Veni masih mematung, sambil memandang Elaine dengan padangan penuh tanya. Jika melihat momen tadi, sepertinya hubungan Elaine dan Soraya tidak baik.
‘Ah, apa ini karena Darell?’ batin Veni.
Elaine menghela napas panjang, dia putus asa. 12 juta dalam 2 minggu? Dari mana dia bisa dapat uang sebanyak itu dalam waktu singkat? Apa dia harus datang ke pesugihan? Ah rasanya rugi sekali kalau datang ke pesugihan cuman untuk hal seperti itu. Harus ke pesugihan itu ketika punya goal yang lebih tinggi. Duh ini kenapa sih, malah ngajarin yang nggak bener?
Saking frustasinya Elaine dia sampai menutup wajah dengan kedua tangannya. Mencoba mencari solusi dari permasalahannya ini.
“Lo ada masalah apa sama Kak Soraya?” bisik Veni sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Elaine.
“Huh!” Elaine menurunkan tanganya dengan kasar. Wajahnya kini terlihat seperti orang yang frustasi. “Masalahnya sepele. Gue nggak sengaja numpahin minu
“Halo, Elaine?” sapa seorang laki-laki dari seberang telepon.Elaine yang sedang mengerjakan tugas bersama teman-temannya yang lain. Terpaksa harus beranjak ke tempat yang agak sepi untuk mengangkat telepon dari Bisma.“Halo, Kak Bisma. Ada apa?” tanya Elaine. Sudah dua hari pasca Elaine memberikan lamaran pada Bisma. Semoga saja ada kabar baik tentang pekerjaan yang ditawarkan Bisma. Elaine sedikit harap-harap cemas.“Ini perihal lamaran kerja. Lo bisa ketemu sama Mommy Ara malam ini? Nanti gue temenin,” kata Bisma.Elaine tersenyum senang. Ah, akhirnya ada panggilan perihal pekerjaan paruh waktu itu.“Bisa, Kak. Bisa banget. Jam berapa?” tanya Elaine antusias, sampai-sampai matanya berbinar.“Jam delapan. Nanti kita ketemu jam tujuh aja, ya. Kosan lo di mana? Biar gue jemput.”“Oh di Pondok Amara. Tau nggak, kak? Di deket Indoseret ada gang kecil, masuk ke sana.&rdquo
Jam kerja paruh waktu Elaine, yaitu dari jam tujuh sampai jam sebelas malam. Terhitung empat jam. Elaine sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Butuh perjalanan sekitar 1-2 jam untuk sampai di tempat kerja Elaine. Saat ini dia sedang menunggu Bisma di depan Indoseret.TING.Ponsel Elaine berbunyi. Dia langsung mengecek pesan yang baru saja masuk. Ternyata itu dari Darell.Darell: Lagi apa?Tumben sekali anak ini menanyakan kegiatan Elaine. Setelah hampir empat hari tidak menghubunginya. Kini laki-laki itu menanyakan aktivitas Elaine.Elaine: Lagi berdiri.Tak salah bukan Elaine membalas seperti itu? Memang pada kenyataannya Elaine sedang berdiri.Darell: Rasanya pengen nabok. Di mana? Jalan yuk!Elaine: Next time deh. Ada janji soalnya.Darell: Janji? Sama?Elaine: Cowok.Darell: Oh. Oke lah. Tapi malam minggu harus sama gue!El
Ponsel Elaine berdering dengan nyaring. Sudah beberapa kali ponselnya itu berbunyi, tapi tak kunjung dia angkat. Ya … bagaimana mau mengangkat telepon gadis itu masih tidur dengan pulas. Tapi si penelepon tak putus asa untuk terus menghubungi Elaine.Mungkin ini adalah panggilan ketiganya, saat tangan Elaine menyasari nakas yang ada di samping tempat tidur. Mencari benda pipih hasil doorprize dari ulang tahun Zora. Saat tangan Elaine mendapati benda itu. Dia buru-buru meraihnya dan mengangkat telepon tersebut, tanpa melihat siapa orang yang menelponnya.“Halo,” sapa Elaine dengan suara serak.“Halo, sayang. Hey, kamu belum bangun ya?” tanya seorang laki-laki paruh baya di seberang telepon.Mata Elaine langsung terbuka sempurna. Tentu saja dia terkejut ketika mendapati suara ayahnya di seberang sana.“Ah. Maaf, Pah. Waktu malam Elaine begadang,” timpalnya beralasan. Kini Elaine sudah bangun dan tidak dalam
“Nggak ngajak Elaine?” tanya Kale saat Darell baru saja tiba ditempat tongkrongan mereka.Karena Elaine tak bisa diajak jalan, akhirnya Darell memutuskan untuk nongkrong bersama kedua temannya. Sekalian mereka juga sudah beberapa minggu tidak mengunjugi Kai.“Kerja katanya,” jawab Darell sambil duduk di tengah-tengah Kale dan Valen.“Kerja? Kerja apaan?” Valen mengerutkan keningnya.“Btw, sorry gue potong. Darell minumnya yag biasa, kan?” tanya Kai.“Gue pengin Manhattan, Kai,” jawab Darell. Biasanya dia akan memesan Wishkey Sour, tapi kali ini dia ingin memesan yang lain.“Sip. Untung gue nanya,” timpal Kai. “Silakan kalian lanjutkan lagi pergibahan kalian,” ucap Kai, dia terkekeh dan langsung menyiapkan pesanan Darell.“Gibah apaan?” cibir Valen sambil mendelik pada Kai. “Jadi kerja apaan?” tanya Valen penasaran.&ldquo
