Kubawa anakku ke rumah sakit, dia langsung ditangani petugas medis di ruang rawat darurat, lukanya dibersihkan dan diberi jahitan sementara putriku masih merintih menahan sakitnya.
"Ah, Tuhan, ini baru permulaan petaka, berikutnya aku tahu bahwa keluarga Mas Haryadi tak akan membuatku hidup tenang. Mungkin mereka akan mempersulit putriku juga. Ah, Tuhan, aku mohon bantuanmu," gumamku sambil menahan air mataku. Memang mengatas namakan cinta untuk jadi istri kedua tidaklah baik dan bukan alasan yang tepat di mata masyarakat dan orang orang di lingkungan kita. Bagi mereka yang kedua tetaplah perusak dan benalu yang menghancurkan kebahagiaan orang lain. Aku bukannya cari pembenaran dengan mengatakan bahwa selama Mas Har menikah denganku dia sama sekali tak pernah bermasalah dengan istrinya karena begitu rapatnya kami menyembunyikan rahasia, tapi, aku benar benar melihat bahwa tak ada satu hukum dunia pun yang bisa membatasi cintaku pada Mas Har. Ya, hanya dia dan satu satunya dia orang yang bisa kucintai. "Sakit Bund," keluhan anakku menyentakkan lamunan diri ini, segera kugenggam tangannya dan kupeluk tubuhnya, kuminta ia untuk bersabar dan menahan. "Anak pintar, Alisa anak yang tangguh dan kuat, alisa bisa menghadapi semua ini," bisikku. "Kenapa kita didorong dan dipukuli Bu, apa salahnya, Ayah meninggal kenapa kita yang disalahkan?" "Gak tahu sayang, yang pasti jangan pikirkan itu, pikirkan keadaan Alisa ya, Alisa harus sehat dulu," balasku sambil menahan air mata. "Apa wanita tadi istri ayah, bukannya istri ayah hanya Bunda?" Ah, hatiku gamang menjawabnya, aku benar benar cemas akan menjatuhkan mental anakku yang kemudian akan tahu bahwa ibunya lah yang nomor dua dan merebut kebahagiaan orang lain. Kasarnya disebut pelakor yang hina. "Kenapa wanita yang menangis itu jahat sekali dan berteriak pada Bunda, dia juga mendorong Alisa, Bund," keluh anakku. "Sabar dan maafkan ya, orang orang yang menyakiti semoga mendapatkan hidayah." "Kalau ternyata memang Bunda yang salah, akankah Bunda mendapat hidayah?" Pertanyaan alisa membuatku terdiam, sungguh ucapannya ada benarnya juga. Akulah yang bersalah telah menjalin hubungan secara diam-diam tidak pernah datang atau berusaha mengatakan yang sebenarnya kepada keluarga Mas Haryadi. Aku diam dan mendukung Mas Haryadi untuk menutup rapat hubungan kami, tidak berpikir bahwa ke depannya semuanya akan menjadi kesulitan. Sekarang aku harus bagaimana jika Alisa untuk masuk sekolah. Putriku belum memiliki akte kelahiran kalaupun harus memiliki akta kelahiran maka dia harus memiliki pengakuan dari keluarga Mas Haryadi. Jika kuletakkan nama dia di dalam akte kelahirannya hanya sebagai anakku, maka orang-orang akan berpikir bahwa dia anak yang dilahirkan di luar nikah atau tidak memiliki ayah. Sekali pun aku bersikeras mengatakan pada seluruh dunia bahwa dia punya ayah tentu orang-orang tidak akan percaya karena selama ini aku tidak pernah menunjukkan siapa suamiku, tidak sekalipun aku pernah berjalan bersama dengannya seperti layaknya keluarga yang bahagia. Walaupun kami pernah pergi piknik bersama itu pun diam-diam dan dilakukan di luar kota di mana tidak seorangpun yang mengenal kami. Ah, aku benar-benar bingung. Usai mendapatkan perawatan dari petugas medis dan memperoleh obat-obatan kuajak Putriku pulang. Masih dengan diantar Jaka kami meluncur menuju ke rumah. "Maaf ya terima kasih ya sudah mengantarkan kami dan peduli kepada kami," ucapku. "Ya, sama sama, Ibu." "Setelah Mas Haryadi pergi mungkin kita akan jarang bertemu, saya tidak bisa memberikan apa-apa kecuali rasa syukur dan terima kasih yang begitu besar kepada Mas Jaka." "Iya, Bu. Tidak apa apa." Aku sadar bahwa dia tidak akan lagi menjadi ajudan suamiku, dia akan punya tugas baru dan tidak akan berjumpa dengan kami lagi. "Saya harap kamu menyimpan semua yang kamu ketahui tentang kami, tolong bantu saya untuk menyimpannya rapat-rapat." "Insya Allah, karena saya menghormati Pak Haryadi komandan saya." "Terima kasih ya." "Sama sama