Terbelalak ngeri, Adriana langsung beranjak tak jadi duduk di sana. Ini kursi mesum mereka, pikirnya membatin, agak jijik dengan bayangan yang seketika melintas dalam pikirannya.
"Hei, mau ke mana, Zoya?" panggil Dante yang mellihat sang gadis malah ngeloyor pergi menjauhinya.
"Aku ... mau ke kamar mandi sebentar!" jawab Adriana memberi alasan.
Bergegas pergi daripada mengundang bahaya yang lain lagi, Adriana mencari-cari jalan ke kamarnya tadi. Di rumah ini banyak sekali lorong sehingga ia hampir tersesat kalau saja tidak melihat seorang pelayan yang menyapanya dengan menundukkan tubuh lalu ditanyai,
"Bik, anu ... bisa antar ke kamarku tadi, nggak? Ehehe ... aku ... lupa," jujurnya kepada wanita berusia sekitar empat puluhan itu."Oh, baik, Nona Zoya. Mari saya antar," jawabnya ramah lalu mendahului Adriana ke lorong tempat kamarnya dan kamar Dante berada. Astaga! Ternyata memang kalau lewat pintu samping rumah, jadi membingungkan rutenya.
"Nona mungkin butuh apa-apa lagi? Biar saya siapkan?" tawar sang pelayan kembali dengan menundukkan tubuhnya.
Merasa tak enak karena sudah merepotkan, Adriana segera menjawab,
"Tidak perlu, Bik. Terima kasih banyak, ya. Nanti akan kuhafalin deh rute rumah ini biar nggak ngerepotin Bibik lagi, ehehee."Sang pelayan terkekeh melihat kepolosan Adriana yang dipanggilnya sebagai Zoya. Sebenarnya, dia sudah tahu kalau dia adalah Zoya yang lain. Sebab, Zoya yang biasa diajak menginap oleh Tuan Dante adalah seorang gadis muda dengan tingkah sok kuasa dan dandanan selalu wah serta pandangan sinis setiap kali menatap ke arah pelayan seperti dirinya.
"Zoya, ngapain kamu ngobrol sama pelayan?" Suara Dante menegur. Hal yang langsung membuat si Bibik menundukkan tubuhnya dan melipir pergi.
Segera Adriana mencatat dalam hati bahwa ternyata Dante dan Zoya ini sama-sama angkuh dan pilih-pilih dalam bergaul. Oke, kira-kira apa yang akan si Tuan Dante ini katakan kalau sampai tahu siapa Adriana sebenarnya? Gaji pelayan di rumah ini saja rasanya pasti jauh lebih besar dari penghasilan orangtuanya! Ya ampun!
"Emh, bukan apa-apa. Kok, nyusul ke sini?" Dialihkannya pembicaraan agar Dante tak terus mendesak.
"Udah ke kamar mandinya? Aku cemas. Kok kamu beberapa kali ke kamar mandi hari ini. Apa ada yang sakit?"
"Ng-nggak ada. Cuma ... betulin make up," jawab Adriana sekenanya. Dan ia terlupa bahwa di wajahnya kini bahkan tak ada riasan sedikit pun selain bedak dan lip gloss. Astaga!
Dante kembali mengernyit curiga. Akhirnya ia mengawal Adriana yang masuk ke kamar dan bergegas masuk ke kamar mandi tanpa melakukan apa pun. Ia hanya berdiam di depan kaca washtafel dan merutuki nasibnya sendiri sambil menatap pantulan wajahnya di cermin.
"Kenapa wajah ini pakai ada mirip-miripnya sama si Zoya itu, sih? Sial amat!" gerutunya.
Ia lantas kepikiran soal seberapa mirip dirinya dengan Zoya. Ia bahkan belum pernah melihat foto Zoya. Ah, mungkin nanti akan diselidikinya ke kamar Dante. Pasti ada foto atau lukisan atau apa pun yang menandakan kedekatan mereka berdua, kan? pikirnya menebak.
Saat keluar, Dante sudah sibuk dengan ponselnya. Tampaknya pria itu baru menyadari sesuatu.
"Oh, ya, Sayang. Nomor ponsel kamu kenapa nggak aktif?" tanyanya menatap lekat pada Adriana.
Adriana tercekat. Nomor ponselnya? Pasti maksudnya nomor ponsel Zoya. Mana dia tahu kenapa nggak aktif, kan emang kata Nyonya Wanda, gadis itu sengaja menghilang entah kemana.
"Eh, itu ... ponselku hilang," jawab Adriana mengarang alasan secepat ia bisa. Ya ampun, pekerjaan ini sungguh menuntutnya harus pandai menyusun kebohongan di luar kepala. Semoga Tuhan maklum bahwa ini semua hanya tuntutan peran, harapnya membatin.
