Share

Titah Sang Nyonya

Tentu saja Adriana terperangah mendengar tuduhan serupa itu. Jelas –jelas ia tak melakukan apa pun. Kenapa malah jadi tertuduh begini? Astaga!

“Jawab saya! Kamu nggak bisu, kan?” Sang nyonya dengan rambut disasak teramat rapi itu kembali mengulang tanya. Ia kini berdiri di hadapan Adriana dengan mata menatap nyalang.

“Sa-saya nggak ngapa-ngapain dia, Nyonya—“

“Bohong kamu! Kalau nggak diapa-apain gimana bisa pingsan?” Sang Nyonya semakin gemas hingga Adriana mundur saking takutnya.

“Mana saya tahu. Saya cuma lagi jalan sendirian dan dia datang tiba-tiba aja nyebut saya Zoya. Kami sempat berdebat dan kemudian dia memegangi kepalanya seperti pusing gitu. Abis itu pingsan. Sumpah, Nyonya, itulah kejadian sebenarnya.” Adriana kembali mengulang penjelasan yang sama dengan saat tadi diinterogasi di luar.

Duh, kalau tahu urusannya akan seribet ini, tadi nggak usah ditolongin aja kali, ya. Biarin aja pingsan sampai ada orang lain yang nemuin! Ish! Adriana membatin dalam diam.

Sang Nyonya tampak berpikir sejenak. Tatapan matanya sedari tadi bolak-balik melirik ke arah sofa panjang di mana sosok Tuan Dante tadi terbaring tak berdaya. Tampaknya berharap pria itu akan bangun sendiri bahkan sebelum dokter pribadi yang dipanggilnya tadi datang.

Saat berpaling ke arah Adriana lagi, ia tampak tengah menilai gadis di hadapannya itu. Namun, belum sempat beliau membuka mulut lagi, pintu terbuka. Seorang pria separuh baya berkostum putih-putih dan berkacamata masuk ke dalam ruangan. Langkah kakinya cepat dan pasti membuat Adriana langsung menaruh kepercayaan bahwa beliau pastilah dokter yang cekatan dan profesional.

Sang Nyonya kini beralih menyambut sang dokter.

“Tolong anak saya, Dokter. Dia mendadak pingsan di tengah jalan,” katanya melaporkan kondisi sang putra.

Gurat kecemasan kembali terpampang di wajah yang masih tampak sangat cantik di usianya yang sudah punya putera sedewasa Tuan Dante. Yah, uang dan kekuaaan memang sangat mempengaruhi tingkat kecantikan, bukan? Adriana berpikir dalam benaknya.

Nyonya itu fokus memperhatikan dokter itu yang langsung membuka tas peralatannya dan mulai memeriksa dengan seksama kondisi putranya. Ia bahkan memegangi telapak tangannya dengan kegugupan takut terjadi hal yang tak diinginkan.

Adriana tak dapat banyak melihat apa saja yang terjadi di sofa sana. Ia yang masih berdiri di dekat pintu pun dihampiri oleh sang asisten.

"Silakan duduk dulu, Nona," ucapnya mempersilakan Adriana duduk di satu set meja kursi kayu yang terletak di satu sisi pintu. Tampaknya ini ruangan kantor seorang petinggi perusahaan, pikir Adriana sembari memindai ke seluruh ruangan yang bernuansa putih dan abu-abu itu. Seluruh dinding bercat putih sementara seluruh perabotan berwarna mayoritas abu-abu.

Sejurus kemudian sang asisten menyediakan segelas minuman dingin dari botol jus buah kemasan dalam kulkas kecil di ruangan tersebut. Bahkan ada pantry kecil di pojokan dengan mesin pemanas kopi di atasnya. Lengkap sekali kalau hanya sebagai ruangan kantor manager biasa. Ini pasti ruangan pribadi CEO atau sejenisnya, pikir Adriana menarik kesimpulan.

"Tolong tunggu sebentar. Nyonya sedang mencemaskan Tuan Dante. Kita tunggu sampai Dokter selesai dulu," ucapnya datar.

Adriana hanya menganggukkan kepalanya cepat. Ia menyeruput minuman yang dihidangkan demi membunuh waktu. Segarnya jus jeruk manis membasahi tenggorokan. Ia membetulkan duduknya agar lebih bisa santai selama menunggu.

"Semuanya baik, hanya saja tampak ada yang aneh dengan pingsan di tengah jalan padahal kondisinya baik semua,” cetus sang dokter sambil membereskan tas peralatannya.

“Apa ada sesuatu yang terjadi sesaat sebelum Tuan Dante pingsan tadi, Nyonya?”

