Share

Bab_3 Kristal Merah jantung Nalira

Penulis: Pearlysea
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-09 01:46:44

Malam beranjak larut di Astheria. Cahaya bulan menyinari istana megah yang berdiri anggun di pusat kota. Angin dingin berembus lembut, namun ketenangan malam itu tidak bisa meredakan kecemasan seorang pria yang mondar-mandir di depan aula kerajaan.

Duke Elvandale berdiri di ambang pintu istana,matanya tajam menatap ke kejauhan, ke arah gerbang utama. Namun, sejauh apa pun matanya memandang, tak ada tanda-tanda kehadiran putrinya.

Nalira belum kembali. Perasaannya semakin gelisah, Duke Elvandale lalu membuka telapak tangannya dimana serpihan kristal merah muncul, kilaunya berdenyut seolah itu detak jantung Nalira.

Saat sinar kristal itu bergetar pelan, kenangan baru menyeruak ke dalam pikirannya, malam itu, ketika ia mendatangi Menara Arthelion demi satu harapan.

Kilas balik.

Duke Elvandale berjalan cepat menuju taman istana yang tersembunyi di balik kabut perak. Di sana Menara Arthelion, menara tinggi berbalut batu bulan dan akar suci yang menjulang ke langit nyaris tak terlihat oleh mata manusia biasa.

kemudian Ia berhenti di depan pintu berhiaskan ukiran bunga bulan dan marapalkan mantranya pelan. Simbol itu menyala lembut, dan pintu menara terbuka perlahan, menyambutnya dengan desiran napas malam.

Tangga melingkar membawanya naik, melintasi lantai-lantai sunyi, hingga tiba di lantai ketujuh, Ruang Cermin Lunar. Di sinilah, para peri penyihir membaca takdir dan menyingkap rahasia bintang.

Seorang wanita berdiri membelakanginya di tengah ruangan. Rambutnya menjuntai seperti benang perak,

dan gaunnya tampak berubah-ubah antara kabut dan cahaya. Ia tidak menoleh, namun suaranya kemudian terdengar.

"Sudah lama kau tidak datang, Elvandale," lembut, suaranya menggema di dinding sihir.

"Aku datang bukan sebagai bangsawan malam ini," kata Elvandale, membungkuk dalam.

"Aku datang sebagai seorang ayah."

Peri peramal bernama Elarion Zireya itu berbalik. Mata purnamanya menyapu wajah Elvandale, lalu ia berjalan menuju altar kristal di tengah ruangan, kemudian mengambil mangkuk kaca berisi air lunar, menusuk jarinya sedikit, dan menjatuhkan setetes darah ke dalamnya.

"Ceritakan tentang anakmu," ujarnya tenang.

Elvandale menarik napas berat.

"Nalira, putriku… belum kembali sejak perjalanannya ke wilayah utara. Ia berjanji akan pulang hari ini, tapi sampai sekarang belum juga datang. Aku takut... sesuatu yang kelam membawanya pergi."

Zireya menutup mata, membisikkan mantra kuno. Cahaya bulan mengalir dari kubah atas menara, menyoroti air dalam mangkuk, yang kemudian berputar pelan, membentuk citra hutan, reruntuhan, lalu… gelap. Kosong. Sunyi.

Zireya mengernyit.

"Aku tidak bisa melihatnya…" gumamnya, matanya masih terpejam.

Elvandale melangkah maju, wajahnya tegang.

"Apa maksudmu?"

Airnya menatap Elvandale.

"Putrimu berada di suatu tempat yang tak dijangkau oleh sihir maupun roh alam. Seperti ruang yang disegel rapat dari segala kehidupan. Tak ada cahaya, tak ada gema. Hanya kekosongan."

"Mustahil…" bisik Elvandale, matanya melebar.

Zireya menatapnya dengan penuh rahasia.

