Share

4. Rose's in Hawai

——

Hawai sudah sore.

Hari ini adalah hari terakhir Maria berada di Hawai kalau menurut jadwal yang sudah ia susun sebelumnya, setelah menghabiskan tiga hari untuk memanjakan ketenangan jiwa dengan keindahan alam, hari ini Maria menggunakan waktu yang tersisa untuk menjelajahi jalanan serta pernak-pernik khas Hawaian.

Meski ini bukan pertama kalinya Maria kemari dan sudah pernah membawa pulang sekarung oleh-oleh khas, namun namanya wanita, pasti ada saja, entah itu cuma lihat-lihat atau memang benar punya niat membeli souvenir untuk buah tangan, yang namanya berkeliliing toko itu wajib.

Maria sendiri masuk dalam golongan wanita kebanyakan, menyukai perbelanjaan, maka meski tidak butuh dan meski orang rumah tidak mengharapkan oleh-oleh apapun ia masih mau berkeliling untuk mencari goods yang indah untuk dibawa pulang.

Tiga kantong besar sudah ada ditangan kanan gadis yang menggunakan dress hitam selutut tanpa lengan itu, sementara tangan kirinya memegang satu cone ice cream rasa vanilla yang sudah dimakan dan tinggal separuh badan.

Menyusuri jalan sebelum kemudian melewati sebuah gerai tattoo yang tidak terlalu ramai. Maria menghentikan langkah, menjilat lagi ice cream ditangannya sembari menilik kedalam gerai tattoo itu.

Tattoo?

Satu pikiran muncul tiba-tiba. Menyerukan kembali apa yang pernah ia inginkan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, Maria ingin punya tattoo. Tidak terlalu ingin sebenarnya, sudah tidak terlalu ingin, namun sekarang keinginan itu muncul kembali kepermukaan. Secara tiba-tiba, entah apa sebabnya.

Maria memasuki gerai yang berukuran tak terlalu besar itu, di dinding dan juga kaca-kaca sana penuh dengan berbagai design dan juga foto-foto tattoo manusia di berbagai bagian tubuh, Maria menginjakan kaki berbalut sandal rotan yang ia beli kemarin sore di lantai berkeramik itu, sementara matanya masih asyik menyusuri apa yang bisa dilihat.

Terus melihat-lihat, sembari sesekali menyesap ice cream di tangan yang tau-tau sudah menjalar turun hingga ke punggung tangan. Maria cepat-cepat menyesapnya, mencegah agar dessert manis yang lengket itu tidak lebih melebar.

“Mau tattoo?”

Waktu itu Maria tidak bisa tidak terlonjak.

Ia memekik bahkan ketika bibirnya masih menempel pada tangannya sendiri. Memutar mata kepada arah suara, meksi tanpa melakukan itu sekalipun Maria bisa tau siapa orang yang mengatakannya.

Menatap dengan mata yang bulat pria berkulit putih yang dua hari ini tidak pernah absen dari pandangan matanya. Maria menjilat kembali ice cream ditangannya yang kiranya berpotensi meleleh.

“Lo ada dimana-mana,” katanya sembari menjilat bibir.

Edgar menaikan satu alisnya.

Ia tau. Wanita agresif ini hanya melakukan hal yang biasa dilakukan oleh orang lain, memakan ice cream, membersihkan sisa jejak manisnya dengan menjilat bibir, lumrah, dan Maria juga melakukannya barusan, membasahi bibir yang lengket dengan saliva, menyesap minuman dingin itu dengan cara yag biasa.

Tidak ada maksud menggoda sama sekali.

Dan Edgar juga tau ia tidak seharusnya berdebar hanya karena melihat Maria melakukan itu. Ia tidak seharusnya terdiam dan tidak menjawab apa yang gadis itu katakana padanya dan malah terpaku pada wajah ayu sang dara.

Apa yang ia pikirkan sebenarnya.

Edgar mengambil napas sembari menunduk, matanya mengedip sebelum kembali mendongak. Tersenyum kecil. Membalas komentar Maria tentang keberadaan dirinya.

“I am,” jawabnya singkat sembari mengangkat bahu.

Dan kalau tidak salah.

Jika mata Edgar tidak sedang bermasalah, Maria terlihat menganggukan kepala santai, tidak menunjukan ke’anti’annya pada Edgar seperti sebelumnya.

