Share

2. Sunset in Hawai

Satu bulan sebelumnya.

——

Sunset in Hawai.

Patah hati merupakan side menu yang Tuhan berikan pada pentingnya kotak makan siang dalam hidup setiap manusia. Katanya empat sehat lima sempurna.

Terlalu banyak manisan tentu tidak baik.

Maria sudah tau. Ia bukanlah remaja idiot yang mengelu-elukan cinta sedemikian rupa. Maria lebih dari sekedar paham tentang teori bahwa manusia yang berani jatuh cinta harus berani pula hancur karena cinta.

Karena bukan idiot. Maria tentu sudah menyiapkan hatinya kalau-kalau hal semacam itu terjadi padanya. Tepatnya, Maria sudah bersiap saat gilirannya untuk patah hati tiba.

Dan itu terjadi sekarang, atau mungkin dua bulan lalu saat ia memergoki kekasihnya bercumbu dengan wanita yang entah itu siapa, Maria tidak terlalu peduli dengan identitas pecun yang berhasil digaet mantan kekasihnya. Ia hanya menganggap jika benar bahwa hubungannya bersama Justin yang sudah dimulai sejak tiga tahun lalu harus kandas melalui hembus udara ditepi pantai pangandaran.

Dan tentu.

Meski sudah menyiapkan diri sedemikian rupa. Nyatanya. Hati wanita yang terkenal dengan baja dan pendiriannya ini tetap tergores dan lebam. Percayanya dikhianati. Terlampau sakit untuk kembali percaya pada kata-kata konyol seperti cinta.

Maka disinilah ia sekarang.

Melarikan dari pertanyaan teman-teman, menghindar dari bajingan yang masih mencoba menghubunginya dan mencoba mengatakan segala penjelasan omong kosong, dan yang paling penting, menyembuhkan diri perih semalam.

Menginjakan kaki di pasir putih pulau kelapa di Hawai.

Bermain bersama kerang dan satu gelas minuman sementara matanya terfokus pada deburan ombak yang tak mau untuk tenang sebentar. Jangan pernah tenang. Karena Maria akan merasa tak cukup adil kalau hal itu benar-benar terjadi. Tidak benar jika dirinya menjadi satu-satunya yang berantakan.

Oh tuhan. Bahkan perkataanya sekarang terdengar seperti wanita yang sedang diambang perceraian. Maria tersenyum miris. Mellow-melow bukan dirinya sekali, tetapi apa bisa dikata, wanita dimana-mana sama saja.

Maria menghela napas panjang, jemari lentiknya merapihkan anak rambut yang sedari tadi diganggu angin pantai, menyentuh tanpa rikuh hingga setiap pori kulit tubuhnya yang hanya ditutup satu lembar selendang panjang, menyelimuti bikini two pieces yang menjaga bagian paling penting.

Memandang bagaimana senja mulai beranjak dari barat sana. Mengambil gelasnya sebelum menyesap minuman berwarna kebiruan itu dengan dua bibirnya yang berisi dan lembab. Menelan asam sekaligus manis.

Hingga lamunan serta semua pikiran Maria pecah ketika tanpa aba-aba ada satu buah benda bundar mendarat keras di depan dua tungkai kakinya.

Maria memekik spontan. Wanita itu menarik kaki putihnya agar menekuk, menjauh dari bola voli yang baru saja menjadi korban smash manusia tidak beradab.

Untung saja bola itu mengenai pasir disana, bergeser satu meter saja wajah dan tubuh Maria alamat lebam kalau benar-benar tidak beruntung.

Maria mengerjap dengan debar di dada. Dia bahkan hanya mengedip lambat kala ada satu pria mendekat mengambil bola bundar berwarna paduan antara kuning dan biru itu.

“Sorry,” kata pria yang tidak menggunakan atasan itu, dia berkacamata besar dan gelap, kulitnya putih, tubuhnya tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan orang-orang Hawai secara umum, yang berarti orang ini juga pengunjung sepertinya. Jelas punya ras yang sama dengan Maria. Asia.

Namun Maria tidak tertarik untuk repot-repot berkenalan hanya karena orang ini dengannya berasal dari satu benua yang sama. Tentu saja. Ingat bukan bahwa Maria datang dengan hati berkabung?

Maria hanya memandang lelaki berbibir tebal yang tengah terbuka itu tanpa minat, melengos tanpa mengatakan apapun. Menatap senja kembali. Tidak ingin diganggu.

Tetapi sepertinya orang ini terlalu ramah hingga sudah dijuteki sedemikian rupa dia masih bisa berdiri di tempat yang sama tanpa bergerak satu jengkal pun.

“Maria?”

Ketika itu Maria bahkan meragukan kinerja telinganya sendiri.

Maria menoleh. Benar bukan kalau lelaki ini tadi memanggil namanya?

Terbesit sedikit rasa ingin bertanya siapa gerangan lelaki ini sampai bisa mengenalinya, namun dibanding itu Maria lebih-lebih mendesah dalam hati karena kesal usahanya melarikan diri akan diganggu karena bertemu dengan orang yang dikenal.