"Tempat itu bukan milik dunia ini. Tapi juga bukan alam kematian. Jika dia masih hidup, dan aku yakin dia masih hidup, maka dia berada di dalam bayang-bayang yang bahkan para bintang pun enggan memandang."

Elvandale menunduk, mencengkeram dadanya yang sesak.

"Apa yang harus kulakukan…?"

Zireya dapat merasakan yang di alami Elvandale, tapi ia tak bisa berbuat banyak untuk membantunya. Zireya kemudian mengangkat tangannya, lalu sepotong kristal lunar kecil yang berpendar lembut keluar dari telapak tangannya.

"Ini serpih pengingat. Jika putrimu berada dalam bahaya yang mengusik keseimbangan dunia, kristal ini akan mulai retak. Tapi jika ia pecah sepenuhnya… berarti putrimu tak bisa diselamatkan."

Elvandale menerima kristal itu dengan tangan bergetar.

"Berdoalah agar tak pecah." ujar Zireya.

Kenangan itu pun menghilang seperti asap dihembus angin malam. Kini, ia berdiri kembali di ambang pintu istana, menggenggam kristal yang sama, yang kini tampak bergetar lebih cepat dari sebelumnya.

Tangan sang Duke mengepal erat mengenggam kristal itu, membawanya ke dahi lalu ke dada, seolah menyalurkan harapan terakhirnya.Kerisauan tergambar jelas di wajahnya, menghapus segala ketegasan yang biasa terpancar dari seorang pemimpin seperti dirinya.

"Tenanglah, suamiku," suara lembut terdengar dari belakangnya.

Suara itu milik Duchess Clarissa. Ia melangkah mendekat, meletakkan tangannya di lengan suaminya dengan sentuhan hangat.

Duke Elvandale menoleh perlahan, menatap wajah istrinya yang meski diselimuti kekhawatiran, masih memancarkan ketenangan yang menenangkan jiwanya. Sorot mata Duke Elvandale sedikit melembut, namun kerut di dahinya tak kunjung surut.

"Aku bisa merasakannya, Clarissa. Kristal ini… semakin panas. Seolah jiwanya menjerit, memanggil. Tapi aku tak bisa menjangkau putri kita," bisiknya, nyaris tak terdengar.

Clarissa menatap potongan kristal yang tergenggam di tangan Elvandale. Matanya menyipit sejenak, lalu ia menutup tangan suaminya dengan kedua tangannya.

"Kalau begitu, kita harus menjangkaunya bukan dengan sihir," ucapnya lirih penuh keyakinan.

"Tapi dengan hati. Dia adalah darah kita. Dia tahu kita tak akan diam saja."

Elvandale mengangguk pelan, lalu memalingkan wajahnya kembali ke arah gerbang.

"Kita akan mengirim pasukan pencari ke utara," katanya akhirnya, tegas.

Tak lama, langkah kaki ringan terdengar dari lorong panjang istana. Seorang pria berparas lembut dengan rambut keemasan dan mata biru terang menghampiri mereka.

Duke Elvandale segera melenyapkan kristal merah itu dari telapak tangannya.

"Pangeran Felix," sapa Duchess Clarissa dengan anggukan hormat.

Felix, Pangeran mahkota Astheria sekaligus tunangan Nalira, membalasnya dengan sedikit membungkukkan badan sebelum menatap sang Duke dengan ekspresi serius.

"Aku mendengar kabar bahwa Nalira belum kembali," katanya pelan.

Duchess Clarissa hanya mengangguk, lalu mengembuskan napas berat.

"Benar pangeran, tetapi yang jelas kami tidak akan diam saja."

Felix menatapnya sejenak lalu berkata,

"Aku sudah mengirim prajurit untuk mencarinya. Mungkin dia hanya tersesat di perjalanan. Nalira adalah wanita yang kuat. Dia pasti baik-baik saja."

Tetapi, Duke Elvandale menggeleng pelan.

