Tangisnya tak terelakan lagi, kala malam itu sang Papi meminta jatahnya kembali. Tetapi apa mau di kata, Liliana harus mau melayani nafsu birahi sang suami. Usianya sudah bau tanah, tetapi masih saja menyiksa gadis kecil dalam kungkungannya. Liliana hanya mampu menangis ketika rasa sakit selalu ia rasakan dalam setiap pergulatan nafsu sang bandot tua.
"Hiks hiks hiks ... apa setiap malam aku harus menderita seperti ini Papi, rasanya sakit sekali," gadis itu menangis dalam pelukan suaminya yang botak dan memiliki perut setara dengan wanita hamil usia sembilan bulan.
"Sabarlah Sayang, nanti juga rasa sakit itu akan segera hilang, vaginamu masih saja sempit padahal Papi sudah memasukimu beberapa kali, kamu luar biasanya nikmat baby, tidak sia-sia Papi menikahimu," ungkap Tuan Abraham kepada istri kecilnya.
Bagaimana tidak sempit. Liliana hanya gadis berusia tujuh belas tahun. Sedang pria itu sudah hampir kadaluarsa. Liliana masih di bawah umur untuk bisa memuaskan nafsu dan keserakan kakek tua itu. Tetapi ketidak berdayaan orang miskin maka, Liliana bisa berbuat apa?
"Tapi sakit sekali Papi, rasanya Lian tidak tahan," lirih Liliana sambil menyeka tetesan air matanya. Gadis itu tidak berbohong. Dia memang merasakan kesakitan tatkala sang suami menyetubuhi dirinya. Tetapi suaminya selalu mengatakan sabar dan sabar nanti juga akan terbiasa. Tetapi bahkan ini sudah satu bulan lamanya Liliana masih belum bisa merasakan nikmatnya bercinta.
"Sayang, Papi akan ke luar Negeri selama dua minggu, dan kamu harus jaga diri baik-baik ya Baby, kamu tidak boleh jauh dari pandangan Hendrata, karena dia adalah bodyguard kamu sayang, dia akan melindungi kamu dari segala macam bahaya," ungkap Tuan Abraham Wicaksana terhadap istri kesayangannya.
"Baiklah Papi, semoga Papi semakin sukses, Lian akan menginap di rumah sakit untuk menemani ibu selama Papi tidak ada," jawab Liliana pada sang suami.
Selang beberapa saat akhirnya Tuan Abraham pun berangkat meninggalkan rumah Liliana. Dan kini malam semakin sepi gadis itupun mulai bosan. Kebetulan besok adalah hari minggu, gadis itu ingin segera berjalan-jalan sekedar menghirup udara malam yang segar. Liliana pun di antar oleh hendrata kemana pun Lian mau pergi.
Pria yang kini telah menjadi bodyguard-nya itu sangat tampan. Mereka menelusuri indahnya kota dengan payung rembulan dan hujan kerlipan bintang. Liliana kini sudah sampai di sebuah café yang berada di pinggir pantai. Benar sekali mereka berdua ke pantai. Liliana bosan di rumah mewahnya.
"Gantilah pakainmu, kamu tidak boleh lagi mengenakan jas resmi seperti itu, jika sedang berdua denganku. Aku tidak mau menjadi pusat perhatian orang karena kemana-mana harus bersama dengan pengawal," kata Liliana sambil melempar kantung plastik yang berisi satu stel baju casual untuk di kenakan oleh Hendrata. Hendrata kini hanya bisa mengangguk, rasa canggung sudah mulai merasuk jiwa lelaki berusia kisaran 25 tahun itu. Seorang pria penuh pesona gelora muda dan sangat kokoh.
Setelah berganti baju akhirnya hendrata datang mendekati Nyonya mudanya. Kini Liliana sudah duduk di pesisir pantai, gadis itu menangis dengan pilu. Dia merasa hidupnya tidak bahagia. Semuanya seolah sangat menyiksa jiwanya. Pernikahannya dan semua kekayaan yang dia miliki itu tak bisa membuat hatinya bahagia.
Liliana merasa tak punya semangat untuk hidup. Dia hidup hanya agar sang ibu tetap bertahan melawan semua rasa sakit akibat kangker otak yang menyerang tubuh lemah sang ibu.
"Dra ... apakah kamu punya adik?" tanya Liliana kepada Hendrata.
"Ya Nyonya, saya punya satu adik perempuan," jawab hendrata pelan.
"Berapa usia adikmu sekarang?" Liliana kembali bertanya kepada hendrata. Liliana mulai mengencangkan isakan tangisnya.
