AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU

AIB YANG TERUNGKAP DI HARI PEMAKAMAN SUAMIKU

last updateLast Updated : 2025-02-18
By:  Ria AbdullahCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Not enough ratings
37Chapters
4.1Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

"Bunda bolehkah aku memeluk Ayah untuk terakhir kalinya?" ucap putriku dengan tatapan mata penuh harap. Aku hanya bisa menggeleng perlahan, mencoba menyamarkan diri di antara orang-orang yang sedang ada di rumah duka, bagaimana aku akan tampilkan dan memeluk suamiku sementara aku hanya istri rahasia, dan putri yang lahir dari pernikahan kami, selamanya tidak akan mendapatkan pengakuan keluarganya.

View More

Chapter 1

1. hari berduka

"Bu, itu Bu .... Alisa mau cium wajah Ayah, mau peluk Bu, nanti Ayah dibungkus dan dibawa pergi."

"Nanti ya Sayang, sebentar." Kubisikkan kalimat itu untuk menenangkan Alisa putriku tapi dia berontak.

"Alisa juga anak Ayah, Ayah sayang sama Alisa, Ayah janji gak akan pergi lebih cepat seperti ini." Pecah tangis anakku yang sungguh merasakan bahwa ayahnya adalah tumpuan dan cinta pertamanya.

Buliran bening itu mengalir dari netra Alisa, bibirnya bergetar, ingin maju tapi dia ragu, aku tahu apa yang dirasakannya dalam suasana mendung dan sendu itu. Putriku hanya ingin memeluk ayahnya sementara aku tak berdaya di depan istri dan keluarga utama Mas Haryadi. Diri ini tak berani tampil untuk bersimpuh terakhir kalinya di hadapan pria yang telah kucintai selama tujuh tahun terakhir, karena, aku hanya istri simpanannya.

***

Senin 17 januari

Aku tak mengira bahwa itu adalah hari terakhir perjumpaan kami dengannya. Hari itu Mas Haryadi menginap, menghabiskan malam panjang dengan bermain bersama anaknya juga bercanda denganku.

Malam mulai merangkak larut, hingga tanpa sadar kami tertidur dalam posisi saling memeluk.

Keesokan hari, Selasa 18 Januari.

"Bu, Ayah hari ini tidak pulang ke sini ya, hari ini mau pulang ke sana," ucapnya di meja makan, aku tahu bahwa pernyataannya itu mengacu pada istri pertamanya.

"Ke sana terus ... ayah kerjanya ke mana sih? kenapa selalu jarang pulang," tanya anakku yang tiba tiba menimpali percakapan kami. Mimik wajahnya yang lucu dan penuh keingintahuan itu mengundang gelak tawaku dan ayahnya.

Ah, aku hanya tertawa getir mendengar celotehnya. Putriku yang baru akan masuk SD itu masih tidak menyadari bahwa ayahnya punya dua istri. Tepatnya, Mas Haryadi punya keluarga utama yang jadi prioritasnya. Dia punya seorang istri dan dua orang anak, putra dan putri yang masing masing duduk di bangku kelas satu dan dua SMA.

Biasanya seminggu kami punya waktu dua hari untuk bertemu dan memadu kasih, juga kesempatan suamiku untuk melimpahkan kasih sayang pada anak ketiganya dari hasil pernikahan kami.

Sampai hari ini masih dalam status menikah secara agama, belum punya surat nikah karena Mas Haryadi masih belum siap mengungkap apa yang terjadi di antara kami pada keluarganya. Ya, sampai dia menghembuskan napas terakhirnya.

*

"Aku berangkat ya, Sayang." Pria itu mengecup keningku dan segera memeluk putrinya dengan penuh kasih.

"Ayah pergi dulu. Dua hari lagi Ayah pulang dan kita akan pergi ke taman hiburan."

"Nanti beli gelang kaca ya, gelang kecil warna warni," pinta Alisa.

"Siap, Sayang." Sekali lagi suamiku yang berperawakan tinggi dengan dada bidang dan wajah yang cukup tampan itu, mengecup kening anakku.

Tak lupa dia peluk diri ini dengan erat, lebih erat dari sebelumnya, dikecupnya pipiku dengan penuh tatapan cinta lalu

secepat itu juga dia segera memacu motornya meninggalkan rumah kami.

Ada firasat yang tidak kumengerti bergejolak di dalam hatiku, rasa sedih, galau dan penderitaan yang tidak bisa kugambarkan. Aku tidak mengerti mengapa aku merasakannya.

Kadang timbul kesedihan dan miris di hatiku, kadang banyak pertanyaan berputar di benak ini, mengapa takdir pernikahan dan hidupku amat berliku.

