Kehidupan baru Elaine dimulai. Kini dia bertekad untuk berubah, dan akan lebih memperhatikan penampilannya. Bukan berarti dulu Elaine adalah anak yang cupu, culun, dan kuper. Hanya saja dulu gadis ini terlalu cuek dengan penampilan. Dia tidak pernah mengenakan bedak dengan benar, tak pernah memoles bibirnya dengan lip balm, dan selalu mengucir rambut panjangnya. Kali ini dia bertekad untuk berubah, gadis ini ingin menunjukkan eksistensi dirinya.
“Good! Pokoknya lo harus bikin si Tirta nyesel gak pilih loh!” ucap Grace saat mereka baru saja berbelanja makeup juga baju untuk Elaine kenakan saat dia sudah kuliah.
Saat ini Elaine, Shani, dan Grace sedang berada di kosan Elaine. Dua gadis ini sengaja mengunjungi sahabatnya, untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Persahabatan mereka kini menemukan jarak. Karena kini mereka berkuliah di tiga kampus yang berbeda.
“Btw dia sekampus sama lo kan?” tanya Shani memastikan.
Elaine menganggukan kepalanya. “Dia anak FIB,” jawab Elaine sembari membereskan makeupnya di meja riasnya.
“Pokoknya lo kudu memastikan dia nyesel nyakitin hati Elaine yang lembut ini,” kata Shani lagi. Mereka bertiga mencoba memberikan semangat pada Elaine.
Elaine senyum penuh harapan. Grace dan Shani saling bertatapan, mereka senang melihat sahabatnya sudah bangkit dari keterpurukan. Memang ya, wanita itu akan menangis dulu saat dia baru saja patah hati. Namun, setelah itu dia akan bangkit dan mencoba untuk mengikhlaskan semuanya.
***
“Itu kan anak manajemen angkatan baru? Namanya siapa?” bisik seorang laki-laki ketika Elaine berjalan di koridor fakultasnya.
Ya, Elaine adalah mahasiswa manajemen di salah satu kampus negeri ternama. Sejak masa ospek, tak sedikit dari mahasiswa baru atau mahasiswa lama yang memperhatikan Elaine. Gadis ini benar-benar mencuri perhatian para mahasiswa manajemen lainnya.
“Elaine kalau nggak salah. You know, doi juga pinter. Gue dapat bocoran dari bidang akademik kalau dia itu peringkat satu dari jalur masuk SNMPTN,” bisik laki-laki lainnya. Kini mereka mengekori Elaine dari belakang.
Elaine hanya tersenyum senang. Selama sekolah dia tidak pernah mendapatkan pujian atas penampilannya. Kini dia bisa mendapatkan dua pujian sekaligus: pertama karena kepintarannya, dan kedua karena penampilannya.
Elaine memasuki ruang kelas, hari ini adalah kuliah pertamanya. Ketika gadis itu menapakkan kakinya di kelas, beberapa pasang mata sudah menatapnya. Kemudian gadis itu tersenyum pada teman sekelasnya.
“Len, sini duduk di sini!” seru seorang perempuan pada Elaine. Dia adalah Veni, teman pertama Elaine di kampus. Anaknya energik dan supel. Hampir sebelas dua belas dengan Elaine ketika SMA. Tapi kali ini Elaine ingin menunjukan sisi elegan dari dirinya.
Elaine melemparkan senyum pada Veni. Kemudian gadis itu segera duduk di samping gadis berambut pendek.
“As always penampilan lo tetep the best!” puji Veni.
“Gue masih belajar, Ven. Lo juga nggak kalah oke kok,” balas Elaine pada teman barunya itu.
Tak lama kemudian seorang dosen perempuan masuk ke dalam kelas. Memperkenalkan dirinya dan tentunya memperkenalkan mata kuliah yang akan dipelajari bersama selama satu semester ke depan.
Jam istirahat pun tiba. Untuk di hari pertama Elaine kuliah ini, jadwalnya seperti sekolah. Di mulai pukul 07.00 dan baru istirahat pukul 12.00. Untungnya sehabis ini, tidak ada lagi mata kuliah yang menunggu mereka.