Bu." * Jaka sudah menurun karena kami dari mobil dan sekarang tinggal lah aku dan Alysa di depan pintu pagar pekarangan. Kudorong pintu besi yang sejajar dengan dadaku, lalu kami masuk dan menutupnya kembali. Kali ini semangatku seakan menghilang terlebih ketika menatap pintu utama dan kursi teras di mana Mas Haryadi selalu menghabiskan waktu di malam hari untuk duduk bersamaku dan membicarakan tentang kehidupan kami. Angin berhembus dan terasa melubangi relung hatiku yang baru saja kehilangan seseorang yang paling penting dan kucintai. "Ya Allah, kenapa Engkau mengambil suamiku begitu cepat, langkahku masih pincang, aku belum tahu harus mengarah kemana untuk membawa kehidupanku dan anakku," keluhku sambil menahan air mata. Kuputar kunci pintu dengan lesu lalu membukanya. Ketika aku masuk, masih tercium aroma parfum kesukaan suamiku yang dia semprotkan pagi tadi. Hatiku semakin hancur merindukan dirinya yang kini sudah terbaring di tempat peristirahatan terakhir. Ya Allah, beginikah sakitnya ditinggal pergi selamanya? Ya Allah mengapa sesakit ini? Kuantar Alisa ke kamarnya lalu merebahkan anakku di kasurnya. "Tidurlah, bunda akan masak makanan kesukaan alisa sebentar lagi." "Gak usah Bund, Alisa gak lapar. Alisa hanya Rindu Ayah." Sungguh pahit rasanya perasaanku melihat mata putriku yang berkaca kaca, wajahnya sembab, ditambah perban bekas luka yang makin membuat perasaanku hancur lebur rasanya. Dia merindukan ayahnya, aku harus bagaimana? * Biarkan putriku tertidur hingga dia merasa damai di antara pelukan boneka dan bantal gulingnya. Tak bersemangat diri ini untuk ke dapur, aku hanya bisa duduk dan termenung memikirkan hidupku entah harus kubawa kemana. * Sore pukul empat Tiba-tiba mobil Jaka berhenti di depan rumah, aku yang sejak siang tadi tidak beranjak dari ruang tamu langsung tersentak dan bangun untuk memeriksa mengapa Jaka kembali mendatangiku. Alangkah terkejutnya diri ini karena yang turun dari mobil ajudan suamiku adalah Mbak Dwiana dan kedua anaknya. Ya Tuhan, apalagi sekarang?Ketika kuantar Mbak Dwi ke depan pintu, tiba tiba ibu mertua sudah hadir bersama kedua adik iparku widhi dan Widya. Dalam keharuan mendalam yang baru kurasakan dengan Kakak kini tiba tiba ibu juga menunjukan ekspresi haru yang sama, menangis sambil tersenyum. "Dwi, Susi, Alhamdulillah, Nak." "Ibu ...." Aku dan Mbak Dwi mendekat dan menghambur ke pelukan mertua kami. Beliau memeluk kami dengan erat dan menciumi kami bergantian. "Alhamdulillah, jika kalian sudah saling memaafkan dan menerima kesalahan masing masing." Lelehan bening dari netra ibu mertua menunjukan bahwa dia sangat bersyukur atas apa yang terjadi barusan. "Kami sedang berusaha Mami," jawab Mbak Dwi dengan wajah canggung. "Tidak apa apa Nak, mami memuji kelapangan hatimu menerima kenyataan, menerima Susi sebagai bagian dari hidup Haryadi dan kau sudah berdamai dengan kenyataan. Alhamdulillah, Mami benar benar bersyukur, Mami menghargaimu, Nak," ucap Ibu dengan senyum mengembang paling manis yang pernah kulihat. Sela
Secara mengejutkan Mbak Dwiana datang ke kedai di jam delapan pagi. Saat itu kedaiku masih tutup, tapi aku sudah membuka pintu samping dan sibuk menyapu. Melihatnya sudah berdiri di ujung pintu aku hanya tertegun, kami saling berpandangan dengan perasaan masing masing lalu ... di sinilah kami duduk berdua saling berhadapan dan sibuk dalam kebungkaman masing masing."Ada apa Mbak, tumben datang kemari pagi sekali?" Sebenarnya aku tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana."Aku ingin bicara?"Dia mengeluarkan sebuah foto dari dalam tasnya, foto yang cukup mengejutkan di mana aku dan Mas Haryadi juga Alisa ketika masih balita dalam frame yang sama. "Darimana Mbak dapat foto itu?" Tanyaku dengan tenggorokan terasa kering karena begitu penasaran."Seharusnya pertanyaan itu diganti, menjadi sejak kapan foto itu ada padaku," gumam wanita itu."Jadi mbak sudah tahu kalau aku adalah istri Mas Har jauh sebelum beliau meninggal?" tanyaku.Tanpa kuduga air mata meluncur begitu saja dari netra
