Share

BAB IV

"Saya akan menolong kamu."

Violet terdiam. Tidak ada lagi suara isakan yang tadi keluar dari bibirnya. Tapi gemetaran karena takut itu masih ada, malah bertambah. Ya, dia menyadari perubahan menyeramkan itu.

"E-El?" Panggilnya terbata-bata pada El yang sedang berjalan menuju jasad ayahnya dan kemudian berjongkok di depannya. Awalnya hanya memperhatikan, tetapi lelaki itu malah mencolek darah sang ayah dengan jari telunjuknya.

Violet beringsut mundur kala El berjalan menghampirinya sambil menjilati telunjuk penuh darah ayahnya itu. Ketakutan menyergapnya.

"P-pergi," usir gadis itu, tapi tak dihiraukan dan El malah berjalan semakin cepat ke arahnya.

El mencengkeram bahu gadis itu dengan kuat, membuat Violet tak dapat bergerak. Bahkan dapat Violet rasakan kalau kuku-kuku milik lelaki bermata merah darah di depannya saat ini sudah menusuk kulit bahunya.

El melebarkan seringaiannya, "Tadi bukannya kamu minta tolong?"

Violet diam, tidak berani menjawab. Sebenarnya situasi apa yang Violet tengah hadapi kini? Dia tidak mengerti satupun. Siapa El ini? Mengapa keadaan orang tuanya bisa sampai seperti ini? Apa dosanya? Kenapa semuanya jadi seperti ini?

Cengkeraman dari bahu Violet lepas. Dapat dia lihat ada darah di kuku El dan sudah pasti itu adalah darahnya. Gadis itu kembali beringsut mundur dengan sisa tenaganya, tetapi El malah memegangi kakinya.

"Saya sudah bilang akan menolong kamu," Ucap cowok itu seiring dengan bertambah merah matanya.

Tak mendapat jawaban dari gadis yang terus menunduk dihadapannya ini, El kembali bersuara. "Hey, lihat saya," sambil mengangkat dagu Violet dengan kasar, "Saya bisa membuat orang tua kamu hidup."

'Hidup' kata itulah yang membuat Violet berani menatap mata El secara langsung. Ia kumpulkan sisa-sisa keberanian yang dimilikinya, lalu bertanya, "Gimana caranya?" Dengan suara lemah, tanda energinya sudah tidak ada.

Mata merah darah itu semakin bercahaya, seperti ada lautan darah yang terkunci di dalamnya, "Semua itu tidak gratis."

Kalimat setengah-setengah itu membuat emosi dalam diri Violet bangkit, "Jangan ngomong setengah-setengah!" Teriaknya di depan wajah El, membuat lelaki itu melepaskan tangannya dari dagu Violet.

"Orang tua kamu itu mati Violet. Bukan hal yang mudah untuk menghidupkan orang yang sudah mati. Bukankah kamu harus membayar saya dengan sepadan?"

"S-saya...akan memberikan apapun yang...kamu mau..." Ucap gadis itu yang El tahu ada banyak keraguan didalamnya.

El berdiri tegak sambil memandang rendah Violet yang tengah terduduk lemas dihadapannya, "Bicara formal, huh?" 

Manusia. Ketika disaat seperti ini mereka bahkan rela menjadi orang dengan harga diri paling rendah. Apapun akan mereka lakukan asal permohonan mereka terkabul. Menjijikkan.

"Nggak usah banyak basa-basi! Cepat sebutin apa yang harus saya kasih biar semuanya sepadan!"

Wow-wow. Gadis ini sudah tersulut emosi rupanya. Ini semakin menyenangkan. "Kamu harus membayar ini dengan..."

El menggantung kalimatnya. Tapi tiba-tiba yang Violet lihat semuanya seolah berputar. Tubuhnya terasa seperti melayang-layang. Apa ini?

"...kebahagiaan."

Lalu semuanya menjadi gelap.

***

"Violet!"

Panggilan itu membuat si empunya nama terbangun dari mimpi terburuknya. Semua itu terasa nyata, menyeramkan, dan menyedihkan.

"Kamu kenapa?"

Suara lembut sang ibu menembus gendang telinganya. Belum sepenuhnya gadis itu sadar, karena takut masih menyergapnya. Bahkan tubuhnya masih gemetaran.

"Vio? Sayang?"

Kali ini Violet menoleh menatap sang ibu. Tangisnya pecah seketika ketika menatap ibunya yang tampak kebingungan dengan keadaan dirinya.

Yah, cukup kacau. Baju piyamanya basah karena keringat, wajah yang pucat pasi, lalu badan yang gemetaran. Dan sekarang, ditambah menangis tanpa alasan.

Sang ibu dengan sigap mendudukkan Violet, kemudian memeluk gadis itu dengan erat.

"M-mama..." Panggil gadis itu berulang-ulang sambil membenamkan wajah di dada ibunya.

Wanita cantik itu tentu semakin khawatir melihat keadaan anak gadisnya yang tiba-tiba seperti itu. "Kamu kenapa sayang?"

Violet menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu melepaskan pelukan mereka. Walau wajahnya masih tampak ketakutan dan kebingungan, gadis itu malah menjawab,

"Aku cuma mimpi buruk,"

***

Kaki Violet terus berputar-putar di dalam kamarnya. Sambil menggigiti kukunya, gadis itu menggunakan otaknya begitu keras untuk berpikir.

Apa benar itu hanya mimpi?

Lalu mengapa beberapa hal yang dia alami hari ini mirip seperti di mimpinya?

Oke, itu hanya mirip. Anggap saja begitu. Lalu bagaimana jika semua itu benar? Bukankah itu gila? Saat dia mengingat mimpi itu pun, ah tidak, setiap saat mimpi itu menghantuinya. Saat sarapan, saat mandi, saat berberes pun mimpi itu selalu melintas dipikirannya.

Seketika rasa takut itu kembali menyergap Violet. Mengerikan rasanya jika mimpi benar-benar nyata.

Violet mengambil ponselnya ketika ia mengingat sesuatu. Memencet tombol keyboard lalu menempelkan ponsel itu ke telinganya.

"Bobi, jangan lupa bahan tugasnya." Ucap Violet langsung tanpa basa-basi setelah teleponnya diangkat.

Terdengar kekehan di seberang sana, "hehe...tahu aja gue lupa, Vi."

Violet terdiam. Ponsel yang dipegangnya lepas begitu saja. Bingung dan takut lagi-lagi menyergapnya.

"Kok...gini?"

"Woi? Halo? Halo?"

Violet kembali sadar, lalu menempelkan kembali ponsel itu ke telinganya. Dengan jantung berdegup kencang karena takut, gadis itu berkata, "Bobi! Kita nggak jadi kerja kelompok. Antar aja gue ke rumah El."

"Loh, kok gitu? Gue udah di depan rumah Anya, nih. Lagian rumah El itu jauh, tahu."

Suara Violet semakin terdengar gemetaran, emosinya pun ikutan meluap. "Cepat aja! Jangan banyak bacot!"

Bobi pun yang biasanya selalu bercanda kini ikutan terdiam, menyadari ada yang tidak beres pada Violet. "Lo kenapa Vi? Kok suara Lo kayak lagi nangis?"

Terlalu banyak tanya! "CEPAT AJA!"

Setelah berteriak seperti itu, Violet langsung mematikan sambungan. Gadis itu terduduk di kasurnya. Ketakutan itu semakin membesar. Kuku-kuku jarinya pun dia jadikan pelampiasan rasa takut.

Apa itu memang bukan mimpi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status