Stela mematut lama kotak berwarna cokelat tua yang diberikan oleh Candra satu jam lalu. Gadis itu menggigit bibir bawah sembari menyipitkan mata. Dia mengambil kunci kecil yang ada di atas kotak berniat membukanya.
Bagian refrain lagu Rolling in The Deep milik Adele terdengar dari ponsel Stela sebelum sempat membuka kotak tersebut. Dia segera mengambil ponsel pipih yang ada di atas kasur. Sebuah panggilan masuk dari kontak bernama ‘Uda Buruak’ (Kakak Jelek).
“Halo, Da?” sapa Stela setelah menggeser tombol hijau yang ada di layar ponsel.
“Dima, Diak (Di mana, Dek)? Uda tadi dari kosan kamu, tapi nggak ada.”
Stela menepuk keras kening dengan telapak tangan. Dia lupa memberitahukan tentang kepindahan mendadaknya ke kediaman keluarga Oliver.
“Lupo, Da (Lupa, Kak).”
“Apa yang lupa?”
“Lupa kasih tahu kalau Stela sekarang udah nggak kos lagi.”
“Hah? Maksudnya?” tanya Garry, kakak kandung Stela.
“Mendadak, Da. Nanti Stela ceritakan kalau ketemu, ya?”
Terdengar helaan napas dari ponsel. “Kirimkan alamat kos baru kamu sekarang. Uda mau datang ke sana.”
“Eh? Tunggu, Uda! Aku coba tanya sama yang punya rumah dulu ya?”
“Stela? Apa yang terjadi? Kok jadi aneh gini?” terdengar nada interogasi dari kakaknya.
“Kirim alamatnya sekarang atau Uda bilangin Papa lho.” Kali ini bukan nada interogasi lagi yang terdengar, tetapi ancaman.
“Uda, pliiis! Nanti Stela telepon lagi. Jangan bilang Papa! Stela nggak aneh-aneh, kok. Bener. Sumpah,” ucap Stela bertubi-tubi.
Terdengar tarikan napas berat.
“Oke. Uda tunggu sepuluh menit. Jika belum terima alamatnya, Uda bakal bilang sama Papa.”
Stela segera berdiri, lalu berjalan ke luar kamar. Mata cokelat terangnya mengedarkan pandangan mencari sosok Candra.
“Nanti Stela telepon lagi.” Stela segera mematikan ponsel.
Stela menumpu tangan pada pagar lantai dua, mencari keberadaan Candra di lantai bawah. Pria itu tidak terlihat. Dia melangkah ke ruang kerja Vincent tetap tidak ada. Langkahnya terus berlanjut menuruni anak tangga menuju lantai dasar.
“Ada apa, Mbak?” tanya pelayan yang tadi menyambut Stela saat baru tiba di rumah mewah itu.
“Ehm ... Saya lagi cari Candra, Bu.”
“Oh, Mas Candra. Tadi ada, lagi ngobrol sama Mas Vincent di dekat kolam renang, Mbak,” jawab pelayan berusia paruh baya itu.
“Maaf, Mbak. Tadi Bibi belum memperkenalkan diri.” Pelayan wanita tersebut mengulurkan tangan. “Nama Bibi, Sarifah. Panggil saja Ipah.”
Stela tersenyum mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangan. “Auristela, panggil aja Stela, Bu.”
“Panggil Bi Ipah saja, Mbak. Di sini semua panggil saya Bibi, aneh jika dipanggil Ibu,” kata Bi Ipah tertawa kecil.
“Baik, Bi Ipah. Senang berkenalan dengan Bibi.” Stela terdiam sesaat. “Maaf, Bi. Boleh saya tinggal sebentar? Ada perlu dengan Candra.”
“Silakan, Mbak Stela. Coba cari di dekat kolam renang, ya.” Bi Ipah mengarahkan telunjuk ke sisi barat rumah.
“Oke, Bi. Makasih,” ujar Stela sembari melihat ke arah telunjuk Bi Ipah.
“Sama-sama, Mbak.”