Elaine dan Veni memutuskan untuk ke kantin mahasiswa. Mereka berniat untuk makan siang, sebelum nanti akan ke perpustakaan untuk mencari buku yang direkomendasikan oleh dosennya tadi. Namun sayang, kantin yang ramai membuat mereka kesulitan mendapatkan tempat duduk.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki melambaikan tangannya pada Elaine dan Veni. Terlihat dia hanya duduk berdua bersama seorang laki-laki dan masih ada space untuk mereka berdua. Tanpa berpikir panjang Elaine dan Veni menghampirinya.
“Nggak papa kita duduk di sini?” tanya Veni sungkan.
“Iya, lagian nggak ada kursi lagi kan? Btw kalian anak manajemen bukan?” tanya laki-laki itu.
Elaine dan Veni menarik kursi sambil manggut. Mereka menyimpan piring yang berisi makan siangnya.
“Lo Elaine kan?” tanya laki-laki itu pada Elaine.
Elaine melirikkan matanya pada kedua laki-laki itu. Rada aneh, karena Elaine tidak mengenali mereka berdua. Kemudian dia menganggukan kepalanya.
“Iya, gue Elaine dan ini Veni. Anak manajemen juga.” Elaine memperkenalkan Veni pada mereka. Tak enak jika hanya Elaine yang dikenal, sedangkan orang yang bersamanya tidak dikenal atau bahkan hanya dianggap sebagai angin lalu saja.
“Oh. Kenalin gue Bisma dan ini Dicky. Sama kok anak manajemen juga tapi satu tahun di atas kalian.” Laki-laki yang ternyata bernama Bisma itu memperkenalkan dirinya.
“Oh, hai Kak.” Mendadak dua gadis ini menjadi sungkan, setelah mengetahui ternyata mereka berdua adalah kakak seniornya.
“Haha, santai-santai gue kagak senioritas kok,” ucap Bisma.
Akhirnya mereka berdua: Elaine dan Veni menghabiskan makan siang mereka ditemani Bisma dan Dicky. Kedua seniornya pun sharing pengalaman pada dua juniornya itu. Menceritakan mata kuliah yang lumayan sulit, sampai ke karakter dosen di semester satu ini. Lumayan, Elaine dan Veni mendapatkan pengetahuan baru.
Di tengah ke ingar-bingaran kantin mahasiswa di jam makan siang. Terdapat beberapa gerombolan laki-laki … lebih tepatnya empat orang laki-laki yang sedang mengobrol bersama. Salah satu diantara mereka ada yang memperhatikan ke arah meja Elaine.
“Lo tahu nggak, ada anak manajemen yang cantik loh!” seru seorang laki-laki yang sedari tadi memperhatikan Elaine.
“Maba?” timpal seorang temannya yang mengenakan kemeja hitam.
“Yep. Gue kalau iseng lewat FEB suka tuh denger kalau ada anak manajemen yang cantik,” balas laki-laki tadi.
“Mana? Lo ada fotonya nggak? Jangan ngomong cantik kalau lo nggak ada fotonya,” ucap seorang laki-laki yang duduk di sebrangnya, mengenakan kemeja berwarna navy.
“Kagak ada fotonya, tapi ada orangnya.” Kemudian laki-laki itu mengarahkan pandangan teman-temannya pada Elaine. “Lo lihat ada 2 orang cewek sama 2 orang cowok duduk di sana?” Laki-laki itu menunjuk meja Elaine.
“Oh iya gue lihat!” seru laki-laki berkemeja hitam. “Biar gue tebak, pasti yang pakai baju putih kan?” tebaknya.
Laki-laki itu menjentikkan jarinya. “Mata lo jeli, bro. Iya yang pakai baju putih. Cantik kan?”
“Lumayan lah, walau anak kita ada yang lebih cantik dari dia. Tapi … masih selevel sama gue lah itu cewek,” ungkap laki-laki berkemja navy.
Salah satu laki-laki lain, yang mengenakan kemeja biru langit yang memiliki bercak putih, menyipitkan matanya. Dia mencoba fokus dengan objek yang ditunjukkan oleh temannya itu. Perasaannya, ia mengenali sosok perempuan yang sedang mereka perbincangkan.
