Share

Area Rawan

DEG! Adriana langsung terbungkam. Untung ia langsung bisa berpikir cepat soal jawaban yang dapat menutupi kecurigaan Dante.

"Maksudku itu pesan papaku dulu sebelum meninggal," ucapnya buru-buru.

Akhirnya Dante menghela napas panjang. Sedikit terbersit curiga tapi kemudian rautnya kembali netral. Pria itu lalu mencubit hidung gadis di hadapannya gemas.

Adriana berpura-pura terkekeh. Ia kemudian menguap lebar demi menciptakan kesan bahwa ia sedang sangat mengantuk dan lelah.

"Ngantuk?" tanya Dante tampak prihatin.

Adriana cepat-cepat menganggukkan kepala. Terlalu cepat hingga Dante tampak sedikit merasa aneh lagi dengan sikap gadis di hadapannya.

"Ya udah, tidur aja. Aku akan keluar," ujar Dante. Hal yang sangat dinantikan oleh Adriana memang kepergian pria itu dari dalam kamarnya.

"Oh ya, kalau butuh apa-apa, kamu langsung bilang ke aku atau ke pelayan. Anggap aja rumah sendiri, oke?" Dante mengucapkan kalimat pamungkasnya sebelum berlalu dan menutup pintu kamar Adriana di belakangnya.

"Huuuuft ... akhirnya ... dia keluar juga dari sini!" Adriana langsung mendudukkan dirinya di atas sofa empuk yang ada dalam kamar super besar itu. Super besar menurutnya karena kamar itu bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan seluruh bangunan rumahnya di kampung.

"Ya ampun, gawat amat sikap si Dante sama pacarnya. Gimana kalau dia berani macem-macemin aku, nih?" tanya Adriana seorang diri.

Ketakutan merayap dalam pikirannya. Kalau dia terus menghindar, nantinya Dante malah curiga ada yang aneh dengan dirinya. Tapi mana mau dia menurut saja kalau digerayangi atau disentuh sembarangan oleh pria yang bukan pacar aslinya—yah, hanya pacar pura-pura itu tidak dihitung, ya!

Dalam kebingungan, ia pun terlelap dengan tubuh masih berbaring di atas sofa. Ia tadinya memang tak ingin berbaring di ranjang berukuran big size yang ada di sana. Serasa asing sekali tidur di ranjang yang sebesar itu. Dipan di rumahnya hanya sepertiga ukuran ranjang tersebut. Pun demikian dengan dipan di kontrakan teman yang selama ini ditumpanginya.

Saat terlelap, entah kenapa bahkan dalam mimpi pun Adriana tengah dikejar Zoya yang sesungguhnya. Gadis tanpa wajah itu mengatakan betapa berani dirinya berpura-pura jadi Zoya. Sementara Adriana hanya diam tak mampu berkata apa-apa.

***

Sebuah sentuhan lembut di pipi membangunkan Adriana dari tidurnya. Ia terkejut dan spontan membelalakkan mata kala dilihatnya wajah Dante telah berada tepat di atasnya.

"Eh, ap-apa yang kamu lakukan?" sentaknya kasar.

Ia lalu mendorong dada pria itu menjauh darinya dan bangkit berdiri dari sofa. Matanya nanar menatap ke arah Dante kemudian beralih memeriksa kelengkapan pakaiannya. Masih lengkap, astaga! Pikirannya sudah menjalar ke mana-mana. Ketakutan merajai sejenak perasaannya.

"Aku cuma menungguimu tidur. Kenapa? Kamu mimpi buruk?" Dante menanyai Adriana dengan tatapan cemas.

Adriana menyipitkan matanya dengan curiga.

"Cuma nungguin aku tidur, kan? Nggak ada macem-macem, kan?" cecarnya penuh kecurigaan.

Hal mana mengukir gurat heran di wajah pria di hadapan.

"Aku masuk untuk ngajakin kamu keluar biar nggak di kamar aja. Tapi kulihat kamu masih tidur, jadi ya udah. Aku tungguin di sebelah kamu." Dante menjelaskan apa saja yang dilakukannya di kamar Adriana saat gadis itu masih terlelap dalam tidurnya tadi.

Adriana lalu terpaksa menerima penjelasan tersebut sebab ia memang sama sekali tak merasakan apa pun sebelum jari Dante menyentuh pipinya barusan. Ya Tuhan, hidupnya benar-benar dalam bahaya di rumah itu. Ia tadi terlupa mengunci pintu! Sial, rutuknya dalam hati sambil bertekat tak akan pernah abai untuk mengunci pintu lagi lain kali.

"Kamu capek banget, ya? Sampai nyenyak sekali tidur." Dante mengalihkan pembicaraan mereka.

Hal mana dijawab oleh Adriana dengan anggukan kepala.

"Yuk, keluar. Pasti bosan kalau di kamar terus, kan?" ajak Dante yang tanpa menunggu persetujuan Adriana, langsung menarik lengan gadis itu dan mengajaknya keluar dari kamar.

Adriana yang masih belum terbiasa dengan sentuhan-sentuhan spontan dari Dante itu sedikit merinding. Ia berusaha mengabaikan gelenyar aneh dalam dirinya akibat hangat genggaman jemari pria tampan di lengannya itu. Bagaimana ini, rasanya Dante memberinya efek magis yang besar. Sampai-sampai ia merasa takut kalau akan terancam jatuh cinta pada diri pria itu.

Tak bisa menolak, Adriana pun bersiap sebentar. Ia ke kamar mandi untuk berbenah, bukan mandi. Karena ia sungguh khawatir bila sewaktu-waktu Dante menggedor pintu kamar mandi dan meminta masuk. Celaka dua belas!

Ia tak bisa mengira-ngira hal absurd apa saja yang mungkin bisa dilakukan pria yang baru saja dikenalnya tetapi langsung harus jadi pacarnya itu, kan?

Bergandengan tangan, Dante membimbing Adriana ke taman samping rumahnya. Taman yang membuat mata Adriana spontan membola. Begitu cantik dengan tatanan artistiknya. Ada sebuah kursi taman bercat putih yang serasi benar diletakkan di antara deretan bunga gardenia. Menuruti keinginan hatinya, Adriana langsung berjalan menuju ke kursi tersebut dengan Dante membuntuti di belakang tubuhnya.

"Kamu ingat rupanya. Ini kursi taman tempat kita sering bercumbu," ucap Dante dengan wajah sudah memerah seolah terserang gairah.

What?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status