Share

3. Wave in Hawai

——

Matahari yang bersanding dengan langit Waikiki memang terkenal tak pernah mengecewakan. Cerah tanpa awan, sangat baik untuk para turis yang ingin tanning, apalagi anginnya yang sejuk, dan juga suasananya menenangkan. Ditambah dengan ombak yang tak malu-malu derdebur kencang.

Membuat jiwa para peselancar bergejolak ingin segera terjun bersama adrenalin kedalam air melawan ombak.

Begitu juga dengan Maria.

Wanita yang memakai baju renang berwarna biru motif bunga-bunga itu tentu tak ingin menyianyiakan kesempatan yang bagus ini hanya untuk tidur dan menonton siaran drama di televisi. Terlalu membosankan. Ia pergi dari rumah sejauh ini memang untuk melarikan diri, namun Maria juga tidak mungkin mengabaikan keinginan untuk mencebur ke air saat matahari terik.

Maka dari itu Maria menyewa satu slot sesi berselancar pagi ini, dan gadis yang tengah mengikuti pemanasan dengan orang lainnya itu melakukannya dengan baik, tidak terlalu berminat untuk cidera saat liburan.

Apa Maria bisa berselancar?

Tidak. Memegang papan besar yang panjang berwarna putih berpadu kuning dan biru itu pun baru pertama kali ini, Maria takut tenggelam tergulung ombak tentu saja, maka dari itu Maria menyampaikan kalau ia membutuhkan satu pendamping khusus.

Tidak lucu kalau acara pamitan berlibur pada Jane berujung dengan upacara pemakamannya dengan mayat yang mengembung bengkak.

Maria masih mengikuti pemanasan seperti yang lain, gadis itu meluruskan kakinya, menekuk tubuh hingga ia dapat mencium lutut dengan bibirnya sendiri. Menahan posisi itu selama kurang lebih lima belas detik sebelum kembali menegakan punggung.

Saat itu dua netra Maria membola. Picingan serta kerut di keningnya secara gamblang memberitahukan pada dunia bahwa ia terganggu.

Ya bagaimana tidak. Saat ia mengangkat wajah dan menghadap depan, ada satu laku-laki berjongkok didepannya persis, menampilkan senyum manis lengkap dengan tatapan hangat layaknya orang berbicara ‘senang bertemu denganmu kembali’.

Nyatanya, Maria tidak begitu senang dengan kehadiran Edgar disini.

“Ngapain lo?” tanya Maria tak santai, jiwa ketus nan bar-bar dirinya yang biasa telah kembali, disembuhkan oleh tidur nyenyak dan mimpi indah hadiah dari dewi tadi malam.

Sedangkan Edgar tak menunda untuk tersenyum lebih lebar, bahkan sekarang gigi putih milik lelaki itu tak sungkan dipamerkan.

Membuktikan dengan dua matanya sendiri bagaimana Maria yang ia kenal dulu telah hidup kembali. Pancaran mata agresif itu, Edgar mengenalinya dengan baik.

“Hai,” sapa Edgar sembari melambaikan tangannya.

Maria melengos cepat-cepat, ia tidak mau memandang lebih lama lelaki yang menggunakan kaos berwarna hitam tanpa lengan ini.

Edgar terlihat menggigit bibir bawahnya singkat sebelum bertanya pada orang yang tengah mengalihkan pandangan darinya ini. “Suka surving?”

“Pergi, kalo nggak mau gue setrum,” ancam Maria tengik.

Tentu saja.

Edgar tertawa keras. Bahkan dengan tawa renyah dari dua belah bibir penuh itu semua mata yang ada pada jarak dekat dari mereka langsung mengalihkan pandangan mata, menaruh penasaran, ingin tau apa kiranya bahan obrolan yang membuat lelaki manis ini tertawa begitu keras.

Tidak tau saja kalau yang ditanggapi tawa itu adalah satu baris ancaman pembunuhan.

Tawa Edgar perlahan mereda, lelaki itu menarik napas sebelum pandangan matanya menyentuh belah bibir gadis di hadapannya ini, penuh dan tengah terbuka kecil. Berwarna merah hati tanpa diperciki pewarna buatan. Kontras dengan wajah putihnya yang ayu dan juga sentuhan buah ceri di ujung pipi.

Maria, Janela dan teman-teman satu lingkaran mereka memang terkenal dengan kecantikannya diseantero sekolah.

Edgar seketika mengalihkan pandangan. Berdehem sejenak. “Gue guard disini.”

Maria menarik satu ujung bibirnya agar terangkat. “Lo TKI?”

Laki-laki yang kemarin dengan santi bermain bola voli tiba-tiba saja memperkenalkan diri sebagai guard pantai Waikiki? Yang benar saja, otak Maria masih bisa mendeteksi kebohongan itu.

Edgar mengangkat bahu. “Mirip, bantu teman, dapat uang jajan.”

Yah yah yah.

Mana tidak heran. Orang ramah macam Edgar tentu saja punya teman segudang, Maria bahkan tak terkejut sama sekali kalau penduduk asli sini mayoritas mengenal lelaki ini.

Keramahan dan juga tutur manis Edgar tentu mampu membanguan relasi dengan mudah. Tak memandang umur atau jenis profesi, apalagi pangkat, kasta dan semacamnya. Maria yakin Edgar bahkan bisa akrab jika bertemu dengan ayahnya yang punya kepribadian keras.

