"Sepertinya, nggak aku jawab pun kamu pasti paham, Rindu."
Degh! Ucapan Mbak Zita benar-benar membuat dadaku kembali sesak. Sungguh tega sekali kakak kandungku ini. "A-apa salahku pada Mbak Zita? Ke-kenapa Mbak Zita lakukan ini?" tanyaku dengan suara yang kembali bergetar. Sungguh, aku tak mengerti maksud dari semua ini. Ya, aku bisa paham jika Ibu memperlakukan aku dan Mbak Zita dengan cara yang berbeda. Aku yang selalu dididik kasar, sedang Mbak Zita selalu disayang. Terus begitu sejak dahulu, tapi sedikit pun aku tak pernah mengeluh. Ketika seorang Rindu remaja pulang membawa piala, Ibu hanya bersikap biasa. Tak ada ucapan selamat yang keluar dari mulutnya. Sedangkan Mbak Zita? Hah, meskipun guru dari sekolah datang berkali-kali ke rumah karena Mbakku itu sering bolos, Ibu tak pernah marah. Malah memberi dukungan agar Mbak Zita tetap semangat menempuh pendidikan. Kadang aku berpikir, apa salahku pada mereka? "Salahmu adalah terlahir di dunia ini, Rindu! Harusnya kamu nggak ada di dunia ini!" Mataku membola, menatap pada Mbak Zita. "Apa sebenci itu kamu padaku, Mbak? Asal Mbak Zita tahu, aku pun nggak pernah minta dilahirkan ke dunia ini!" balasku dengan suara yang meninggi. Sudah cukup aku ditekan dan dihajar rasa sakit seperti ini! Mata Mbak Zita melotot, seolah siap menerkamku sekarang juga. Namun, aku tak takut. Kuturunkan kaki ini hingga berpijak di lantai yang sama, menatap nyalang pada Mbak Zita. "Jika Tuhan kasih pilihan, aku lebih memilih untuk nggak terlahir di keluarga ini, Mbak! Aku hidup pun seolah mati! MATI!" "Coba Mbak ingat! Kapan aku dianggap sama kamu dan Ibu? Kapan? Nggak pernah, kan? Tapi aku tetap diam! Aku nggak melawan!" Mataku semakin menatap tajam pada Mbak Zita yang mematung seketika. Mungkin dia terkejut karena belum pernah melihat aku seperti ini sebelumnya. Ya, Rindu yang dulu telah mati! Mulai sekarang, aku tak akan diam ketika diperlakukan buruk oleh siapa saja! "Cukup!" Teriakan yang berasal dari ambang pintu mengalihkan tatapan kami berdua. Terlihat perempuan tua yang merupakan ibuku juga Mbak Zita berjalan mendekat. Matanya memancarkan kilatan amarah. Tanpa aba-aba, Ibu mengangkat tangannya ke udara. Lalu kemudian .... Plak! Pipiku terasa panas bak dibakar. Perih, sakit, semua bercampur jadi satu. Jangan lupakan hatiku yang semakin hancur karena tamparan Ibu. Cairan bening yang semula sudah mulai kering, kini kembali meluncur bebas hanya karena tamparan itu. Bukan. Bukan aku tak terbiasa. Hanya saja, rasanya terlalu tega Ibu begini di saat aku baru saja kehilangan mimpi yang kugantung sejak dulu. Sebelah tanganku masih memegang pipi. Mata lelah ini menatap pada Ibu penuh kecewa. "Nggak bisakah tamparan ini Ibu berikan besok? Padahal Ibu tahu ...." Kujeda ucapan ini sejenak demi menghalau rasa sesak. Setelah itu, kembali berucap sembari melirik pada Mbak Zita. "Putri kesayangan Ibu ini sudah merebut calon suamiku! Harusnya Mbak Zita yang dapat tamparan ini, bukan aku!" Kilatan amarah di mata Ibu semakin terpancar. Tangan wanita itu kembali terangkat, siap memberikan tamparan kedua. Namun, sebuah tangan tua lebih dulu menahannya. "Sudah, Bu." Bapak! Ya, pria tua itu adalah Bapak. Satu-satunya orang yang menyayangiku. Namun, setelah kecelakaan membuatnya pincang, Bapak seolah tak ada harga dirinya lagi di rumah ini. Sebuah sakit yang luar biasa saat aku menyaksikan sendiri Bapak dihina oleh Ibu dan Mbak Zita. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa. "Sudah. Ini sudah malam. Malu kalau terdengar tetangga," ucap Bapak masih dengan suara lembut yang berhasil menurunkan tangan Ibu. Tanpa berkata, Ibu keluar dari kamar bersama Mbak Zita. Menyisakan aku dan Bapak di dalam ruangan sempit ini. Air mataku masih mengalir. Hingga sebuah pelukan hangat Bapak berikan, membuat dada ini semakin sesak. "A-apa salah Rindu, Pak? Ke-kenapa Ibu sama Mbak Zita selalu begitu?" tanyaku dengan suara bergetar, masih dalam pelukan Bapak. Dapat kurasakan usapan lembut di kepala yang berasal dari tangan keriput Bapak. Telinga ini juga mendengar isakan yang cukup kencang. "Ma-maafkan Bapak, Rindu. Semua penderitaan kamu karena Bapak. Ka-kamu gak salah apa-apa, Nak." Selalu begitu jawaban Bapak ketika aku bertanya hal yang sama. Entah apa maksudnya. Namun, aku tetap tak mau membenarkan. "Justru karena Bapak, Rindu masih bisa bertahan, Pak. Cu-cuma Bapak yang buat Rindu tetap di sini." Kami terus berpelukan entah hingga berapa lama. Namun, aku bisa merasakan kaki Bapak yang sedikit bergetar. Kulepas pelukan itu, lantas bertanya, "Ba-bapak mau duduk? Apa kakinya sakit lagi?" Ya, setelah kecelakaan itu Bapak tak bisa lama-lama berdiri. Itulah yang membuat Bapak tak bisa bekerja hingga selalu diremehkan oleh Ibu dan Mbak Zita. "Nggak apa-apa, Bapak mau langsung ke kamar saja. Kamu istirahat, ya." Aku hanya menjawab dengan anggukkan. Membiarkan Bapak keluar dari kamar meninggalkanku sendirian. Kujatuhkan tubuh ini ke atas lantai. Menyadarkan punggung pada lemari tua di sisi ranjang. Kedua mataku terpejam meresapi rasa sakit yang tak kunjung hilang. Allah .... Hanya itu nama yang bisa kusebut. Tuhan yang tak pernah bosan mendengar keluh kesahku. Apa semua ini hukuman untukku? Hukuman karena aku terlalu berharap pada makhluk-Mu? Hembusan angin yang memaksa masuk lewat ventilasi kamar menemaniku dalam kesunyian. Alam pun seolah tahu jika saat ini seorang gadis malang tengah membutuhkan ketenangan. Cukup lama aku berada di posisi yang sama. Hingga telinga ini mendengar notifikasi sebuah pesan masuk. Gegas kuraih benda pipih tersebut. Namun, setelah pesan itu terbuka, aku benar-benar menyesal rasanya. Bagaiamana tidak, ini adalah pesan dari Mas Dimas yang sama sekali tak memiliki muka. [Rindu, maafkan Mas. Mas benar-benar nggak bermaksud menyakiti kamu. Mas terpaksa, Rindu.] Tak cukup satu pesan, pesan lain pun datang. [Mas sangat mencintaimu, Rindu. Sungguh. Mas cuma cinta sama kamu. Tolong bersabar sampai Mas bisa keluar dari masalah ini.] Aku berdecih. Menunggu katanya? Untuk apa aku menunggu seorang pria yang tak lama lagi akan menjadi suami orang? Dia pikir aku gila! Jariku bergerak hendak memblokir kontak Mas Dimas tanpa membalas pesannya lebih dulu. Namun, urung saat kembali mendapat pesan dari laki-laki itu. [Mas tahu, kamu pasti mau blokir kontak Mas, kan? Jangan, Rindu! Apa