Home / Romansa / AIR MATA RINDU / Salah Melamar?

Share

AIR MATA RINDU
AIR MATA RINDU
Author: Deshika Widya

Salah Melamar?

last update Last Updated: 2025-07-13 11:40:54

"Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa niat kami datang ke kediaman Pak Heriawan adalah untuk ...."

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantung yang sejak tadi berdetak tak karuan. Kedua telapak tanganku meremas satu sama lain di atas pangkuan, mencari kekuatan dari rasa gugup yang tiba-tiba menyerang.

"Kami datang untuk meminang Nak Zita."

Seketika dunia seolah berhenti berputar. Kenapa malah nama mbakku yang disebut?

Kepalaku langsung terangkat, menatap Pak Broto dengan sorot kosong. Bibir yang tadi sempat kuberi pulasan tipis kini bergetar pelan. Ucapan itu masih menggantung di udara, menggema dalam kepalaku berulang kali, tapi tak juga bisa kucerna.

"Ma-maksudnya?" Aku mencoba bertanya meski dengan susah payah.

Ini bukan mimpi, aku tahu. Namun, rasanya sulit bagiku menerima kenyataan yang baru saja disampaikan Pak Broto. Bagaimana bisa lamaran ini jadi salah sasaran?

Akan tetapi, tak ada satu pun yang menjawab. Semuanya hanya diam, seolah pertanyaanku hanyalah angin lalu. Ibu dan Mbak Zita justru melemparkan senyuman lebar seolah baru memenangkan sebuah perlombaan. Sementara Bapak hanya tertunduk dalam.

Aku memalingkan wajah pada Mas Dimas, mencari secercah harapan dari sorot matanya. Namun, yang kutemukan justru keheningan.

"Mas?" Aku memanggil dengan suara nyaris tak terdengar. Namun, tetap saja Mas Dimas diam.

Kepalaku menggeleng keras. Tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Malam yang harusnya indah malah berubah jadi duka yang tak terduga.

Tega kamu, Mas!

Perlahan aku berdiri dan menatap semua orang bergantian.

"Permisi." Suaraku tetap tenang meski hatiku sudah retak tak karuan.

Tanpa menunggu reaksi siapa pun, aku melangkah pergi ke belakang rumah, mencoba menghindar dari tatapan mereka yang seolah tak memedulikan perasaanku. Langkahku cepat, secepat air mata yang jatuh tanpa bisa dicegah lagi.

"Rindu, tunggu!" suara Mas Dimas terdengar mengejar, tapi aku tak menoleh.

Sudah cukup. Aku tak ingin berhadapan dengan dia lagi!

Lima tahun sudah kami menjalin kasih, merajut sabar agar bisa sampai di jenjang pernikahan. Namun, yang kudapat malah sebuah pengkhianatan. Padahal tadi pagi Mas Dimas masih bersikap normal.

[Rindu, jangan lupa persiapkan diri. Mas dan Bapak Ibu akan datang jam 8 malam untuk melamarmu.]

Aku menggeleng untuk mengusir semua ingatan itu. Percuma, sudah tak ada artinya lagi.

Langkahku berhenti ketika rerumputan halaman belakang menyentuh kaki. Saat itu juga tubuhku melemas, tak mampu lagi berdiri.

Kuambil duduk di sana sembari memeluk kedua lutut, membiarkan tangis tumpah tanpa suara.

"Rindu ...."

Aku tak menoleh.

Kubiarkan air mata ini terus mengalir. Dadaku sesak, sangat.

"Maafkan Mas, Rindu. Mas benar-benar nggak bisa menolak keinginan Bapak dan Ibu."

Aku tetap diam. Hanya mencoba mengatur napas yang tersenggal.

"Mas sangat mencintaimu, Rin. Cuma kamu yang Mas cintai. Sungguh."

"Kalau gitu, kenapa Mas Dimas mau? Kenapa nggak melawan waktu bapakmu sebut nama mbakku, Mas?" Suaraku tetap tenang, meski getirnya tak tertahankan.