"Wah? Kok nggak bilang, sih? Hilang di mana?"
"Entah, aku lupa. Tiba-tiba aja udah nggak ada di tas," jawabnya lagi, masih dalam mode dadakan.
"Tapi nggak ada data penting yang tertinggal? Kita bisa usahaain lacak kalau kamu mau," tawar Dante yang sudah siap menghubungi tim IT yang bisa diminta bantuannya.
"Nggak usah. Nggak ada yang penting, kok. Lagipula aku udah ada ponsel lagi," sergah Adriana yang langsung menyesal mengatakan hal itu. Karena ia tak mungkin kan menunjukkan ponsel buluk lamanya yang mungkin hanya seharga minuman di cafe untuk orang kaya seperti Dante. Ck!
"Mana nomornya?" pinta Dante kemudian.
Duh, apa aman kalau dikasih nomornya sendiri? Lalu mau dikasih nomor yang mana lagi selain itu, kan?
Ia pun menyebutkan sederet nomor ponsel miliknya. Iya, nomor ponsel yang tak ada pulsanya. Ia hanya mengisinya untuk menjaga masa aktifnya agar tak kelewatan kalau sampai ada panggilan dari tempat kerja yang dilamarnya.
Dante yang telah menginputnya ke phone book dan coba menghubungi nomor tersebut pun kaget mendengar nada dering nyaring yang mendadak mengudara dari dalam tas kanvas milik Adriana yang tergeletak di meja.
Nada dering legend dari sebuah brand ponsel sejuta umat yang terkenal dengan harga murah di negeri itu.
Tergopoh, Adriana mematikan deringnya tanpa mengeluarkannya dari dalam tas. Fix Dante akan sangat curiga kalau melihat bagaimana kondisi ponselnya yang memprihatinkan!
"Itu ponselmu?" Dante bangkit dari duduknya dan menghampiri Adriana. Tangannya meraih tas kanvas gadis itu hendak mengambil ponselnya.
Ya Tuhan ....
***
Waduhh, ketauan misqueen, inih!
Adriana dan Dante akhirnya bersatu. Mereka mengakui perasaan masing-masing hari itu juga dengan cara yang begitu lucu."Jadi, apa benar yang dikatakan Neil barusan?" Dante mengkonfirmasi kepada Adriana.Tentu ia juga ingin mendengar cerita versi dari gadis itu sendiri, kan. Bukan hanya dari versi Neil."Tentang yang mana?" Adriana malah balik bertanya karena ia sungguh tak paham arah pembicaraan Dante barusan. Apa maksudnya mengira Neil main-main atau bagaimana."Tentang yang dia bilang bahwa kamu ... mencintaiku, dan bukannya Neil," ucap Dante memperjelas maksud perkataannya. Hal mana tentu saja sukses menerbitkan rona memerah di pipi gadis cantik itu."Mana kutahu! Tanya saja sama yang bilang!" Adriana memasang wajah cemberut. Dan ia jadi baru ingat kalau orangtuanya masih tertinggal di gedung tadi."Astaga! Aku harus menjemput orangtuaku!" ucap Adriana memekik."Apa? Di mana?" Dante bertanya terkejut dengan perubahan topik yang sedrastis itu."Di gedung tadi," jawab Adriana menampak
Usai mengatakan hal itu, Neil turun dari panggung dan beranjak pergi. Ia sesak rasanya di sana. Tapi keputusan itu sudah hal yang paling benar. Memang ia telah mempermalukan keluarganya sendiri saat itu, tapi demi kebenaran, semua itu harus dilakukannya. Ya, dari awal kesalahannya lah terlalu memaksakan cinta sepihaknya terhadap Adriana.Adriana terkejut mendengar perkataan Neil yang membatalkan pertunangannya secara sepihak. Adriana sendiri bingung ia harus senang atau sedih, karena sebenarnya ia tidak mencintai Neil.Tidak hanya Adrina yang terkejut, para tamu pun terkejut mendengar pernyataan dari Neil yang membatalkan acara pertunangannya itu.Karena sebelumnya Neil terlihat sangat antusias dengan acara pertunangannya dengan Adriana. Dan mereka kurang mempercayainya jika Neil sendirilah yang membatalkan acara pertunangan itu.Para tamu langsung berbisik-bisik mengenai batalnya acara pertunangan mereka. Sedangkan Neil tidak peduli dengan semua omongan para tamu itu, Neil hanya memi
