Rindu Anjani, gadis malang yang harus menerima pil pahit kala sang kekasih hati memilih untuk menikahi Zita, kakak kandungnya sendiri. Entah apa alasan mereka hingga malam yang harusnya indah, malah menjadi guncangan besar untuknya. Nahas, tak ada satu pun keluarga yang membela atau sedikit pun mengasihi Rindu. Dapatkah Rindu bertahan di saat ia benar-benar harus berdiri di atas luka itu seorang diri? Lantas, adakah secercah kebahagiaan yang sudi menanti?
view more"Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa niat kami datang ke kediaman Pak Heriawan adalah untuk ...."
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantung yang sejak tadi berdetak tak karuan. Kedua telapak tanganku meremas satu sama lain di atas pangkuan, mencari kekuatan dari rasa gugup yang tiba-tiba menyerang. "Kami datang untuk meminang Nak Zita." Seketika dunia seolah berhenti berputar. Kenapa malah nama mbakku yang disebut? Kepalaku langsung terangkat, menatap Pak Broto dengan sorot kosong. Bibir yang tadi sempat kuberi pulasan tipis kini bergetar pelan. Ucapan itu masih menggantung di udara, menggema dalam kepalaku berulang kali, tapi tak juga bisa kucerna. "Ma-maksudnya?" Aku mencoba bertanya meski dengan susah payah. Ini bukan mimpi, aku tahu. Namun, rasanya sulit bagiku menerima kenyataan yang baru saja disampaikan Pak Broto. Bagaimana bisa lamaran ini jadi salah sasaran? Akan tetapi, tak ada satu pun yang menjawab. Semuanya hanya diam, seolah pertanyaanku hanyalah angin lalu. Ibu dan Mbak Zita justru melemparkan senyuman lebar seolah baru memenangkan sebuah perlombaan. Sementara Bapak hanya tertunduk dalam. Aku memalingkan wajah pada Mas Dimas, mencari secercah harapan dari sorot matanya. Namun, yang kutemukan justru keheningan. "Mas?" Aku memanggil dengan suara nyaris tak terdengar. Namun, tetap saja Mas Dimas diam. Kepalaku menggeleng keras. Tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Malam yang harusnya indah malah berubah jadi duka yang tak terduga. Tega kamu, Mas! Perlahan aku berdiri dan menatap semua orang bergantian. "Permisi." Suaraku tetap tenang meski hatiku sudah retak tak karuan. Tanpa menunggu reaksi siapa pun, aku melangkah pergi ke belakang rumah, mencoba menghindar dari tatapan mereka yang seolah tak memedulikan perasaanku. Langkahku cepat, secepat air mata yang jatuh tanpa bisa dicegah lagi. "Rindu, tunggu!" suara Mas Dimas terdengar mengejar, tapi aku tak menoleh. Sudah cukup. Aku tak ingin berhadapan dengan dia lagi! Lima tahun sudah kami menjalin kasih, merajut sabar agar bisa sampai di jenjang pernikahan. Namun, yang kudapat malah sebuah pengkhianatan. Padahal tadi pagi Mas Dimas masih bersikap normal. [Rindu, jangan lupa persiapkan diri. Mas dan Bapak Ibu akan datang jam 8 malam untuk melamarmu.] Aku menggeleng untuk mengusir semua ingatan itu. Percuma, sudah tak ada artinya lagi. Langkahku berhenti