Kuputuskan untuk mengikuti kata hati, menikah dengannya dan mengarungi bahtera rumah tangga meski hanya secara agama dan diselenggarakan di rumah keluargaku, tanpa dokumentasi atau pesta.

Kuterima semua takdir harus berhubungan sembunyi-sembunyi demi perasaan cinta dan bakti yang entah kenapa hanya bisa kuberikan padanya.

Andai aku mau, aku bisa dapatkan pria yang lebih kaya, terhormat dan menikahiku secara sah. Tapi mengapa, cinta ini begitu dalam dan terjebak hanya padanya.

Mungkin kelembutan dan cara Mas Haryadi yang amat romantis berhasil membuatku bertekut lutut, kalimatnya yang selalu terucap runut dan penuh kebijaksanaan membuatku tidak banyak menuntut dan menurut saja hingga tanpa terasa rumah tangga kami telah bergulir tujuh tahun.

Kadang aku resah perihal surat menyurat, akta kelahiran dan segala hal yang menyangkut administrasi putri kami. Dia harus sekolah dan punya asuransi kesehatan, tapi bagaimana aku harus mengurusnya kalau kami saja belum punya kartu keluarga? bagaimana mau memiliki kartu keluarga kalau belum punya surat nikah? Ah, sungguh dilema carut marut yang membingungkan, aku tahu ini adalah takdir yang dibuat dan masalah yang sengaja diundang.

***

Tok ... tok ....

Siang itu pintu rumah diketuk, aku yang sedang memeluk Alisa tidur siang, langsung bergegas ke pintu depan.

Ternyata di sana ada Jaka, orang kepercayaan Mas Haryadi di tempat kerjanya. Pria itu nampak cemas, dan tidak sabar, dia gelisah sambil berkali kali meremas jemarinya.

"Monggo silakan masuk, ada apa Mas Jaka."

"Begini Yuk, maaf sebelumnya ada kabar duka," ujar Jaka dengan wajah yang makin tak nyaman dipandang.

"Kabar duka!"

Jantungku langsung berdebar sangat kencang, untuk sepersekian detik, aku tak bisa menebak siapa yang meninggal dari anggota keluargaku. Aku hanya tertegun dan kehilangan kata kata.

Mungkin karena melihat kebingunganku pria itu lantas melanjutkan ucapannya,

"Bapak tabrakan dan meninggal di tempat pagi tadi, Bu. Jenazahnya sudah dipulangkan dari rumah sakit ke rumah duka. Ke rumah Ibu Dwiana."

"Oh ...." Aku hanya mendengar runtutan kalimat jaka, tapi aku tidak memahaminya. Aku terpana dalam pikiran kosong sementara proses di syaraf otak terus menggali kesadaran dari ceruk memori.

"Siapa yang mati ... tabrakan di tempat ... Dwiana siapa ...?"

Aku nyaris pingsan andai Jaka tidak segera mengguncang bahuku.

"Bu Susi, Bapak meninggal."

Di detik itu juga aku langsung paham informasi yang dibawa Jaka. Aku langsung lemas dan terduduk di kursi teras dalam keadaan tungkai kaki yang seolah tidak bertulang. Dadaku berdegup sangat kencang, ada perasaan ingin berteriak, tanganku gemetar pun tubuh ini juga bergetar. Aku tidak percaya bahwa dia akan membawakan kabar bahwa suamiku meninggal.

"Astaghfirullah ... tidak mungkin, Jaka."

"Katakan innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Bu...."

"Astagfirullah, tidak Jaka ...." Air mata ini mulai mengalir. Di dalam hati aku mengucapkan kalimat innalilahi ... tapi aku masih tidak percaya dengan kenyataan ini.

"Ibu mau melayat tidak, sekalian berangkat sama saya."

"Tidak Jaka, itu akan menjadi kehebohan di rumah Ibu Dwiana."

"Tapi Alisa juga berhak untuk melihat ayahnya untuk terakhir kalinya Bu, Ibu bisa mengajaknya untuk diam diam menyaksikan jasad Bapak dipersemayaman, sebelum Bapak dikuburkan."

"Astaghfirullah ya Allah ... Mas Haryadi."

Bumi seakan berhenti berputar dan matahari yang berpijar seakan pecah di atas kepalaku. Aku merasakan patah hati dan nyawa yang seolah dirampas separuhnya dengan paksa. Aku ingin bangkit tapi tubuh ini tidak bertenaga. Bahkan air mata pun tidak bisa melampiaskan segalanya.

