Home / Romansa / AIR MATA RINDU / Haruskah Pergi?

Share

Haruskah Pergi?

last update Last Updated: 2025-07-13 11:41:14

"Sepertinya, nggak aku jawab pun kamu pasti paham, Rindu."

Degh!

Ucapan Mbak Zita benar-benar membuat dadaku kembali sesak. Sungguh tega sekali kakak kandungku ini.

"A-apa salahku pada Mbak Zita? Ke-kenapa Mbak Zita lakukan ini?" tanyaku dengan suara yang kembali bergetar. Sungguh, aku tak mengerti maksud dari semua ini.

Ya, aku bisa paham jika Ibu memperlakukan aku dan Mbak Zita dengan cara yang berbeda. Aku yang selalu dididik kasar, sedang Mbak Zita selalu disayang. Terus begitu sejak dahulu, tapi sedikit pun aku tak pernah mengeluh.

Ketika seorang Rindu remaja pulang membawa piala, Ibu hanya bersikap biasa. Tak ada ucapan selamat yang keluar dari mulutnya. Sedangkan Mbak Zita?

Hah, meskipun guru dari sekolah datang berkali-kali ke rumah karena Mbakku itu sering bolos, Ibu tak pernah marah. Malah memberi dukungan agar Mbak Zita tetap semangat menempuh pendidikan.

Kadang aku berpikir, apa salahku pada mereka?

"Salahmu adalah terlahir di dunia ini, Rindu! Harusnya kamu nggak ada di dunia ini!"

Mataku membola, menatap pada Mbak Zita. "Apa sebenci itu kamu padaku, Mbak? Asal Mbak Zita tahu, aku pun nggak pernah minta dilahirkan ke dunia ini!" balasku dengan suara yang meninggi.

Sudah cukup aku ditekan dan dihajar rasa sakit seperti ini!

Mata Mbak Zita melotot, seolah siap menerkamku sekarang juga. Namun, aku tak takut. Kuturunkan kaki ini hingga berpijak di lantai yang sama, menatap nyalang pada Mbak Zita.

"Jika Tuhan kasih pilihan, aku lebih memilih untuk nggak terlahir di keluarga ini, Mbak! Aku hidup pun seolah mati! MATI!"

"Coba Mbak ingat! Kapan aku dianggap sama kamu dan Ibu? Kapan? Nggak pernah, kan? Tapi aku tetap diam! Aku nggak melawan!"

Mataku semakin menatap tajam pada Mbak Zita yang mematung seketika. Mungkin dia terkejut karena belum pernah melihat aku seperti ini sebelumnya.

Ya, Rindu yang dulu telah mati! Mulai sekarang, aku tak akan diam ketika diperlakukan buruk oleh siapa saja!

"Cukup!"

Teriakan yang berasal dari ambang pintu mengalihkan tatapan kami berdua. Terlihat perempuan tua yang merupakan ibuku juga Mbak Zita berjalan mendekat. Matanya memancarkan kilatan amarah.

Tanpa aba-aba, Ibu mengangkat tangannya ke udara. Lalu kemudian ....

Plak!

Pipiku terasa panas bak dibakar. Perih, sakit, semua bercampur jadi satu. Jangan lupakan hatiku yang semakin hancur karena tamparan Ibu.

Cairan bening yang semula sudah mulai kering, kini kembali meluncur bebas hanya karena tamparan itu. Bukan. Bukan aku tak terbiasa. Hanya saja, rasanya terlalu tega Ibu begini di saat aku baru saja kehilangan mimpi yang kugantung sejak dulu.

Sebelah tanganku masih memegang pipi. Mata lelah ini menatap pada Ibu penuh kecewa. "Nggak bisakah tamparan ini Ibu berikan besok? Padahal Ibu tahu ...." Kujeda ucapan ini sejenak demi menghalau rasa sesak. Setelah itu, kembali berucap sembari melirik pada Mbak Zita. "Putri kesayangan Ibu ini sudah merebut calon suamiku! Harusnya Mbak Zita yang dapat tamparan ini, bukan aku!"

Kilatan amarah di mata Ibu semakin terpancar. Tangan wanita itu kembali terangkat, siap memberikan tamparan kedua. Namun, sebuah tangan tua lebih dulu menahannya.

