Semuanya langsung menoleh ke arah Revan yang berteriak.
"Kenapa?" tanya Adit berjalan mendekati Revan.
"I - tu," tunjuk Revan ke bawah kakinya.
Semuanya langsung menunduk guna melihat apa yang ada di kaki Revan. Dahi Adit mengernyit, kemudian berjongkok untuk mengambil robot kecil yang bergerak di kaki Revan.
"Robot?" tanya Daniel heran saat melihat robot kecil di tangan Adit.
"Ha?" Revan melongo tidak percaya. Bagaimana bisa di gedung kosong seperti ini ada robot? Padahal dia sudah mengira bahwa itu adalah ular. Hancur sudah image dia di depan semuanya, apalagi tadi dia teriaknya sangat kencang.
"Kok ada robot sih? Sialan, gue merinding," ucap Bara mengusap tengkuk kepalanya. Siapa yang tidak takut jika di dalam gedung kosong apalagi posisinya di hutan, tiba-tiba ada robot kecil yang bergerak.
"Bentar, ini ada suratnya," celetuk Nisa mengambil robot itu dari tangan Adit.
"Baca!"
"Banyak orang yang membenci aku, padahal
Mendengar ucapan Abang Justin, mereka kembali berfikir keras tentang siapa dalang di balik semua ini."Iya, kalau dia enggak kenal Adit, enggak mungkin dia sampai tahu tanggal lahirnya," sahut Nisa menggigiti kuku jarinya. Dia cemas, jantungnya berdegup kencang, memikirkan segala kemungkinan siapa yang menjadi dalang ini semua."Gue pusing," ucap Adit mengacak rambutnya frustrasi."Untuk masalah itu nanti saja, sekarang kita lanjut ke tahap selanjutnya," usul Daniel.Adit mengangguk dan berjalan keluar dari ruangan diikuti yang lain. Selama berjalan, tidak ada yang membuka suara sama sekali, mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga sampai lah mereka semua di depan pintu berwarna hitam pekat, hanya itu satu-satunya pintu yang berada di lorong ini. Adit berusaha membuka pintu, tetapi pintunya sangat sulit dibuka. Hingga tiba-tiba datang seorang kakek-kakek berjubah hitam dari samping kanan mereka."Khem," deham kakek itu dengan wajah yang begit
Melihat Adit yang terjatuh akibat dipukul dari belakang oleh salah satu orang yang berbaju hitam, membuat Abang Justin bergegas menghampirinya. Mereka hanya bisa menoleh sekilas ke arah Adit karena pertarungan masih berlangsung, tetapi di dalam hati mereka berdo'a semoga Adit baik-baik saja."Dit, bangun!"Adit mengerjapkan matanya beberapa kali, kepalanya terasa begitu pening."Gue tahu lo kuat," ucap Abang Justin.Adit mengangguk, kemudian berdiri secara perlahan dengan di bantu Abang Justin. Setelah Adit berdiri dengan sempurna, mereka berdua kembali berkelahi dengan orang berbaju hitam itu.Setelah hampir 2 jam mereka habiskan untuk bertarung, akhirnya pihak lawan tumbang semua. Dengan napas yang tidak beraturan, sahabat Adit serta sahabat Diva melangkah mendekat, berkumpul menjadi satu. Wajah mereka semua terdapat luka, bahkan beberapa ada yang keluar darah."Dit, beberapa anggota ada yang tumbang, mereka hanya pingsan," ucap Daniel mem
Lorong rumah sakit begitu ramai, derap langkah kaki saling bersahutan, berlari dengan wajah panik serta air mata yang mengalir deras. Mereka adalah orang tua Adit dan Diva. Setelah mendapat kabar bahwa Adit dan Diva terjun dari rooftop, mereka segera berangkat menuju rumah sakit. Orang tua mana yang tidak kaget, jika mendengar berita kalau anaknya jatuh dari rooftop. Semuanya syok, tidak menyangka kalau akan terjadi hal seperti ini. "Adit sama Diva mana?" tanya Bunda Desi setelah sampai di depan ruang UGD. "Masih di tangani, Tan," jawab Daniel. "Duduk dulu, Bun!" ajak Ayah Aryo menuntun Bunda Desi untuk duduk. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing, di dalam hati mereka terus berdo'a untuk keselamatan Adit dan Diva. Mama Githa yang terlalu shock sampai jatuh pingsan, membuat tangis ketiga sahabat Diva semakin keras. Mereka tahu apa yang dirasakan Mama Githa, apalagi Diva merupakan anak perempuan satu-satunya. "Diva akan baik-baik aja 'ka