ketika rerumputan halaman belakang menyentuh kaki. Saat itu juga tubuhku melemas, tak mampu lagi berdiri. Kuambil duduk di sana sembari memeluk kedua lutut, membiarkan tangis tumpah tanpa suara. "Rindu ...." Aku tak menoleh. Kubiarkan air mata ini terus mengalir. Dadaku sesak, sangat. "Maafkan Mas, Rindu. Mas benar-benar nggak bisa menolak keinginan Bapak dan Ibu." Aku tetap diam. Hanya mencoba mengatur napas yang tersenggal. "Mas sangat mencintaimu, Rin. Cuma kamu yang Mas cintai. Sungguh." "Kalau gitu, kenapa Mas Dimas mau? Kenapa nggak melawan waktu bapakmu sebut nama mbakku, Mas?" Suaraku tetap tenang, meski getirnya tak tertahankan. Mas Dimas terlihat menahan tangis. Namun, saat ini aku benar-benar sudah tak peduli. Bukankah aku yang jauh lebih sakit di sini? "Mas nggak bisa lawan mereka, Rin. Tapi Mas janji akan secepatnya keluar dari masalah ini dan menikahimu. Mas janji." Janji? Aku sudah tak percaya lagi. Dengan sisa tenaga, aku berdiri perlahan. Kutatap Mas Dimas yang kini wajahnya telah basah. "Terima kasih untuk lima tahun ini, Mas. Semoga ... kamu bahagia bersama Mbak Zita." "Rin, Rindu!" Aku tak menghiraukan teriakan itu. Tetap melangkah pergi meski rasanya berat sekali. Sesampainya di kamar, kurebahkan tubuh di atas ranjang. Air mata tak bisa dibendung lagi. Tangis yang tadi kutahan akhirnya kembali pecah mengisi keheningan di ruangan. Sakit, Ya Allah ... ini terlalu sakit. Selama 5 tahun menjalin kasih, aku dan Mas Dimas selalu menjaga diri. Jangankan melakukan hal terlarang, berpegangan tangan pun tak pernah kami lakukan. Namun, kenapa kami tetap dipisahkan? Apa selama ini aku salah? Apakah ini hukuman untukku, Ya Allah? Entah berapa banyak kutumpahkan air mata malam ini. Entah berapa lama pula aku dalam posisi yang sama. Hingga saat hati ini masih remuk-remuknya, Mbak Zita datang dengan senyuman lebar. "Selamat malam, Rindu." Wanita yang berusia 3 tahun lebih tua dariku itu menyapa tanpa dosa. Seolah kejadian malam ini hanya angin lewat yang tak berarti. Tak ingin dianggap lemah, aku beringsut duduk sembari menghapus air mata yang masih bercucuran. "Apa maksud semua ini, Mbak?" tanyaku, berusaha untuk tegar. Mbak Zita melangkah mendekat, lantas duduk di atas ranjang. Bibirnya masih melengkungkan senyuman yang membuat aku mual. "Oh, adikku sayang ...." Ia coba mengusap kepalaku, tapi berhasil kutepis sebelum tangan itu benar-benar menyentuh kepala yang dibalut hijab putih ini. "Kamu ikhlasin Mas Dimas, ya. Sekarang Mas Dimas sudah jadi calon suami mbakmu ini." Mbak Zita masih mempertahankan senyuman. Sesaat kemudian, ia tertawa kencang hingga memenuhi kamar. Aku hanya diam sembari meremas sprei kuat-kuat. Jika saja tak takut durhaka, sudah kucakar wajah Mbak Zita sekarang juga. "Kamu tahu, Rindu?" Kini, Mbak Zita mendekatkan wajah padaku. Ditariknya rahang ini dengan kencang, tanpa belas kasih. Jujur, Mbak