"Sudah, Bu."

Bapak!

Ya, pria tua itu adalah Bapak. Satu-satunya orang yang menyayangiku. Namun, setelah kecelakaan membuatnya pincang, Bapak seolah tak ada harga dirinya lagi di rumah ini.

Sebuah sakit yang luar biasa saat aku menyaksikan sendiri Bapak dihina oleh Ibu dan Mbak Zita. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa.

"Sudah. Ini sudah malam. Malu kalau terdengar tetangga," ucap Bapak masih dengan suara lembut yang berhasil menurunkan tangan Ibu.

Tanpa berkata, Ibu keluar dari kamar bersama Mbak Zita. Menyisakan aku dan Bapak di dalam ruangan sempit ini.

Air mataku masih mengalir. Hingga sebuah pelukan hangat Bapak berikan, membuat dada ini semakin sesak.

"A-apa salah Rindu, Pak? Ke-kenapa Ibu sama Mbak Zita selalu begitu?" tanyaku dengan suara bergetar, masih dalam pelukan Bapak.

Dapat kurasakan usapan lembut di kepala yang berasal dari tangan keriput Bapak. Telinga ini juga mendengar isakan yang cukup kencang.

"Ma-maafkan Bapak, Rindu. Semua penderitaan kamu karena Bapak. Ka-kamu gak salah apa-apa, Nak."

Selalu begitu jawaban Bapak ketika aku bertanya hal yang sama. Entah apa maksudnya. Namun, aku tetap tak mau membenarkan.

"Justru karena Bapak, Rindu masih bisa bertahan, Pak. Cu-cuma Bapak yang buat Rindu tetap di sini."

Kami terus berpelukan entah hingga berapa lama. Namun, aku bisa merasakan kaki Bapak yang sedikit bergetar. Kulepas pelukan itu, lantas bertanya, "Ba-bapak mau duduk? Apa kakinya sakit lagi?"

Ya, setelah kecelakaan itu Bapak tak bisa lama-lama berdiri. Itulah yang membuat Bapak tak bisa bekerja hingga selalu diremehkan oleh Ibu dan Mbak Zita.

"Nggak apa-apa, Bapak mau langsung ke kamar saja. Kamu istirahat, ya."

Aku hanya menjawab dengan anggukkan. Membiarkan Bapak keluar dari kamar meninggalkanku sendirian.

Kujatuhkan tubuh ini ke atas lantai. Menyadarkan punggung pada lemari tua di sisi ranjang. Kedua mataku terpejam meresapi rasa sakit yang tak kunjung hilang.

Allah ....

Hanya itu nama yang bisa kusebut. Tuhan yang tak pernah bosan mendengar keluh kesahku.

Apa semua ini hukuman untukku? Hukuman karena aku terlalu berharap pada makhluk-Mu?

Hembusan angin yang memaksa masuk lewat ventilasi kamar menemaniku dalam kesunyian. Alam pun seolah tahu jika saat ini seorang gadis malang tengah membutuhkan ketenangan.

Cukup lama aku berada di posisi yang sama. Hingga telinga ini mendengar notifikasi sebuah pesan masuk.

Gegas kuraih benda pipih tersebut. Namun, setelah pesan itu terbuka, aku benar-benar menyesal rasanya.

Bagaiamana tidak, ini adalah pesan dari Mas Dimas yang sama sekali tak memiliki muka.

[Rindu, maafkan Mas. Mas benar-benar nggak bermaksud menyakiti kamu. Mas terpaksa, Rindu.]

Tak cukup satu pesan, pesan lain pun datang.

[Mas sangat mencintaimu, Rindu. Sungguh. Mas cuma cinta sama kamu. Tolong bersabar sampai Mas bisa keluar dari masalah ini.]

Aku berdecih. Menunggu katanya? Untuk apa aku menunggu seorang pria yang tak lama lagi akan menjadi suami orang? Dia pikir aku gila!

Jariku bergerak hendak memblokir kontak Mas Dimas tanpa membalas pesannya lebih dulu. Namun, urung saat kembali mendapat pesan dari laki-laki itu.

[Mas tahu, kamu pasti mau blokir kontak Mas, kan? Jangan, Rindu! Apa kamu lupa jika orang yang memutus tali silaturahmi sangat dibenci oleh Allah?]