kamu lupa jika orang yang memutus tali silaturahmi sangat dibenci oleh Allah?] Lagi-lagi aku kalah. Kumatikan daya ponsel itu agar tak ada lagi gangguan. Kemudian, kembali kuletakkan di atas ranjang. Sedang tubuh ini masih ingin berada dalam posisi yang sama. Rasanya, semakin lama berada di rumah ini, aku semakin hancur setiap hari. Apa ... aku harus pergi?Aku melangkah tanpa semangat menuju tempat bekerja setelah lolos dari ruangan Bu Siska. Rasanya, kaki ini langsung kehilangan tenaga ketika tadi wanita itu berkata, "Gaji kamu tetap saya potong! Dan kamu nggak boleh ambil izin lagi setelah ini!"Tuhan ... bagaimana jika suatu saat aku memang tak bisa masuk kerja? Tak hanya karena harus mengantar Bapak, tapi karena sebab yang lainnya juga. Bukankah selalu ada saja hal mendadak yang tidak bisa kita tinggal?Separah ini pekerjaanku. Gaji yang bisa dibilang kecil, lembur pun hanya dibayar murah yang kurasa tak sesuai. Belum lagi, Bu Siska memang tak bisa ramah para karyawan.Bisa kutebak, orang-orang bertahan di pabrik roti ini karena tak memiliki pilihan pekerjaan. Bukan karena betah berada di bawah kuasa bos besar yang entah siapa.Ya, kami tahu nama pemilik pabrik. Namun, tidak dengan wajahnya. Sejak awal pabrik ini berdiri 5 tahun lalu, kami langsung diarahkan oleh Bu Siska yang katanya diberi mandat untuk memegang kuasa."Rin, kamu k
Aku dan Bapak kompak menoleh sembari mengernyit heran saat mendengar Bu Wati meneriaki nama Janu. Ya, mungkin maksudnya Dokter Januar. Terbukti, pria itu langsung keluar lagi dari dalam mobil begitu mendengar suara Bu Wati."Sepertinya mereka saling mengenal," gumam Bapak yang masih bisa kudengar. Kualihkan perhatian pada Bapak yang masih duduk di atas sofa dengan pandangan yang keluar. "Rindu anter ke kamar dulu, yuk, Pak! Habis ini Rindu mau ke pabrik," ucapku.Ya, meski sudah sangat terlambat, aku tetap harus datang ke pabrik agar bos besar tak lebih marah. Setidaknya, dia masih bersedia membiarkanku bekerja di sana. Itu saja sudah cukup untuk sekarang."Sana, kamu berangkat saja. Bapak bisa sendiri," sahut Bapak sembari memberiku senyuman khasnya.Baiklah, karena tak ingin berlama-lama, aku pun gegas pamit pada Bapak."Bapak doakan, semoga kamu nggak terkena masalah karena ini, ya, Nak.""Aamiin."Harapanku juga sama. Datang ke pabrik seperti biasa, tak ada drama marah-marah. Nam
Kuhembuskan napas lega setelah berhasil buang air kecil. Kini, aku sudah merasa nyaman kembali.Merasa tak ada lagi kepentingan di dalam toilet, gegas kulangkahkan kaki ini untuk keluar. Sedikit kubungkukan badan saat melewati orang yang sedang berada dalam antrean.Huh, untung saja saat aku akan masuk, di depan toilet tidak mengantre seperti sekarang. Bayangkan jika aku harus menunggu seperti ini juga tadi, pasti tak tahan sekali.Kufokuskan pandangan ke depan sembari berjalan. Namun, tiba-tiba alisku mengernyit heran melihat dokter yang tadi tak sengaja kutabrak seperti tengah mencari sesuatu.Merasa penasaran, aku pun membawa kaki ini melangkah lebih dekat lagi."Maaf, Dok. Saya lihat Dokter sedang mencari sesuatu. Ada yang bisa saya bantu?" Kutawarkan bantuan, takut dia memang membutuhkan.Sesama manusia harus saling menolong, kan? Meskipun kita tak saling mengenal."Oh, ini, Mbak. Name tag saya hilang. Sepertinya jatuh di sini," jawabnya sambil melirikku sedikit.Seketika perasaa