Maria meletakan kantong belanjaannya di lantai, tepatnya di sebelah tembok yang kosong. netra gadis berambut pirang itu kembali menelusuri gambar-gambar di sana.

Dan Edgar juga menelusuri gerak-gerik Maria.

“Nyari duit juga disini?” tanya Maria setelah beberapa saat, menoleh kembali pada Edgar sebelum menggigit sedikit ice cream ditangannya.

Edgar menggeleng. “Enggak. Bantu temen.”

Kan, pria ramah seperti Edgar memang punya teman dimana-mana.

“Gue mau,” ujar Maria cepat sembari membuang sisa ice cream vanilla itu ke dalam tempat sampah.

Memandang Edgar yang masih menatapnya, kini ada kerlingan ragu sedikit dari mata sabit laki-laki itu. Edgar terlihat menganggukkan kepala layakanya orang berpikir sebelum memiringkan badan dan berkata.

“Ayo masuk,” tawar Edgar, mempersilahkan Maria untuk memasuki ruang di gerai tattoo lebih dalam.

Dan Maria tidak keberatan untuk ikut. Tentu saja. Langkah kaki panjangnya mengikuti kemana Edgar melaju, mengikuti dengan mata yang masih mengedar ingin tau apa saja yang ada di dalam sana.

Hingga tidak jauh, hanya berjarak dua ruangan kecil akhirnya Edgar mempersilahkan Maria untuk duduk diatas sebuah benda yang mirip dengan brangkar di rumah sakit. Sementara lelaki itu sibuk dengan peralatan-peralatan yang Maria tidak tau apa nama dan fungsinya, Maria melangkahkan kaki dan mendaratkan bokong di atas brangkar tersebut.

Masih menjadi detective dengan melihat-lihat isi ruangan sempit ini. Hingga pandangannya jatuh pada punggung Edgar didepannya.

Edgar memakai sarung tangan karet, ia mendorong meja berisi jarum-jarum tajam dan kemudian duduk di kursi yang berada tepat di depan dua kaki Maria.

Benar, tepat didepan kaki gadis itu.

Maria sontak merapatkan kakinya, karena kursi yang diduduki Edgar jauh lebih rendah dari tinggi brangkar yang ia duduki, dan ia juga hanya menggunakan dress sebatas lutut. Jangan lupa. Dengan jarak ini, Edgar jadi bisa menghirup aroma parfume mawar yang gadis itu keluarkan.

Apalagi sekarang laki-laki itu menaruh tangan tanpa rikuh di kedua sisi tubuh Maria. Hingga mengungkung daya gerak sang gadis disana.

“Mau tattoo apa?” tanya Edgar setelahnya. Mata pria itu menatap Maria, tanpa kilau berlebihan dan hanya tatapan ramah seperti biasa, layaknya orang yang tengah menunggu jawaban.

Maria terdiam, ia menelan ludah ketara, merasa amat canggung dan sedikit risih. Sebelum gadis itu memutuskan untuk melirik kebawah dimana Edgar setia menatapnya, Maria bukan anak sekolah yang polos, ia teramat paham kalau posisi duduknya saat ini amat riskan.

Maria menarik napas, gadis dua puluh enam tahun itu mencondongan tubuh pada Edgar dengan sengaja, membuat sang pemuda menyirit perlahan, dan tak bisa untuk tidak mundur, tatapan mata diruang remang yang hanya berisi dua orang itu tentu tidak bisa dikatergorikan dalam bentuk wajar.

Edgar bisa mencium dengan jelas aroma sabun dan juga wewangian yang digunakan Maria sore ini. Aroma mawar itu tak lagi samar. Mau tak mau harus mengakui kalau hidung kecilnya amat beruntung karena bisa menikmati aroma mahal milik wanita yang juga terkenal mahal ini.

Melihat ekspresi wajah Edgar yang perlahan berubah karena terpengaruh olehnya, Maria pun mengangkat alis jumawa, gadis itu mundur kembali, mematahkan ekspektasi sang tuan, seraya berkata.

“Lo punya tattoo?” tanya Maria.

Wanita mahal memang suka mempermainkan. Edgar mengulas senyum geli terang-terangan.

Sadar bahwa tadi Maria tidak nyaman dengan kedekatan mereka hingga gadisi itu melakukan suatu hal agar Edgar bisa menjauhkan badan.

Edgar mengangkat bahu sebelum menggeleng. “Belum.”

