Share

Rujuk

Lelaki berperawakan sedang itu duduk bersimpuh di bawah kakiku. Ia menatap penuh pengharapan. Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Jauh di lubuk hati, aku masih mengharapkan dirinya. 

Namun, bayangan pengkhianatan yang ia lakukan kembali menari di dalam benak. 

"Demi anak-anak," ucapnya lirih seraya menggenggam kedua tanganku erat. 

Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya, tapi tenagaku jauh dibawah tenaganya. Setelah berfikir beberapa saat, membayangkan kehidupanku dan anak-anak tanpa Mas Fadil membuatku bergidik. 

"Iya, aku mau, tapi, bagaimana dengan perempuan itu?"

"kami putus semalam," jawabnya lesu. 

Terlihat gurat kecewa di wajahnya. Apa aku hanya pelariannya saja? ah, bukan aku pelariannya, melainkan wanita itu yang menjadi pelarian Mas Fadil ketika aku tidak di dekatnya. 

"Berjanjilah tidak akan menemui perempuan itu lagi!" pintaku dengan netra dipenuhi embun. 

"iya, aku janji. Ayah sayang kamu dan anak-anak," ucapnya sembari mencium keningku. 

kami resmi rujuk saat itu, karena talak satu dan belum habis masa iddah. kami tidak perlu melakukan ijab qabul terlebih dahulu untuk rujuk. Hanya dengan isyarat dari pihak laki-laki pun rujuk sudah dianggap sah. 

***

Sikap Mas Fadil kembali hangat, tapi belum sepenuhnya kembali. Ia tetap memasang kode di layar gawainya,  seperti ada yang ia sembunyikan. 

Aku tidak menuntutnya untuk segera terbuka karena itu akan menyulut pertengkaran.  Biarlah kunikmati rasa damai ini, walaupun hanya untuk sesaat. Menyingkirkan semua ego dan berbenah untuk bertahan. 

Hari bergulir begitu cepat, Mas Fadil terlihat lebih diam dan masih sibuk dengan gawainya. ingin rasanya merampas dan melihat semua isi benda pipih itu. 

Namun, niat itu ku urungkan demi menjaga perdamaian. semoga badai ini cepat berakhir, semoga Mas Fadil benar-benar telah sadar.

Malam ini, Mas Fadil bersikap lunak dan lembut. Kami melewati malam bersama hingga suara kumandang azan membangunkan kami. 

Aku berusaha menyingkirkan pikiran negatif yang bersarang di dalam benak sebisa mungkin. Namun, masih saja terselip perasaan takut dan khawatir. 

"Mas, tolong tepati janjimu kali ini," pintaku dengan mimik serius. 

"Kalau kamu nggak percaya, ayo ikut ke Cintabumi!" ajaknya dengan tatapan tajam. 

"iya, aku mau ikut," jawabku pasti.

aku segera mengemas beberapa baju dan perlengkapan si kecil setelah sebelumnya menitipkan dua anakku yang lain kepada Ibu. 

***

Mobil melaju perlahan, melewati jalanan pegunungan yang berkelok. Sepanjang jalan disuguhi pemandangan hijau yang menyejukkan mata. 

"Bagaimana kalau Melati hamil?" tanya lelaki yang sedang mengemudi itu tanpa menoleh ke arahku. 

Aku terdiam, menahan sakit dan panas di dalam hati. Luka yang masih basah ini terasa semakin perih bagai ditabur garam di atasnya. 

"Yakin itu anak kamu?"

"Jangan bicara sembarangan, aku nggak suka," hardiknya serasa belati yang menancap ke ulu hati. 

Aku terdiam membisu, menenangkan hati yang mulai bergejolak dan ingin berontak.

"Dek, lihat itu mobil besar," ucapku kepada si kecil untuk mengalihkan perhatian dan agar dia sadar betapa berharga dan pintarnya Fariz. 

"Mah, mobim besah," jawab Fariz sambil menunjuk deretan truk besar yang terparkir di pinggir jalan. 

"Sepertinya Melati memang hamil, kemarin dia bilang sudah terlambat datang bulan," ucap Mas Fadil tanpa menghiraukan celoteh lucu anaknya. 

"Jika itu benar, saya lebih mudah untuk melaporkan kalian dengan tuduhan pasal perzinahan," ucapku tegas seraya menatapnya tajam. 

Aku usap layar gawai,  membuka sebuah artikel yang ditulis seorang advokat dengan hukum pasal perzinahan, kemudian menyodorkan nya tepat di depan wajah Mas Fadil. 

