Share

5. Night in Hawai

“Hai, Rapunzel,” suara manis yang dibuat setengah berteriak itu terdengar jelas di telinga ketika Maria baru mendaratkan bokongnya di salah satu kursi di depan bar table.

Maria tidak percaya pada sebuah kata yang orang-orang sering bilang dengan kebetulan. Presentase pertemuan antara jumlah manusia dibumi dengan masa yang ada tidak memungkinkan untuk dua orang bisa bertemu secara tidak sengaja.

Dan sekarang?

Lihat siapa laki-laki yang menggunakan kemeja putih yang dua kancing paling atasnya itu dibiarkan terbuka, membuat dada yang kemarin sore Maria lihat nyata diterpa cahaya senja kian mengintip tanpa malu.

Edgar disini.

Mungkin dia memang benar-benar TKI yang dikirim ke Hawai, namun apakah boleh seseorang merangkap pekerjaan sebanyak ini dalam satu hari?

Tadi siang Maria menemui Edgar di kelas berselancar, sorenya Edgar digerai tattoo, dan sekarang? laki-laki ini sudah bertengger cantik di belakang meja bar sebuah club ditanah Hawai. Sehari tiga kali mereka bertemu. Hampir gumoh Maria dibuatnya.

What’s your order, cantik?” tanya Edgar satu kali lagi, lelaki yang usianya sama dengan Maria itu menopangkan tangan diatas meja bar tepat dihadapan gadis bergaun merah ini.

Maria menyugar surai pirang sepinggang miliknya kebelakang, jadi pertemuannya dengan Edgar yang kali ini juga apa karena kebetulan?

Tapi just in case lo butuh gue. Datang aja ke bar dekat gerai tattoo disana,’

Maria tiba-tiba teringat waktu Edgar mengatakan hal itu padanya, benar, Edgar sudah pernah bilang sebelum ini kalau dia Maria bisa menemui laki-laki itu di bar yang ada di dekat gerai tattoo. Maria baru mengingatnya.

Jadi jelas, kali ini pertemuan mereka memang bukan kebetulan atau aksi menguntit yang dilakukan Edgaar seperti dugaan Maria saat awal datang.

“Lagavulin, please,” jawab Maria, mengucapkan nama minuman yang ia inginkan malam ini, sembari menatap mata sabit lelaki yang tampiannya terlihat lebih rapih dan tampan dari sebelumnya itu.

Dan setelah itu, menyimpan keterkejutan tentang pengetahuan Maria perihal alcohol Edgar pun langsung meraih satu gelas kosong dan membuat racikan seperti yang gadis itu inginkan. Dengan handal dan cekatan Edgar membuat minuman, Maria yang melihat pun cukup terhibur dengan gerakan tangan Edgar dan juga ekspresi lelaki itu.

Wajah Edgar yang biasanya serampangan dengan senyum jahil terlihat datar tanpa senyum sama sekali, seolah membuat alcohol adalah ujian terkahir dalam hidupnya.

Setelah selesai dengan minuman itu, Edgar pun mendorong gelas yang sudah diisinya dengan Lagavulin kedepan Maria.

“Lo ada dimana-mana.” Edgar meniru cara bicara Maria tadi sore sembari mengedip satu matanya. Menjawab kalimat terimakasih Maria dengan kerlingan gatal.

Maria merotasi matanya malas. Mengambil gelas kecil yang diberikan Edgar lalu mulai mendekatkannya kebibir sebelum sembari berkata. “Gue suka bule. Yang gede.”

Masa bodoh.

Maria juga tidak tetarik dengan apa yang Edgar pikir tentangnya setelah ini. Maria hanya perlu mendekralasi sebuah keputusan mutlak bahwa ia tidak menerima kegenitan Edgar mau bagaimanapun bentuknya.

Bukannya menilai aneh, Edgar justu tertawa renyah mendengar kalimat Maria. Yang gede, katanya. Haruskah Edgar mengatakan apa yang disukanya juga?

“Informasi yang berguna,” balas Edgar sesaat setelah tawanya berhasil reda.

Sekarang sudah hampir tengah malam. Dan Edgar sudah hampir pingsan karena lelah hari ini, namun ajaibnya Maria berhasil membuatnya tertawa dan melupakan penat sejenak.