Mas Dimas terlihat menahan tangis. Namun, saat ini aku benar-benar sudah tak peduli. Bukankah aku yang jauh lebih sakit di sini?

"Mas nggak bisa lawan mereka, Rin. Tapi Mas janji akan secepatnya keluar dari masalah ini dan menikahimu. Mas janji."

Janji? Aku sudah tak percaya lagi.

Dengan sisa tenaga, aku berdiri perlahan. Kutatap Mas Dimas yang kini wajahnya telah basah.

"Terima kasih untuk lima tahun ini, Mas. Semoga ... kamu bahagia bersama Mbak Zita."

"Rin, Rindu!"

Aku tak menghiraukan teriakan itu. Tetap melangkah pergi meski rasanya berat sekali.

Sesampainya di kamar, kurebahkan tubuh di atas ranjang. Air mata tak bisa dibendung lagi. Tangis yang tadi kutahan akhirnya kembali pecah mengisi keheningan di ruangan.

Sakit, Ya Allah ... ini terlalu sakit.

Selama 5 tahun menjalin kasih, aku dan Mas Dimas selalu menjaga diri. Jangankan melakukan hal terlarang, berpegangan tangan pun tak pernah kami lakukan. Namun, kenapa kami tetap dipisahkan?

Apa selama ini aku salah? Apakah ini hukuman untukku, Ya Allah?

Entah berapa banyak kutumpahkan air mata malam ini. Entah berapa lama pula aku dalam posisi yang sama. Hingga saat hati ini masih remuk-remuknya, Mbak Zita datang dengan senyuman lebar.

"Selamat malam, Rindu."

Wanita yang berusia 3 tahun lebih tua dariku itu menyapa tanpa dosa. Seolah kejadian malam ini hanya angin lewat yang tak berarti.

Tak ingin dianggap lemah, aku beringsut duduk sembari menghapus air mata yang masih bercucuran. "Apa maksud semua ini, Mbak?" tanyaku, berusaha untuk tegar.

Mbak Zita melangkah mendekat, lantas duduk di atas ranjang. Bibirnya masih melengkungkan senyuman yang membuat aku mual.

"Oh, adikku sayang ...."

Ia coba mengusap kepalaku, tapi berhasil kutepis sebelum tangan itu benar-benar menyentuh kepala yang dibalut hijab putih ini.

"Kamu ikhlasin Mas Dimas, ya. Sekarang Mas Dimas sudah jadi calon suami mbakmu ini."

Mbak Zita masih mempertahankan senyuman. Sesaat kemudian, ia tertawa kencang hingga memenuhi kamar.

Aku hanya diam sembari meremas sprei kuat-kuat. Jika saja tak takut durhaka, sudah kucakar wajah Mbak Zita sekarang juga.

"Kamu tahu, Rindu?"

Kini, Mbak Zita mendekatkan wajah padaku. Ditariknya rahang ini dengan kencang, tanpa belas kasih. Jujur, Mbak Zita seperti bukan kakakku sendiri.

"Aku sudah lama menyukai Mas Dimas, bahkan sejak kami SMA. Tapi, dengan tak tahu dirinya kamu malah menjalin kasih dengan dia!"

Aku sedikit meringis karena kuku-kuku panjang Mbak Zita menusuk rahangku hingga terasa perih. Namun, hanya sebentar karena aku berusaha untuk menahan.

Ya, bukankah rasa sakit atas pengkhianatan tadi lebih dari ini?

"Jika Mbak Zita suka, kenapa nggak bilang sejak awal? Bukannya merebut Mas Dimas saat dia mau melamarku!"

Seketika tawa Mbak Zita menyembur ke udara. Tangan wanita itu juga sudah terlepas dari rahangku sepenuhnya.

"Mengambil Mas Dimas sekarang itu lebih menyakitkan daripada aku memilikinya sejak dulu, Rindu," jawabnya dengan senyuman lebar.

Aku terdiam untuk mencerna ucapan Mbak Zita. Hingga kepala ini berhasil menarik sebuah kesimpulan yang begitu menyakitkan.