Ia terlihat gugup, wajahnya berubah merah. 

"Kamu tega jeblosin aku ke penjara?" tanyanya geram. 

"Aku lebih suka kamu dipenjara daripada dipelukan wanita lain," jawabku tidak kalah geram. 

Untunglah, aku sudah membaca beberapa artikel tentang perselingkuhan yang bisa dipidanakan. 

Mobil melaju semakin cepat, sepertinya Mas Fadil sudah dibakar api amarah. Aku hanya tersenyum tipis melihat tingkah lelaki yang baru sehari rujuk denganku itu. 

"kamu nginep di rumah Adi saja, aku mau langsung ke kantor," ucapnya setelah sampai di halaman rumah Adi-adik kandungku yang kebetulan tinggal tidak jauh dari kantor tempat Mas Fadil bekerja. 

"Ayah tidur di mana?" tanyaku dengan nada lembut. 

Satu cara yang bisa kulakukan sekarang adalah merebut kembali cinta dan perhatiannya, tapi tetap tegas untuk menolak Melati masuk ke dalam rumah tangga kami. 

"Gampang, aku tidur dimana saja, besok kita cari kontrakan yang baru," jawabnya enteng. 

Aku terpaksa menuruti keinginannya karena kontrakan yang lama sudah habis masa sewanya. Di dalam rumah tampak Adi dan istrinya menyambutku  hangat. 

Adi bekerja di perusahaan yang sama dengan Mas Fadil. Ia lebih beruntung karena berada diposisi setahap lebih atas dari posisi suamiku. 

"Assalamualaikum," ucapku sembari tersenyum. 

"Waalaikumsallam," jawab Maya-istri Adi sembari mencium punggung tanganku bergantian dengan Adi. 

Aku duduk di ruang tamu untuk melepas lelah selama diperjalanan. Secangkir teh hangat dan beberapa cemilan terhilang di atas meja. 

"Gimana suamimu?" tanya Adi geram. 

"Do'ain aja baik-baik aja semua."

"Aku bisa masukkin dia ke perusahaan, aku juga bisa ngeluarin dia. tinggal kamu bilang aja, aku siap hancurin si berengsek itu," ucap Adi berapi-api. 

"Sabar, Yah," timpal Maya menenangkan. 

"Siapa yang bisa sabar lihat saudara perempuannya disakiti."

Adi semakin terpancing emosi,  lelaki metropolis itu mengacungkan tinjunya ke atas. Aku hanya diam melihat tingkah adik lelakiku itu. 

***

Hari beranjak senja, sang surya mulai meredupkan sinarnya dan berganti gelap.  Tidak ada satu pesan pun dari Mas Fadil. Aku menghubunginya beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. 

Benakku mulai diracuni prasangka kembali.  Aku semakin gelisah menunggu kabar darinya. Tepat pukul dua dini hari, lelaki itu baru mengirimkan sebuah pesan. 

[Aku tidur di kantor sama teman]

Hanya satu kalimat saja yang ia kirim. Hatiku kembali gelisah, bayangan Melati yang terus menerus menggoda Mas Fadil kembali menari-nari dalam banak. 

Hanya sujud pandang dalam sajadah yang membuatku sedikit tenang.  Dunia ini boleh menipuku,  tapi, aku punya Allah yang maha memiliki segalanya. 

Aku bermunajat dan melangitkan do'a hingga terdengar kumandang azan subuh. 

"Besok pagi aku ikut cari kontrakan ya?" 

Sebuah pesan kukirim selepas menunaikan ibadah shalat subuh. Lama, tidak ada balasan, sepertinya Mas Fadil belum bangun, padahal hari beranjak terang. Apa dia melewatkan subuhnya lagi? 

Maya terlihat sedang menyiapkan sarapan pagi. Aku membantu seperlunya sebelum Mas Fadil menjemput. 

Kami sarapan bersama di teras rumah, menikmati sinar mentari pagi yang menghangatkan tubuh. Fariz terlihat bahagia bermain bersama Adit-anak bungsu Adi. 

Andai waktu bisa diulang, tidak akan kubiarkan Mas Fadil tinggal seorang diri di Cintabumi.  Aku akan turut serta dengannya bersama anak-anak kami.  Tidak akan ada celah untuk orang ketiga merusak bahtera kami. 

***

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Misdaliza
cerita nya jln d tempat je
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status