Jemari Edgar terlihat melepas apron yang ia pakai di batas pinggangnya, melipat apron itu karena berniat pulang lebih cepat dari hari biasa. Edgar menatap Maria yang tampak menikmati minumannya tanpa gangguan sama sekalli, kenyataan bahwa Maria bisa menyesap minuman itu dengan tenang, meskipun kandungan alcohol yang ada tidaklah sedikit membuat Edgar tersenyum dalam hati.

Seperti dugaannya. Maria, gadis ini kuat minum.

Edgar melangkahkan kaki berbalut slipper santai yang ia kenakan memutar meja bar, keluar, lalu dengan natural mengambil kursi kosong di sebelah Maria. Memandang seksama bagaimana cantiknya Maria dibalut busana berwarna merah.

Maria sebenarnya tidak berniat mampir ke bar malam ini, mengingat ia harus flight kembali ke Indonesia besok siang, dan tentu mabuk merupakan mimpi buruk, namun setelah memikirkannya sebentar, rasanya seperti merugi, apalagi Maria memang biasanya minum disini kalau sedang datang ke Hawai.

Maria juga merasa, ia tau, betapa Edgar tak mengalihkan pandangan dari dirinya. Lelaki berkemeja putih yang tengah duduk disampingnya itu bahkan tidak melengos sedikitpun. Maka karena risih Maria pun segera menoleh. Menatap terang-terangan seakan mengatakan ‘mau apa lo?’.

Dan sintingnya. Edgar malah tersenyum lagi. Ramah sekali.

Membuat Maria berpikir kalau settingan lelaki itu memang sudah diatur untuk nyengir setiap saat.

“Lo liat cewek yang disana?” tanya Edgar tiba-tiba sembari menunjuk arah belakang tubuhnya dengan sebuah gerakan kepala. “Dia dari tadi ngliatin gue mulu.”

Maria secara otomatis mengikuti arah yang ditunjuk Edgar, menilik tipis ke belakang bahu lelaki itu. Dan benar, ada satu orang perempuan berpakaian terbuka yang sedang curi-curi pandang kearahnya- ah, mungkin lebih tepatnya kearah Edgar.

Terus?

Maria mengembalikan pandangannya pada Edgar, membalas senyum pada belah bibir berselimut lipstick merah muda itu.

“Cowok yang dibelakang lo juga minat sama gue, nggak usah pamer,” balas Maria selanjutnya.

Dan Edgar tidak memutar kepala atau bahkan mengalihkan pandangan matanya sama sekali. Ia sudah tau. Bahkan mungkin sebelum Maria sadar kalau dirinya diperhatikan, Edgar sudah terlebih dahulu tau kalau primadona ini menjadi landasan fantasi para laki-laki disana.

Dan itu wajar. Lagipula siapa yang tidak tergoda untuk menoleh lebih lama? Maria yang menggunakan dress merah tanpa lengan dengan rambut tergerai dan juga make up tipis ini terlihat amat menawan dengan kulit putihnya yang bersih. Siapapun akan menaruh minat.

“Bukan pamer,” sahut Edgar lagi, laki-laki itu mulai menupu lengan diatas meja bar. Membuka mulut guna menjawab. “Gue nggak berniat buat bawa siapapun pulang malam ini.”

Maria tidak menjawab.

Apa ia benar-benar harus mendengarkan informasi setidak penting ini?

Gadis jelita yang manis ini bertopang dagu, menunggu Edgar melanjutkan maksud perkataanya. Karena tidak mungkin lelaki ini berdiam disana hanya untuk memberitahu Maria hal seremeh itu.

Edgar memiringkan kepala, ia menunjuk gerombolan pria yang memandangi Maria terang-terangan. Membuat mereka segera mengalihkan arah pandangan. Maria ikut memandang mereka beberapa saat.

“Dan apa lo mau ikut mereka?” tanya Edgar lagi.

Maria yakin sekali telinganya ini selalu diperiksa setiap tiga bulan sekali bersama dengan check up keseluruhan, dan Maria percaya serratus persen dengan dokter keluarganya. Yang berarti, ia tidak budek sedikitpun, tidak punya congek atau apapun itu benda yang menyumbat kemampuan mendengarnya.