Lagi-lagi aku kalah. Kumatikan daya ponsel itu agar tak ada lagi gangguan. Kemudian, kembali kuletakkan di atas ranjang. Sedang tubuh ini masih ingin berada dalam posisi yang sama.

Rasanya, semakin lama berada di rumah ini, aku semakin hancur setiap hari. Apa ... aku harus pergi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau aja yg goblok dan lemah. mwmbela bapakmu kau g mampu apalagi membela diri lau sendiri. makan tu cinta
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • AIR MATA RINDU   Kamu ... Lebih Indah

    Satu bulan setelah Ibu diperbolehkan pulang dari rumah sakit, sikapnya sudah sedikit membaik. Tidak ada nada ketus saat aku bertanya. Pun Ibu kerap kali mengajakku menonton televisi bersama. Sungguh perubahan yang luar biasa.Ternyata di balik cobaan yang menimpa, Ibu justru mendapat hikmah. Beliau jadi lebih dekat denganku dan Mas Janu, juga bisa dekat dengan calon cucu. Pernah beberapa kali Ibu meminta untuk mengelus perutku. Tentu aku mempersilakan dengan senang hati. Tak hanya itu, kini beliau juga sering bertanya tentang kehamilanku."Mau makan apa?""Perutnya sakit nggak?""Pinggangmu sudah mulai pegal belum?"Sungguh aku sangat senang saat mendapat pertanyaan itu.Hari ini aku, Ibu dan Mas Janu memutuskan untuk berlibur sekaligus merayakan kesembuhan Ibu. Ada rasa gugup saat aku pertama kali menghabiskan liburan bersama beliau. Takut saja kehadiranku membatasi kedekatannya dengan Mas Janu.Akan tetapi, itu hanya pikiranku. Justru Ibu malah terlihat senang berada di tengah-tenga

  • AIR MATA RINDU   Sebuah Kesempatan

    Aroma bubur ayam begitu menyeruak saat aku membuka tutup rantang. Kebetulan Ibu pun sudah selesai berganti pakaian. Jadi, aku akan mengajak beliau makan."Rindu tadi buat bubur ayam ini. Ibu makan, ya? Rindu suapi," pintaku.Bukannya menjawab, Ibu yang sedang bersandar di kepala bangsal, malah menoleh pada Bi Sri. "Kamu saja yang suapi saya, Sri. Ambil buburnya."Tangan ini yang semula sudah terangkat, siap menyendok bubur pun seketika turun. Bersamaan dengan pandanganku yang menunduk. Sebegitu tak maukah Ibu denganku?"Ya sud—""Aduh, perut saya tiba-tiba sakit, Bu. Mau ke WC dulu. Ibu disuapi Non Rindu saja, ya." Bi Sri memotong ucapanku.Kutatap wanita yang langsung ngacir menuju pintu ruangan itu. "Lho, mau ke mana, Bi? Di sini, kan, ada kamar mandi," tanyaku heran.Bi Sari yang sudah hendak mencapai pintu pun berbalik. "Bibi mau ke toilet masjid saja, Non. Biar tenang."Sejenak aku mengerutkan kening, heran dengan tingkah Bi Sri. Diberi yang ringan, kenapa malah pilih yang susah?

  • AIR MATA RINDU   Harusnya Senang, kan?

    Pagi ini aku begitu bersemangat untuk membuat makanan meski di rumah hanya sendirian. Bukan tanpa alasan. Aku senang sebab Ibu sudah setuju untuk tinggal bersamaku dan Mas Janu. Hem, semoga saja dengan begitu, perasaan beliau bisa menerimaku. Aamiin ....Tangan ini bergerak pelan mengaduk bubur yang meletup-letup dalam panci. Kaldu ayam juga bumbu tambahan lain sudah aku masukkan agar rasanya meresap. Sengaja aku membuat ini untuk dibawa ke rumah sakit nantinya.Semalam, Mas Janu aku minta untuk menemani Ibu di rumah sakit. Sedangkan aku memilih untuk pulang karena ada yang harus disiapkan. Seperti kamar untuk Ibu contohnya. Ruangan yang terletak tak jauh dari ruang tengah itu sengaja kami jadikan kamar Ibu agar tidak perlu naik-turun tangga seperti di rumah sebelumnya. Tenang saja, meski kamar kami beda lantai, aku dan Mas Janu pasti akan sering memeriksa ke bawah. Lagipula, akan ada satu asisten rumah tangga yang dipindah ke sini untuk membantuku mengurus Ibu sekaligus mengurus ru