Stela bergegas mencari Candra di area kolam renang, sesuai dengan arahan Bi Ipah. Begitu tiba di tempat kolam renang berada, ia tidak melihat pria yang dicarinya di sana. Hanya terlihat pria lain yang baru saja keluar dari kolam, mengenakan celana polyester khusus renang.
“Astaghfirullah,” cetus Stela nyaris berteriak sembari membalikkan tubuh.
“Ada apa ke sini, Dokter Stela?” Terdengar suara bariton dari belakang.
“Nya-nyari Candra, Pak Vincent,” sahut Stela gugup dengan mata terpejam.
Pria itu berjalan ke depan Stela.
“Candra baru pergi ke kantor. Ada perlu apa?”
Stela semakin memejamkan mata dengan kening berkerut. Dia harus menanyakan apakah boleh menerima kunjungan di rumah itu atau tidak?
“I-itu. Ka-kak saya menanyakan alamat tempat tinggal yang sekarang. Apa boleh saya beritahukan, Pak?” tutur Stela gugup dengan mata masih terpejam.
Terdengar decakan pelan dari bibir Vincent. “Nggak sopan bicara sama orang sambil merem.”
“Eh?” Mata Stela terbuka lebar.
Indra penglihatannya menangkap sosok pria tampan dengan tatapan mata elang memikat sedang berdiri di depannya. Tak hanya itu, dia bertelanjang dada tanpa ada yang menutupi tubuh hingga sedikit di bawah pusar. Terlihat otot-otot seperti roti sobek, menyilaukan cewek-cewek yang memandang, termasuk Stela.
Anjaaas. Jadi gini bentuk roti sobek kalau dilihat secara langsung? Ujian banget ya Tuhan. Itu tubuh isinya otot semua, nggak ada lemaknya ... Lo mikir apa sih Stela? batin Stela nyaris tak sadarkan diri setelah melihat otot Vincent. Kedua tangan meremas ponsel yang dari tadi digenggamnya.
Gadis itu menelan saliva saat melihat keindahan yang biasa dilihatnya di film-film, kini terpampang nyata di depan mata. Belum lagi tetesan air yang belum mengering membasahi wajah dan tubuh Vincent.
Tak hanya saliva yang tiba-tiba memenuhi rongga mulut, tapi jantungnya kini menjadi terpacu.
“Pake handuk dulu, Pak.” Kalimat itu meluncur begitu saja di bibir tipisnya.
Pandangan Vincent turun ke bawah, kemudian naik ke arah Stela. Kedua alis terangkat, sehingga terlihat garis di kening. Seakan berkata: Saya sudah pakai handuk, Stela!
Stela melihat handuk berwarna putih melingkar di pinggang pria itu.
“Mak-maksud saya nutup sampai ke atas, Pak.” Gadis itu menunduk dalam, tak ingin khilaf jika terus-terusan melihat keindahan ciptaan Tuhan ini.
Vincent tertawa melihat ekspresi Stela.
“Belum pernah lihat laki-laki bertelanjang dada?”
Ya ampun. Caranya tertawa aja udah menggoda ... ini mikirin apalagi, Stela? perang batin ‘kan jadinya si Stela. Haha!
Kepala Stela bergoyang ke atas dan ke bawah dengan pelan.
Vincent tersenyum samar masih melihat Stela.
“Kakak kandung kamu?”
Stela kembali mengangguk.
“Berikan saja alamatnya. Kamu bisa ngobrol di sini.”
Stela menaikkan pandangan. “Serius, Pak?”
“Ya. Masa bercanda?” Vincent segera berlalu meninggalkan Stela.
Gadis itu mengembuskan napas lega, sambil memukul pelan dada yang terasa bergemuruh.
Bisa diam nggak? Ngapain pada main drum di dalam? batinnya.
Stela segera mengirimkan alamat kediaman keluarga Oliver kepada kakaknya. Terasa lega setelah pesan itu terkirim sebelum batas waktu yang diberikan Garry.