Maria menyirit, mata besarnya yang indah menyortir bagian tubuh lelaki itu dengan seksama. Mulai dari kaki ujung kaki, paha berotot yang ditutupi celana jeans namun tak berguna karena celana dalam bertulisakan Balenciaga itu terpampang satu baris dipinggul sana, keatas lagi ada pulau coklat putih dengan enam kotak terbentuk, dada, hingga berakhir pada wajah lelaki itu.

Rambutnya coklat, potongannya under cut dan itu cocok untuk perpaduan dahi sempit, hidung kecil, bibir tebal sensual dan janggutnya yang runcing. Kalau membawa pengukur, Maria teringin mengukur seberapa derajat bentukan rahangnya.

Oke. Mungkin Maria terlalu sempurna menjelaskan detail lelaki ini namun begitulah adanya yang ia lihat. Lelaki ini lumayan. Dan yang paling penting. Maria gagal mengenalinya.

“Siapa?” tanya Maria beberapa detik kemudian, suaranya yang halus dan merdu untuk pertama kali mengalun, menggunakan Bahasa ibu.

Pria ini terdiam beberapa saat. Sulit untuk mengetahui apa maksudnya karena mata lelaki ini tertutup sunglasses.

“Ini gue,” sahut lelaki itu setelah beberapa saat, suaranya tak kalah lembut dengan suara Maria, meski kini ada sedikit getar antusias tetapi lembut itu masih ada.

Kemudian salah satu tangan lelaki sempak Balenciaga yang tidak memegang bola voli menarik lepas kaca mata yang digunakannya.

Maria menampilkan wajah datar begitu sadar siapa orang ini. Kerutan di permukaan dahinya hilang seketika, bibirnya membentuk satu garis lurus.

Tau. Jelas tau.

“Edgar,” ujar lelaki berkulit putih itu lagi, senyumnya membentang kelewat ramah dan hangat. “Ingat?”

Siapa yang bisa lupa?

Maria melengos lagi. Menarik napas dalam-dalam.

Siapa yang bisa lupa wajah itu.

Wajah siswa laki-laki yang paling diminati oleh semua siswi perempuan di SMA Maria dulu, seorang atlet kendo dan juga pembelajar yang giat hingga selalu disanjung guru. Ditambah dengan visual dan kepribadian yang ramah tidak sulit bagi Edgar mendapatkan cuitan kagum disepanjang koridor kelas.

Kenapa harus bertemu dia sih! Rutuk Maria dalam hati.

Apa? Mentang-mentang most wanted Maria harus jejeritan saat bertemu dengan orang ini setelah hampir delapan tahun tidak melihat? Tidak akan. Karena dibanding siapapun, Maria tau sekali seberapa busuknya atlet kendo kebanggan mantan almamaternya dulu.

Playboy cap kadal!

Bagaimana Maria bisa tau? Apa Maria pernah jadi salah satu korban playboy ini? Tidak. Bukan Maria. Tapi Jane— sahabatnya, pernah, Jane adalah mantan pacar Edgar sewaktu mereka masih duduk di bangku SMA.

Tidak ada hubungannya sama sekali dengan Maria. Maria saja heran kenapa Edgar masih ingat wajahnya.

Tidak berniat membalas, Maria mulai menguatkan kaki untuk berdiri dan lekas melangkahkan kaki tanpa mengatakan satu patah kata pun.

Mengingat pengkhianatan Edgar kepada sahabatnya dulu membuat rasa solidaritas Maria melambung tinggi, ikut membenci, karena apa yang dilakukan Edgar dulu sama dengan yang dilakukan Justin pada Maria saat ini. Yang berarti, lelaki itu, mereka berdua sama saja. Dan sudah sejak beberapa hari lalu Maria alergi dengan spesies manusia macam mereka.

Namun sepertinya keramahan Edgar kali ini bertahan lebih lama, lelaki itu terlihat mengikuti langkah kecil Maria, mengikuti tubuh wanita yang lebih pendek beberapa centi darinya itu dengan tubuh menyamping.

“Lagi liburan?” tanya Edgar lagi, entah hanya sekedar mencoba membuka obrolan basa-basi atau memang penasaran dengan satu hal itu.

Tanpa melirik sedikitpun Maria menjawab. “Jangan sok kenal.”

“Lah emang kenal kan?” Tedengar kekehan merdu dari dua belah bibir Edgar. Tak marah. Edgar justru menanggapi keketusan Maria sebagai hal yang cukup lucu dan menghibur.

Maria melirik kesamping, sekilas memandang wajah Edgar memamerkan senyum mata yang manis.

Untuk kalian para wanita. Jangan terbuai. Senyum manisnya untuk semua orang, bukan kamu doang.

“Jangan sok akrab,” ketus Maria lagi sembari kembali menatap arah depan. Langkahnya masih melaju dengan ritme yang sama, pelan, meikmati sensasi bagaimana pasir menggelitik telapak kakinya yang telanjang.