"Jika dia hanya tersesat di perkampungan, aku tidak akan sekhawatir ini," ujarnya.

"Yang kutakutkan… bagaimana jika gadis itu tersesat di Hutan Kegelapan di wilayah utara."

Mata Felix menegang.

"Hutan Kegelapan?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_33 Introgasi

    Setelah beberapa hari dari kejadian itu, desas-desus ceriita tentang putri bangsawan yang tewas mengenaskan mulai menyebar dari mulut ke mulut. Saat itu Lioren sedang makan siang di sebuah kedai pasar bawah, tempat kumuh, berdebu, dan tak disukai kaum darah biru. Tapi justru di sanalah kabar beracun paling cepat tumbuh dan menyebar. "Kasihan sekali... Putri dari Duke Naevien, kabarnya diperkosa setelah di bunuh, dia ditemukan telanjang di pinggir sungai_" Lioren menelan roti dengan mata menyipit tajam. Anak buahnya pasti telah berbuat kelewat batas pada jasad sang putri. Ia harus bertindak cepat sebelum pengawal istana menemukan mereka. Lioren meneguk anggur merah, dan bangkit meninggalkan kedai. Ia harus kembali ke markas menemui anak buahnya, tetapi begitu ia tiba disana, secara mengejutkan ia mendapat kepungan dari prajurit istana. Lioren yang masih muda dan hanya berbekal belati dan pedang usang, bertarung melawan mereka satu persatu. Beberapa di antaranya tewas, bahkan

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_32 Lioren Yang Liar

    Ia kehilangan masa kecilnya, tak pernah merasakan kehangatan cinta dan kasih sayang dari tangan kedua orang tuanya. Hidupnya hanya penuh tuntutan dan tanggung jawab yang tak seharusnya ia pikul di usia yang masih belia. Pukulan rotan, tamparan, dan sulutan bara api di kulitnya menjadi makanan sehari-hari jika ia melakukan sedikit kesalahan. Tak kuasa dengan semua penderitaan itu, Aaron yang dulu bernama Lioren, melarikan diri dari rumah saat usianya belum genap sepuluh tahun. Ia tak tahu ke mana harus pergi. Malam itu hujan mengguyur keras dan tubuh kecilnya menggigil hebat tanpa alas kaki, tanpa bekal. Tapi Lioren memilih kelaparan di jalanan daripada satu malam lagi dalam rumah yang menyebut dirinya 'anak pembawa kutukan'. Salju turun semakin tebal, tetapi pria itu tak sekalipun menghentikan langkahnya, pikiranya seolah kembali ke masa lalu yang menyiksa. Ia benci perasaan itu, ia benci seseorang mengingatkan siapa dirinya dahulu. Dulu, pasar adalah tempat ia mencari sisa-si

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_31 Tangisan Rakyat

    Di Astheria tepat tengah malam, lonceng istana berdentang pelan. Nalira menguap kecil sambil menutup laporan logistik terakhirnya. Di sampingnya, Tiffany masih duduk di atas tumpukan buku, kini mulai menggambar lingkaran sihir kecil di udara hanya untuk bermain-main. "Sudah lewat tengah malam," ujar Tiffany sambil menyipitkan mata ke arah jendela, bulan purnama bersinar malu-malu di balik awan. Nalira hanya tersenyum kecil. "Berarti sihirnya sudah bekerja." "Kau yakin dia tidak akan membalas, Tuan Putri?" tanya Tiffany, nadanya agak ragu. "Itu Jenderal Aaron. Pria yang bisa menghancurkan benteng tanpa menyentuh gerbang." "Dia bisa menghancurkan apa saja," sahut Nalira pelan, sembari menatap teh yang sudah dingin di cangkirnya, "tapi aku ingin tahu... apa yang akan dia lakukan saat sesuatu atau seseorang menghancurkan egonya."ucapnya, membuat mata Tiffany membulat. Ia lalu menutup buku catatannya, kemudian berdiri dan berjalan menuju balkon. Merasakan salju turun menyen