***
“Ondeh mandeh. Udah banyak duit nih buat bayar kamar di rumah mewah?” Garry terlihat antusias saat bertemu dengan Stela di gerbang rumah keluarga Oliver.
Stela meletakkan jari telunjuk di bibir.
“Bisa turunin volume suaranya, Da?” pinta Stela setengah berbisik.
“Emang kenapa sih?” Garry menyipitkan mata.
“Masuk dulu, nanti Stela ceritakan di dalam.” Gadis itu menarik lengan kakaknya.
Mereka berdua segera memasuki rumah mewah keluarga Oliver. Saat akan menaiki tangga, Stela melihat Bi Ipah berjalan dari arah pintu belakang yang terhubung dengan taman.
“Bi Ipah. Kenalin, kakak kandung saya,” ujar Stela begitu Bi Ipah mendekat.
“Sarifah, Mas. Panggil Bi Ipah saja.” Bi Ipah memperkenalkan diri.
“Garry Zayn. Jangan panggil Mas, Bi. Saya orang Minang, bukan orang Jawa. Panggil Uda aja.” Garry nyengir memperlihatkan gigi besar yang tersusun rapi.
“Baik Mas Ganteng. Eh, maksud Bibi, Uda Rancak.” Bi Ipah tertawa kecil.
“Izin ngobrol di kamar boleh ya, Bi? Ini beneran kakak kandung saya, bukan teman apalagi pacar. Saya masih jodi alias jomblo abadi,” celetuk Stela.
Bi Ipah melihat Stela dan Garry secara bergantian. Lagi tawa kecil keluar dari bibirnya.
“Orang mirip gitu kok, masa iya Bibi nggak percaya.” Bi Ipah menutup mulut saat tertawa, agar gigi yang berkurang satu di bagian samping kanan tidak terlihat. “Silakan, Mbak. Bibi buatkan minum dulu, ya?”
Stela menundukkan sedikit tubuh ke depan. “Makasih ya, Bi.”
Dia segera menyeret Garry ke lantai atas.
Jarak usia Stela dan Garry hanya dua tahun, sehingga mereka benar-benar akrab. Tak hanya sebagai kakak dan adik, keduanya juga seperti bersahabat. Saat Stela memutuskan untuk mengambil spesialis kedokteran jiwa, Pak Buana–ayah Stela dan Garry-mengizinkan kuliah di Jakarta dengan syarat Garry harus menemani. Jadilah pria berkulit putih itu mengais rezeki di Jakarta, bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang software.
“Uda nggak kerja? Kok jam segini udah berkeliaran?” tanya Stela sambil membuka pintu kamar.
Garry tidak menjawab pertanyaan adiknya, malah memutar pandangan ke arah kamar yang berada di sebelah kamar Stela.
“Yang kos di sini cewek semua, ‘kan?” Garry masih melihat kamar sebelah yang pintunya sedikit terbuka. Terlihat tidak seperti kamar perempuan.
Stela menyuruh Gary duduk di kursi panjang yang ada di kamar.
“Aku nggak kos, Da. Ini rumah, bukan kosan.”
Kening Garry berkerut mendengarkan perkataan adiknya.
“Mulai hari ini, Stela nggak kerja di rumah sakit lagi. Tapi jadi psikiater pribadi di keluarga ini.”
Bersambung....