Sungguh, aku tak menyangka Mas Dimas tiba-tiba datang ke rumah. Untuk apa? Namun, sepertinya otakku sedikit terganggu hingga lupa jika pria ini adalah calon suami mbakku. Bebas saja jika dia ingin berkunjung kapan pun, kan? Tapi, tadi aku dengar dia ingin mengantar Bapak berobat. Apa tak salah?"Biar aku saja yang antar Bapak, Mas," tolakku sembari menatap pria bertubuh tinggi itu untuk beberapa detik. "Biar Mas saja, Rin. Mas memang nggak kerja hari ini."Hem, pantas saja Mas Dimas datang mengenakan pakaian santai, bukan seragam kerja seperti biasa. Jika begitu, rasanya tidak salah kalau aku menitipkan Bapak. Toh, Bapak juga calon orang tua Mas Dimas, kan? Aku jadi bisa tetap berangkat ke pabrik hari ini."Emh, baik—""Nggak bisa, Mas!"Ucapanku harus terpotong kala Mbak Zita dengan cepat menyela. Mbakku itu mendekat dengan penampilan yang sudah rapih. Sepertinya akan pergi."Kita udah janjian buat pergi, Mas. Jadi, kamu harus pergi sama aku!"Hah, kali ini aku tahu jika kedatangan
Aroma sedap dari kwetiau goreng tak membuatku makan dengan lahap. Rasanya memang sama, sangat lezat. Namun, ada satu hal yang hilang sekarang.Kebahagiaan.Ya, jika dulu aku selalu semangat tiap kali Mas Dimas memberi kwetiau seperti ini, maka tidak dengan sekarang. Jika dulu aku akan langsung memakannya hingga habis, maka sekarang tidak.Bahkan, sudah satu jam berlalu sejak aku mulai memasukkan kwetiau goreng ini pada mulut, belum habis lima puluh persen pun. Selera makanku hilang, rasa lapar pun ikut pergi bersama pria yang masih kucintai.Entah aku yang bodoh atau memang cinta yang buatku buta. Aku ... masih mencintainya. Hingga sepanjang makan dengan gerakan perlahan, kenangan-kenangan indah dulu kembali berputar di kepala.Sore itu sepulang dari pabrik, Mas Dimas mengajakku ke sebuah warung yang cukup jauh. Hampir di luar kampung. Namun, karena Mas Dimas membawa motor, aku pun setuju.Sesampainya di sana, aku benar-benar dijamu oleh Mas Dimas. Pria itu memesan satu porsi kwetiau
"RINDU!"Pekikan Ibu membuat rasa lelahku setelah bekerja seharian makin bertambah. Kuayunkan kaki menuju wanita yang sudah menatap tajam padaku di ambang pintu itu."Assalamualaikum, Bu."Aku tak menghiraukan pekikan Ibu tadi. Tangan ini terulur untuk menyalami, tapi malah ditepis. Buka hanya itu. Sejurus kemudian, Ibu menarik kasar tanganku memasuki rumah."Aws ... sakit, Bu!" Aku berusaha melepaskan cekalan Ibu yang cukup kuat hingga tanganku terasa sakit. Namun, wanita tua itu seolah menulikan pendengaran. Ia terus menyeretku hingga sampai di kamar Mbak Zita.Seketika isi kepalaku dipenuhi tanya, ada apa? Kenapa aku dibawa ke kamar Mbak Zita?Bruk!Tubuhku dihempaskan dengan kuat hingga menimbulkan bunyi. Sebelah lenganku terasa sakit karena mengenai lemari.Aku mendongak pada Ibu yang masih setia memberikan tatapan tajam. Lalu beralih pada Mbak Zita yang sedang menangis sesenggukan. "Ada apa ini, Bu?" tanyaku tak mengerti.Bukannya menjawab, Ibu malah memekik sembari menarik ji