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_30 Menyinggung Ego Jenderal

    Tiffany menunduk, mengangguk pelan menatap Tuan putrinya kembali duduk di meja kerjanya, tanganya perlahan membuka kertas kertas dokumen kerajaan tetapi wajahnya datar bahkan terlihat dingin. Tiffany tahu sang Tuan sedang dalam keraguan tentang jati dirinya, tapi memberitahukan kebenaran tanpa diskusi dengan anggota peri kerajaan bukanlah tindakan tepat. Peri kecil itu menoleh ke cermin, pemandangan masih menampakan Aaron yang tengah menarik tali kekang kereta kuda di jalanan yang sepi dan berkabut. Sihir dari ritualnya belum terjadi karena menggunakan sistem sihir diralva, dimana sihir akan bekerja sesuai waktu yang diniatkan atau di ritualkan, sedangkan sihir dari ritual Nalira dan Tiffany itu akan terjadi setelah pukul tengah malam. Tiffany mendengus pelan. Membayangkan malam ini akan meriah karena suara tawa Tuan putri yang puas mengerjai sang Jenderal, tapi malah berakhir kesunyian yang membingungkan. Ia mengayunkan tongkat sihirnya ke cermin lalu cahaya ungu berpendar, kab

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_29 Kekejaman Jenderal dalam bayangan cermin

    Cahaya itu terus berputar di udara, detik berikutnya cahaya itu meledak kecil membuat Nalira tersentak mundur ke belakang. Lalu dari cahaya yang meledak itu, sosok gadis kecil muncul di balik gumpalan debu ungu yang terbang ke atas seperti kunang kunang. Mata Nalira melebar sempurna. "Tiffany! kau?" Mata Nalira menunjukan ketidakpercayaanya, peri kecil itu nampak berbeda, jauh lebih bersinar daripada biasanya. Darah Nalira seketika berdesir, seolah dapat merasakan aura sihir kuat pada Tiffany yang perlahan turun menginjak tanah. "Tuan Putri... kau benar! Sekarang berkat ritual kecil dari buku mantra itu telah membuka level sihirku secara signifikan, dan tongkat logam ini akan menjadi perantaraku." ucap Tiffany ia lalu mengayunkan tongkat logam berkarat itu ke arah perpustakaan, sebuah buku keluar dan melayang di udara membuat Nalira takjub sekaligus bingung. "Tongkat ini adalah perantaraku sekarang. Sumber pemusatan sihir baru yang muncul setelah... yah, kau dan ritual kec

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_28 Teka teki sang Putri

    Nalira tiba di depan Aaron dengan napas terengah-engah, matanya berbinar dengan senyum tak biasa yang dipancarkan wanita itu, membuat Aaron curiga. "Beruntung kau belum pergi, aku hanya ingin memberimu sedikit oleh-oleh, mohon untuk di terima" suara Nalira lembut. Aaron mengerling ke arah kotak kayu yang berukuran sedang di tangan Nalira. "Apa itu?" tanyanya. "Oleh-oleh." jawab Nalira tanpa ragu. Aaron mendengus, jawaban Nalira yang tak memuaskan semakin membuatnya curiga, ia ingin menolak tapi melihat raja memperhatikan interaksi mereka, membuatnya tidak berkenan. "Baiklah, Terima kasih." Aaron akhirnya menerima dengan senyum dingin yang hanya Nalira lihat. Aaron kemudian melangkah lebih dekat ke tubuh wanita itu, bibirnya hampir menempel ke telinga Nalira. "Jika ini semacam lelucon, kau akan menyesal pernah mencoba." Napas hangatnya menyapu sisi wajah Nalira, membuat wanita itu berkedip pelan. Namun bukannya mundur, Nalira malah menegakkan tubuhnya dan menoleh sed

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status