Mata bulat Garry semakin membulat mendengar perkataan adiknya. Menjadi psikolog pribadi di sebuah rumah mewah yang pasti penghuninya kaya raya.“Hah? Ada yang sakit jiwa di sini?”Stela segera menutup mulut Garry saat mendengar kata sakit jiwa yang keluar dari bibirnya. Dia mendelik dengan gigi beradu, melihat kakaknya.“Itu mulut bisa dijaga nggak sih?” Stela menatap tajam kakaknya.“Lha trus kalau bukan sakit jiwa ngapain kamu kerja di sini?” Garry berbisik setelah menyingkirkan tangan adiknya.“Nggak ada yang sakit jiwa di sini, Uda. Ada sesuatu yang nggak bisa aku ceritakan, karena bisa melanggar kontrak.”“Kontrak?”Stela mengangguk cepat. “Sebelum bekerja, ada kontrak yang harus aku tanda tangani. Di kontrak tertulis, aku harus tinggal di sini karena harus menjaga pasien selama hampir 7x24. Eh, ada libur sih sekali seminggu.”“Sebentar. Pasienny
Ketika matahari mulai menampakkan diri, Stela memutuskan untuk lari pagi di sekitar perumahan mewah tempat rumah keluarga Oliver berada. Memanfaatkan masa libur dengan berolahraga, sebelum mulai bekerja menjadi psikiater sekaligus sekretaris pribadi Vincent Oliver adalah pilihan yang tepat.Siang hari ini, ia juga akan mendapatkan pendidikan khusus, belajar bagaimana menjadi seorang sekretaris. Bukan karena Stela akan menjadi sekretaris betulan, tapi agar lebih meyakinkan orang-orang di perusahaan. Dia tidak akan menerima tugas khusus selama di kantor, hanya duduk menemani Vincent di ruang kerja. Memastikan tidak ada yang curiga dengan kondisi kesehatan CEO sebuah perusahaan di bidang broadcast tersebut.100 meter dari kediaman keluarga Oliver, Stela melihat seorang pria bertubuh atletis sedang berlari mengenakan hoodie berwarna abu-abu dengan celana panjang. Earphone terpasang di telinga, menandakan orang itu sedang mendengarkan lagu sambil
Terdengar pintu kamar diketuk saat Stela baru keluar dari kamar mandi. Dia membersihkan diri setelah lari pagi di sekitar perumahan. Gadis itu bergegas membuka pintu.“Sorry ganggu,” ucap Candra begitu Stela menampakkan diri di sela pintu.Sesaat kemudian pria itu tertawa melihat wajah Stela.“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Stela lengkap dengan handuk yang melingkar menutupi rambut. Satu stel baju kaus berwarna hijau muda dan celana panjang hitam membungkus tubuhnya.Candra mengarahkan jari telunjuk ke pinggir bibirnya sendiri, kemudian menunjuk wajah Stela.“Ada sisa odol.” Candra menutup mulut saat ingin tertawa lagi.Stela berlari kecil menuju cermin meja rias yang ada di kamar. Terlihat sedikit tumpukan odol di pinggir bibir. Dia mengambil tisu basah dan mengelap sudut bibir. Setelah bersih, gadis itu kembali lagi menghampiri Candra.“Maaf. Kebiasaan gosok gigi habis mandi, jadi gi
Hampir tiga puluh menit Stela berdiri di depan cermin, memutar tubuh ke kiri dan kanan bergantian. Berkali-kali tarikan dan embusan napas keluar dari hidung dan sela bibir. Gugup? Sudah jelas, jangan ditanyakan lagi. Itulah yang dirasakannya saat ini.Bayangkan, seorang psikiater diminta menyamar menjadi seorang sekretaris. Profesi yang selama ini bahkan tidak pernah terlintas di benaknya, karena fisik yang tidak mendukung. Pandangan mata beralih ke arah sepatu dengan tinggi 5 centimeter. Well, tidak terlalu tinggi tapi bisa membuat seorang Auristela merasa terintimidasi setiap kali melihatnya.“Oke, tinggal pake lipstik,” gumamnya sambil mengambil lipstik berwarna peach yang sering dikenakannya.“Not, bad.” Stela tersenyum singkat setelah mematut lagi dirinya di cermin.Blus berwarna cokelat muda dan rok pendek di bawah lutut, telah melekat di tubuhnya. Setelan mahal yang dibeli dengan Candra dua hari yang lalu.