Tidak terlalu ingin meladeni, Maria akhirnya menekuk kaki, bertumpu pada tungkainya sendiri sebelum memutuskan untuk berdiri.

“Eh, mau kemana?” tanya Edgar secepat Maria bergerak. Dan Maria itu berhasil membuat Maria menunda langkah. Edgar ikut berdiri. “Nggak jadi nyemplung?”

Persetan dengan cuaca cerah atau ombak berderu menggiurkan, Maria ogah kalau yang mengajarinya adalah orang ini.

“Kenapa?” tanya Edgar lagi, padahal untuk pertanyaan sebelumnya pun Maria tidak menjawab sama sekali.

Maria menarik napas sabar, ia memejamkan mata sejenak, menekuk lengan rampingnya didepan dada, menatap Edgar dengan tatapan tajam yang ia punya.

“Karena ada buaya,” jawab Maria jujur. "Dan lo buayanya."

Dan jujur juga, Edgar tidak tau alasan kenapa ada gadis yang mengatakan hal sejenis itu padanya. Apa Edgar pernah membuat kesalahan pada Maria? Apa Edgar pernah menyakiti perasaannya? Edgar memiringkan kepala sekilas, ia yakin tidak pernah, karena dari dulu pun, salah satu dari mereka tidak ada yang pernah memulai obrolan karena merasa tidak terlalu perlu.

Jadi kenapa Maria sepertinya menjauhi Edgar dengan amat?

Edgar mungkin belum mengerti saat ini, namun ia akan cari tau nanti.

“Kenapa kalo ada gue?” tanya Edgar keheranan. Seumur hidup Edgar tidak pernah berbuat jahat sampai ada orang yang terang-terangan menampilkan wajah tak suka padanya, apalagi menolak niat baik lelaki itu dengan alasan seperti Maria barusan.

Tidak pernah ada satu kali pun.

Jadi patut bagi Edgar untuk bertanya bukan?

Maria menatap wajah Edgar datar. Gadis itu kemudian mendongak, mendekatkan wajahnya pada telinga lelaki itu yang terlihat mulai memerah.

“Gue mabok laut liat muka lo,” jawab Maria asal, bisikannya merdu, dan hangat napasnya menghantarkan remang di tiap pori kulit leher sang jejaka.

Setelah mengatakannya Maria dengan sengaja melempar tatapan mata menantang, alisnya menukik sementara tatapan mata mereka beradu, dan kemudian gadis itu mengambil langkah mundur, mengubah ekspresi kilat menjadi datar tak tertolong.

Pergi menjauh.

Edgar membeku ditempat. Mau tak mau harus mengakui kalau darahnya berdesir kala bisik lirih itu memasuki rungunya.

“Princess, lo mau ngurung diri di menara itu?” teriak Edgar setelah sadar dari kebekuan, padahal Maria belum terlalu jauh, masih berjarak paling tidak sepuluh meter dari tempat semula.

Maria menghentikan langkah lagi, membalikan badan. Terlihat menghembuskan napas sebelum menaikan satu alis keheranan.

“Keluar dong Rapunzel jangan di hotel mulu.”

Edgar sepertinya sudah terlanjur nyaman dengan sebutan itu pada Maria.

“Gue baru tau atlet kendo kayak lo suka nonton princess Disney,” ejek Maria terang-terangan.

Dan seperti biasa, Edgar tidak marah, malah menampilkan senyum main-main, menganggap ejekan yang dilontarkan Maria padanya adalah sebuah bentuk kemajuan. Kemajuan yang baik.

“Matahari lagi bagus banget, sayang kalo nggak main air,” ujar Edgar lagi tanpa menghiraukan ejekan Maria soal maskulinitas dirinya.

“Ya oke, lo pergi makanya,” balas Maria. “Biar gue bisa main air dengan tenang.”

Edgar jadi makin penasaran dengan alasan kenapa Maria terlihat begitu anti padanya.

Sumpah. Edgar bukan jenis laki-laki yang perlu dijauhi seekstrim itu.

“Gue pengen main sama lo,” sahut Edgar lagi. Entah sadar atau tidak, namun untuk orang yang mengerti Bahasa mereka akan setuju kalau kalimat itu terdengar ambigu.

Yang tentu berhasil membuat dengkusan kasar dari hidung Maria keluar. Gadis itu memutar mata bosan sebelum memutuskan untuk segera kembali ke hotel.

Tidak mau meladeni orang ini lebih lama.

Sedangkan Edgar yang sadar bahwasanya kalimat yang ia pilih salah pun hanya bisa terdiam ditempat, melihat gadis berpinggang super ramping itu menjauh.

“Main air maksudnya,” ralat Edgar yang hanya bisa didengar dirinya sendiri.

Edgar menunduk sembari menghembuskan napas.

Dua matanya mengedip, sebelum kembali mendongak kearah Maria pergi dan sedetik kemudian menunduk lagi, melihat satu pasang sandal karet berwarna merah muda terkapar tak berdaya dibawahnya.

Edgar mengambil satu pasang sandal karet itu. Tersenyum.

Jadi Maria ini lebih cocok dipanggil Rapunzel atau Cinderella?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
mana aja, asal bukan nenek sihir versi lokal
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status