"Ja-jadi ... Mbak Zita sengaja melakukan ini?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AIR MATA RINDU   Boleh, Kan?

    Aku melangkah tanpa semangat menuju tempat bekerja setelah lolos dari ruangan Bu Siska. Rasanya, kaki ini langsung kehilangan tenaga ketika tadi wanita itu berkata, "Gaji kamu tetap saya potong! Dan kamu nggak boleh ambil izin lagi setelah ini!"Tuhan ... bagaimana jika suatu saat aku memang tak bisa masuk kerja? Tak hanya karena harus mengantar Bapak, tapi karena sebab yang lainnya juga. Bukankah selalu ada saja hal mendadak yang tidak bisa kita tinggal?Separah ini pekerjaanku. Gaji yang bisa dibilang kecil, lembur pun hanya dibayar murah yang kurasa tak sesuai. Belum lagi, Bu Siska memang tak bisa ramah para karyawan.Bisa kutebak, orang-orang bertahan di pabrik roti ini karena tak memiliki pilihan pekerjaan. Bukan karena betah berada di bawah kuasa bos besar yang entah siapa.Ya, kami tahu nama pemilik pabrik. Namun, tidak dengan wajahnya. Sejak awal pabrik ini berdiri 5 tahun lalu, kami langsung diarahkan oleh Bu Siska yang katanya diberi mandat untuk memegang kuasa."Rin, kamu k

  • AIR MATA RINDU   Tahu Akibatnya

    Aku dan Bapak kompak menoleh sembari mengernyit heran saat mendengar Bu Wati meneriaki nama Janu. Ya, mungkin maksudnya Dokter Januar. Terbukti, pria itu langsung keluar lagi dari dalam mobil begitu mendengar suara Bu Wati."Sepertinya mereka saling mengenal," gumam Bapak yang masih bisa kudengar. Kualihkan perhatian pada Bapak yang masih duduk di atas sofa dengan pandangan yang keluar. "Rindu anter ke kamar dulu, yuk, Pak! Habis ini Rindu mau ke pabrik," ucapku.Ya, meski sudah sangat terlambat, aku tetap harus datang ke pabrik agar bos besar tak lebih marah. Setidaknya, dia masih bersedia membiarkanku bekerja di sana. Itu saja sudah cukup untuk sekarang."Sana, kamu berangkat saja. Bapak bisa sendiri," sahut Bapak sembari memberiku senyuman khasnya.Baiklah, karena tak ingin berlama-lama, aku pun gegas pamit pada Bapak."Bapak doakan, semoga kamu nggak terkena masalah karena ini, ya, Nak.""Aamiin."Harapanku juga sama. Datang ke pabrik seperti biasa, tak ada drama marah-marah. Nam

  • AIR MATA RINDU   Janu

    Kuhembuskan napas lega setelah berhasil buang air kecil. Kini, aku sudah merasa nyaman kembali.Merasa tak ada lagi kepentingan di dalam toilet, gegas kulangkahkan kaki ini untuk keluar. Sedikit kubungkukan badan saat melewati orang yang sedang berada dalam antrean.Huh, untung saja saat aku akan masuk, di depan toilet tidak mengantre seperti sekarang. Bayangkan jika aku harus menunggu seperti ini juga tadi, pasti tak tahan sekali.Kufokuskan pandangan ke depan sembari berjalan. Namun, tiba-tiba alisku mengernyit heran melihat dokter yang tadi tak sengaja kutabrak seperti tengah mencari sesuatu.Merasa penasaran, aku pun membawa kaki ini melangkah lebih dekat lagi."Maaf, Dok. Saya lihat Dokter sedang mencari sesuatu. Ada yang bisa saya bantu?" Kutawarkan bantuan, takut dia memang membutuhkan.Sesama manusia harus saling menolong, kan? Meskipun kita tak saling mengenal."Oh, ini, Mbak. Name tag saya hilang. Sepertinya jatuh di sini," jawabnya sambil melirikku sedikit.Seketika perasaa