  • AIR MATA RINDU   Syukurlah

    "Janin Ibu nggak apa-apa. Mungkin cuma nggak nyaman karena perjalanan barusan. Tolong jangan diulang lagi, ya, Bu. Ibu juga harus banyak istirahat."Aku bisa bernapas lega setelah mendengar penjelasan dokter kandungan. Syukurlah semua baik-baik saja."Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Bu Rindu."Aku mengangguk sembari mengulas senyum. "Makasih, ya, Dok."Dokter kandungan yang sudah biasa menanganiku itu berlalu dari ruangan. Tak lama, pintu kembali dibuka dari luar, membuat aku heran.Akan tetapi, rasa lega menyelimuti saat Mas Janu yang muncul dari balik pintu. Pria itu berjalan cepat ke arahku."Sayang ...."Cup, cup, cup!Dia mengecup kepalaku berulang kali. Deru napasnya tersengal hingga bisa kudengar."Kamu buat Mas khawatir, Sayang. Gimana? Apa yang sakit?" Kupegang kedua tangan Mas Janu yang ada di pipiku. Aku beri dia senyuman agar sedikit tenang. "Semua baik-baik saja, Mas. Aku sudah diperiksa dokter barusan," jelasku.Terlihat Mas Janu menarik napas lega. Lalu, dia duduk

  • AIR MATA RINDU   Demi Ibu

    Mas Janu berjalan tergopoh memasuki rumah Ibu. Raut cemas tergambar jelas sejak dia mendapat pesan dari ibunya. Aku pun sama cemas, tapi tak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti langkah Mas Janu pelan di belakang."Ada apa ini, Bi?" Aku bertanya pada salah satu ART yang baru saja menuruni tangga dari lantai dua."Ini, Bu ... Ibu tadi tiba-tiba sesak napas."Jawaban itu semakin menambah kecemasanku. "Tadi sudah mau kami bawa ke rumah sakit, tapi Ibu nggak mau. Katanya mau dijemput sama Den Janu.""Astagfirullah ...." Aku hanya bisa bergumam sembari menutup mulut menggunakan kedua tangan. Memang 2 bulan terakhir ini Mas Janu sangat sibuk dengan tugasnya hingga belum sempat mengunjungi Ibu lagi. Sedangkan aku memang tak berani menemui Ibu sendiri. Aku masih trauma, takut beliau mencaciku lagi."Ya sudah, Bi. Aku mau lihat Ibu dulu," kataku pada ART yang masih berdiri di depanku.Kubalikkan tubuh ini untuk menaiki tangga. Namun, belum juga satu langkah, Mas Janu sudah muncul sambil m

  • AIR MATA RINDU   POV Janu

    Nasi rasa pelangi? Hei, makanan macan apa itu?Keinginan Rindu benar-benar membuat kepalaku pusing di malam hari begini. Jika saja dia bukan cintaku, sudah pasti aku tidak akan mau."Untung Mas sangat mencintaimu, Sayang."Sejenak aku duduk pada kursi yang ada di dapur. Kepalaku mendongak pada langit-langit ruangan. Siapa tahu di sana ada ide yang bergelantungan.Sejujurnya aku masih bingung, dari mana istriku bisa tahu makanan yang dia sebutkan tadi? Namanya saja aneh sekali. Yang kutahu, selama ini Rindu tidak pernah memesan makanan dari luar jika tidak bersamaku. Apa dia melihat di internet, ya?Ah, sepertinya iya. Dan aku pun memiliki ide sekarang.Gegas kukeluarkan ponsel dari saku kolor motif kotak-kotak yang dikenakan. Sengaja aku membawa benda pipih ini ikut serta untuk berjaga-jaga. Dan benar saja, sekarang aku membutuhkan bantuannya.Jariku bergerak cepat mengetik kata kunci di mesin pencarian hingga muncul beberapa situs yang berkaitan. Dari semua situs yang muncul, sebagi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status