Sepanjang perjalanan dengan mobil yang dikendarai Jaka, air mata ini terus berderai. Tak bisa kubayangkan dan tak bisa kuterima kenyataan bahwa orang yang baru saja merangkul diri ini pagi tadi sudah pergi untuk selamanya.

"Mas mengapa kau tinggalkan kami dengan keadaan seperti ini, hidupku masih bertumpu padamu dan nasib kami masih menggantung dengan posisi yang terlunta. Teganya kamu Mas ...." Aku tidak bisa menahan tangisan atau luka-luka yang kini menyayat di dalam dadaku.

"Kita mau ke mana, Bu?" tanya Alisa di dalam pangkuanku.

"Entahlah ...." Hanya jawaban itu yang bisa terucap di bibir. Aku terguncang dengan keadaan duniaku yang telah kiamat dan berakhir, aku kehilangan suamiku. Ya, cintaku.

**

Sesampainya kami di rumah Mas Haryadi, mobil Jaka ditepikan bersama jajaran mobil yang sudah mengular panjang. Posisi suamiku yang cukup penting di institusinya, membuat dia memiliki jabatan yang terhormat. Tapi Maaf aku tidak bisa menyebutkannya lebih dari ini.

Kupaksakan langkah kaki menuju rumah yang cukup mewah dan berlantai tiga itu, bagian pekarangan sudah dipasang terop dan beberapa anggota institusinya kini sedang menyiapkan upacara untuk pelepasan jenazah.

Diam diam aku dan jaka masuk, berusaha bersikap biasa saja, seperti pelayat pada umumnya.

Kududukkan diriku di sudut ruangan, kupangku putriku sementara situasi rumah itu telah kelabu.

Mbak Dwiana histeris, dia menjerit, dia terus memanggil nama suaminya. Istri pertama Mas Haryadi benar-benar terpukul rupanya. Pun anak-anaknya, yang lelaki terlihat menunduk di depan jenazah ayahnya, sementara anak perempuannya kini pingsan dan dikipasi oleh beberapa orang.

Ada mertuaku yang juga nampak sangat sedih dan tersedu-sedu di sisi kanan jenazah, dia mertua yang tidak pernah kusalami tangannya atau kuhaturkan sembah simpuh sebagai menantu. Sekali lagi aku mungkin ada wanita yang tidak diinginkan dalam keluarga itu.

"Bu, Apakah itu Ayah?" Tiba-tiba anakku berdiri kemudian bertanya padaku.

Aku tidak punya kata-kata untuk menjawab pertanyaan Alisa.

"Bu, apa Ayah meninggal?"

Hati ini semakin gamang dan gundah, jika tidak kuberitahukan yang sebenarnya maka Alisa akan merasa ditipu dan dibohongi.

"Iya, Nak, sabar ya, mari duduk dan berdoa untuk ayah dengan tenang."

"Gak mau, Bu. Gak mau ayah mati ...." Anakku yang syok mulai menangis namun suaranya masih pelan, akupun berusaha terus menenangkan dan memintanya untuk tetap diam. Tapi yang namanya anak umur 6 tahun tentu saja tidak bisa dikendalikan.

Anakku merengek dengan segala ucapan yang tidak bisa membendung kesedihanku, dia protes mengapa kami tidak boleh maju ke sana dan memeluk Mas Haryadi. Mengapa kami tidak boleh bergabung seperti layaknya anggota keluarga. Hingga tiba-tiba aku tak bisa menahannya lagi, putriku merangsek dan langsung melewati beberapa orang yang duduk. Dia menangis dan langsung menjatuhkan diri di dada ayahnya.

"A-ayah ini Alisa,Ya. Ayah kenapa nggak bangun-bangun!" Anakku mengguncang kain yang berada di bagian dada Mas Haryadi, raut wajah suamiku sudah pucat dan menguning, dia telah beristirahat dan tidak akan bisa mendengar ucapan Alisa.

Orang-orang yang tadinya berada dalam situasi sedih langsung tertegun, mereka terdiam dan menatap pada putriku dengan tatapan tajam, penuh pertanyaan.

Alisa anakku yang dilihat seperti itu semakin menangis dengan kencang dan terus meminta Mas Haryadi bangun.

"Ayah ... katanya Ayah ingin mengajakku ke taman hiburan dan beli gelang, mana janji ayah?"

Tiba-tiba Mbak Dwiana langsung datang dan mencengkeram tangan anakku, dia menghalau kehadiran anakku dan mempelototinya lalu bertanya,

"Kamu siapa?!"

Ya, Ya Tuhan hari inilah kiamatku!

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
37 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status