Stela menutup mulut yang sedikit menganga dengan kedua tangan. Matanya terlihat melebar saat mendengar apa yang dikatakan Candra. Pada berkas data pasien yang diterima dari Dokter Adam, tidak tertera penyebab Anterograde Amnesia yang diderita oleh Vincent.
Anterograde Amnesia biasanya disebabkan oleh cedera pada kepala, karena kecelakaan atau pukulan benda keras. Penyebab amnesia yang dialami Vincent adalah karena pukulan benda keras yaitu besi berukuran besar, sehingga merusak lobus temporal yang bisa mengganggu kemampuan otak untuk mengkonversi ingatan jangka pendek. Pria itu hanya bisa mengingat kejadian baru dalam satu hari, setelah itu ia akan lupa.
“Dia juga nggak ingat dengan kejadian itu?” tanya Stela masih dengan kening berkerut.
Candra menganggukkan kepala, lalu menggamitkan tangan meminta Stela mendekatkan kepala.
Gadis itu lantas mendekatkan kepalanya.
“Kamu benar. Dia sama sekali tidak ingat. Inilah yang membuat polisi tidak bisa melanjutkan penyelidikan, karena hanya Pak Vincent satu-satunya saksi di sana. Tidak ada satu petunjuk maupun sidik jari yang didapatkan dari lokasi kejadian. Saat visum juga tidak terdeteksi cairan itu, karena Si Pelaku menggunakan pengaman saat memperkosa calon istri Pak Vincent.” Candra menjelaskan.
Wajah Stela bergidik mendengarkan cerita pria itu. Dia mengusap pelan tengkuk sendiri sambil menghela napas berat.
“Dia nggak punya musuh? Atau seseorang yang memiliki motif gitu, kayak yang ada di Detective Conan.” Stela menaik-naikkan kedua alis mata.
Candra tertawa kecil melihat ekspresi Stela. “Seorang pengusaha di bidang pertelevisian, apalagi memiliki stasiun televisi berita. Musuhnya ada di mana-mana, Dokter Stela. Apalagi yang memiliki image negatif di masyarakat. Bisa membunuh karakter.”
“Jadi tugasmu sekarang adalah mencari cara mengembalikan ingatan Pak Vincent dan melindunginya,” sambung Candra.
“What? Melindunginya?” Mata Stela membesar, berkedip berkali-kali.
“Ya. Tertera di kontrak, ‘kan?” Candra menaikkan kedua alis ke atas. “Mulai hari Senin depan, kamu akan menyamar jadi sekretaris pribadi Pak Vincent, karena dia mulai bekerja lagi di kantor.”
“Hah? Sekretaris? Lo bercanda, ‘kan?” Kedua alis Stela menyatu.
Candra menyipitkan mata dan mendekatkan wajahnya. “Apa kamu tidak membaca kontrak dengan benar?”
Stela menaikkan pandangan ke atas sambil menjepit bibir. “Masa sih? Kayaknya nggak ada deh.”
Pria itu berdiri dan berjalan menuju meja, lalu mengambil salinan surat kontrak yang ditandatangani Stela tadi pagi. Dia menyerahkannya kepada gadis itu.
Stela segera membaca ulang surat kontrak tersebut. Benar, di sana tertera ia harus menjadi sekretaris pribadi Vincent Oliver.
“Kamu harus mengawasinya hampir 24 jam, Stela. Karena itu Bu Widya mencari seorang psikiater yang bisa ilmu bela diri. Si Pelaku bisa menyerang kapan saja setelah tahu Pak Vincent masih hidup.” Candra kembali menjelaskan.
“Buseeet. Mati gue! Bener, ‘kan? Nggak hanya karir gue yang hancur, tapi hidup gue juga, Candra,” celoteh Stela tak sadar saat ini sedang berbicara dengan siapa.
Candra tertawa singkat, melihat raut wajah gemas Stela.
“You have no choice, Stela. Kamu harus melakukannya. Kontrak sudah ditandatangani.” Candra tersenyum tipis sambil mengibaskan surat kontrak.