Dan Edgar bertanya apa tadi?

“Apa?” balas Maria sembari menaikan satu alisnya.

Edgar pikir Maria ini wanita macam apa sebenarnya? Apa karena tadi Maria bilang kalau ia suka itu yang besar jadi Edgar berpikir kalau Maria mau dengan siapa saja? Penting besar dan tidak peduli orangnya?

Gila saja.

Baru saja Maria hendak menyemprot Edgar dengan kata-kata mutiara yang sudah ia siapkan, pria tampan berbibir penuh itu kembali berkata, membuat Maria menelan mutiara itu kembali.

“Gue antar lo pulang,” kata Edgar tiba-tiba. Tidak ada angin tidak ada hujan.

Maria menyirit dalam-dalam.

“Jadi mereka pikir kalo kita pasangan, dan nggak akan ada yang ganggu,” lanjut Edgar lagi, dan kalimat itu seketika membuat Maria mengerti.

Maria mengulas senyum semanis madu. “Thank you tawarannya, Gantleman.” Gadis itu mengaangkat tangannya yang cantik guna menepuk pelan pundak Edgar, sedikit memberi tekanan pada tepukan paling akhir. Maria menatap mata Edgar dalam-dalam. “Tapi, gue tau cara menghadapi cowok-cowok macam itu.”

Menolak.

Edgar sendiri tidak terlalu memikirkan penolakan Maria barusan, ia malah bungkam dan justru menatap bagian tubuhnya yang baru dijamah jemari lentik itu. Sedangkan yang punya jemari sudah kembali menghadap depan dan mulai menyesap kembali minuman miliknya tanpa memikirkan efek perbuatannya barusan.

“Lelaki punya cara yang nggak bisa lo tebak,” kata Edgar tanpa nada yang bercanda. Jahilnya telah raib sejak Maria menatapnya dengan pandangan berbeda, ditambah dengan elusan kecil yang diberi gadis itu pada permukaan pundaknya.

Maria meletakan gelasnya dimeja, ia menoleh. Kini satu percik merah bunga ceri hadir menghiasi puncak pipinya. Lelaki punya cara yang tidak bisa ditebak? Maria menjawab dengan santai. “Kayak yang sedang lo lakuin sekarang?”

Edgar tidak bisa tidak tersenyum mendengarnya.

“Gue pengecualian,” meski memang Edgar menaruh minat, tapi ia menolak untuk setuju kalau dikatai sedang modus saat ini. Edgar benar-benar tidak ingin membawa siapapun pulang malam ini. Dan Edgar juga yakin Maria keberatan untuk menerima gangguan dari para pria disana. “Lo nggak bisa remehin mereka.”

Maria terlihat menggeleng pelan, gadis itu membuka bibir sebelum memejamkan mata sejenak. Mungkin hanya dua detik, sebelum Maria membuka matanya kembali dan tersenyum lebih lebar. “Gue juga nggak remehin lo.”

Edgar menarik napas pelan.

Ragu dengan pendengarannya sendiri. Ia bisa berasumsi kalau sekarang ini Maria sudah mabuk, namun melihat perilaku gadis itu yang masih dikatergorikan normal Edgar segera mengurungkan asumsinya.

Maria cuma berniat mengembalikan kata-katanya saja, gadis ini tidak mabuk hanya karena satu gelas Lagavulin.

Edgar juga tidak bisa mengabaikan pendapat Maria tentang dirinya ini, Edgar sudah terkenal sebagai seorang pemain sejak sekolah menengah, jadi wajar kalau Maria menjawab dengan serampangan juga segenap kalimat meragukan begitu.

Dan pria rupawan itu pun memutuskan untuk tidak membalas.

“Jadi?” kata Maria lagi saat menyadari kalau Edgar diam saja. “Gimana kalo kita urusin urusan masing-masing aja, darling.”

——

Maria sadar betul dengan apa yang dikatakannya. Ia tidak perlu repot-repot membuka kamus untuk tau apa arti dari kalimat yang ia ucapkan terakhir kali. Namun sepertinya, tidak dengan Edgar.