  • AIR MATA RINDU   Astagfirullah

    Sungguh, aku tak menyangka Mas Dimas tiba-tiba datang ke rumah. Untuk apa? Namun, sepertinya otakku sedikit terganggu hingga lupa jika pria ini adalah calon suami mbakku. Bebas saja jika dia ingin berkunjung kapan pun, kan? Tapi, tadi aku dengar dia ingin mengantar Bapak berobat. Apa tak salah?"Biar aku saja yang antar Bapak, Mas," tolakku sembari menatap pria bertubuh tinggi itu untuk beberapa detik. "Biar Mas saja, Rin. Mas memang nggak kerja hari ini."Hem, pantas saja Mas Dimas datang mengenakan pakaian santai, bukan seragam kerja seperti biasa. Jika begitu, rasanya tidak salah kalau aku menitipkan Bapak. Toh, Bapak juga calon orang tua Mas Dimas, kan? Aku jadi bisa tetap berangkat ke pabrik hari ini."Emh, baik—""Nggak bisa, Mas!"Ucapanku harus terpotong kala Mbak Zita dengan cepat menyela. Mbakku itu mendekat dengan penampilan yang sudah rapih. Sepertinya akan pergi."Kita udah janjian buat pergi, Mas. Jadi, kamu harus pergi sama aku!"Hah, kali ini aku tahu jika kedatangan

  • AIR MATA RINDU   Kenangan Manis

    Aroma sedap dari kwetiau goreng tak membuatku makan dengan lahap. Rasanya memang sama, sangat lezat. Namun, ada satu hal yang hilang sekarang.Kebahagiaan.Ya, jika dulu aku selalu semangat tiap kali Mas Dimas memberi kwetiau seperti ini, maka tidak dengan sekarang. Jika dulu aku akan langsung memakannya hingga habis, maka sekarang tidak.Bahkan, sudah satu jam berlalu sejak aku mulai memasukkan kwetiau goreng ini pada mulut, belum habis lima puluh persen pun. Selera makanku hilang, rasa lapar pun ikut pergi bersama pria yang masih kucintai.Entah aku yang bodoh atau memang cinta yang buatku buta. Aku ... masih mencintainya. Hingga sepanjang makan dengan gerakan perlahan, kenangan-kenangan indah dulu kembali berputar di kepala.Sore itu sepulang dari pabrik, Mas Dimas mengajakku ke sebuah warung yang cukup jauh. Hampir di luar kampung. Namun, karena Mas Dimas membawa motor, aku pun setuju.Sesampainya di sana, aku benar-benar dijamu oleh Mas Dimas. Pria itu memesan satu porsi kwetiau

  • AIR MATA RINDU   Apa yang Harus Kulakukan?

    "RINDU!"Pekikan Ibu membuat rasa lelahku setelah bekerja seharian makin bertambah. Kuayunkan kaki menuju wanita yang sudah menatap tajam padaku di ambang pintu itu."Assalamualaikum, Bu."Aku tak menghiraukan pekikan Ibu tadi. Tangan ini terulur untuk menyalami, tapi malah ditepis. Buka hanya itu. Sejurus kemudian, Ibu menarik kasar tanganku memasuki rumah."Aws ... sakit, Bu!" Aku berusaha melepaskan cekalan Ibu yang cukup kuat hingga tanganku terasa sakit. Namun, wanita tua itu seolah menulikan pendengaran. Ia terus menyeretku hingga sampai di kamar Mbak Zita.Seketika isi kepalaku dipenuhi tanya, ada apa? Kenapa aku dibawa ke kamar Mbak Zita?Bruk!Tubuhku dihempaskan dengan kuat hingga menimbulkan bunyi. Sebelah lenganku terasa sakit karena mengenai lemari.Aku mendongak pada Ibu yang masih setia memberikan tatapan tajam. Lalu beralih pada Mbak Zita yang sedang menangis sesenggukan. "Ada apa ini, Bu?" tanyaku tak mengerti.Bukannya menjawab, Ibu malah memekik sembari menarik ji

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status