"Adiku berusia tujuh belas tahun dan kalau ada dia pasti akan duduk di bangku kelas sebelas sama dengan anda Nyonya."
"Sayangi adikmu Dra ... jangan sampai dia menderita seperti aku, aku tidak mau hidup seperti ini kalau bukan demi ibuku," tangis Liliana pilu. Wajanya dia sembunyikan di kedua lututnya. Sebulan pernikahannya bagaikan satu tahun saja. Semalam bercinta dengan suaminya bagaikan penyiksaan berbulan-bulan.
"Jangan menangis lagi Nyonya, anda termasuk gadis yang beruntung karena menjadi kaya raya dalam sekejap."
"Aku tidak bahagia Dra, aku tidak bahagia, aku ingin mati saja," ungkap Liliana sambil pergi meninggalkan hendrata dan berjalan menuju ke dalam air laut. Hendrata terkejut karena kini nyonya mudanya sudah masuk ke dalam air sedalam satu dada. Sedang segera Hendrata mengejar Nyonya mudanya dan berenang untuk menyelamatkan gadis malang itu.
"Lepaskan aku lepas, kenapa kamu menolongku, aku bahkan tidak mau hidup lagi," jerit Liliana malam itu.
"Sadarlah Nyonya, hidup anda begitu berharga, anda gadis beruntung yang memiliki banyak hal, anda harusnya bersyukur, bahkan Tuan d Abraham memperlakukan anda dengan sangat baik," ungkap hendrata sambil memeluk Liliana dan menggendong Liliana menuju ke pesisir pantai. Sampai akhinya Liliana kini sudah berada di pesisir.
"Aku tersiksa Dra, setiap dia menyentuhku rasanya sakit, organ intimku tak bisa merasakan kenikmatan bercinta, baiklah aku menikah dengan dia aku bisa tahan ketika dia bahkan memberi aku semua harta yang setiap wanita mau, tetapi aku tidak tahan ketika dia memelukku, mendekapku, mencium bibirku, memasuki tubuhku, aku merasa sangat jijik pada diriku sendiri, dia bahkan pantas menjadi Ayahku," lirih gadis itu dalam pelukan Hendrata.
Hendrata sepertinya merasa sangat iba dengan tangisan dari gadis yang kini sedang dia peluk. Pria itu bahkan memeluk Liliana dengan sangat erat dan lembut. Liliana masih terisak. Dan Hendrata masih mendengarkan semua keluh kesah dalam hati Liliana. Sampai akhirnya tubuh Liliana sudah menggigil karena kedinginan. Baju mereka berdua basah. Dan mereka bahkan tidak membawa baju ganti. Saat itu hanya ada jas dan kemeja milik hendrata di mobil.
Mereka tak bisa membeli pakaian ganti karena memang sudah larut malam. Dan kini jalan satu-satunya mereka harus tidur di dalam selimut yang hangat. Karena terlihat Liliana sudah hipotermia. Mereka akhirya sudah sampai di Hotel di dekat mereka tadi duduk. Dan ternyata hanya ada satu kamar tidur saja yang tersisa. Karena ini malam minggu, jadi hotel penuh.
Mereka pun tidak mungkin bisa pulang. Karena saat itu Hendrata pun sudah lelah dan kedinginan. Kalau di paksakan pulang takunya terjadi kecelakaan di jalan. Karena itulah Hendrata memutuskan untuk menginap saja di pantai itu.
"Nyonya silahkan masuk ini kamar anda, sementara saya akan tidur di dalam mobil, karena sudah tidak tersedia lagi kamar di Hotel ini," kata Hendrata kepada Liliana.
"Apa ... ? Jadi tidak ada kamar lain selain ini, dan kamu akan basah-basahan tidur di dalam mobil?" Liliana sempat terkejut. Dan hendrata pun mengangguk.