Kumatikan ponsel sambil menggeleng pelan, kutarik napas dalam dalam sambil menetralisir perasaan yang sekiranya mengajakku untuk terus membuat dosa. Seharusnya aku tak begitu pada ibunda Dirga dan Bella, tapi Mbak Dwi memaksaku untuk terus jahat mengikuti alur beliau.Sebenarnya, dalam hati kecil, bukannya aku tak punya malu atau rasa bersalah, aku ingin sekali minta maaf atas semua yang terjadi selama ini dan bicara baik baik pada Mbak Dwiana. Andai beliau bisa diajak duduk dan bicara, tapi sayang kakak maduku itu sangat temperamen dan kasar. Dia terus memendam sakit hati dan dendamnya hingga batas waktu yang tak ditentukan.Mungkin aku tak akan pernah dimaafkan, fine, aku menerima itu, tapi bisakah di antara kami tidak saling mengganggu saling mengusik dan menjahati? Bisakah?**Kuketuk rumah berlantai dua dengan dua pilar megah penyanggah depannya. Aku tahu kedatanganku ke tempat ini sama dengan menempatkan diri ke dalam kandang singa. Tapi aku tak punya pilihan."Siapa?" Suara ben
Maaf ada kesalahan sehingga bab cerita tertukar ❤️🙏"Apa?" Mbak Dwiana terbelalak mendengar kata-kata ibu. Bagaimana tidak kata-kata itu sangat menyentil dan menyinggung sekali."Ibu bilang apa?""Aku tidak mau mengusik hidup dan mengganggu kencanmu! Kurang baik seperti apa lagi aku?!"Demi apa raut wajah Mbak Dwi sangat pucat dan dia langsung kelihatan sedih serta terguncang sekali."Sudah kukatakan apa urusanmu dengan hidup Susi! Jangan ganggu dia lagi sehingga kalian pun bisa hidup dengan aman dan damai!""Dia sudah memerasku sebanyak 20 juta Bu!" Mbak Dwi berteriak di luar kedai."Sebaiknya kita bicarakan ini di dalam mobil," ucap Ibu sambil mengalihkan perhatian dan berusaha untuk tidak membuat malu semua orang."Masuk ke mobil, Susi, Dwi, ayo masuk!" perintah ibu."Ba-baik."Di sinilah kami, saling berhadapan di mobil ibu mertua yang cukup mewah dan luas. Jok tengahnya bisa diputar sehingga ibu bisa mengintrogasi kami yang duduk di baris paling belakang."Jadi katakan, apa maks
Tak lama setelah Mbak Dwi meninggalkan kedai kami, mobil ibu mertua tiba. Dengan pintu yang dibukakan supir, ibu terlihat turun dan menghampiri tempat kami. Aku yang sadar diri dan tahu rasa hormat segera membuka pintu kaca dan menyambutnya dengan uluran tangan serta menyalaminya."Akhirnya Ibu datang juga," ucapku."Hmmm, aku penasaran apa yang hendak kau sampaikan," jawabnya sambil menarik kursi dan duduk di salah satu meja pelanggan."Sesuatu yang serius, mungkin juga tidak begitu penting bagi ibu, tapi yang pasti saya ingin menunjukkannya.""Pastikan bahwa aku akan sangat tertarik," ucap ibu dengan tarikan muka tegas dan bibir yang dia sungginggkan miring."Ini tentang Mbak Dwi," gumamku."Ada apa dengannya?""Sebelum bicara, saya ingin tahu, apakah ibu tahu sesuatu tentang kakak maduku?""Tentang apa?""Hal yang dalam tanda kutip sesuatu yang dirahasiakan, aib dan lain sebagainya," jawabku setengah pelan.Iu mengernyit tidak paham, dia menggeleng dan nampak penasaran."Kataka
Aku memang tak percaya pada siapapun saat ini, aku tidak percaya pada hal hal yang akan kuanggap mudah. Sekarang semua langkah dalam hidupku harus tertata dalam dua rencana di mana jika rencana a tidak sesuai maka aku harus melakukan rencana cadangan.Mbak dwiana sudah mengatakan akan memberikan jaminan tapi aku pun tidak bisa memberikan janji padanya. Mau tak mau, aku harus tetap memperlihatkan pada ibu mertua tentang wajah asli menantu sulungnya. Ibu harus tahu seperti apa menantu yang selama ini dia banggakan sebagai wanita anggun dan berkelas.Kutelpon Ibu mertua, kukatakan padanya bahwa aku membutuhkan dia sore nanti, aku akan berkunjung padanya."Tidak usah datang padaku karena kau akan sibuk di kedaimu, biar Ibu saja yang datang dan mengunjungi Alisa sekalian.""Ibu jangan lama, karena akan ada hal yang ibu lewatkan, kalau bisa datanglah dari pukul tiga," jawabku."Baik, tidak masalah dengan catatan bahwa hal yang akan kau sampaikan bukan sesuatu yang recehan.""Tidak demi Tuha