“Biar gue tebak namanya. Namanya Elaine bukan?” Tiba-tiba laki-laki berkemeja biru langit angkat bicara.
Sontak ketiga temannya itu menoleh kearahnya, terkejut.
“Loh, kok tahu namanya?” tanya laki-laki pembuka topik penuh selidik. “Jangan-jangan lo udah ngincer ya?” tanyanya lagi.
“Hah.” Laki-laki berkemeja biru langit itu mendengus dan menyeringai. Kemudian dia membuang muka, tak lagi memandangi Elaine.
***
Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tadi setelah dari perpustakaan, KM kelas menyuruh anak-anaknya berkumpul. Mau tidak mau, Elaine dan Veni kembali ka fakultas. Mereka membicarakan mengenai teman-teman yang tidak kebagian buku di perpustkaan, dan berinsiatif untuk membeli secara kolektif.
Setelah pertemuan itu Elaine pulang sendirian ke kosannya. Karena kosannya dengan Veni berlawanan arah, akhirnya gadis itu pulang sendirian ke kosannya. Suasana di sekitar sudah tidak terlalu ramai. Mungkin karena sudah lumayan sore juga.
Saat Elaine sedang berada di gang jalan menuju kosannya. Tiba-tiba dia dicegat oleh seorang laki-laki.
“Hai, Elaine. Apa kabar?” sapa laki-laki itu.
Sontak Elaine menghentikkan langkahnya. Terkejut ketika mendapati sesosok laki-laki yang menghalangi jalannya. Saking terkejutnya Elaine sampai mundur satu langkah.
Elaine paham betul dengan maksud dari ucapan Darell. Makanya dia langsung menoleh dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Hahaha. Kenapa, Sayang?” Darell terkekeh sampe bahunya bergetar. “Nggak papa,” jawab Elaine sekenanya. Merapatkan bibirnya dan masih enggan untuk menatap Darell. Jujur saja, Elaine merasa malu saat Darell berkata demikian. Dia mengingat kejadian bertahun-tahun silam, ketika dirinya pertama kali bertemu dengan Darell. Elaine memang gila saat itu. “Kamu nyesel nggak, Len?” tanya Darell. “Nyesel apa?” sahut Elaine sambil menoleh. Darell terlihat tersenyum senang, ternyata umpannya ditangkap dengan baik oleh Elaine. Dia sengaja bertanya seperti itu agar bisa melihat wajah istrinya yang sedang memerah karena malu. “Nyesel ngajak aku tidur dan kasih aku sesuatu yang berharga dihidup kamu. Padahal dulu kamu nggak kenal aku sama sekali,” kata Darell. Elaine memejamkan matanya dan langsung mengigit bibir bawahnya
Elaine tersentak, matanya tiba-tiba membulat maksimal, saat dia melihat sosok laki-laki yang sudah lama tak ia lihat. Kenapa dia bisa ada di sini? Mau apa dia ke sini? Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Elaine.“Tenang, di sini gue bukan mau ngacauin acara spesial lo, kok,” ucap laki-laki itu, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Elaine. Dia adalah Tirta, yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama menghilang.Berbeda dengan Elaine yang terkejut. Darell hanya menatap sinis laki-laki itu. Sampai Tirta berani mengacau di hari bahagianya, dia tak akan segan membunuh laki-laki itu di sini, sekarang juga.“Gue ke sini cuman mau ngucapin selamat doang. Ya, walau gue sadar diri gue nggak lo undang, Len. Tapi nggak salah, kan, kalau gue datang ke sini dan kasih selamat sama lo,” ungkapnya.“Padahal lo nggak usah repot-repot ke sini,” sambar Elsa. Dia juga sama terkejutnya dengan Elaine. Khawatir laki-laki itu akan berla