Bagi laki-laki itu, mungkin kalimat Maria lebih sulit dijabarkan dari morse pramuka yang dikuasainya dulu. Karena sumpah. Maria masih memakai Bahasa manusia, dan bukannya pergi mengurusi masalah masing-masing seperti yang Maria minta, Edgar justru tetap duduk ditempatnya.

Meminta satu gelas alcohol juga. Meladeni beberapa wanita yang datang padanya dengan senyum ramah yang penuh tipu muslihat, dia bahkan rela-rela saja ketika salah satu dari wanita tadi merangkulnya mesra. Hanya memberi senyum jahil yang khas dan juga guyonan-guyonan creepy bagi telinga Maria.

Maria mendesah dalam-dalam.

Matanya melamun, bahkan saat sudah melarikan diri sejauh ini, menegak alcohol sebanyak ini, dan menghabiskan masa selama ini, Maria masih bisa mengingat masalahnya saat ia tidak melakukan apapun. Membuat Maria merasa kalau semua yang ia lakukan saat ini adalah sia-sia. Karena sekeras apapun ia mengabaikan, pada akhirnya Maria akan dihadapkan pada hal itu kembali.

Justin dan presesi sialannya kembali memenuhi kepala Maria.

Waktu sudah menunjukan tepat pada tengah malam. Maria melirik pada bartender diseberang sana, meski merasa kalau ia sudah harus pulang Maria tidak menahan tangannya untuk terangkat kembali.

Memanggil sang bartender tadi, meminta satu gelas minuman lagi.

Tentu.

Satu gelas minuman lagi kalau saja orang yang sedang asyik mesra disampingnya tidak menginterupsi, berucap dengan kata-kata yang tegas.

“Nggak, lo udah habis tiga gelas,” kata Edgar tiba-tiba, dengan tatapan mata yang tidak bisa dibantah, namun Maria hanya membalasnya dengan pancaran tanpa minat. Edgar beralih pada bartender yang dipanggil Maria. “Not for sure, Ben. You can go with another order there.”

Social butterfly itu menatap bartender yang dipanggil Maria dan menyuruhnya untuk tidak membuatkan satu minuman lain untuknya. Dan tanpa banyak kata pula sang bartender yang tadi langsung pergi dan memenuhi perintah Edgar.

Maria menghela napas pendek, ia bahkan tidak sadar kapan para penggoda Edgar pergi, Maria hanya sibuk dengan pikirannya sendiri hingga tidak menyadari bahwa Edgar telah menaruh perhatian kembali padanya, entah sejak kapan.

Jemari lentik Maria mengangkat gelas miliknya yang sudah kosong tanpa mengalihkan pandangan. “Tiga gelas nggak bikin gue tipsy.”

“Gue mencegah itu,” sahut Edgar sembari mengangkat bahunya sekilas.

Dan Maria juga tidak terlalu ingin mendebat lebih jauh kendati dalam hati ia amat sangat sebal dengan tingkah Edgar barusan.

Memangnya siapa yang peduli dengan mabuk? Persetan dengan penerbangan pulang, Maria bahkan tidak keberatan untuk menetap disini lebih lama kalau memang diperlukan. Yang paling Maria butuhkan saat ini adalah agar ia lupa. Dan Maria tidak menemukan cara lain selain mabuk.

Edgar mengerutkan kening sekilas, laki-laki itu menarik napas kecil.

Memandang gadis yang ada di hadapannya saat ini. Yang tanpa disadari mulai melamun lagi.

Edgar tidak tau permasalahan jenis apa yang tengah dialami Maria sampai-sampai gadis itu melamun tak henti-henti, apa sangat mengganggu pikiran?

You okay?” tanya Edgar setelah beberapa saat.

Dan pertayaan yang tersuara dengan nada lembut itu berhasil membuat lamunan sang gadis pecah seketika.

Maria menoleh sekilas sebelum menunduk sembari mendecih, tidak sadar kalau ia barusaja memikirkan hal yang harusnya dilupakan, lagi.

Ia harus apa supaya bisa lupa?

Susahnya jadi wanita. Maria mendesah satu kali lagi sebelum menoleh pada Edgar yang sedari tadi menaruh atensi pada dirinya.