Seseorang yang Diva panggil, langsung mendongakkan kepalanya. "Ngapain lo disini, Karin?" tanya Diva datar. Ya, ternyata seseorang yang duduk di samping Ayah Aryo adalah Karin. Sahabat Adit dan sekaligus duri di dalam hubungannya. "Memangnya enggak boleh?" tanya Karin melirik Diva sinis. "Diva, mau ketemu Adit ya?" tanya Bunda Desi menyela, dia tidak mau ada keributan disini. Walaupun sebenarnya sedari tadi dia sudah gedek ingin mencakar wajah Karin. "Iya, Bunda," jawab Diva. Karin yang melihat cara bicara Bunda Desi pun menjadi kesal. Sedari tadi, mereka tidak ada yang mengajaknya berbicara. Sekalipun ada, nada bicara mereka akan ketus, tidak seperti kepada Diva yang lemah lembut. Gue akan balas lo, Va, Batin Karin tersenyum miring. "Pa, Adit," ucap Diva meminta Papa Afnan mendorong kursi rodanya mendekati pintu ruangan Adit. Papa Afnan me
"Lo ngomong apa, Bar?" tanya Revan yang samar-samar mendengar ucapan Bara. "Itu ... hidungnya Diva keluar darah," jawab Bara menunjuk darah yang menetes ke lantai. Mendengar ucapan Bara, sontak semuanya langsung mengalihkan pandangannya ke arah Diva yang memejamkan matanya. "Nak," panggil Mama Githa menepuk pipi Diva pelan. "Bawa ke ruangannya, Bang!" perintah Papa Afnan cemas. Dia takut terjadi apa-apa dengan Diva. Apalagi Diva yang baru saja sadar dan langsung mendapat kabar tentang Adit. Tanpa berkata apa pun, Abang Justin langsung berlari kencang, tetapi tetap hati-hati dan diikuti Papa Afnan dan Mama Githa. Sahabat Diva dan Adit yang baru saja akan menyusul, langsung menghentikan langkahnya kala mendengar ucapan dari Karin. "Itu karma karena sudah mengambil Adit dari gue," ucap Karin tersenyum puas. "Karma? Seharusnya yang dapat karma itu lo, karena sudah menjadi orang ketiga di hubungan Adit dan Diva. Lagian dulu lo nolak Adit 'k
Mereka menjadi terdiam dengan kepala yang menunduk, merasa bersalah. Mereka tidak ada pikiran sampai sejauh itu. Jika tahu begini, mungkin mereka akan mengiyakan ajakan Diva tanpa berpikir dua kali."Sorry, Va. Kita enggak tahu," sesal Mira menatap Diva dengan raut sendunya. Dia terus merutuki dirinya sendiri yang kalau berbicara suka asal ceplos.Dada Diva menjadi sesak, air matanya berlomba-lomba untuk keluar. "Apa kalian pikir, gue mau dance itu cuma untuk have fun aja?""Dek, sudah. Mereka lagi capek, belum istirahat dari tadi. Kamu tidur aja yuk!" ajak Abang Justin melerai."Maaf," ucap Diva menghapus air matanya lalu berbaring. Mungkin dengan tidur bisa menenangkan hati dan pikirannya.Setelah memastikan bahwa Diva sudah tertidur lelap, Abang Justin berjalan menuju sofa, tempat para sahabat adiknya berada. Dia merasa tidak enak, padahal mereka telah membantu dia menyelamatkan Diva."Obati dulu luka kalian dan maaf karena ucapan Diva ta
Sudah terhitung satu minggu sejak Diva keluar dari rumah sakit. Semuanya berjalan dengan lancar, sekolah seperti biasa. Namun, yang membedakan adalah tidak ada Adit dan Karin disekitar mereka. Jika Adit masih berada di Singapura, berbeda dengan Karin yang hilang seperti ditelan bumi."Va," panggil Tika. Saat ini mereka sedang berada di sekolah, lebih tepatnya di dalam kelas. Tadi, mereka berangkat terlalu pagi. Itu semua karena Mira yang mengajak berangkat bersama dan menjemput mereka satu-persatu. Kalau kata Mira sih, dia kangen kebersamaan mereka berempat. Jika dulu mereka kemana-mana selalu bersama, berbeda dengan sekarang yang berkumpul hanya ketika di sekolah saja. Apalagi setelah kejadian Diva kemarin, mereka jadi dilarang main."Apa?" tanya Diva yang tersadar dari lamunannya."Lo mikirin apa sih?" tanya Mira penasaran karena sedari tadi Diva terus melamun. Bahkan, ketika mereka berbicara Diva hanya merespon seperlunya, setelah itu kembali melamun. Diva se
Mereka semua langsung memusatkan fokusnya ke seseorang yang tiba-tiba berdiri di samping Adit. Bahkan Diva sampai membulatkan matanya tidak percaya. Karin, seseorang yang selama seminggu ini tidak ada kabarnya dan sekarang tiba-tiba datang bersama Adit. Apa Karin memang menyusul ke Singapura?"Heh, lo kenapa bisa sama Adit?" tanya Mira mewakili yang lain."Memangnya ada yang salah?" tanya Karin angkuh."Ya salah, dia itu sudah punya pacar," sahut Tika kesal."Oh ya? Coba kalian tanya sendiri sama Adit." Karin menyunggingkan senyum miringnya."Adit, kenapa kamu bisa berangkat sama Karin?" tanya Diva menatap lekat mata tajam Adit."Pacar," jawab Adit singkat.Tubuhnya mematung sejenak. Pasokan oksigen di sekitarnya seakan menipis. Pandangannya mulai memburam, karena air mata yang berlomba-lomba untuk keluar."Maksud kamu apa? Pacar kamu itu