“Ah, gadis itu yang menemukan dia, Dok. Katanya yang terjadi adalah Dante salah mengira dia itu Zoya, sempat berdebat dan kemudian Dante pegang kepala seperti pusing dan mendadak jatuh pingsan,” jelas Nyonya itu sembari sesekali melirik dengan tatapan curiga ke arah Adriana.

Sang dokter ikut menatap Adriana. Bahkan, ia sampai mengangkat sedikit kacamatanya demi meneliti Adriana dari atas ke bawah seolah menilai entah apa.Dipandangi serupa itu, Adriana jadi salah tingkah dibuatnya. Ada apa sih? Kenapa semua orang dari Tuan Dante, Nyonya ini dan juga bahkan si dokter menatapnya seolah ia makhluk dari luar planet yang butuh diteliti!

“Ingatan saya yang kurang tajam, ataukah Nyonya juga berpikir sama dengan saya? Menurut saya dia tidak mirip sama sekali dengan Nona Zoya, bukan?” Dokter yang sepertinya adalah dokter pribadi dari keluarga Danuaji itu mengemukakan pendapatnya.

“Saya juga berpikir hal yang sama, Dok. Mereka tidak mirip. Tapi kenapa Dante sampai salah mengenalinya. Makanya saya jadi curiga kalau gadis ini berbohong,” jawab Nyonya itu sambil lagi-lagi melempar pandangan curiganya ke arah Adriana.

“Kalau begitu mungkin Tuan Dante hanya sedang mengalami kilas ingatan lalu mendadak pusing hingga tak tertahan dan pingsan,” ucap sang dokter mengambil simpulan sementara.

“Kita harus lakukan observasi lagi nanti si rumah sakit. Tapi tak apa. Nanti saja kalau dia sudah sadar. Sekarang biarkan istirahat dulu," lanjutnya yang lantas membuat sang nyonya tampak bernapas lega.

Mereka masih berbincang lagi sebentar entah tentang apa, Adriana tak terlalu dapat menangkap obrolan mereka. Selang beberapa waktu kemudian, sang dokter lalu pamit kembali ke tempat praktiknya.

Usai mengantar dokter itu ke pintu keluar, Nyonya tadi kembali menghampiri Adriana.

"Nona, pertama-tama, perkenalkan dulu. Kita tadi belum sempat berkenalan, bukan? Nama saya Wanda Danuaji. Dan Anda?"

"Saya Adriana, Nyonya. Adriana Renata," jawabnya sembari menyambut uluran tangan Nyonya Wanda.

“Nah, Adriana, Dokter bilang Dante tadi bisa saja mengira kamu sebagai Zoya karena satu atau lain hal. Saya tidak tahu apa itu, tapi rasanya saya harus minta tolong padamu.”

Nada suara yang digunakannya sudah jauh lebih ramah dari saat obrolan pertama tadi. Namun, entah kenapa Adriana malah merasa bahwa itu pertanda bahaya bagi kelangsungan nasibnya.

“Minta tolong yang seperti apa itu, kalau boleh tau?” tanya Adriana sambil menahan napas sedikit takut.

“Putra saya Dante ini mengalami amnesia parsial karena kecelakaan. Dan menurut dokter, dia bisa saja sembuh dengan cara menimbulkan kembali ingatan-ingatan khususnya yang menghilang. Kami pikir mungkin kamu bisa membantu dengan berpura-pura menjadi Zoya. Zoya ini … kekasih Dante yang hilang ….” Panjang lebar Nyonya itu menjelaskan duduk permasalahannya.

“Ap-apa? Mana mungkin bisa gitu, Nyonya? Gimana bisa saya harus pura-pura jadi pacar Tuan Dante? Saya—“

“Saya akan bayar berapa pun, Adriana. Berapa pun!”

Mendengar itu, Adriana langsung teringat betapa dompetnya sedang kosong melompong. Dan betapa ia sudah berhari-hari ngotot ke sana ke mari mencari pekerjaan tapi tak jua menemukan lowongan.

Astaga! Apa ini sebuah jalan yang diberikan Tuhan? pikir Adriana mempertimbangkan.

Tapi heiii, berpura-pura jadi kekasih orang? Apa Adriana mampu? Apa segampang itu? Otaknya berputar keras hingga sang Nyonya kembali mengulang tanya,

"Bagaimana, Adriana. Kamu bersedia, kan?"

***

Dian Apriria

Fiuuuuh ... dibayar berapa pun? Mau gak nih, yaaaaa? ^^

| Like
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Diah Widyatie
Yaaaahhh...mau ajalah...drpd dompet melompong ?! Hehehehe...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status