“Cowok kalo falling diliat dari apa?” tanya Maria tiba-tiba.

Sedetik setelah menanyakan hal basi itu Maria langsung menyesalinya.

Kenapa juga ia mau repot-repot bertanya soal itu kepada laki-laki macam Edgar, sudah jelas, kalau bukan karena ukuran payudara memangnya apa lagi yang dilihat dari buaya satu ini.

Ingat tentang dua gadis yang diladeni Edgar barusan? Mereka juga punya ciri-ciri yang sama. sama-sama berfisik aduhai.

Edgar diam sejenak, sangat tidak menyangka Maria menayakan hal seperti itu tiba-tiba sekali, namun lelaki itu tak urung menjawab. Senyuman di bibir penuh itu hadir kembali, salah satu tangan Edgar terangkat dan ditempelkan didada. “Enggak diliat, tapi dirasa.”

“Najis!” umpat Maria tak bisa ditahan. “Gue udah bilang banyak kibul baek-baek mandul, lo nyari toket gede kan?”

Edgar juga tidak menahan tawanya sama sekali, ia mengeluarkan kekeh renyah sembari menyugar surai berpotongan undercut itu ke belakang, memamerkan kedekatan pada setiap mata disana, membuat mereka tak segan-segan menoleh penasaran apa yang dibicarakan.

“Lo nanya, udah dijawab malah nggak percaya,” balas Edgar lagi, mata lelaki itu mengeluarkan binar jenaka. “Gimana sih, cantik.”

Hilih. Dasar crocodile albino! Celetuk Maria dalam hati.

Ya mana ada Maria percaya. Mulut lelaki ber-manner yang selalu tersenyum kelewat ramah dan manis ini tidak punya kredibilitas sama sekali. Seorang pemain tentunya tau bagaimana caranya bermain-main.

Dan tentu. Maria juga bukan gadis yang mau-mau saja dimainkan, setidaknya ia bisa membalas, meladeni dan menjadi pemain pula kalau memang sedang ingin.

Maria menggeleng singkat. Ia tidak berniat menjadi lawan Edgar sama sekali, pesona uler kangkung yang satu ini terlalu ajaib dan mustahil untuk dihindari. Maria lebih khawatir kalau-kalau malah ia yang terjebak pada api yang ia sulut sendiri. Itu tidak boleh terjadi.

“Denger lo ngomong bawa-bawa rasa buat gue pen gumoh,” jawab Maria, tidak mengurangi kadar kerut di dahinya. “Meragukan banget.”

Lagi-Lagi Edagar hanya terkekeh, seolah pendapat Maria tentang dirinya atau mungkin reputasi buruknya dimata public yang dikenal se-playboy itu bukan masalah sama sekali.

“Kenapa bisa ragu?” tanya Edgar kemudian, lelaki itu kini memainkan lidah didalam mulut yang masih mengukir senyum kecil.

Rasanya ayik. Mengobrol dengan intensitas balasan seperti ini, karena biasanya kalau Edgar bicara kebanyakan lawannya atau mungkin lebih tepatnya kebanyakan perempuan yang ia ajak bicara akan membalas sama manis seperti yang ia katakana pula.

“Bukan cuma perempuan yang perasa,” lanjut Edgar lagi. Kini laki-laki itu menumpu lengan keatas meja bar. Menatap Maria dengan pandangan yang masih seperti sebelumnya. “Cowok juga sama, bedanya, kita bisa control sementara kalian meledak-ledak.”

“Gue nggak terima disamain sama lo, anjas,” sahut Maria cepat.

Meski bukan disamakan dalam hal buruk dan merupakan persamaan secara garis besar berdasarkan perempuan dan laki-laki, tetap saja, Maria tidak terima.

Toh, Maria sangsi kalau Edgar memang seperti laki-laki lainnya yang mengedepankan perasaan dari pada logika akan fisik.

Kini Edgar mendecak kecil, kendati senyum masih terpasang apik diwajahnya, pria tampan itu menatap muka Maria yang memerah. “Bedanya apa sih?”

Maria menarik napas, jemari lentiknya mengetuk-ngetuk permukaan meja granit yang dingin itu. “Kita para cewek, khususnya gue, susah jatuh cinta, susah banget. Beda sama lo yang mantannya dimana-mana ada.”

