Share

BAB 5: Roti Sobek

Stela mematut lama kotak berwarna cokelat tua yang diberikan oleh Candra satu jam lalu. Gadis itu menggigit bibir bawah sembari menyipitkan mata. Dia mengambil kunci kecil yang ada di atas kotak berniat membukanya.

Bagian refrain lagu Rolling in The Deep milik Adele terdengar dari ponsel Stela sebelum sempat membuka kotak tersebut. Dia segera mengambil ponsel pipih yang ada di atas kasur. Sebuah panggilan masuk dari kontak bernama ‘Uda Buruak’ (Kakak Jelek).

“Halo, Da?” sapa Stela setelah menggeser tombol hijau yang ada di layar ponsel.

Dima, Diak (Di mana, Dek)? Uda tadi dari kosan kamu, tapi nggak ada.”

Stela menepuk keras kening dengan telapak tangan. Dia lupa memberitahukan tentang kepindahan mendadaknya ke kediaman keluarga Oliver.

Lupo, Da (Lupa, Kak).”

“Apa yang lupa?”

“Lupa kasih tahu kalau Stela sekarang udah nggak kos lagi.”

“Hah? Maksudnya?” tanya Garry, kakak kandung Stela.

“Mendadak, Da. Nanti Stela ceritakan kalau ketemu, ya?”

Terdengar helaan napas dari ponsel. “Kirimkan alamat kos baru kamu sekarang. Uda mau datang ke sana.”

“Eh? Tunggu, Uda! Aku coba tanya sama yang punya rumah dulu ya?”

“Stela? Apa yang terjadi? Kok jadi aneh gini?” terdengar nada interogasi dari kakaknya.

“Kirim alamatnya sekarang atau Uda bilangin Papa lho.” Kali ini bukan nada interogasi lagi yang terdengar, tetapi ancaman.

“Uda, pliiis! Nanti Stela telepon lagi. Jangan bilang Papa! Stela nggak aneh-aneh, kok. Bener. Sumpah,” ucap Stela bertubi-tubi.

Terdengar tarikan napas berat.

“Oke. Uda tunggu sepuluh menit. Jika belum terima alamatnya, Uda bakal bilang sama Papa.”

Stela segera berdiri, lalu berjalan ke luar kamar. Mata cokelat terangnya mengedarkan pandangan mencari sosok Candra.

“Nanti Stela telepon lagi.” Stela segera mematikan ponsel.

Stela menumpu tangan pada pagar lantai dua, mencari keberadaan Candra di lantai bawah. Pria itu tidak terlihat. Dia melangkah ke ruang kerja Vincent tetap tidak ada. Langkahnya terus berlanjut menuruni anak tangga menuju lantai dasar.

“Ada apa, Mbak?” tanya pelayan yang tadi menyambut Stela saat baru tiba di rumah mewah itu.

“Ehm ... Saya lagi cari Candra, Bu.”

“Oh, Mas Candra. Tadi ada, lagi ngobrol sama Mas Vincent di dekat kolam renang, Mbak,” jawab pelayan berusia paruh baya itu.

“Maaf, Mbak. Tadi Bibi belum memperkenalkan diri.” Pelayan wanita tersebut mengulurkan tangan. “Nama Bibi, Sarifah. Panggil saja Ipah.”

Stela tersenyum mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangan. “Auristela, panggil aja Stela, Bu.”

“Panggil Bi Ipah saja, Mbak. Di sini semua panggil saya Bibi, aneh jika dipanggil Ibu,” kata Bi Ipah tertawa kecil.

“Baik, Bi Ipah. Senang berkenalan dengan Bibi.” Stela terdiam sesaat. “Maaf, Bi. Boleh saya tinggal sebentar? Ada perlu dengan Candra.”

“Silakan, Mbak Stela. Coba cari di dekat kolam renang, ya.” Bi Ipah mengarahkan telunjuk ke sisi barat rumah.

“Oke, Bi. Makasih,” ujar Stela sembari melihat ke arah telunjuk Bi Ipah.

“Sama-sama, Mbak.”

Stela bergegas mencari Candra di area kolam renang, sesuai dengan arahan Bi Ipah. Begitu tiba di tempat kolam renang berada, ia tidak melihat pria yang dicarinya di sana. Hanya terlihat pria lain yang baru saja keluar dari kolam, mengenakan celana polyester khusus renang.

Astaghfirullah,” cetus Stela nyaris berteriak sembari membalikkan tubuh.

“Ada apa ke sini, Dokter Stela?” Terdengar suara bariton dari belakang.

“Nya-nyari Candra, Pak Vincent,” sahut Stela gugup dengan mata terpejam.

Pria itu berjalan ke depan Stela.

“Candra baru pergi ke kantor. Ada perlu apa?”

Stela semakin memejamkan mata dengan kening berkerut. Dia harus menanyakan apakah boleh menerima kunjungan di rumah itu atau tidak?

“I-itu. Ka-kak saya menanyakan alamat tempat tinggal yang sekarang. Apa boleh saya beritahukan, Pak?” tutur Stela gugup dengan mata masih terpejam.

Terdengar decakan pelan dari bibir Vincent. “Nggak sopan bicara sama orang sambil merem.”

“Eh?” Mata Stela terbuka lebar.

Indra penglihatannya menangkap sosok pria tampan dengan tatapan mata elang memikat sedang berdiri di depannya. Tak hanya itu, dia bertelanjang dada tanpa ada yang menutupi tubuh hingga sedikit di bawah pusar. Terlihat otot-otot seperti roti sobek, menyilaukan cewek-cewek yang memandang, termasuk Stela.

