Share

BAB 4: Kejadian yang Terlupakan

Stela menutup mulut yang sedikit menganga dengan kedua tangan. Matanya terlihat melebar saat mendengar apa yang dikatakan Candra. Pada berkas data pasien yang diterima dari Dokter Adam, tidak tertera penyebab Anterograde Amnesia yang diderita oleh Vincent.

Anterograde Amnesia biasanya disebabkan oleh cedera pada kepala, karena kecelakaan atau pukulan benda keras. Penyebab amnesia yang dialami Vincent adalah karena pukulan benda keras yaitu besi berukuran besar, sehingga merusak lobus temporal yang bisa mengganggu kemampuan otak untuk mengkonversi ingatan jangka pendek. Pria itu hanya bisa mengingat kejadian baru dalam satu hari, setelah itu ia akan lupa.

“Dia juga nggak ingat dengan kejadian itu?” tanya Stela masih dengan kening berkerut.

Candra menganggukkan kepala, lalu menggamitkan tangan meminta Stela mendekatkan kepala.

Gadis itu lantas mendekatkan kepalanya.

“Kamu benar. Dia sama sekali tidak ingat. Inilah yang membuat polisi tidak bisa melanjutkan penyelidikan, karena hanya Pak Vincent satu-satunya saksi di sana. Tidak ada satu petunjuk maupun sidik jari yang didapatkan dari lokasi kejadian. Saat visum juga tidak terdeteksi cairan itu, karena Si Pelaku menggunakan pengaman saat memperkosa calon istri Pak Vincent.” Candra menjelaskan.

Wajah Stela bergidik mendengarkan cerita pria itu. Dia mengusap pelan tengkuk sendiri sambil menghela napas berat.

“Dia nggak punya musuh? Atau seseorang yang memiliki motif gitu, kayak yang ada di Detective Conan.” Stela menaik-naikkan kedua alis mata.

Candra tertawa kecil melihat ekspresi Stela. “Seorang pengusaha di bidang pertelevisian, apalagi memiliki stasiun televisi berita. Musuhnya ada di mana-mana, Dokter Stela. Apalagi yang memiliki image negatif di masyarakat. Bisa membunuh karakter.”

“Jadi tugasmu sekarang adalah mencari cara mengembalikan ingatan Pak Vincent dan melindunginya,” sambung Candra.

What? Melindunginya?” Mata Stela membesar, berkedip berkali-kali.

“Ya. Tertera di kontrak, ‘kan?” Candra menaikkan kedua alis ke atas. “Mulai hari Senin depan, kamu akan menyamar jadi sekretaris pribadi Pak Vincent, karena dia mulai bekerja lagi di kantor.”

“Hah? Sekretaris? Lo bercanda, ‘kan?” Kedua alis Stela menyatu.

Candra menyipitkan mata dan mendekatkan wajahnya. “Apa kamu tidak membaca kontrak dengan benar?”

Stela menaikkan pandangan ke atas sambil menjepit bibir. “Masa sih? Kayaknya nggak ada deh.”

Pria itu berdiri dan berjalan menuju meja, lalu mengambil salinan surat kontrak yang ditandatangani Stela tadi pagi. Dia menyerahkannya kepada gadis itu.

Stela segera membaca ulang surat kontrak tersebut. Benar, di sana tertera ia harus menjadi sekretaris pribadi Vincent Oliver.

“Kamu harus mengawasinya hampir 24 jam, Stela. Karena itu Bu Widya mencari seorang psikiater yang bisa ilmu bela diri. Si Pelaku bisa menyerang kapan saja setelah tahu Pak Vincent masih hidup.” Candra kembali menjelaskan.

“Buseeet. Mati gue! Bener, ‘kan? Nggak hanya karir gue yang hancur, tapi hidup gue juga, Candra,” celoteh Stela tak sadar saat ini sedang berbicara dengan siapa.

Candra tertawa singkat, melihat raut wajah gemas Stela.

You have no choice, Stela. Kamu harus melakukannya. Kontrak sudah ditandatangani.” Candra tersenyum tipis sambil mengibaskan surat kontrak.

Stela menyandarkan punggung di sofa dengan pandangan ke arah plafon. Dia mengusap kening berkali-kali, sehingga poni yang menutupi kening naik ke atas. Gadis itu mengembuskan napas keras.

Job gue jadi tiga, psikiater, sekretaris merangkap bodyguard. Oh my God!

“Karena itu kamu dibayar mahal. Insentif juga gede, ‘kan? Lima puluh juta per bulan.”

Stela menggerutu dalam hati, namun bibirnya ikut bergerak tidak jelas.

“Pilihannya ada dua, Stela. Melanjutkan kontrak dengan job seperti itu dan kamu akan mendapatkan insentif lima puluh juta di luar gaji. Atau membayar denda satu milyar rupiah.” Candra menaikkan sebelah alis.

Rahang Stela seakan jatuh kebawah, ketika bibir terbuka mendengarkan perkataan Candra. Dia menggerak-gerakkan rahang bawah, sambil menggoyang-goyangkan kaki ke atas - ke bawah mengangkat tumit dengan cepat.