Edgar menurunkan bibir lama, kepalanya juga mengangguk-angguk, mengakui.

Maria mendecak, matanya memutar jengah semantara tangan kirinya mengibas rambut kebelakang.

Sudah begitu kelakuannya, masih berani bicara mengatasnamakan perasaan? Ke laut aja sana!

Edgar mengangkat bahu sekilas. “Punya hubungan bukan berarti kita harus punya perasaan sama orang tersebut.”

Jujur. Kalimat itu bahkan terdengar lebih parah dari pada ‘menaruh perasaan kepada banyak gadis’ yang Maria tuduhkan pada Edgar sebelumnya.

Maka dari itu Maria bilang, laki-laki dan perempuan itu berbeda.

“Sadar atau nggak tapi, barusan, lo mengakui kalo lo ini casanova cap uler kangkung?” sarkas Maria dengan satu sudut bibir terangkat.

Tawa renyah Edgar mengudara lagi.

Padahal Maria yakin sekali kalau kalimatnya barusan tidak ada unsur jenaka yang harus ditertawakan.

“Jadi itu julukan gue?” tanya Edgar tak percaya dengan sisa tawa dibibirnya.

Maria menatap dengan datar. Kenapa juga ia mau meladeni uler kangkung ini.

“Bukan itu aja, mau denger yang lain?” tawar Maria, gadis itu membuka mulut melanjutkan. “Oke, Kadal bu—.”

Edgar lekas mengangkat tangan, menggeleng pelan, memotong kalimat Maria.

“Nggak usah, thanks,” tolak laki-laki itu.

Tidak terlalu ingin tau apa saja nama-nama yang diberikan oleh para gadis diluar sana, toh, Edgar sudah tau, pastinya tidak ada julukan yang bagus untuknya. Jadi percuma saja mendengar itu.

Kini berganti, Maria lah yang menyinggung sebuah senyum kecil. Decih lucu diudarakan sembari memutar mata kelain arah.

Maria tidak menyangka dalam sesi berkabungnya ini ia bisa tertawa. Padahal harusnya Maria masih bersedih karena gagal move on.

Entah sadar atau tidak, namun kehadiran Edgar di Hawai, dan gangguan-gangguan kecil yang diberikan oleh laki-laki itu sedikit membantu Maria.

Maria menoleh kembali, menatap ke samping dimana Edgar masih menatapnya dengan pandangan yang sama seperti sebelumnya, pandangan yang bisa membuat orang lain salah paham.

“Kalo lo gimana?” tanya Edgar dengan nada suara biasa, lembut dan indah didengar. “Gimana cara laki-laki sampe bisa buat lo jatuh cinta?”

Maria diam beberapa detik.

Bagaimana caranya? Apa dengan membantunya menaiki tangga ballroom saat ia menggunakan rok mini? Atau tawaran minum saat ia memang membutuhkan namun tidak mampu mengatakan pada siapapun? Betul. Tadi, merupakan hal-hal yang dilakukan mantan kekasih Maria.

Maria mengangkat bahu. “Nggak tau, dia nggak baik, tapi gue suka. Dia jelas-jelas bajingan tapi gue tetep aja suka. Dia baik, tapi sama gue aja. Mungkin itu alasannya kenapa lambat laun membuat gue mau sama dia.”

Padahal Maria juga tidak yakin.

Ia perlu waktu yang sangat lama untuk bisa menerima orang baru dalam hidup, ia tidak pandai bersosialisasi karena mulutnya yang terlalu frontal dan tidak bisa berpura-pura, dan untuk masalah percintaan juga sama.

Maria tidak bisa membuat laki-laki bertahan disisinya dalam waktu yang lama, kebanyakan dari para lelaki yang menaruh minat pada Maria perlahan mundur setelah melihat bagaimana kerasnya gadis itu. Justin merupakan satu yang berhasil bertahan.

Edgar menarik napas, kepalanya sedikit miring. “Artinya style lo cowok-cowok bad boy?”

Maybe,” sahut Maria asal.