“Bangsat lo, Gavin!” raung Darell.Lalu laki-laki itu berlari ke arah kakak sepupunya. Melancarkan tinju tepat pada pipi kiri Gavin.BUGH.“Aaakk!” pekik para gadis yang ada di ruangan itu.Seketika Gavin tersungkur, setelah mendapatkan pukulan di pipi kirinya. Sebelum benar-benar jatuh, badannya menyenggol beberapa botol minuman keras yang ada di atas meja. Tentu saja botol tersebut pecah dan menumpahkan minuman yang masih tersisa. Darell berjongkok, meraih kerah baju Gavin yang sudah tidak rapi itu.“Lo ngapain cewek itu, hah?” geramnya sambil mencengkrang dengan erat kerah baju Gavin.“Huh!” Gavin mendengus sambil menyeringai. “Apa urusan lo, hah? Terserah gue mau melakukan apa pun sama cewek itu. Lagian gue udah bayar juga,” dengus Gavin.“Bangsat!” Darell hendak melayangkan pukulannya yang kedua. Namun usaha tersebut gagal. Ketika dua orang perempuan datang k
Untuk kesekian kalinya, Elaine menyesal dengan apa yang sudah dia lakukan. Kenapa di tahun ini kesialan selalu menimpa dirinya? Sepertinya Elaine tak cocok dengan angka tujuh belas. Dia juga tiba-tiba mengingat saat dua tahun lalu.Di mana Elaine sedang mengikuti lomba dan dia mendapat nomor urut tujuh belas. Biasanya Elaine selalu menang jika diikut sertakan dalam lomba Ekonomi. Tapi saat itu dia gagal. Lolos babak penyisihan pun tidak.Elaine mendesah kasar, dia ingin menangis sekarang juga. Gadis itu menyesali hidupnya di umur tujuh belas tahun ini. Dia merasa ingin men-skip sisa umurnya dan langsung berumur delapan belas tahun. Tapi mana mungkin bisa? Kecuali dia terkena sindrom putri tidur, dan bangun beberapa tahun kemudian saat umurnya delapan belas tahun.Mobil HRV putih sudah terparkir di basement apartemen. Darell langsung menarik Elaine masuk ke dalam gedung, menaiki lift menuju lantai lima dan segera masuk ke dalam unitnya. Tak ada perlawanan dari El
Elaine meringkuk di kamar Darell. Dia masih terisak, walau sekarang air matanya sudah tak membasahi pipi mulusnya itu. Otaknya me-review kembali kejadian yang baru saja menimpanya di tempat karaoke itu.Gadis itu mengigit bibir bawahnya. Ternyata dia memang cewek murahan. Sudah dua orang yang berkata demikian, Elsa dan Gavin. Di tambah ucapan Darell yang seolah menampar dirinya. Elaine benar-benar ingin menghilang dari bumi ini.Waktu sudah menunjukkan pukul tiga malam. Gadis bersurai hitam dan pendek itu mencoba untuk menutup matanya. Badannya terasa lelah, namun otaknya tak henti-henti memikirkan hal-hal buruk yang pernah menimpa Elaine. Sehingga dia tidak bisa untuk tidur.Elaine merentangkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar Darell. Di satu sisi dia memang berterima kasih karena telah ditolong oleh Darell. Namun di sisi lain, dia merasa terhina karena Darell seolah tak tulus dalam menolongnya. Tiba-tiba Elaine merasa kesal dan marah pada laki-laki itu. R
Darell mengganti pakaiannya dan bersiap untuk mencari Elaine. Ponselnya sedari tadi berusaha menelpon Elaine. Namun ternyata nihil, ponsel gadis itu tidak aktif. Darell semakin gelisah. Dia buru-buru mengambil kunci mobil dan segera pergi dari apartemennya.Pikirannya kacau sekarang. Semoga Elaine baik-baik saja. Itu yang dia harapkan saat ini. Rencananya dia akan menuju kos Elaine. Siapa tahu gadis itu ada di sana. Mengingat semalam Elaine menolak untuk di bawa ke apartemen Darell dan ingin pulang ke kosannya.Mobil putih yang dikendarai Darell kini sudah terparkir di mini market dekat gang kos Elaine. Ia langsung turun dari mobil dan berlari di gang kecil. Ah, sial! Gerbangnya terkunci. Darell tak mengenal satu pun teman kos Elaine.Tak habis akal, Darell mencoba menggedor pelan gerbang putih itu. Tadi dia mendengar beberapa orang perempuan sedang berada di luar kamarnya. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya membukakan gerbang tersebut.“Mi