“Satu milyar?” gumamnya sambil memejamkan mata. Stela menggelengkan kepala dengan cepat mengingat dia benar-benar butuh uang.

“Oke. Gue akan lakukan.” Stela menelan saliva, lalu menarik napas dan menyelipkan rambut di balik kedua telinga.

“Sekarang katakan, apa aja yang lo lakukan untuk mengingatkan Pak Vincent dengan kejadian kemarin?” Stela kembali memfokuskan pikiran kepada Candra.

Candra tertawa melihat tingkah Stela yang tidak terlihat seperti seorang psikiater. Dia berbeda dengan psikiater yang pernah menangani Vincent sebelumnya.

“Memberikan sebuah diari, jadi Pak Vincent menuliskan hal-hal penting di sana.” Candra terdiam dan berpikir sejenak. “Menandai berkas-berkas yang telah ditandatangani dan tempat pakaian di lemari jika ada perubahan.”

Stela menganggukkan kepala. “Punya kamera?”

“Kamera?” tanya Candra.

“Ya, kamera untuk merekam.”

“Ada. Perlu ya?”

Stela menganggukkan kepala dengan cepat. “Dia nggak perlu lagi mencatat, tapi menceritakan apa yang terjadi sehari sebelumnya. Besok pagi,  Pak Vincent bisa melihat lagi rekaman itu.”

“Haaa!” Stela memantik ibu jari dan telunjuk bersamaan. “Kita harus pasang CCTV di kamarnya dan juga di ruang kerja ini. Paling nggak itu juga bisa mengingatkannya dengan aktivitas yang dilakukan Vincent sehari-hari. Kayak digital diary gitu.” Gadis itu menaik-naikkan kedua alis dengan cepat.

Candra memperhatikan Stela dengan saksama. Baru saja ia tertawa melihat tingkah konyol gadis itu, sekarang menjadi kagum dengan ide yang diberikannya.

“Aku akan beritahukan ini kepada Bu Widya.”

Stela mengangguk, kemudian terdiam beberapa saat seperti memikirkan sesuatu.

“Candra,” panggil Stela tak lama kemudian.

“Kenapa?”

Mata bulat Stela terlihat mengecil. Dia menggigit bibir bawah.

“Vincent punya diari nggak?”

“Diari yang ditulisnya setiap hari untuk mengingat—”

“Bukan yang itu,” sela Stela, “tapi diari tentang kisah cinta dengan calon istrinya.”

“Buat apa?”

“Penting! Gue harus pelajari dulu, sebelum tentukan metode apa yang akan dilakukan untuk kembalikan ingatan, termasuk masa lalunya.”

Candra berpikir beberapa saat. “Diari Pak Vincent tidak ada, tapi diari calon istrinya ada.”

“Siapapun yang penting gue bisa tahu kisah mereka. Kali aja nanti bisa ketemu pelakunya.” Stela menyengir memperlihatkan gigi kecil yang tersusun rapi.

Pria itu tertawa lalu berdecak, “Ck! Kamu itu psikiater atau detektif?”

“Dua-duanya. Lebih tepatnya, psikiater yang dulu pernah memiliki cita-cita menjadi seorang detektif,” cibir Stela, “kenapa? Nggak boleh?”

“Bukan gitu. Kamu itu sebenarnya tidak terlihat seperti seorang psikiater.”

“Maksud lo?” Stela menekuk wajah.

“Lebih cocok jadi ....” Candra pura-pura memikirkan sesuatu. “Cari tahu aja sendiri lanjutannya.”

Bibir Stela tampak maju ke depan. “Huuu, lo aja nggak tahu lanjutannya, apalagi gue!”

Pria itu berdiri lagi dan berjalan menuju lemari yang ada di sisi kanan ruangan. Dia menurunkan tubuh ke posisi jongkok, membuka lemari paling bawah dan mengambil sebuah kotak berwarna cokelat tua dari sana. Candra kembali lagi ke arah sofa, lalu duduk di sana.

“Dalam kotak ini, ada diari, foto dan beberapa barang yang dimiliki oleh Nona Rania, calon istri Pak Vincent. Kamu bisa baca diari itu pelan-pelan. Ingat jangan sampai nangis apalagi baper.” Candra tersenyum geli membayangkan reaksi lebay Stela saat membaca diari itu.

Pria itu menyerahkan kotak dan sebuah kunci untuk membuka gembok kotak. Dia sengaja menguncinya, agar Vincent tidak bisa membuka kotak itu.

Stela mematut lama benda petak yang diserahkan oleh Candra. Dia menghela dan mengembuskan napas pelan mengingat tugasnya sebagai psikiater, sekretaris dan bodyguard Vincent akan dimulai hari ini. Lebih tepatnya setelah membaca diari Kirania Pratista, calon istri Vincent Oliver yang dibunuh dan diperkosa tepat satu hari menjelang pernikahan mereka.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status