Edgar tersenyum lagi. “I like bad girl too,” menyetujui kalau seseorang yang terlalu lurus dan benar itu kurang menyulut adrenalin. Edgar menggerakan bola mata ragu, kerutan tipis perlahan hadir di keningnya yang mulus. “Biar gue tebak, sekarang ini lo lagi galau gara-gara si bad boy itu?”

Mereka dua puluh enam, masih pantas disebut boy? Bad guy mungkin.

Maria berpangku tangan, kemudian gadis itu menempelkan kepalanya keatas meja bar yang sejuk menusuk itu, membuat wajahnya menghadap Edgar. Maria tidak perlu menyembunyikan alasannya pergi ke Hawai seorang diri pada laki-laki ini, dalam sekali lihat saja, semua orang bisa tau kalau Maria adalah wanita yang sedang dirundung malang.

Maria menghela napas dalam-dalam, tatapan matanya kosong.

“Kepergok make out, padahal masih cantikan gue,” jawab Maria dengan satu buah gurat tak senang. Dua netra madu milik Maria yang tadi kosong kini perlahan terisi oleh sebuah sinar lain saat gadis itu menatap Edgar lagi. “Kayak lo dulu.”

Edgar sontak melengos.

Ia kembali mengingat kejadian dulu, kala hormone pubertas masih amat menggelora dalam dirinya, seorang anak SMA yang memacari banyak gadis hanya untuk ikut tren saja. Memang gila. Dan tolong jangan ditiru, dampaknya akan berkepanjangan.

Lihatlah sekarang. Bahkan gadis didepannya ini bukanlah salah satu korban Edgar dulu tapi dia juga mengungkit hal kelam itu.

Edgar mendehem sekilas. “Makanya tadi gue bilang, lo nggak bisa remehin kaum berbatang.”

Maria menghela napas. Sorot matanya tiba-tiba saja menatapi bibir penuh Edgar yang tengah terbuka karena baru selesai bicara, apalagi dengan cara lelaki itu membasahi bibir dengan saliva guna menghilangkan canggung, lalu menggigit daging kenyal yang lembab itu dengan gigitan kecil.

“Mau ciuman nggak?” tanya Maria tanpa mengalihkan pandangan mata.

Edgar berhenti bergerak, meski memang dari tadi dia sedang tidak melakukan gerakan apapun. Kalimat ajakan dari mulut Maria membuatnya membeku. Meragukan pendengarannya sendiri.

W-what?” sahut Edgar setelah beberapa saat.

Jika memang telinganya masih berfungsi dengan baik. Barusan, Maria menawarinya sebuah kecup? Ciuman? Oke. Ini pertama kalinya Edgar ditawari demikian, karena biasanya, tidak ada yang bertanya dulu, untuk wanita-wanita lain biasanya langsung menerjang tanpa ijin basa-basi segala.

Dan juga. Edgar lebih-lebih heran. Kenapa tiba-tiba sekali?

Maria mendecak keras, gadis itu memejamkan mata sejenak sebelum menegakan punggung dan duduk dengan benar kembali. “Lo ngomongin make out, gue jadi pengen.”

Sepertinya bukan Edgar yang berbicara tentang make out tadi. Maria sendiri yang memulai topik itu.

Kendati keheranan Edgar tetap tertawa mendengar penuturan Maria yang terang-terangan. “Gue bukan bule, lo bilang suka bul—,”

Dengan begitu kalimat Edgar tertelan kembali.

Karena yang terjadi berikutnya adalah tangan ramping milik Maria terangkat guna menarik perpotongan lehernya supaya mendekat, membuat wajah Edgar hanya berjarak empat jari dari wajahnya sendiri, menatap intens dan agresif layaknya predator yang disuguhi seonggok daging segar.

Edgar merasa darahnya mengalir deras, ia bisa merasakan hela napas hangat berbau arak dan juga campuran aroma sabun sekaligus parfume mawar yang Maria gunakan malam ini. Menusuk hidung dan menggoda agar lelaki itu mencium lebih dalam.

Jemari lentik Maria bergerak, berpindah dari leher sang jejaka menuju jakun yang tadi tertangkap basah bergerak naik turun, Maria mengusap lembut benda menjumbul yang timbul di leher Edgar, merasakan kerasnya, membuat sang lelaki tak bisa untuk tidak menelan ludahnya kembali.

