita naik mobilmu, kecuali kamu ingin kita kedinginan karena naik sepeda Joe ataupun motorku." Jawab Alan lalu menutup pintu. Meninggalkan Nara yang jadi terdiam mengingat begitu sampai Alan langsung menyuruh ceufer membawa pergi mobilnya entah kemana, "sungguh manusia yang seenaknya sendiri."

Belum 10 menit Nara sudah duduk di kursi mobil, ia hanya pergi bertiga meninggalkan Iori bersama seorang pegawai rumah nyaman Alan yang lebih cocok disebut gua karena banyak alasan.

Disepanjang jalan, bocah kecil nakal yang rasanya tak bisa diam terus berceloteh menunjuki apapun yang ia kenali. Dibumbuhi cerita yang sesekali membuat dahi wanita dingin yang terpaksa duduk didepan mengernyit dan sekali lagi menoleh kebelakang. 

Kota kecil yang dihiasi lampu kelap-kelip ini memang indah dari sisi manapun dilihat. Bahkan wanita dingin yang duduk diantara suara yang terdengar dari segala penjuru mengakui itu. 

"Bagaimana kau memilih tinggal ditempat terpencil itu daripada berada ditengah kerumunan ini?" Alan yang sedang menyesap kopi menatapi Nara. Wanita dingin yang tatapannya sedikit melembut bahkan mengambil tissu untuk mengelap pinggiran bibir belepotan Joe berkat cheesecake yang bocah kecil itu makan.

"Aku punya rumah kecil ditengah kota, jika kau ingin tahu." Jawaban Alan membuat Nara menatapinya. Seolah mencari kebenaran lalu mengangguk. "Dan kau membawaku keguamu itu? What an excelent act." 

Alan tertawa begitu terhibur mendengar ejekan wanita dingin yang tak perduli pada tatapan beberapa orang penasaran. "Menurutmu apa yang mereka lihat dari kita, Nona Larson?"

Nara melihat Alan yang duduk dengan menyesap kopi, lalu bocah kecil yang memakan kuenya senang, kemudian dirinya yang memegangi tissu. Wajah Nara langsung berubah dingin memikirkan apa yang terlintas dalam benaknya. "Aku mau ke toilet." 

Alan hanya diam menatapi wanita dingin yang berjalan menjauh bahkan tanpa melihat dirinya ataupun sang putra yang memberi Nara tatapan penasaran. "Dad, kapan aku bisa memanggil Onty Nara mommy?"

Alan bahkan hampir menyemburkan kopi yang ia minum. Tapi ia tetap terbatuk mendengar tanya sang putra. "Apa--apa yang kau tanyakan, Joe?"

"Well, setiap ada wanita yang datang mereka selalu memintaku memanggil mereka mommy. But, Onty Nara not sleep on your bad." Sekali lagi Alan terbatuk lalu menatap sekeliling dengan ucapan maaf lalu menyentuh kepala putranya.

"Well, Joe. The thing is- mungkin kau tak akan pernah memanggilnya mommy."

"Why?" Alan menyentuh kepalanya yang tak gatal mendapati tatapan mata yang menuntut jawaban dari mata jernih dan bulat yang akan terus menatapinya sampai Joe menemukan jawaban yang membuat kepala kecilnya mengangguk.

'Damn, kenapa anak-anak tumbuh begitu cepat?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status