“Pak Vincent udah di bawah?” tanya Stela saat melihat tidak ada tanda-tanda kehidupan di kamar Vincent.Candra diam, masih menatap takjub Stela.“Candra?” Stela mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah pria itu.“Woi!!” Kali ini Stela memukul pelan lengannya, membuat Candra terkesiap.“Eh?”“Pak Vincent mana?”“Oh, eh. Pak Bos udah nunggu di bawah.” Candra mengedipkan mata, berusaha mengembalikan fokus pikiran.“Mampus gue. Masa Bos udah di bawah, sementara sekretarisnya masih di sini?!” Stela bergegas berjalan meninggalkan Candra, namun langkahnya berhenti melihat pria itu masih berdiri di tempat.Gadis itu kembali lagi menarik lengan Candra, sehingga nyaris terseret menuju tangga.“Ini cewek tenaga kuat banget, ya?” Candra bersuara mendelik pada Stela.Langkah Stela berhenti di pertengahan tangga, lalu mendekatkan kep
Mata cokelat terang Stela membulat ketika mendengarkan ucapan Vincent. Dia menatap tanpa berkedip, berharap salah dengar.“Sini kaki kamu,” ucap Vincent mengulang kalimatnya.Pria itu segera mengambil kaki Stela, membuka sepatu dan meletakkannya di atas paha.“B-biar saya aja, Pak.” Stela menarik kaki, namun tangan Vincent terlalu kuat memegang kakinya.“Saya saja. Kamu terkilir karena mengikuti saya. Seharusnya bisa kasih tahu saya, jika berjalan terlalu cepat.” Vincent mulai mengoleskan krim pereda nyeri di pergelangan kaki Stela.“Tapi, Pak. Saya ini kan sekarang bawahan Bapak. Masa—” kalimat Stela berhenti saat Vincent melihat ke arahnya dengan tatapan protes.Stela merasakan jantungnya mulai bergemuruh lagi ketika pandangan mereka bertemu.“Dokter yang menyamar menjadi sekretaris, Stela. Kamu bukan bawahan, tapi dokter saya. Kamu mengobati saya dan saya mengobati kaki ka
Beberapa hari bekerja sebagai sekretaris palsu CEO, Stela mulai merasa bosan, meski Vincent memberikan akses bebas untuknya bermain game, menonton film atau melakukan hal lainnya, selama tidak mengganggu konsentrasinya ketika bekerja. Dia rindu bekerja di rumah sakit melayani pasien-pasien dengan segala keluhan tentang kejiwaan yang mereka rasakan.Sabtu pagi setelah membersihkan diri, Vincent mengajaknya duduk di taman belakang sambil bermain COD.“Mau main mode apa? Battle Royale?”“Boleh. Berdua aja?”“Lihat dulu ada berapa orang teman clan yang online. Kalau nggak ya random by system. Mati konyol kita nanti kalau ketembak dua-duanya.” Vincent tertawa singkat dengan pandangan mulai fokus ke layar ipad.Bagai dapat durian runtuh, pria itu membelikan Stela sebuah ipad khusus untuk bermain game agar tidak bosan selama berada di kantor. Harganya? Jangan ditanya lagi.“Kamu n
Stela berdiri di depan cermin. Beberapa kali dia mengganti pakaian yang dikenakan. Pergi bersama dengan seorang pengusaha tampan seperti Vincent membuat rasa percaya diri menciut seketika. Mau tidak mau, dia harus juga memperhatikan penampilan, agar tidak membuat malu nantinya.“Bodo amat. Kita ‘kan cuma temenan,” gumam Stela setelah melihat baju kaus, kemeja dan celana jeans yang berjejer di atas kasur.Tangannya bergerak mengambil baju kaus lengan panjang berwarna pink lembut dan celana jeans berwarna navy blue. Rambut dibiarkan terurai begitu saja menutupi tengkuk, karena malam segera menjelang. Lagi pula mereka akan menonton film malam ini dan tentu bioskop akan terasa dingin.Setelah mengoles lipstik berwarna pink juga, Stela segera meraih tas kecil yang selama ini menemaninya saat pergi selain ke rumah sakit. Dia bersiap untuk ke luar kamar, sebelum lagu Rolling in The Deep kembali mengalun di ponsel.“A