Zita seperti bukan kakakku sendiri. "Aku sudah lama menyukai Mas Dimas, bahkan sejak kami SMA. Tapi, dengan tak tahu dirinya kamu malah menjalin kasih dengan dia!" Aku sedikit meringis karena kuku-kuku panjang Mbak Zita menusuk rahangku hingga terasa perih. Namun, hanya sebentar karena aku berusaha untuk menahan. Ya, bukankah rasa sakit atas pengkhianatan tadi lebih dari ini? "Jika Mbak Zita suka, kenapa nggak bilang sejak awal? Bukannya merebut Mas Dimas saat dia mau melamarku!" Seketika tawa Mbak Zita menyembur ke udara. Tangan wanita itu juga sudah terlepas dari rahangku sepenuhnya. "Mengambil Mas Dimas sekarang itu lebih menyakitkan daripada aku memilikinya sejak dulu, Rindu," jawabnya dengan senyuman lebar. Aku terdiam untuk mencerna ucapan Mbak Zita. Hingga kepala ini berhasil menarik sebuah kesimpulan yang begitu menyakitkan. "Ja-jadi ... Mbak Zita sengaja melakukan ini?"Satu bulan setelah Ibu diperbolehkan pulang dari rumah sakit, sikapnya sudah sedikit membaik. Tidak ada nada ketus saat aku bertanya. Pun Ibu kerap kali mengajakku menonton televisi bersama. Sungguh perubahan yang luar biasa.Ternyata di balik cobaan yang menimpa, Ibu justru mendapat hikmah. Beliau jadi lebih dekat denganku dan Mas Janu, juga bisa dekat dengan calon cucu. Pernah beberapa kali Ibu meminta untuk mengelus perutku. Tentu aku mempersilakan dengan senang hati. Tak hanya itu, kini beliau juga sering bertanya tentang kehamilanku."Mau makan apa?""Perutnya sakit nggak?""Pinggangmu sudah mulai pegal belum?"Sungguh aku sangat senang saat mendapat pertanyaan itu.Hari ini aku, Ibu dan Mas Janu memutuskan untuk berlibur sekaligus merayakan kesembuhan Ibu. Ada rasa gugup saat aku pertama kali menghabiskan liburan bersama beliau. Takut saja kehadiranku membatasi kedekatannya dengan Mas Janu.Akan tetapi, itu hanya pikiranku. Justru Ibu malah terlihat senang berada di tengah-tenga
Aroma bubur ayam begitu menyeruak saat aku membuka tutup rantang. Kebetulan Ibu pun sudah selesai berganti pakaian. Jadi, aku akan mengajak beliau makan."Rindu tadi buat bubur ayam ini. Ibu makan, ya? Rindu suapi," pintaku.Bukannya menjawab, Ibu yang sedang bersandar di kepala bangsal, malah menoleh pada Bi Sri. "Kamu saja yang suapi saya, Sri. Ambil buburnya."Tangan ini yang semula sudah terangkat, siap menyendok bubur pun seketika turun. Bersamaan dengan pandanganku yang menunduk. Sebegitu tak maukah Ibu denganku?"Ya sud—""Aduh, perut saya tiba-tiba sakit, Bu. Mau ke WC dulu. Ibu disuapi Non Rindu saja, ya." Bi Sri memotong ucapanku.Kutatap wanita yang langsung ngacir menuju pintu ruangan itu. "Lho, mau ke mana, Bi? Di sini, kan, ada kamar mandi," tanyaku heran.Bi Sari yang sudah hendak mencapai pintu pun berbalik. "Bibi mau ke toilet masjid saja, Non. Biar tenang."Sejenak aku mengerutkan kening, heran dengan tingkah Bi Sri. Diberi yang ringan, kenapa malah pilih yang susah?