Sebuah aura kebencian telah berkerumun di kepalanya, pria itu merasakan sebuah kecemburuan yang teramat dalam, tatkala melihat gadisnya disentuh oleh orang lain. Yoga telah berani masuk ke dalam rumah Liliana dan membuat Hendrata terbakar oleh api cemburu."Siapa pria itu?" tanya Tuan Abraham Wicaksana kepada Hendrata."Dia teman sekelas nyonya, Tuan," ucap Hendrata sambil menundukkan wajahnya, pria itu merasa cemburu, tetapi tuan Abraham lebih lebih dari pada itu."Apa dia dekat dengan istriku?" tuan Abraham bertanya kepada Hendrata dengan mata yang merah, kakek tua itu begitu marah kepada anak remaja yang bernama yoga, karena sudah berani datang ke rumahnya dan menemui istri kesayangannya."Sepertinya hanya berteman saja Tuan," jawa
Sekolah.Tiga hari setelah kejadian di kelas bersama dengan Liliana. Yoga masih merasa sangat penasaran kenapa bisa-bisanya Liliana tidak datang ke sekolah, sudah 3 hari lamanya. Dia begitu cemas karena bahkan ponsel Liliana tidak bisa dihubungi."Kemana Liliana sebenarnya? Apakah dia ada keperluan atau bahkan mungkin sakit. Ya Tuhan, aku sangat mencemaskan dia," kata Yoga di dalam hatinya, pria itu ingin segera pulang dari Sekolah. Dia sudah tidak nyaman berada di kelas, karena bahkan tubuhnya ada di dalam kelas, tetapi pikirannya ada di luar, melayang-layang mencari keberadaan Liliana."Ga, kamu kenapa? Kok seperti banyak pikiran begitu, fokus dong, di depan Pak Siswoyo sudah mulai memperhatikan ka
Liliana masih terbaring lemah tak berdaya. Papi Abraham menyarankan Bibi untuk membantu Liana mengenakan pakaiannya. Liliana yang masih pingsan kini sudah di kenakan pakaian. Tiba-tiba saja beberapa saat kemudian Hendrata datang bersama seorang Dokter.Hendrata terlihat begitu cemas tatkala melihat keadaan Liliana yang pucat pasi."Ya Tuhan Sayang, Ya Tuhan kenapa kamu jadi seperti ini. Apa ini gara-gara aku? Tolong maafkanlah aku Sayang. Aku tidak akan pernah melakukan hal itu lagi, jika kamu tidak mau,"kata Hendrata dengan mata yang sendu, Pria itu sungguh iba melihatnya, gadisnya terkulai lemas tak berdaya seperti orang mau mati saja."Silahkan Dokter, tolong periksa keponakan saya," kata tuan Abraham Wicaksana kepada Dokter tersebut. Pria tua itu sengaja berbohong bahwa Liliana ada
Jantung Hendrata seolah mau meledak, ketakutan sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Jika saja tuan besarnya sampai mengetahui tindakannya barusan, maka bukan cuma kehilangan pekerjaan, tetapi dia pun akan segera kehilangan nyawanya."Tuan besar, Nyonya tadi ketiduran di mobil, sepertinya beliau begitu lelah selepas piket di Sekolah," ucap Hendrata mencoba untuk tenang di balik semua kegalauan dan ketakutan yang dia rasakan saat ini."Kamu berani menggendong istriku seperti itu. Aku tidak suka kamu menyentuh Lian begitu," kata tuan Wicaksana merasa geram karena Hendrata berani-beraninya menggendong sang istri.Pria paruh baya itu tidak suka istrinya digendong oleh orang lain, di pegang pun dia tidak suka, apalagi diperlakukan seperti itu dengan segera. Tuan Hendrata menggendong Liliana m
Gadis itu masih terisak. Dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan, tentang rasa sakit yang dia rasakan saat ini."Jangan menangis lagi, aku tidak tega melihatmu seperti ini, aku mohon berhentilah menangis demi aku," ucap Hendrata kepada Liliana."Kamu tega berbuat seperti tadi, itu menyakitiku. Apa kamu tahu? Bukan kenikmatan yang aku rasakan, aku hanya bisa menahan rasa sakit," isakan tangis dari Liliana masih terlihat, sedang Hendrata kini menyesal telah membuat Liliana sakit dan terluka."Benarkah, tidak ada kenikmatan sama sekali, yang kamu rasakan? Bukannya tadi kamu mendesah nikmat?" tanya Hendrata dengan kening berkerut, tidak menyangka sama sekali yang diberikan Hendrata adalah kesakitan, bukanlah kenikmatan, dan Hendrata merasa tidak berguna menjadi seorang pria k
Warning 21+Dilarang baca untuk yang sedang puasa.***"Aku tidak bisa menjadi kekasihmu. Bukannya aku tidak mau menerima pernyataan cintamu, dan ketulusan perasaanmu, kita hanya akan tetap menjadi teman," kata Liliana dengan mata yang berkaca-kaca."Teman?""Sebagai seorang teman, teman dalam segala hal. Maukah kamu menjadi temanku, kita akan seperti ini jika kita mau," kata Liliana sambil berbalik ke arah Yoga, lalu menatap Yoga dengan tajam, kemudian Liliana jinjit untuk menyamakan posisi tubuhnya dengan Yoga dan dia pun mengecup bibir Yoga perlahan, setelah itu Yoga langsung tersadar dengan keinginan Liliana."Kita akan seperti ini, menjadi tempat dalam segala hal. Baiklah kita akan menjadi te