Edgar terlihat mengangguk-anggukan kepala sebelum memajukan bibir. “Emang belum akrab, sih.”

Mengakui kalau apa yang dikatakan Maria memang benar.

Mereka memang tidak akrab. Berbicara saja tidak pernah. Pernah, sih. Mungkin hanya satu kali, dan itu waktu Maria melabrak Edgar atas nama sahabat yang sedang patah hati parah hingga tidak mampu marah-marah. Maria yang memaki laki-laki itu dengan deretan nama binatang haram.

Dan berdasarkan sejarah kelam itu, Maria yakin, Edgar tidak seharusnya beramah tamah begini.

“Kesini sama siapa?” tanya lelaki itu lagi, langkahnya masih ikut bergerak membuntuti sang gadis. “Lovely first kiss Janela ikut?”

Dan pertanyaan yang terakhir itu berhasil membuat Maria menarik napas guna menekan kesabaran. Jika ini adalah hari biasa, entah apa yang sudah ia ujarkan sejak tadi, mulutnya yang seksi dan super kreatif ini jelas tidak mungkin tidak mengumpat.

Namun Maria hanya diam. Tidak mengindahkan.

“Lo warnain rambut?” tanya lelaki itu lagi. Dan Maria yakin Edgar tidaklah buta, jelas sekali rambutnya berwarna kekuning.

Maria tentu tidak ingin repot-repot membuka mulut untuk mengatakan itu.

“Cantik kayak Rapunzel,” puji Edgar kemudian, hampir tak bosan sementara kata-katanya dari tadi tak kunjung mendapat balasan.

Siapa yang peduli dengan Rapunzel? Maria bahkan tidak keberatan kalau disamakan dengan Maleficent sekali pun.

Waktu itu sepertinya waktu sudah berhenti. Sabar sudah pergi. Masa yang Maria beri kepada lelaki ini untuk mengganggunya telah habis.

Gadis berambut pirang itu berhenti melangkah, yang membuat lelaki disampingnya melakukan hal serupa. Maria terlihat menghela napas sejenak sebelum memutar tubuh menghadap lelaki ini. Menatapnya sebentar tanpa kata.

“Lo bikin orang-orang liat kearah gue,” ujar Maria saat itu, tidak berekspresi. Mengatakan dengan gamblang bahwa kehadiran Edgar bersamanya disini mencuri atensi turis-turis yang lain. Edgar terlihat menggerakan bola mata mengecek kebenaran. Dan tentu saja itu benar.

Maria melanjutkan saat mata Edgar sudah kembali menatapnya. Mereka memang mencuri atensi. “Itu adalah hal terakhir yang gue pengin sekarang. Jangan ganggu gue.”

Terlihat Edgar yang terdiam.

Mungkin sedang meresapi bagaimana kalimat tajam Maria menusuk rungunya tanpa diduga, melihat dengan jelas bagaimana kosong terpampang dalam pancaran mata gadis yang dulu memakinya dengan tatapan mata yang membara, agresif, dan terlampau panas. Amat berbeda dengan saat ini.

Peka kalau benar saja Maria memang sedang membutuhkan waktu untuk sendiri.

“Sorry,” ringis Edgar dengan senyum menyesal.

Maria tentu lega mendengar itu. karena pikirnya mantan atlet kendo ini akan berhenti merusuh pada liburannya yang berharga.

Maria melanjutkan langkahnya. Kembali menyusuri pantai, mulai mendekat pada garis terdekat perbatasan air dan pasir hingga likuid asin yang selalu dipuja-puja itu menyentuh permukaan kakinya.

Namun bukannya pergi, memecah bayangan indah Maria, Edgar malah mengikuti langkahnya, melanjutkan. Bertanya lagi.

“Lo ada masalah?” tanya lelaki itu.

Maria langsung menoleh. Ia yakin. Tatapan mata sang casanova sesekali turun pada lekuk tubuhnya yang membayang disinari cahaya jingga.

“Berhenti ikutin gue,” tegas Maria.

Dan sepertinya kali ini berhasil.

“As a gentleman. Oke, gue nurut,” balas Edgar, berhenti bertanya, tidak ingin memaksa Maria untuk menjawab rasa penasarannya.

Dan mulai melangkah mundur, sembari menatap intens, dan kemudian menggambar satu senyum manis andalan.

“Tapi just in case lo butuh gue. Datang aja ke bar dekat gerai tattoo disana,” katanya sebelum benar-benar menjauh. “Selamat merenung.”

Maira menghela napas.

Kepalanya menunduk menatap dua kakinya yang basah dan dingin. Ia masih berniat melanjutkan langkah untuk menyusuri pantai. Tetapi karena mood yang hancur dan senja sudah tertelan tanpa disadarinya, Maria memutuskan untuk kembali ke hotel saja.

Merendam tubuh pada kolam mawar dan menenggelamkan segenap masalah yang ia rasakan.

Semoga saja. Bisa tenggelam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status