Stela menyandarkan punggung di sofa dengan pandangan ke arah plafon. Dia mengusap kening berkali-kali, sehingga poni yang menutupi kening naik ke atas. Gadis itu mengembuskan napas keras.
“Job gue jadi tiga, psikiater, sekretaris merangkap bodyguard. Oh my God!”
“Karena itu kamu dibayar mahal. Insentif juga gede, ‘kan? Lima puluh juta per bulan.”
Stela menggerutu dalam hati, namun bibirnya ikut bergerak tidak jelas.
“Pilihannya ada dua, Stela. Melanjutkan kontrak dengan job seperti itu dan kamu akan mendapatkan insentif lima puluh juta di luar gaji. Atau membayar denda satu milyar rupiah.” Candra menaikkan sebelah alis.
Rahang Stela seakan jatuh kebawah, ketika bibir terbuka mendengarkan perkataan Candra. Dia menggerak-gerakkan rahang bawah, sambil menggoyang-goyangkan kaki ke atas - ke bawah mengangkat tumit dengan cepat.
“Satu milyar?” gumamnya sambil memejamkan mata. Stela menggelengkan kepala dengan cepat mengingat dia benar-benar butuh uang.
“Oke. Gue akan lakukan.” Stela menelan saliva, lalu menarik napas dan menyelipkan rambut di balik kedua telinga.
“Sekarang katakan, apa aja yang lo lakukan untuk mengingatkan Pak Vincent dengan kejadian kemarin?” Stela kembali memfokuskan pikiran kepada Candra.
Candra tertawa melihat tingkah Stela yang tidak terlihat seperti seorang psikiater. Dia berbeda dengan psikiater yang pernah menangani Vincent sebelumnya.
“Memberikan sebuah diari, jadi Pak Vincent menuliskan hal-hal penting di sana.” Candra terdiam dan berpikir sejenak. “Menandai berkas-berkas yang telah ditandatangani dan tempat pakaian di lemari jika ada perubahan.”
Stela menganggukkan kepala. “Punya kamera?”
“Kamera?” tanya Candra.
“Ya, kamera untuk merekam.”
“Ada. Perlu ya?”
Stela menganggukkan kepala dengan cepat. “Dia nggak perlu lagi mencatat, tapi menceritakan apa yang terjadi sehari sebelumnya. Besok pagi, Pak Vincent bisa melihat lagi rekaman itu.”
“Haaa!” Stela memantik ibu jari dan telunjuk bersamaan. “Kita harus pasang CCTV di kamarnya dan juga di ruang kerja ini. Paling nggak itu juga bisa mengingatkannya dengan aktivitas yang dilakukan Vincent sehari-hari. Kayak digital diary gitu.” Gadis itu menaik-naikkan kedua alis dengan cepat.
Candra memperhatikan Stela dengan saksama. Baru saja ia tertawa melihat tingkah konyol gadis itu, sekarang menjadi kagum dengan ide yang diberikannya.
“Aku akan beritahukan ini kepada Bu Widya.”
Stela mengangguk, kemudian terdiam beberapa saat seperti memikirkan sesuatu.
“Candra,” panggil Stela tak lama kemudian.
“Kenapa?”
Mata bulat Stela terlihat mengecil. Dia menggigit bibir bawah.
“Vincent punya diari nggak?”
“Diari yang ditulisnya setiap hari untuk mengingat—”
“Bukan yang itu,” sela Stela, “tapi diari tentang kisah cinta dengan calon istrinya.”
“Buat apa?”
“Penting! Gue harus pelajari dulu, sebelum tentukan metode apa yang akan dilakukan untuk kembalikan ingatan, termasuk masa lalunya.”
Candra berpikir beberapa saat. “Diari Pak Vincent tidak ada, tapi diari calon istrinya ada.”
“Siapapun yang penting gue bisa tahu kisah mereka. Kali aja nanti bisa ketemu pelakunya.” Stela menyengir memperlihatkan gigi kecil yang tersusun rapi.
Pria itu tertawa lalu berdecak, “Ck! Kamu itu psikiater atau detektif?”
“Dua-duanya. Lebih tepatnya, psikiater yang dulu pernah memiliki cita-cita menjadi seorang detektif,” cibir Stela, “kenapa? Nggak boleh?”