Anjaaas. Jadi gini bentuk roti sobek kalau dilihat secara langsung? Ujian banget ya Tuhan. Itu tubuh isinya otot semua, nggak ada lemaknya ... Lo mikir apa sih Stela? batin Stela nyaris tak sadarkan diri setelah melihat otot Vincent. Kedua tangan meremas ponsel yang dari tadi digenggamnya.

Gadis itu menelan saliva saat melihat keindahan yang biasa dilihatnya di film-film, kini terpampang nyata di depan mata. Belum lagi tetesan air yang belum mengering membasahi wajah dan tubuh Vincent.

Tak hanya saliva yang tiba-tiba memenuhi rongga mulut, tapi jantungnya kini menjadi terpacu.

“Pake handuk dulu, Pak.” Kalimat itu meluncur begitu saja di bibir tipisnya.

Pandangan Vincent turun ke bawah, kemudian naik ke arah Stela. Kedua alis terangkat, sehingga terlihat garis di kening. Seakan berkata: Saya sudah pakai handuk, Stela!

Stela melihat handuk berwarna putih melingkar di pinggang pria itu.

“Mak-maksud saya nutup sampai ke atas, Pak.” Gadis itu menunduk dalam, tak ingin khilaf jika terus-terusan melihat keindahan ciptaan Tuhan ini.

Vincent tertawa melihat ekspresi Stela.

“Belum pernah lihat laki-laki bertelanjang dada?”

Ya ampun. Caranya tertawa aja udah menggoda ... ini mikirin apalagi, Stela? perang batin ‘kan jadinya si Stela. Haha!

Kepala Stela bergoyang ke atas dan ke bawah dengan pelan.

Vincent tersenyum samar masih melihat Stela.

“Kakak kandung kamu?”

Stela kembali mengangguk.

“Berikan saja alamatnya. Kamu bisa ngobrol di sini.”

Stela menaikkan pandangan. “Serius, Pak?”

“Ya. Masa bercanda?” Vincent segera berlalu meninggalkan Stela.

Gadis itu mengembuskan napas lega, sambil memukul pelan dada yang terasa bergemuruh.

Bisa diam nggak? Ngapain pada main drum di dalam? batinnya.

Stela segera mengirimkan alamat kediaman keluarga Oliver kepada kakaknya. Terasa lega setelah pesan itu terkirim sebelum batas waktu yang diberikan Garry.

***

Ondeh mandeh. Udah banyak duit nih buat bayar kamar di rumah mewah?” Garry terlihat antusias saat bertemu dengan Stela di gerbang rumah keluarga Oliver.

Stela meletakkan jari telunjuk di bibir.

“Bisa turunin volume suaranya, Da?” pinta Stela setengah berbisik.

“Emang kenapa sih?” Garry menyipitkan mata.

“Masuk dulu, nanti Stela ceritakan di dalam.” Gadis itu menarik lengan kakaknya.

Mereka berdua segera memasuki rumah mewah keluarga Oliver. Saat akan menaiki tangga, Stela melihat Bi Ipah berjalan dari arah pintu belakang yang terhubung dengan taman.

“Bi Ipah. Kenalin, kakak kandung saya,” ujar Stela begitu Bi Ipah mendekat.

“Sarifah, Mas. Panggil Bi Ipah saja.” Bi Ipah memperkenalkan diri.

“Garry Zayn. Jangan panggil Mas, Bi. Saya orang Minang, bukan orang Jawa. Panggil Uda aja.” Garry nyengir memperlihatkan gigi besar yang tersusun rapi.

“Baik Mas Ganteng. Eh, maksud Bibi, Uda Rancak.” Bi Ipah tertawa kecil.

“Izin ngobrol di kamar boleh ya, Bi? Ini beneran kakak kandung saya, bukan teman apalagi pacar. Saya masih jodi alias jomblo abadi,” celetuk Stela.

Bi Ipah melihat Stela dan Garry secara bergantian. Lagi tawa kecil keluar dari bibirnya.

“Orang mirip gitu kok, masa iya Bibi nggak percaya.” Bi Ipah menutup mulut saat tertawa, agar gigi yang berkurang satu di bagian samping kanan tidak terlihat. “Silakan, Mbak. Bibi buatkan minum dulu, ya?”

Stela menundukkan sedikit tubuh ke depan. “Makasih ya, Bi.”

Dia segera menyeret Garry ke lantai atas.

Jarak usia Stela dan Garry hanya dua tahun, sehingga mereka benar-benar akrab. Tak hanya sebagai kakak dan adik, keduanya juga seperti bersahabat. Saat Stela memutuskan untuk mengambil spesialis kedokteran jiwa, Pak Buana–ayah Stela dan Garry-mengizinkan kuliah di Jakarta dengan syarat Garry harus menemani. Jadilah pria berkulit putih itu mengais rezeki di Jakarta, bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang software.

“Uda nggak kerja? Kok jam segini udah berkeliaran?” tanya Stela sambil membuka pintu kamar.

Garry tidak menjawab pertanyaan adiknya, malah memutar pandangan ke arah kamar yang berada di sebelah kamar Stela.

“Yang kos di sini cewek semua, ‘kan?” Garry masih melihat kamar sebelah yang pintunya sedikit terbuka. Terlihat tidak seperti kamar perempuan.

Stela menyuruh Gary duduk di kursi panjang yang ada di kamar.

“Aku nggak kos, Da. Ini rumah, bukan kosan.”

Kening Garry berkerut mendengarkan perkataan adiknya.

“Mulai hari ini, Stela nggak kerja di rumah sakit lagi. Tapi jadi psikiater pribadi di keluarga ini.”

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status