Share

BAB 6: Gadis Bernama Kirania Pratista

Mata bulat Garry semakin membulat mendengar perkataan adiknya. Menjadi psikolog pribadi di sebuah rumah mewah yang pasti penghuninya kaya raya.

“Hah? Ada yang sakit jiwa di sini?”

Stela segera menutup mulut Garry saat mendengar kata sakit jiwa yang keluar dari bibirnya. Dia mendelik dengan gigi beradu, melihat kakaknya.

“Itu mulut bisa dijaga nggak sih?” Stela menatap tajam kakaknya.

“Lha trus kalau bukan sakit jiwa ngapain kamu kerja di sini?” Garry berbisik setelah menyingkirkan tangan adiknya.

“Nggak ada yang sakit jiwa di sini, Uda. Ada sesuatu yang nggak bisa aku ceritakan, karena bisa melanggar kontrak.”

“Kontrak?”

Stela mengangguk cepat. “Sebelum bekerja, ada kontrak yang harus aku tanda tangani. Di kontrak tertulis, aku harus tinggal di sini karena harus menjaga pasien selama hampir 7x24. Eh, ada libur sih sekali seminggu.”

“Sebentar. Pasiennya laki-laki atau perempuan?”

“Laki-laki,” jawab Stela singkat.

“Udah tua?”

Stela menggeleng.

“Umur?”

“Tiga puluh tiga tahun.”

“Waah. Uda bilangin Papa nih,” kata Garry dengan nada mengancam, “Papa nggak bakal izinkan kamu tinggal serumah dengan yang bukan mahram.”

Garry menyipitkan mata, tersenyum usil.

“Makanya Papa jangan sampai tahu.” Stela memajukan bibir bawah dengan memberikan tatapan memelas.

“Emang kamu digaji berapa sih, kok mau-maunya kerja keras bagai kuda kayak gitu?”

Stela mengangkat telapak tangan sebelah kanan, kemudian melingkarkan ibu jari dan telunjuk dengan mengepalkan tangan kiri.

“Lima pul,” —Mata Garry melotot sebelum melanjutkan kalimatnya,—“Lima puluh juta?” Kelopak mata pria itu berkedip beberapa kali.

Stela mengangguk cepat.

Are you serious?”

Kepala gadis itu bergerak naik turun dengan cepat.

“Ada uang tutup mulut nggak nih?” Alis Garry naik turun, sebuah senyuman terukir di sudut bibir.

“Uda? Aku ‘kan mau bantuin Papa lunasin hutang.” Stela menekuk wajah.

“Sepuluh persen aja. Anggap kamu ngeluarin zakat.”

“Kebanyakan zakat sepuluh persen itu.” Stela memutar bola mata.

“Ya udah. Uda telepon Papa, ya,” ucap Garry sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans yang dikenakan.

“Dua juta.” Stela mengacungkan jari tengah dan telunjuk bersamaan.

Garry mengusap pelan dagu beberapa saat, pura-pura berpikir.

“Oke, deal.” Garry kembali memasukkan ponsel ke saku celana.

Stela menekuk wajah dengan bibir mengerucut. Dia terkadang sebal dengan kakaknya ini. Kata-kata ‘Bilangin Papa’ membuat gadis itu selalu tidak berkutik dengan Garry.

“Janji nggak bilang ke siapa-siapa kalau Stela psikiater di sini ya?”

“Emang nggak boleh ada yang tau?”

Gadis itu mengangguk cepat.

“Kalau gitu nambah lagi dong uang tutup mulutnya.” Garry tersenyum jahil.

“Uda?” geram Stela.

“Bercanda. Masa iya, Uda memalak adik sendiri?!” cicit Garry.

“Huu. Tadi namanya apa kalau bukan malakin adik sendiri?” Stela manyun.

Garry membuka mulut, tersenyum lebar.

“Nggak ada niat bawa Papa ke Jakarta dengan penghasilan segitu?” tanya Garry.

“Bawa Papa tinggal di Jakarta, biar ketahuan gitu?” Bola mata Stela naik ke atas kemudian turun lagi.

“He-he ... Bener juga ya.” Garry nyengir.

“Ya udah. Kamu jaga diri baik-baik. Uda nggak mau kamu kenapa-napa.” Garry menepuk pelan puncak kepala Stela.

“Iyaa ... Stela bisa jaga diri kok.”

“Uda percaya kok sama kamu.” Garry mencium puncak kepala adiknya. “Uda balik ke kantor dulu ya.”

“Masih kerja?

“Iya dong. Jam segini belum pulang, Diak (Dek).”

“Bolos?” Stela menatap tak percaya.

“Nggak bolos juga sih. Tadi ada keperluan di luar, trus mampir ke kosan kamu dan berakhir di sini.”