Merasakan betapa halus ujung kulit Maria menyentuh permukaan kulit lehernya.

Edgar pun hanya menunggu apa yang dilakukan Maria selanjutnya, pria itu tak mengatakan apapun, hanya membalas tatapan tajam mata berbulu mata lentik milik gadis itu dengan tatapan yang sama intensnya. Terlampau intens untuk ukuran laki-laki yang terkenal banyak tersenyum dan tertawa.

“Bukannya lo suka?” bisik Maria lirih, netra madunya menyorot antara mata dan juga bibir sensual Edgar bergantian. Jemarinya menyudahi godaan yang ia berikan pada jakun dan beranjak naik hingga sampai di perpotongan rahang tajam milik sang pria.

Kini dua tangan Maria membakap mesra rahang itu. mengelusnya lembut menggunakan ibu jari sebelum ia mendekatkan wajah, sedikit memiringkan kepala dan menempelkan bibirnya pada bibir penuh milik lelaki yang masih terdiam didepannya ini.

Sedangkan Edgar melihat dengan jelas bagaimana Maria menutup mata, kerutan tipis hadir kening laki-laki yang sudah lama dianggap Casanova itu.

Edgar pikir, Maria hanya main-main saja. Edgar pikir, gadis itu hanya menggertak agar Edgar segera enyah dari hadapannya saja.

Namun apa yang bisa Edgar lakukan sekarang? sebagai makhluk yang memiliki testosteron tinggi, sebagai lelaki yang normal, sebagai seorang pendamba yang disuguhi keagresifan bidadari, Edgar tentu tidak akan bisa menolak.

Apalagi ketika dirasa bibir Maria perlahan bergerak lembut dipermukaan bibirnya. Menyesap pelam, menarik tanpa nyawa, menghimpit dan sesekali menjilatnya dengan ujung lidah yang basah.

Edgar tidak mampu untuk berdiam lebih lama. Laki-laki yang adrenalinnya mulai terpacu itu mulai mengambil alih permainan, mengangkat tangan untuk menangkup sisi wajah gadis di depannya, meremas halus namun tak menyakitkan, menjaga agar gadis itu tidak segera mundur saat Edgar mulai menekan ciuman mereka lebih dalam.

Membelai bibir sang gadis dengan handal, mengulum lembut dan sesekali membuat tarikan tanpa aba-aba. Desah selirih hembusan angin keluar dari sela-sela mulut sibuk sang gadis, ia membalas sebisanya, menikmati sepenuhnya, memekik segenap jiwa ketika lidah Edgar masuk menjelajah isi mulutnya, mengecap sisa arak yang habis diminum sang dara, membelit lidah basah dan tak canggung bertukar saliva.

Maria meremat sekitaran kerah kemeja Edgar ketika ia merasa tak lagi mampu melawan candu yang laki-laki itu sajikan, memukul dada Edgar agar lelaki itu menyudahi belitan.

Dan itu berhasil membuat Maria mendesah lagi, karena tarikan terakhir yang diberikan Edgar amat keras hingga membuat sang gadis berjengit.

He’s good, and he know it.

Maria memejamkan mata sementara bibirnya yang bengkak dan basah terbuka mengambil udara, kepala gadis itu bertumpu pada ceruk leher Edgar yang beraroma kayu-kayuan.

Maria tidak tau apa yang sedang ada di pikirannya namun, benar, satu iblis jalang dalam diri gadis itu amat mendamba akan Edgar malam ini. Laki-laki itu berhasil menyulut sumbu gairah Maria yang sudah lama padam, memercikan hasrat kelewat nikmat meski hanya lewat satu ciuman panjang.

Maria mengangkat wajah, memandang wajah tampan Edgar. Bibir lelaki itu sama bengkaknya, merah makin menjadi, dan leher hingga telinga leki-laki itu pun sudah berganti warna, menandakan bahwa Edgar juga merasakan tekanan birahi yang sama.

Satu tangan Maria terangkat untuk menyentuh permukaan dada Edgar. Hela napasnya masih ia coba atur senormal mungkin, dengan mata yang sayu ia berkata.

“Masih mau anter gue pulang?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status