Pagi ini aku begitu bersemangat untuk membuat makanan meski di rumah hanya sendirian. Bukan tanpa alasan. Aku senang sebab Ibu sudah setuju untuk tinggal bersamaku dan Mas Janu. Hem, semoga saja dengan begitu, perasaan beliau bisa menerimaku. Aamiin ....Tangan ini bergerak pelan mengaduk bubur yang meletup-letup dalam panci. Kaldu ayam juga bumbu tambahan lain sudah aku masukkan agar rasanya meresap. Sengaja aku membuat ini untuk dibawa ke rumah sakit nantinya.Semalam, Mas Janu aku minta untuk menemani Ibu di rumah sakit. Sedangkan aku memilih untuk pulang karena ada yang harus disiapkan. Seperti kamar untuk Ibu contohnya. Ruangan yang terletak tak jauh dari ruang tengah itu sengaja kami jadikan kamar Ibu agar tidak perlu naik-turun tangga seperti di rumah sebelumnya. Tenang saja, meski kamar kami beda lantai, aku dan Mas Janu pasti akan sering memeriksa ke bawah. Lagipula, akan ada satu asisten rumah tangga yang dipindah ke sini untuk membantuku mengurus Ibu sekaligus mengurus ru
"Janin Ibu nggak apa-apa. Mungkin cuma nggak nyaman karena perjalanan barusan. Tolong jangan diulang lagi, ya, Bu. Ibu juga harus banyak istirahat."Aku bisa bernapas lega setelah mendengar penjelasan dokter kandungan. Syukurlah semua baik-baik saja."Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Bu Rindu."Aku mengangguk sembari mengulas senyum. "Makasih, ya, Dok."Dokter kandungan yang sudah biasa menanganiku itu berlalu dari ruangan. Tak lama, pintu kembali dibuka dari luar, membuat aku heran.Akan tetapi, rasa lega menyelimuti saat Mas Janu yang muncul dari balik pintu. Pria itu berjalan cepat ke arahku."Sayang ...."Cup, cup, cup!Dia mengecup kepalaku berulang kali. Deru napasnya tersengal hingga bisa kudengar."Kamu buat Mas khawatir, Sayang. Gimana? Apa yang sakit?" Kupegang kedua tangan Mas Janu yang ada di pipiku. Aku beri dia senyuman agar sedikit tenang. "Semua baik-baik saja, Mas. Aku sudah diperiksa dokter barusan," jelasku.Terlihat Mas Janu menarik napas lega. Lalu, dia duduk
Mas Janu berjalan tergopoh memasuki rumah Ibu. Raut cemas tergambar jelas sejak dia mendapat pesan dari ibunya. Aku pun sama cemas, tapi tak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti langkah Mas Janu pelan di belakang."Ada apa ini, Bi?" Aku bertanya pada salah satu ART yang baru saja menuruni tangga dari lantai dua."Ini, Bu ... Ibu tadi tiba-tiba sesak napas."Jawaban itu semakin menambah kecemasanku. "Tadi sudah mau kami bawa ke rumah sakit, tapi Ibu nggak mau. Katanya mau dijemput sama Den Janu.""Astagfirullah ...." Aku hanya bisa bergumam sembari menutup mulut menggunakan kedua tangan. Memang 2 bulan terakhir ini Mas Janu sangat sibuk dengan tugasnya hingga belum sempat mengunjungi Ibu lagi. Sedangkan aku memang tak berani menemui Ibu sendiri. Aku masih trauma, takut beliau mencaciku lagi."Ya sudah, Bi. Aku mau lihat Ibu dulu," kataku pada ART yang masih berdiri di depanku.Kubalikkan tubuh ini untuk menaiki tangga. Namun, belum juga satu langkah, Mas Janu sudah muncul sambil m
Nasi rasa pelangi? Hei, makanan macan apa itu?Keinginan Rindu benar-benar membuat kepalaku pusing di malam hari begini. Jika saja dia bukan cintaku, sudah pasti aku tidak akan mau."Untung Mas sangat mencintaimu, Sayang."Sejenak aku duduk pada kursi yang ada di dapur. Kepalaku mendongak pada langit-langit ruangan. Siapa tahu di sana ada ide yang bergelantungan.Sejujurnya aku masih bingung, dari mana istriku bisa tahu makanan yang dia sebutkan tadi? Namanya saja aneh sekali. Yang kutahu, selama ini Rindu tidak pernah memesan makanan dari luar jika tidak bersamaku. Apa dia melihat di internet, ya?Ah, sepertinya iya. Dan aku pun memiliki ide sekarang.Gegas kukeluarkan ponsel dari saku kolor motif kotak-kotak yang dikenakan. Sengaja aku membawa benda pipih ini ikut serta untuk berjaga-jaga. Dan benar saja, sekarang aku membutuhkan bantuannya.Jariku bergerak cepat mengetik kata kunci di mesin pencarian hingga muncul beberapa situs yang berkaitan. Dari semua situs yang muncul, sebagi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments