Tepat pukul delapan pagi Mas Fadil datang menjemputku. Kami pergi setelah berpamitan terlebih dahulu dengan Maya dan Adi.
Mobil melaju perlahan, membelah jalanan yang mulai ramai. Mas Fadil terlihat bersemangat, senyum merekah menghiasi bibirnya sepanjang hari.
"Kenapa? Kok kayak lagi seneng?" tanyaku seraya mengernyitkan dahi.
"Seneng dong, kan ada kamu yang nemenin aku," jawab lelaki yang duduk disampingku itu sembari mengulum senyum.
Seperti ada yang disembunyikan dariku. Senyumnya memiliki arti berbeda yang membuat hati ini kembali gelisah.
"Kita makan dulu di sini, aku belum makan," ucap Mas Fadil sambil memarkirkan mobil di depan sebuah rumah makan khas Sunda.
Mas Fadil makan dengan lahap dan cepat. Berbeda denganku yang sulit untuk sekedar menelan makanan. Semua yang aku makan terasa hambar dan pahit. Aku hanya mengaduk-aduk nasi dan lauk yang ada di depanku.
"Ayo, lanjut, kita ke kontrakan lama dulu. Ambil barang-barang yang ketinggalan di sana," ucap Mas Fadil tanpa mempedulikan apakah aku makan dengan baik atau tidak.
Mobil kembali melaju, kali ini lebih kencang karena jalanan yang agak lengang.
setelah satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah kontrakannya yang lama. sebuah bangunan ukuran empat kali empat meter terlihat kotor tidak terurus.
Letak rumah kecil itu agak jauh dari rumah lainnya. Hanya ada satu rumah yang dekat dan terhubung dengan rumah itu.
Aku memindai setiap sudut ruangan itu, ada beberapa barang milik Mas Fadil dan sebuah etalase konter kecil, entah milik siapa.
"Etalase siapa, Yah?" tanyaku penasaran.
"Milik Melati," jawabnya enteng.
Deg, hatiku bagai tertimpa sebongkah batu besar. Sakit dan perih itu kembali terasa. Mereka telah hidup bersama selama kami terpisah jarak.
Aku menunduk, menyembunyikan embun yang mulai terkumpul di pelupuk mata. Tidak ingin memperkeruh suasana dan menyimpan rasa sakit itu sendiri.
Beberapa benda yang asing di mataku turut menambah luka ini semakin perih. Sandal dan sepatu wanita terlihat berserak di ruangan itu.
"Jangan banyak ngomong sama tetangga ya!" pinta Mas Fadil seraya menempelkan telunjuknya ke atas bibir.
"Bilang saja perempuan yang kemarin tinggal di sini saudara jauh kamu," sambungnya dengan mata mendelik.
Aku tercenung untuk beberapa saat, semua yang kupikirkan ternyata benar adanya. Tega sekali lelaki itu mengkhianatiku. Sudah berapa lama dia berkhianat? Apakah sejak Fariz umur satu tahun?
"Tega, kamu," ucapku lirih sambil menatapnya tajam.
Lelaki berkulit putih itu berlalu begitu saja dan kembali mengemasi barang-barangnya tanpa menghiraukanku.
"Jangan bawa kasur itu, jijik aku," pintaku seraya mencibir.
"Lalu, dikemanain?"
"Buang saja, bakar," ucapku dengan tatapan nyalang.
Selang beberapa lama, suara deru motor terdengar dan seseorang mendekat ke arah kami.
"Sudah beres, Pak?" tanya seseorang yang memakai seragam yang sama dengan suamiku.
"Belum, masih banyak."
"Siang, Bu. Dedek ... " sapa pemuda itu ramah.
Pemuda yang ternyata adalah bawahan Mas Fadil menatapku iba, seolah tahu apa yang sedang terjadi pada kami.
***
Hari sudah hampir gelap, kami masih di perjalanan menuju kontrakan yang baru. Aku menatap Mas Fadil yang sedang mengemudi beberapa kali. Raut lelah dan kusut mendominasi wajah tampannya. Seperti ada beban berat yang tengah ia pikirkan. Ah, itu salahmu sendiri, Mas. Kenapa harus bermain api jika tidak mau terbakar.
Kami hanya diam membisu sepanjang jalan. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya, mobil terparkir di halaman sebuh kontrakan.
Aku turun dan memindai sekeliling, tampak deretan kontrakan petak dengan pintu tertutup, mungkin penghuninya ada di dalam.
Kami masuk ke sebuah kamar kontrakan yang berada paling ujung. Terdapat satu kamar tidur, kamar mandi dan satu ruang tamu di dalamnya.
Aku memindai setiap sudut, terlihat bersih seperti habis dibersihkan sang empunya kontrakan. Mas Fadil segera berbaring di atas kasur karpet yang telah kupinjam sebelumnya dari rumah Adi.
Aku membaringkan si kecil Fariz yang sudah terlelap di gendongan, kemudian menata barang-barang kami.
Netraku terpaku pada gawai yang sedang di cas. Aku mengusap benda pipih milik Mas Fadil itu perlahan. Terlihat deretan pesan masuk dari Melati yang membuat dada ini serasa tertusuk panah.
Namun, sial, aku tidak bisa membaca semua pesannya karena gawai telah terpasang kata sandi. Aku mencoba membuka dengan kata sandi yang biasa Mas Fadil pakai, tapi nihil, semua gagal.
"Sedang apa, kamu?" tanya Mas Fadil yang membuatku terperanjat seketika.
"Apa, ini? kamu masih berhubungan dengan perempuan murahan itu?" tanyaku seraya membela akan seluruh bola mata.
Hatiku mendadak panas dan bergejolak. Aku seperti wanita bodoh yang mudah dibohongi.
"Bukan apa-apa, makanya kamu jangan buka-buka HP orang," jawab lelaki itu kesal, kemudian pergi entah kemana.
Tinggallah aku seorang diri, ditempat yang baru dan asing. Mengikuti seseorang yang bahkan tega menikammu dari belakang. Hatiku benar-benar sudah tidak berbentuk. Rasa sakit ini seolah selalu membersamai.
***
Malam semakin larut, Mas Fadil belum juga kembali. Aku mengusap layar gawai untuk menghubunginya, tapi tidak ada jawaban.Akhirnya, sebuah pesan terlihat di layar.
[Aku tidur di mobil, kamu tidur duluan aja]
[kenapa? cepetan pulang, aku takut sendirian di sini]
[Lagi nunggu montir, mobil mogok]
Akhirnya aku habiskan malam dengan bersujud di atas sajadah. Memanjatkan do'a agar badai cepat berlalu.
Hawa malam yang dingin mulai membuatku mengigil, aku mengeratkan selimut Fariz dan memeluk bocah tampan itu.
Tepat pukul dua malam, pintu kontrakan terdengar berderit. Aku beranjak dari tempat tidur dan segera keluar dari kamar.
Terlihat Mas Fadil berjalan terhuyung ke arahku. Ia berbaring sembari memeluk Fariz tanpa mempedulikanku.
Aku masih mematung di ambang pintu kamar, mencoba menebak apa yang terjadi kepada ayah dari anak-anakku itu.
Netraku menatap lurus ke arah gawai yang berada di atas kepalanya. Selang beberapa menit, aku mengambil benda pipih itu perlahan, tapi banyak yang bisa kudapatkan dari gawai itu karena masih terkunci.
Aku hanya mendapat sebuah nama akun perempuan itu. Segera kubuka gawai ku untuk mencari akun wanita bernama Melati.
Sebuah akun dengan foto profil seorang wanita berhijab. Aku menelisik satu per satu unggahannya. Banyak unggahan foto selfie dengan pose menggoda di akunnya.
Wanita itu terlihat memiliki satu anak gadis yang akan segera menikah. 'Ya, Allah, anaknya aja udah mo nikah, nini pelet nih kayaknya," gumamku pelan.
Tidak terlihat Foto Mas Fadil di akunnya. Aku mengirim beberapa pesan kepanya.
[Assalamu alaikum, maaf mba tolong jangan ganggu rumah tangga saya, kasian anak-anak saya masih kecil. Tolong jauhi suami saya]
Pesan pun terkirim, selang beberapa menit, terlihat sebuah pesan balasan.
[Siapa yang ganggu rumah tangga kamu, ngaca dong makanya punya suami tuh dijaga]
Aku beristighfar berkali-kali, meredam api yang mulai berkobar di dalam hati.
[Astagfirullah, mba sudah tahu Mas Fadil punya anak dan istri, kenapa masih mengganggunya?]
[Halo, suami kamu yang ngejar-ngejar aku, tanya saja sendiri]
Tidak kuat rasanya, hati ini untuk meneruskan percakapan dengan perempuan tidak tahu malu itu. Hanya air mata yang bisa mewakili sakitnya hati ini. Aku tergugu di pojok pintu diiringi suara hujan yang mulai turun.
Bersambung.
Aku kembali meraih gawai dan mengetik sebuah pesan.[Tolong mba, saya mohon jangan temui suami saya lagi. Mba wanita pasti bisa merasakan bagaimana klo posisi kita ditukar. saya masih menyusui anak ketiga saya, dua anak saya masih SD mba, tolong mba]Aku memohon dan memelas agar wanita itu luluh dan mau meninggalkan suamiku. Akan tetapi, syetan lebih kuat dan sudah menguasai Melati.[Hah, harusnya kamu yang mundur. Mas Fadil sudah tidak mencintaimu. kamu tahu kenapa dia pulang malam. Dia habis dari sini, klo tidak ku suruh pulang dia nggak mau pulang. Suamimu sudah jijik sama kamu, coba kamu lihat lehernya]Hatiku lebur untuk kesekian kalinya, sakit dan sesak serasa ada yang menginjak-injak harga diriku sebagai seorang perempuan."Bnagun! Bangun, Mas!" hardikku tertahan karena khawatir si kecil terbangun."Apaan, sih?" tanyanya dengan bola mata yang terlihat memerah."Apa ini?" tanyaku sembari membalikkan
Mobil melaju perlahan, bersama rintik hujan yang turun teratur. Mas Fadil sesekali terdengar berdendang untuk mencairkan suasana. Baru saja hati ini merasa damai, lelaki itu kembali menabur garam di atas luka yang masih basah."Kamu mau kan, tanda tangan surat nikah lagi?" tanyanya sembari mengulum senyum."Astagfirullah, aku harus ngomong berapa kali. Pilih aku atau dia.""Aku nggak bisa, aku mau kalian berdua. Ayah mohon Mah, Ayah ke bayang-bayang terus Melati. Ayah nggak bisa lupain dia," ucapnya sembari memelas."Ayah harus berusaha, demi anak-anak. Itu semua tipu daya setan, Yah. Ayah sadar, setan menjadikan nikmat sesuatu yang dilarang oleh Allah. Kuatkan iman Ayah. Ayah pasti bisa.""Sudahlah, kamu memang tidak mengerti Ayah. Jangan ceramah di sini!""Astagfirullah, setan apa yang sudah merasukimu?"Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi dan hampir bertabrakan beberapa kali. Aku mengeratkan tangan pada sabuk
Anak-anak terlihat bahagia melihat kedatanganku dan Fariz. Luna merengkuh Fariz seketika. Anak itu pasti sangat merindukan adiknya.Hampir satu minggu aku ikut bersama Mas Fadil dan belajar akan kesalahanku. Mempelajari penyebab badai ini datang dan bertekad untuk memperbaiki diri dan bersikap lebih baik kepada Mas Fadil.Bahagia rasanya kembali ke rumah sendiri. Aku segera membereskan rumah setelah Mas Fadil pamit untuk kembali bekerja."Gimana perkembangan suamimu? Apa masih ketemua sama pelakor itu?" tanya Ibu geram yang tiba-tiba sudah duduk di ruang tamu sambil menggendong Fariz, tanpa kusadari."Masih," ucapku lemas."Pelan-pelan aja, Mamah udah minta bantu do'a sama Wa Haji," ucap wanita berdaster panjang itu dengan seulas senyum yang kubalas dengan anggukan.Kepada siapa lagi aku berbagi cerita, berbagi kesedihan dan beban pikiran, selain kepada orang tua dan keluarga. Terkadang, pengalaman n
Malam semakin larut, yang ditunggu tidak kunjung datang. Aku menyibak tirai beberapa kali. Namun, tetap nihil, Mas Fadil tidak terlihat batang hidungnya.Kenangan sebelas tahun silam, terbayang kembali. Seperti sebuah slide film yang diputar ulang. Malam itu sama dinginnya seperti malam ini. Aku dan Fadil bertemu di atap lantai dua selepas bekerja.Kami bekerja di tempat yang sama dan tinggal satu atap di mes karyawan yang disediakan perusahaan. Embusan angin malam kian mengencang, menerbangkan setiap helai rambut pendekku. Menusuk ke dalam pori-pori hingga ke tulang.Dulu, aku adalah seorang gadis yang cuek dan sedikit tomboy, sedangkan Fadil, adalah pemuda yang terkenal alim dan naif.Fadil sebenarnya bukan tipe pria idamanku. Namun,ia meluluhkan hatiku dengan sifat taat dan suara merdunya ketika melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Usia kami hanya terpaut lima bulan saja. Lahir di tahun yang sama, aku lima bulan lebih muda darinya.&
Hari berganti terasa semakin lambat. Aku masih berkutat dengan anak-anak di rumah. Mulai menyibukkan diri dengan menekuni hobi menulis yang telah lama kutinggalkan.Mas Fadil semakin jarang menghubungi. Hanya beberapa kali dalam seminggu itu pun bersama Melati di sampingnya. Wanita itu seolah ingin membuat hati ini panas dan lebih terluka. Bukan sikap Melati yang membuat luka ini semakin dalam, tetapi sikap Mas Fadil yang terkesan menurut semua ucapan istri sirinya.Hari sudah agak larut ketika mereka menghubungiku lewat vidio call. Untunglah, anak-anak sudah terlelap dalam mimpi indahnya.[Gimana kabar anak-anak?] tanyanya dari balik gawai.Melati terlihat mendekati Mas Fadil di sebuah ruangan sempit yang disambut kata sayang dari Mas Fadil. Wanita itu duduk di atas pangkuan suamiku.Dada ini sesak melihat adegan itu tepat di depan mataku. Mereka seperti sengaja membuat hati ini hancur dan terluka sangat
Aku keluar dari kamar setelah mengusap air mata sebelumnya. Anak-anak tampak berkumpul di ruang tamu. Mereka sedang asik menonton TV."Mah, minta uang buat jajan!" pinta Luna seraya menatapku heran."Coba minta ke Ayah," jawabku sembari menyembunyikan netra yang mulai terlihat membengkak dengan telapak tangan.Tidak sepeserpun uang yang tersisa. Mas Fadil bahkan lupa memberikan uang belanja bulanan untuk kami. Ia hanya ingat dengan kebahagiannya sendiri dan perempuan murahan itu."Zahra!"Mas Fadil terdengar memanggil namaku. Terasa asing di telinga dan menusuk di hati. selama sebelas tahun, lelaki itu selalu memanggilku dengan panggilan Mamah. Kali ini, ia memanggil namaku.Aku tersentak untuk beberapa waktu. Dada ini sakit saat Mas Fadil hanya memanggilku dengan nama. Aku serasa orang asing di matanya. Aku bergegas menghampiri Mas Fadil di ruang tamu setelah berhasil menenangkan hati."Ini buat an
Lelah rasanya tubuh dan otak ini. Aku berbaring di atas kasur, memandangi hujan dari balik jendela. Rintik yang turun teratur dari langit.Baru pukul dua siang, tapi langit sudah gelap. Tertutup awan hitam yang menangis. Fariz sedang asik menonton televisi bersama kedua kakaknya.Aku mengusap layar gawai, memeriksa pesan yang masuk. Tapi, pesan yang ditunggu tidak muncul sama sekali.Akhirnya aku memberanikan diri untuk menghubungi Mas Fadil terlebih dahulu.Lama menunggu, tapi tidak ada jawaban.Entah apa yang ia lakukan di sana hingga tidak pernah memiliki waktu untuk sekedar memberi kabar kepada kami.Lelaki itu terlalu terbuai oleh tipu daya setan. Semua yang ada di sampingnya tidak lagi terlihat olehnya. Hanya Melati yang memenuhi hati dan pikirannya.Bagai kerbau yang di cocok hidungnya. Begitulah sikap Mas Fadil sekarang ini. Ia manut dan patuh dengan semua ucapan yang keluar dari mulut M
Aku termenung seorang diri, meratapi nasib buruk yang tidak kunjung pergi. Aku mencubit pipi beberapa kali berharap semua ini hanyalah mimpi buruk semata.Mas Fadil, satu-satunya pria di dalam hidupku. Tega menjadikan istrinya janda untuk menikahi janda yang lain. Sungguh ironi, hidup ini.Namun, semuanya adalah kenyataan yang harus aku hadapi. Rasa takut menjadi seorang janda dan stigma negatif tentang janda membuat hati ini gentar."Ra, besok Adi jemput kalian. Lupakan kesedihan jangan berlarut-larut, anggap ini sebagai pembelajaran hidup," ucap Ibu dengan tatapan Iba."Hore! Kita jalan-jalan!" pekik anak-anak yang tiba-tiba berlarian ke arah kami."Mah, kita jalan-jalan ke mana? Sama Ayah kan?" tanya Kia-gadis cerewetku dengan mata berbinar."Nggak tahu, kita ikut Om aja, yang penting jalan-jalan," jawabku tanpa menghiraukan kata Ayah yang ia sebut.Detik itu, aku berharap kata Ayah i