“Belum?” tanya Maria memastikan pendengaran.

“Nunggu ijin,” balas Edgar lagi, ia memang belum melukiskan satu apapun di atas kulit tubuhnya. Dan Maria masih menunggu lanjutan dari pria itu. Edgar mengambil napas. “Nunggu ijin Ibu.”

Dan detik itu pula, Maria menampilkan muka yang super duper aneh.

Mendecih keras-keras. Tidak percaya sama sekali.

Hei, mana mungkin anak muda di jaman ini masih mau menminta ijin atau mendengar perintah orang tua sebagai patokan perilaku. Apalagi ini Edgar yang jelas-jelas notabenenya casanova paling buaya sejagad raya.

Maria saja yang sedikit takut pada orang tua tidak terlalu mendengarkan apa kata merka dan selalu melakukan semua hal sesukanya, apalagi anak laki-laki macam Edgar.

Edgar tertawa renyah, senyumnya geli, melihat wajah Maria yang mengerut tak percaya.

“Keren kan cowok ngomong gitu?” tanya Edgar kemudian dengan nada main-main.

Memutar bola mata malas, Maria kemudian meraih satu album foto, atau mungkin tepatnya album sample tattoo yang ada di atas meja di dekat jarum-jarum yang Edgar siapkan tadi.

“Kebanyakan ngibul baek-baek nanti bisa mandul,” celetuk Maria asal sembari mulai membuka lembar demi lembar album itu, memeriksa tulisan dan juga gambar-gambarnya.

Mendengar celetukan Maria, Edgar segera melebarkan mata, lelaki itu langsung mengetuk permukaan meja dan juga kepalanya bergantian sembari meramalkan kata ‘amit-amit’ berulang-ulang. Takk percaya dengan kalimat yang diucapkan wanita didepannya ini.

“Astaga, mulutnya,” ujar Edgar dengan gelengan prihatin.

Maria mengangkat bahu tak peduli. “Mulut gue mah seksi.”

Benar sih. Edgar juga mengakui untuk yang satu itu. Namun, kata-kata yang keluar dari dua belah bibir seksi itu yang bermasalah. Meski Edgar yakin sekali kalau dirinya serratus persen sehat, mampu membuahi seorang perempuan, menghasilkan anak atau apalah itu istilah yang benar.

Dan Edgar juga tau Maria hanya asal bicara, namun, apa mereka sudah sedekat itu sampai bisa bercanda soal kemandulan?

Edgar diam-diam menahan senyum. Mungkin memang sudah lebih dekat tanpa sadar.

“Lo bisa gambar emangnya?” tanya Maria tiba-tiba, jemari lentik berkuku panjang milik gadis berambut pirang itu masih setia membolak-balik lembaran album foto ditangannya.

“Bisa,” balas Edgar cepat.

Maria menutup album ditangannya dan meletakan album itu ketempat asal. Gadis itu tidak ragu untuk percaya kepada kemampuan Edgar karena ia memang sudah tau kalau seni lukis, menggambar, dan prakarya seni lainnya memang dikuasai oleh laki-laki itu.

Maria sudah pernah bilang kan, Edgar itu popular, jadi wajar kalau Maria tau.

“Gue mau mawar, tapi bukan yang jiplak,” kata Maria lagi, mata gadis itu menatap lurus pada dua netra coklat milik Edgar. Meminta digambarkan satu kuntum mawar yang belum pernah digambar siapapun, yang tidak ada duanya, yang merupakan hasil imajinasi Edgar sendiri.

Dengan kata lain, Maria mengijinkan Edgar untuk menjadikan kulit putihnya sebagai kanvas atas kreatifivas laki-laki itu.

“Mau tattoo dimana?” tanya Edgar setelah beberapa saat.

Tanpa berpikir, Maria sedikit melebarkan kaki, membuat Edgar mengangkat alis lagi, tanpa diduga Maria menyentuh satu area diantara paha dalam, paling dekat dengan yang sensitive, namun agak lebih atas sedikit dilekukan tulang pinggul.

Edgar mengedipkan mata, alisnya terangkat lebih tinggi. Oke, memang wajar, tattoo bisa dilukis dimanapun semau orangnya, namun ini Maria. Dan artistnya adalah Edgar.

Edgar menatap tangan Maria yang masih bertengger di selakangan dan juga mata gadis itu bergantian. Lelaki itu memiringkan kepala ragu.

“Lo rela gue ngelukis disana?” tanya Edgar dengan nada jahil.

Ya tentu.

Maria harus rela mengangkat rok serta melepas celana dalam kalau memang mau digambarkan sebuah Mawar disana, yang tertutup hanya area sensitivenya saja. Dan Edgar sangsi, gadis ini tidak akan setuju kalau Edgar melihat kulit cantiknya itu terekspose, apalagi Edgar juga harus menyentuh kulit itu.

Namun diluar dugaan Edgar, Maria justru mengangkat bahu lagi, tidak terlalu peduli.

Tidak keberatan Edgar melihat atau menjamah sebanyak itu.

Edgar terdiam.

Gadis ini memang selalu diluar dugaan.

“Lo cantik,” kata Edgar tiba-tiba.

Maria mendengarnya, ia diam sebelum membuat senyum terpaksa. Mengangguk. “Tau.”

Edgar pun setuju. Dan laki-laki itu memuji lagi. “Kulit lo juga bagus.”

Maria masih mendengarkan, matanya lurus menatap Edgar yang juga tengah menatapnya dengan tatapan serius. Tau. Kalau dibalik kata-kata pujian dari bibir penuh milik lelaki itu terdapat makna yang lain, Maria harus menyadari keindahan yang sudah ia punya sehingga gadis itu akan berpikir dua kali jika mau mengubahnya.

Dengan kata lain. Edgar berusaha agar Maria membatalkan niat untuk mentattoo tubuhnya.

“Lo gak mau gambarin?” tanya Maria dengan senyum yang manis, memiringkan kepala. “Kalo nggak mau, panggilin yang lain.”

Dan Edgar lebih sangsi kalau ia harus meminta salah satu temannya untuk membuat tattoo ditubuh Maria. Jelas. Bukan itu yang ia inginkan.

“Ntar lo nyesal,” bujuk Edgar lagi, ia masih duduk di kursi yang sama, hanya saja kali ini Edgar berhasil menarik kursinya agar berada lebih dekat dengan Maria. Edgar ikut menunjuk area tattoo yang diinginkan Maria dengan pandangan matanya. “Kalo disana, hapusnya lebih sakit.”

Maria menarik napas, mencoba untuk tidak terintimidasi, gadis itu malah-malah ikut mencondongakn diri, menopang tangan di tepian brangkar, mendekatkan wajah hingga jarak antara ia dan Edgar hanya bersisa satu jengkal.

Dilihat dari jarak sedekat ini. Dua-duanya serasa tenggelam kendati yang dilakukan mereka hanyalah sekedar godaan. Apalagi dari tadi netra elang milik Edgar tak henti melirik mata, hidung dan juga bibir Maria bergantian. Disiram cahaya temaram, Edgar mengakui, kalau gadis didepannya saat ini benar-benar cantik adanya.

Dia diberi kesempatan emas, maka tidak seharusnya dilepaskan.

Bisa dilihat kalau Maria juga melakukan hal yang serupa, menggoda, setelah beberapa detik saling menatap gadis itu kemudian mengulas senyum kecil, bahkan mampu mendecih lucu.

Sedangkan Edgar diam ditempatnya, masih menikmati apa yang tersaji di mata.

“Kalo udah digambar gak akan gue hapus juga, darling,” balas Maria akhirnya mengenai peringatan Edgar soal sakitnya hapus tattoo.

Memangnya siapa yang peduli dengan sakit karena jarum diusianya yang sekarang?

Tattoo bukanlah hal besar, namun sepertinya Edgar memang benar-benar ingin membuat Maria mengurungkan niatnya itu. Entah kenapa.

“Keinginan orang berubah-ubah tiap saat,” kata Edgar lagi saat dengan terang Maria tidak mau mendengar apa yang ia katakan. “Gue mau tattooin, tapi kalo benar-benar mau disana, lo janji dulu, yang hapus juga harus gue.”

Dan kala itu, Maria tidak bisa untuk tidak mendecak sebal.

Mata terang gadis itu memutar pertanda kesal sebelum ia menatap tajam Edgar yang masih menatapnya dengan padangan yang sama.

Maria mengangkat tangan dan mendorong tubuh Edgar agar menjauh, dan benar kalau Edgar mundur hingga kursinya ikut juga, Maria segera turun dari brangkar yang ia duduki, berniat berlalu pergi sembari berkata.

“Nggak jadi. Ribet lo.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status