“Kenapa, Len? Kok diem?” tanya Grace. “Jangan kaget tapi,” kata Elaine. Shani dan Grace langsung saling melempar pandang. “Dua minggu lagi,” ucapnya kemudian. “Hah?” Benar saja Grace dan Shani kompak memekik. “Wait, Len. Itu … maksudnya Darell baru ngelamar lo di acara perusahaannya minggu lalu, loh. Kok udah dua minggu lagi?” tanya Grace. “Iya, sorry memang dadakan. Tante Martha pengin cepet. Dia tahu gimana perjuangan gue sama Darell, dan dia nggak mau ada yang ganggu hubungan kita lagi. Makanya minta buat cepet.” Elaine menghela napas. “Bonyok gue juga kaget pas Tante Martha minta percepet. Awalnya Papa minta buat sekitar dua bulan lagi, karena kita belum ada persiapan apa pun. Tapi Tante Martha kekeuh pengin cepet. Sorry, ya,” ucap Elaine. “Parah. Kok ngeduluin Grace, sih? Padahal dia yang dilamar duluan, tapi lo yang nikah duluan,” kata Shani terkekeh. Grace hanya mendelik kesal. Sungguh Elaine adalah perempuan yan
Mata Elaine membulat, saat Darell memanggil namanya dan melontarkan pertanyaan yang membuatnya mematung seketika. Mimpi apa Elaine semalam? Kenapa Darell melamarnya secara tiba-tiba dan di tempat umum seperti ini? Sungguh, tidak ada tanda-tanda bahwa Darell akan melamarnya. Elaine tersentak saat merasakan ada tangan yang merangkulnya. Dia langsung menoleh dan mendapati Martha yang sedang menyadarkan Elaine dari keterkejutannya. Jantung Elaine kini berdetak dengan cepat, semburat merah pun muncul di pipinya. Apalagi saat dia melihat ke arah sekeliling dan mendapati beberapa pasang mata memperhatikan dirinya. Bagaimana ini? Apa yang harus Elaine katakan? Sungguh, ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Elaine. Walau sebelumnya, memang Darell pernah melamarnya. “Elaine, jangan membuat Darell menunggu,” bisik Martha, saat seorang crew datang sembari membawa microphone untuk Elaine. “Ta-tapi, Tante aku—” “Jawab saja,” selanya sambil
“Ngapain ke sini?” tanya Elaine, saat dirinya dan Darell sampai di sebuah butik mewah.“Beli soto. Ya, beli baju, lah. Kenapa masih nanya, sih?” timpal Darell yang langsung menggenggam tangan Elaine dan menariknya ke dalam.Tak bertanya lagi, Elaine hanya mengikuti Darell. Walau dia masih penasaran, kenapa juga Darell membawanya ke butik mewah? Tak banyak pergerakan yang dilakukan Elaine sampai akhirnya Darell langsung menegurnya.“Kenapa diem aja? Pilih bajunya, dong,” kata Darell.Elaine menoleh dengan mata membulat. “Buat apa? Aku harus tahu dulu alasan kamu bawa aku ke sini. Baru aku bisa pilih baju,” balas Elaine.Ya … bagaimana Elaine akan memilih baju, jika dia saja tidak tahu harus menghadiri acara apa? Pasalnya butik tersebut menjual baju formal untuk perempuan; gaun, blazzer dan lain-lain, tentu saja dengan desain dan harga yang wah. Mungkin butuh beberapa bulan bagi Elaine untuk seke
“A-anu, apa kamu sedang sibuk?”Darell mematung beberapa detik, ketika melihat Elaine ada di hadapannya. Kemudian dia menggeleng dengan cepat. “Oh, nggak. Kenapa?” tanya Darell.“Boleh kita bicara sebentar?” tanya Elaine dengan sedikit canggung.“Boleh, kok. Masuk aja,” ajak Darell. Dia mempersilakan Elaine untuk memasuki kamarnya. Di sana mereka berdua duduk bersebelahan di sebuah sofa kecil. Darell melihat gadis itu sedang meremas jarinya, sepertinya dia sedang merasa gugup.“Ada apa?” tanya Darell dengan nada yang sangat lembut. Mencoba memberikan kenyamanan pada Elaine. Walau sebenarnya jantungnya ini sedari tadi berdegup dengan kencang.Jujur saja, Darell ingin memeluk gadis itu sekarang juga, mencurahkan segala kerinduan dan rasa kekhawatirnya selama ini. Namun, melihat kondisi Elaine yang seperti itu, dia mengurungkan niatnya.“Mmm … anu itu ….” Ada