Bahkan saat sang ayah mengaku mau berbicara dengan Neil mengenai keberatan mereka atas pertunangan itu pun, Adriana menolak dengan tegas."Jangan, Pak. Kasihan Neil dan keluarganya kalau sampai semua persiapan besar ini sampai gagal." Adriana berkata tegas."Tapi, Nak. Nanti kamu yang akan menderita kalau sampai menikah bukan atas dasar cinta. Ini pernikahan sakral loh. Jangan dibuat mainan." Sang ayah berpesan dengan tatapan sangat khawatir terhadap nasib yang akan menyambut sang putri di depan.Adriana menghela napas panjang. Ia bahkan sudah tak ingin membantah takdir. Ia pasrah menerima semuanya. Bagaimanapun, Neil sudah sangat berjasa terhadapnya hingga ia tak mungkin rela menyakiti atau membuat kecewa pria baik itu."Tak apa, Pak, Bu. Adriana yakin, cinta bisa datang karena terbiasa. Yang penting Neil itu baik kok. Adriana yakin kelak akan bisa bahagia bersamanya."Sambil berkata begitu, Adriana bangkit dari tempat duduknya dan pamit untuk masuk ke dalam kamar untuk tidur. Jam su
Dan diantara orang yang sangat mengkhawatirkan Dante adalah Nyonya Wanda, karena semenjak Neil yang memberitahu mereka jika Adriana menerima lamarannya, Dante langsung terlihat sangat kacau bahkan jarang sekali makan.Seperti saat ini Dante tidak kunjung turun dari kamarnya padahal jam dinding sudah menunjukkan jam makan malam.Nyonya Wanda yang merasa sangat khawatir terhadapnya langsung pergi ke kamar Dante. Setelah sampai di depan kamar Dante, Nyonya Wanda langsung mengetuk pintu kamar Dante."Dante!" panggil Nyonya Wanda.Tapi Dante tidak kunjung menjawab panggilan dari nyonya Wanda. "Dante. Ayo makan, kamu udah beberapa hari ini gak makan dengan teratur."Dante sebenarnya malas, tapi karena ia tidak mau membuat ibunya khawatir, jadi Dante pun berniat untuk turun malam ini."Iya, Ma. Nanti Dante nyusul.""Mama gak mau turun kalau kamu nggak keluar," jawab Nyonya Wanda.Dante pun menghela nafas panjang lalu beranjak dari tempatnya. Ketika Dante pergi, tiba-tiba ponselnya bergetar d
Sudah hampir satu jam tapi Adriana belum menemukan gaun yang cocok untuknya, tapi tiba-tiba Neil langsung merekomendasikan gaun yang dia sukai."Bagaimana dengan ini? Kamu suka?" tanya Neil sambil menunjukan gambar gaun yang ada di majalah.Adriana sangat menyukai gaun yang ditunjukkan oleh Neil itu, tapi ia merasa gaun itu tidak cocok untuknya karena gaun itu terlihat sangat mahal."Kayaknya nggak bakal cocok deh sama aku," jawab Adriana."Kan belum dicobain udah gih kamu cobain dulu," ujar Neil.Neil pun memanggil pegawai butik itu lalu menyuruh pegawai itu untuk memberikan gaun yang nilai sukai kepada Adriana. Adriana yang memang tidak bisa menolak akhirnya mencoba gaun itu. Dan ternyata gaun itu sangat cocok tidak perlu dikecilkan atau pun diperbesar.Pada akhirnya mereka menjatuhkan pilihan gaun pertunangan itu kepada gaun yang baru saja Adriana coba. Setelah membayar semuanya Neil dan Adriana pun pergi dari sana.Lalu Neil kembali membawa Adriana ke toko perhiasan, Neil dan Adri
Saat Adriana baru saja masuk ke dalam kantor, ternyata berita tentang mail yang mengajak serius kepada Adriana sudah tersebar luas ke semua karyawan, dan entah siapa yang menyebarkannya, karena Adriana dan Neil tidak merasa memberitahukan hubungan mereka kepada orang lain, termasuk Yanti sekali pun.Beberapa karyawan langsung merasa iri kepada Adriana, tapi beberapa karyawan lainnya juga merasa Adriana dan Neil cocok, termasuk Yanti yang sangat men-support hubungan Neil dan Adriana.Berbeda dengan Neil yang sangat merasa senang karena sebentar lagi dirinya dan Adriana akan melakukan acara tunangan, justru Adriana tidak merasa senang, Adriana malah memikirkan Dante yang sepertinya sedang mencoba menjauhinya.Karena biasanya Dante selalu datang ke kosannya atau ke kampusnya kini Dante tidak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi.Bahkan terakhir kali Adriana bertemu dengan Dante adalah pada saat dirinya akan pulang dari rumah sakit, dan kebetulan Dante akan menjemput Nyonya Wanda.Saa