“Bukan gitu. Kamu itu sebenarnya tidak terlihat seperti seorang psikiater.”
“Maksud lo?” Stela menekuk wajah.
“Lebih cocok jadi ....” Candra pura-pura memikirkan sesuatu. “Cari tahu aja sendiri lanjutannya.”
Bibir Stela tampak maju ke depan. “Huuu, lo aja nggak tahu lanjutannya, apalagi gue!”
Pria itu berdiri lagi dan berjalan menuju lemari yang ada di sisi kanan ruangan. Dia menurunkan tubuh ke posisi jongkok, membuka lemari paling bawah dan mengambil sebuah kotak berwarna cokelat tua dari sana. Candra kembali lagi ke arah sofa, lalu duduk di sana.
“Dalam kotak ini, ada diari, foto dan beberapa barang yang dimiliki oleh Nona Rania, calon istri Pak Vincent. Kamu bisa baca diari itu pelan-pelan. Ingat jangan sampai nangis apalagi baper.” Candra tersenyum geli membayangkan reaksi lebay Stela saat membaca diari itu.
Pria itu menyerahkan kotak dan sebuah kunci untuk membuka gembok kotak. Dia sengaja menguncinya, agar Vincent tidak bisa membuka kotak itu.
Stela mematut lama benda petak yang diserahkan oleh Candra. Dia menghela dan mengembuskan napas pelan mengingat tugasnya sebagai psikiater, sekretaris dan bodyguard Vincent akan dimulai hari ini. Lebih tepatnya setelah membaca diari Kirania Pratista, calon istri Vincent Oliver yang dibunuh dan diperkosa tepat satu hari menjelang pernikahan mereka.
Bersambung....
Widya berdiri terpaku saat melihat Vincent membawa Stela ke rumah keluarga Oliver. Pandangannya beralih ke arah perut menantunya yang mulai membesar. Apalagi Stela mengenakan celana yang lebih longgar dari biasanya.Stela tersenyum gugup saat bertemu dengan ibu mertua. Dia masih belum berani menatap lama Widya, karena khawatir akan diusir dari rumah itu.“Ingatanku sudah utuh lagi, Ma,” ungkap Vincent membuat Widya menelan ludah.“Aku ingat dengan pernikahanku dan siapa istriku.” Vincent menarik napas sambil menggandeng tangan Stela, lalu duduk di sofa ruang keluarga.“Kenapa Mama nggak kasih tahu tentang Stela?” tanya Vincent.Widya diam tanpa menjawab pertanyaan Vincent. Hatinya kini seperti ditusuk jarum halus, perih saat membayangkan bagaimana perlakuannya kepada Stela.“Mama khawatir kalau kamu shock lagi, Vin. Jadi kami merahasiakannya dari kamu dulu,” komentar Stela membuat Widy
Stela sedang tiduran di atas paha Vincent. Suami istri itu duduk di sofa apartemen yang baru ditempati selama empat hari, sebelum Stela memutuskan membawa suaminya ke tempat peristiwa pembunuhan Kirania terjadi.Vincent membelai lembut kening Stela sambil memandang wajah yang tampak begitu cantik di matanya.“Kamu ngidam sesuatu nggak, Sayang?” tanya Vincent memecah keheningan.Stela menggelengkan kepala. Kehamilannya berbeda dari kehamilan pada umumnya. Biasanya pada trimester pertama, para ibu hamil terserang morning sickness, tapi tidak dengan wanita itu. Dia hanya merasakan pusing pada awal kehamilan, karena kurang asupan makanan.“Wah! Istri saya hamilnya anteng sekali ya. Nggak ngidam dan nggak mual-mual juga,” puji Vincent.“Mungkin awal-awal hamil cobaannya udah berat kali ya, jadinya Allah kasihan lihat aku kalau harus kena morning sickness juga,” komentar Stela sambil nyengir.S