“Mampus nanti dipecat.”

“Itu mulut kok sadis amat ya? Jangan doakan begitu dong,” protes Garry, “udah ah. Nanti keburu jam pulang.”

Garry bangkit dari sofa, lalu melangkah ke luar kamar. Stela mengekor di belakang kakaknya. Baru tiga langkah dari kamar, mereka berdua berhenti saat melihat Vincent keluar dari kamar.

Stela menyikut lengan kakaknya. Garry menoleh ke arah adiknya dan melihat kepala Stela bergerak-gerak.

Vincent memandang mereka begitu menyadari kedua kakak adik itu memperhatikan dirinya.

“Siang menjelang sore, Pak,” sapa Stela.

“Ini kakak kamu?” tanya Vincent to the point.

Stela kembali menyikut lengan kakaknya sambil menggerakkan bibir, meminta Garry memperkenalkan diri.

“Eh. Perkenalkan saya Garry Zayn, kakak Stela.” Gary menggerakkan jari telunjuk ke arah dirinya dan Stela bergantian. “Kakak adik kandung.”

Dia mengulurkan tangan.

“Vincent Oliver.” Pria itu menyambut uluran tangan Garry.

“Kebetulan kakak saya mau balik ke kantor lagi, Pak. Jadi buru-buru.” Stela ingin Garry segera pergi sebelum sempat mengingat wajah Vincent. Bisa bahaya jika dia ke sini lagi dan tahu pria itu tidak ingat dengannya.

“Permisi, Pak.” Stela menunduk sedikit, kemudian mendorong Garry meninggalkan Vincent di depan kamar.

Kedua kakak-adik itu segera turun ke lantai bawah.

“Itu orangnya?”

“Hmmm,” gumam Stela.

Langkah Garry terhenti. Mata besarnya menatap usil pada adiknya.

“Bakalan cinlok (Cinta Lokasi) nih kayaknya.”

“Apaan sih? Sana balik. Nanti dipecat beneran loh.” Stela mendorong kakaknya ke luar.

“Ganteng kayak gitu. Yakin gak naksir nanti?”

Bola mata Stela berputar lagi. “Udah balik sana.”

“Iya, iya. Bawel! Jaga diri,” pungkas Garry sebelum meninggalkan kediaman keluarga Oliver.

Stela mengembuskan napas lega, setelah melihat kakaknya menghilang di balik pagar tinggi yang mengelilingi rumah mewah itu. Seketika dia ingat dengan diari yang diberikan oleh Candra tadi siang. Kakinya melangkah menaiki tangga menuju lantai dua, tempat kamarnya berada.

Saat melewati kamar Vincent, pandangannya melihat sekilas ke arah pintu kamar yang tertutup. Stela terus melangkah ke kamar dan menutup pintu.

Dia segera membuka kotak berwarna cokelat itu. Begitu gembok kecil dilepas, Stela membuka penutup kotak. Terlihat sebuah buku berukuran kecil tapi tebal di dalam. Gadis itu mengeluarkan buku diari berwarna merah muda.

Saat membuka halaman pertama, tertulis sebuah nama Kirania Pratista.

“Kirania Pratista? Nama yang indah,” bisik Stela tersenyum.

Pandangannya beralih ke arah foto yang ada di dalam kotak itu, kemudian mengambilnya. Terlihat seorang wanita muda, berumur 26 tahun, seusia dengan Stela. Rambut hitam panjang terurai. Mata hitam, sedikit sayu, tapi terlihat cerdas dari cara ia menatap.

Sebagai seorang psikiater, Stela bisa melihat Kirania adalah seorang wanita yang cerdas dan terpelajar.

Tangan Stela memindahkan foto yang ada di bagian atas ke bagian paling bawah. Dia melihat sebuah foto lain, kali ini Kirania bersama dengan Vincent. Keduanya terlihat saling bergandengan mesra. Terpancar rona bahagia di kedua wajah mereka. Kirania tersenyum lebar memperlihatkan dua gigi yang memanjang di bagian tengah, seperti gigi kelinci.

“Cantik, smart dan sederhana. Pantas saja Pak Vincent jatuh cinta.”

Stela kembali meletakkan foto-foto itu di dalam kotak. Pandangannya fokus melihat diari yang kini berada di tangannya.

Mata cokelat terang itu bergerak membaca lembar demi lembar diari bertulisan tangan Kirania. Tulisan yang begitu rapi, membuat Stela tidak lelah membaca cerita yang dituliskan.

Gadis itu menyandarkan tubuh di kasur, setelah membaca hampir setengah dari diari itu. Dia menggigit ujung kuku saat menyadari tidak ada petunjuk yang bisa didapatkan dari sana.

Bersambung....

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status