Kepala Vincent perlahan mundur ke belakang setelah tautan bibir mereka terlepas. Senyuman kembali tergambar di wajah Stela yang masih terlihat pucat. Tilikan mata pria itu beralih ke arah kalung berliontin bunga mawar. Di sana juga tergantung sebuah cincin, seperti cincin pernikahan.Vincent melihat jari kanan Stela, kemudian beranjak melihat cincin dengan bentuk serupa, namun berbeda ukuran. Dadanya terasa sesak ketika ingat pernah melempar cincin itu ke lantai sesaat setelah sadar.Mulut Vincent terbuka lebar saat merasakan udara mendadak lenyap di sekitar. Dia mengambil napas sebanyak-banyaknya sehingga dada bidang itu naik turun. Pria itu melangkah ke luar ruangan, lalu mengeluarkan ponsel.“Halo, Can. Bisa ke rumah sakit sekarang? Ada yang mau saya pastikan sama kamu,” kata Vincent setelah mendapatkan jawaban dari Candra.“Saya tunggu di kamar tempat Stela dirawat,” pungkasnya sebelum mematikan sambungan.Vincent menger
Sudah dua jam Vincent duduk menyandar di headboard tempat tidur. Sejak tadi malam dia tidak bisa tidur, karena wajah Stela selalu menari di pelupuk mata. Keningnya berkerut memikirkan, kenapa wanita yang baru ditemuinya kemarin siang selalu menghiasi pikiran?“Aku Stela, istri kamu.”Kalimat itu kembali terngiang di telinga bagaikan kaset kusut yang diputar berulang-ulang.“Apa dia wanita yang sama? Ah, saya nggak ingat persis gimana wajah wanita yang pertama kali saya lihat waktu pertama kali sadar,” gumam Vincent.Pria itu memejamkan mata beberapa saat sambil mengucapkan nama Stela berkali-kali. Dia seperti pernah mendengar nama tersebut jauh dari sebelum sadar. Tapi di mana?Vincent memutuskan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya dia mengenakan kemeja non formal dipadu dengan celana katun yang biasa dikenakan untuk bepergian selain ke kantor.Pria itu terdiam mematut dirinya di cermin. Kening
Air mata menetes di sudut mata Stela saat melihat sepasang mata elang yang mengingatkan kepada Vincent. Tubuhnya masih tergantung dengan posisi condong ke belakang, tertahan di tangan pria itu.“Maaf, tadi saya buru-buru jadi tidak melihat Mbak berjalan dari arah berlawanan,” ucap suara bariton yang sangat mirip dengan Vincent.Pria itu kembali menarik tubuh Stela ke posisi berdiri. Sementara mata cokelat lebar miliknya masih memandang paras yang benar-benar mirip dengan suaminya itu.Gue pasti sedang berhalusinasi sekarang. Kenapa mata, suara dan wajah orang ini mirip dengan Vincent? batin Stela saat tubuhnya diam terpaku tanpa reaksi apa-apa.“Mbak? Halo? Mbak baik-baik saja, ‘kan?” Pria mirip dengan Vincent itu menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Stela.“Eh? Ya,” jawabnya singkat.Pria itu mengamati pakaian Stela, kemudian beralih ke wajahnya yang tampak pucat.&ldq
Mata lebar milik Stela perlahan mengerjap. Setelah terbuka sepenuhnya, pandangan netra cokelat itu menyapu ruangan yang didominasi warna putih. Ketika menyadari keberadaannya sekarang, dia berusaha mengubah posisi menjadi duduk. Saat mengangkat tubuh, kepala kembali terasa pusing sehingga tubuh Stela terbaring lagi di atas kasur.“Dokter, Stela sudah sadar.” Samar terdengar suara seorang wanita yang akrab di telinga Stela memanggil dokter.“San, gue di mana sekarang?” lirih Stela sambil menggapai ke arah Santi. Dia melihat selang infus yang terpasang di tangan kirinya.Gadis itu segera mendekati Stela yang masih lemah. “Alhamdulillah. Syukurlah kamu udah sadar, Stela.”Stela mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ternyata Santi membawa dirinya ke rumah sakit Puri Mekar dan sekarang berada di ruang IGD.“Kenapa gue ada di sini?” tanya Stela dengan kening berkerut.“Kamu tadi